Anda di halaman 1dari 2

LAPORAN REFLEKSI KASUS KOMPREHENSIF

Nama : Fauzan Kurniawan


NIM : 20130310054
RS : RS PKU Muh. Wonosobo
PPK1 : Klinik Pratama PKU Wsb

I. Rangkuman Pengalaman
Pasien laki-laki usia 48 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan demam sejak
5 hari yang lalu. Demam dirasakan tiap sore sampai malam yang tidak langsung
tinggi. Disertai keluhan nyeri perut bagian atas, mual, dan muntah 4-5x/hari sejak
3 hari ini. Nafsu makan menurun. Pasien merasa sulit BAB, BAB terakhir 4 hari
yang lalu dengan warna coklat dan konsistensi padat. BAK tidak ada keluhan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan vital sign TD 138/78 mmHg, HR 83x/menit,
RR 20x/menit, T 37C. Terdapat nyeri tekan pada regio epigastrika. Pasien
kemudian dilakukan peneriksaan penunjang darah lengkap dan widal dengan
hasil widal S.typhi O 1/320. Pasien didiagnosis demam typhoid dan direncanakan
untuk rawat inap.
Namun, pasien menolak rawat inap setelah berdiskusi dengan keluarga. Pasien
meminta untuk berobat rawat jalan. Pasien diberi terapi Paracetamol 3x500 mg,
Cirpofloxacin 2x500 mg, Ranitidin 2x150 mg, Domperidone 3x10 mg

II. Perasaan terhadap Pengalaman


Kasus ini menurut saya menarik karena menyangkut masalah bioetik
kedokteran, dimana sering menjadi dilema antara 2 belah pihak dalam
menentukan keputusan.

III. Evaluasi
Apa saja aspek bioetik yang terlibat dalam kasus ini? Bagaimana cara
mengatasi masalah tersebut?

IV. Analisis/Pembahasan
Etika kedokteran merupakan suatu sistem yang menilai praktik kedokteran klinis
dan penelitian ilmiah. Etika kedokteran ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik
atau dilema yang dirasakan oleh profesi medis maupun peneliti. Nilai yang ada di
etika kedokteran antara lain autonomy, non-maleficence, beneficence, dan justice.
Nilai-nilai ini akan membuat para klinisi dan pasien dapat melakukan aktivitasnya
untuk mencapai tujuan yang sama (Shanian & Normand, 2012).
Pada kasus ini terdapat 2 nilai etika kedokteran yang muncul, yaitu beneficence
dab autonomy. Nilai beneficence pada kasus ini didapatkan pada rencana
dilakukan rawat inap karena berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan peneriksaan penunjang yang mengarah pada demam tifoid. Sedangkan dari
pihak pasien, pasien dan keluarganya menolak untuk dilakukan rawat inap. Dokter
menyetujui hal tersebut dan nilai etika autonomy muncul pada kasus ini.
Adanya suatu konflik antara nilai beneficence dan autonomy sering terjadi dalam
praktik kedokteran. Autonomy dapat menjadi suatu konflik dengan beneficence
ketika pasien tidak setuju dengan saran yang terbaik untuk pasien yang diberikan
oleh tenaga medis. Ketika keinginan pasien berseberangan dengan keadaan
pasien, beberapa kelompok medis tertentu mempunyai kebijakan tersendiri.
Contohnya adalah, kelompok medis negara barat memungkinkan pasien untuk
menentukan pilihannya sendiri walaupun para tenaga medis percaya bahwa yang
dilakukan mereka sebenarnya masih belum maksimal (Schor, 2014).
Nilai autonomy dan beneficence dapat dipengaruhi dengan adanya kondisi yang
sedang dialami oleh pasien maupun klinisi, seperti adanya faktor ekonomi yang
mempengaruhi dalan pengambilan keputusan kedokteran (Shanian & Normand,
2012).
Pada kasus ini, pasien menolak untuk rawat inap karena masalah ekonomi. Pasien
merupakan peserta BPJS namun tidak pernah membayar iuran perbulannya
sehingga tidak bisa dipakai.

V. Referensi
Schor, N.F. (2014). Autonomy vs Beneficence. Neurology.
Shanian, D., Normand, S. (2012). Autonomy, beneficence, justice, and the limit of
provider profilling. Journal of The American College of Cardiology.

Anda mungkin juga menyukai