Study Task
1
Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Pengadilan
HAM hanyalah salah satu divisi atau bagian dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan
badan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13 UU No.
14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 seperti Pengadilan
Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada perbedaan yang mendasar dengan pengadilan
lain, baik yang berada dalam kamar Pengadilan Niaga atau Pengadilan TUN, dimana
Pengadilan HAM tidak sepenuhnya bergantung kepada hakim karier, melainkan pada hakim
nonkarier (hakim ad hoc) yang merupakan mayoritas dalam majelis hakim.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum
yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali, Pengadilan HAM tersebut
dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar, dengan wilayah
hukumnya sebagai berikut:
1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumsel,
Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel, Kaltim,
NTB dan NTT;
3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku, Maluku
Utara dan Papua.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor Timur dan Tanjung Priok
seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II,
Kerusuhan Massa di berbagai tempat di Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban
Pengadilan HAM untuk memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan.
Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU
No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM
dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini
merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya mewujudkan
supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan didasari adanya pengaturan
mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD
2
1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan
HAM itu sendiri.
Berdasarkan pengertian secara umum mengenai pelanggaran HAM, terdapat beberapa unsur
mengenai Pelanggaran HAM yakni:
Berdasarkan penjelasan secara umum mengenai pelanggaran HAM, apabila ditinjau dari
tingkat pelanggarannya maka pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua (2) yaitu:
3
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
4
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa yakni penangkapan, penahanan atau penculikan
seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau
kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan
kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan
hukum dalam jangka waktu yang panjang.
10. kejahatan apartheid. Yakni suatu perbuatan yang tidak manusiawi dengan sifat
yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam kejahatan genosida yang
dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan
dominasi oleh suatu kelompok rasial atau suatu kelompok ras lain yang dilakukan
untuk mempertahankan rezim tersebut.
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga-lembaga resmi
oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama
dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM, Adapun Lembaga-lembaga tersebut adalah:
A. Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50
Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat
maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di
Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM (Bab VIII, pasal 75 s/d. 99)
maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan
UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
1. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
B. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan
pengadilan husus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan
5
kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM).
Jadi Pengadilan HAM memiliki tugas, yaitu: memeriksa dan memutus perkara
pelanggaranHAM yang berat, Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah
negara RI oleh warga Negara Indonesia. Disamping itu juga dikenal pengadilan Hakim
Ad Hoc, yang diberikan kewenanananuntuk mengadi pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM,
Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa, Dengan kata lain
adanya Pengadian HAM ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive “Berlaku
Surut” terhadap pelanggaran HAM berat.
6
D. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah
sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Komisi Nasional ini bersifat indepeden dan bertujuan:
a) Menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
c) Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan diatas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai
berikut:
1) Pemyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan, segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan,
2) Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan
hak asasi manusia terhadap perempuan.
3) Pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuandan
memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4) Penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap
perempuan kepada masyarakat.
5) Pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan
penggulangan kekerasan terhadap perempuan.
E. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi ini dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) untuk:
1) Memberikan alternative penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan
HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan
pengadilan HAMAd Hoc mengalami kebuntuan,
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk
menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat disesuaikan, sebab
kalua tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa
keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan
masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat diwujudkan , maka akan dapat
diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar
kehidupan berbangsa antar sesame anak bangsa. Perdamaian sesame anak bangsa
merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan
dalam segala bidang.
F. LSM Pro-demokrasi dan HAM
7
Di samping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah.
Masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga ham. Lembaga HAM bentukan masyrakat
terutama dalam bentuk LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau NGO (non
governmental organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan
kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering
disebut sebgai LSM prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI
(yayasan lembaga bantuan hokum Indonesia) kontras (komisi untuk orang hilang dan
korban tindak kekerasan), Elsam (lembaga studi dan advokasi masyarakat) PBHI
(Perhimpunan bantuan hokum dan hak asasi manusia)
LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan minat dan kemampuannya
sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya komnas HAM. Dalam
pelaksanaan perlindungan dan penegakan HAM, LSM tampak merupakan mitra kerja
komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingipara korban pelanggaran HAM ke Komnas
HAM.
Dalam perkara pelanggaran HAM, dimana perkara HAM termasuk dalam ruang lingkup Peradilan
Umum, dimana hukum formil dalam perkara HAM menggunakan KUHAP, namun dalam perkara HAM
berat, ada pengaturan hukum formil itu sendiri yang mengatur beberpa aturan yang berbeda dengan
KUHAP, adapun perbedaannya adalah:
8
petugas kepolisian
Republik Indonesia
2. Penahanan Kewenagan dalam melakukan Kewenangan dalam
penahanan di pengadilan HAM melakukan penahanan di
adalah jaksa agung sedangkan KUHAP di lakukan oleh
untuk kepentingan pemeriksaan Kepolisian RI, dalam hal
dilakukan oleh hakim. Dalam perpanjangan penahana
jangka waktu penahanan dalam untuk pemeriksaan dapat
pengadilan HAM dilakukan paling dilakukan apabila
lama 90 hari tersangka mengalami
gangguan fisik dan
dilakukan perpanjangan
penahanan paling lama 30
hari
3. Penyelidikan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan di KUHAP
Penyelidikan di pengadilan HAM dalam melakukan
adalah Komnas HAM penyelidikan adalah
Kepolisian RI
4. Penyidikan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan dalam
penyidikan dalam pengadilan melakukan penyidikan
HAM adalah Jaksa Agung dalam KUHAP adalah
Kepolisian RI
5. Penuntutan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan dalam
penuntutan di pengadilan HAM melakukan penututan
adalah Jaksa Agung dalam KUHAP adalah
Jaksa
9
yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan
penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan
penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai
kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Penyelidikan
untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan
penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya
pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil
penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik
dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak
memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia
sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan
kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas
HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Komnas
HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka
melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan
dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau
pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk
didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan
tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan
secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping
tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu,
mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. Komnas HAM dalam melakukan
penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus
memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa
telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka
hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya
Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa
penyelidikan kurang lengkap maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai
petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.
10
Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan
secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan
perkara pelanggaran HAM yang berat.
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad-hoc, penyidik ad-hoc, penuntut ad- hoc,
dan hakim ad-hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi Pelanggaran HAM
yang Berat.
11
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memiliki hukum acara tersendiri yang
dimuat di dalam berbagai ketentuannya. Namun demikian, hukum acara pidana sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetap
dijadikan acuan untuk melaksanakan proses beracara jika Undang-Undang Pengadilan HAM
tidak mengatur hal-hal yang terkait dalam proses beracara untuk tindak pidana Pelanggaran
HAM yang Berat sebagaimana bunyi dari Pasal 10 UU Pengadilan HAM. Bagian yang
terpenting dalam UU Pengadilan HAM selain menentukan siapa pelaku Pelanggaran HAM
yang Berat, ialah menentukan apakah suatu peristiwa dapat dibuktikan adanya dugaan
Pelanggaran HAM yang Berat atau tidak. Pembuktian ini menyangkut bagaimana unsur-
unsur pembuktiannya dan lembaga yang berwenang melakukan pembuktian tersebut.
Menurut Jean Pictet, dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang
berlaku secara umum yaitu :
1. Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu
mempunyai hak untuk dihormati jiwanya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-
atribut yang tidak dapat dipisahkan dari personalitasnya;
2. Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap
individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis
kelamin, ras, suku, agama, bangsa, status social, dan lain sebagainya;
3. Principle of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak
untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya;
4. Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
menikmati kebebasan individual;
5. Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan.
Apabila dilihat dalam prinsip dalam UDHR menurut Jean Pictet, dimana pada prinsip ke
tiga yaitu Principle of security itu berisikan suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap
individu berhak untuk mendapatkan perindungan keamanan dan seseorang tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya, jadi dimana HAK
Pelaku masih ada sebelum perbuatan pelaku tersebut dibuktikan dalam persidangan HAM.
Dimana dalam UDHR sendiri mengatur tentang perlindungan HAM Pelaku, yaitu:
12
Article 11
(1) Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved
guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary
for his defence (Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran
hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam
suatu pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan
untuk pembelaannya).
(2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which
did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it
was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable
at the time the penal offence was committed (Tidak seorangpun boleh dipersalahkan
melakukan pelnggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan
suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika
perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuma lebih
beruat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika penggaran hukum itu
dilakukan).
Selain prinsip universal, perlindungan terhadap pelaku pelanggaran HAM juga diatur
dalam asas yang dianut dalam KUHAP sebagai dasar hukum formil dalam berperkara, namun
ada beberapa hal yang di khususkan dalam perkara HAM yaitu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tapi selain yang diatur dalam
Undang-Undang tersebut tetap menggunakan KUHAP. Adapun asas yang melindungi pelaku
perkara HAM adalah:
Asas Praduga Tak Bersalah “persumtion of inno- cent” tedapat dalam penjelasan umum
butir 3 huruf c KUHAP dan Pasal 8 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Dimana asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditaham, dituntut dana tau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menjatakan kesalahannya dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Problem Task
15