Anda di halaman 1dari 15

Tutorial 9: Penyelesaian Kasus Sengketa Pelanggaran HAM oleh Pengadilan dan Eksistensi

Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia

Study Task

Penyelesaian Kasus Sengketa Pelanggaran HAM oleh Pengadilan dan Eksistensi


Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia

Sejarah Terbentuknya Pengadilan HAM

Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-


kasus pelanggaran HAM, maka Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindaklanjutinya
dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal
23 April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU
Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak
pendapat dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.
Belum sempat dilaksanakannya Keppres tersebut, pada awal masa kepresidenan
Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami revisi, yakni dengan
diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keppres No. 53 Tahun
2001. Pasal 2 merupakan bagian yang mengalami perubahan dengan maksud untuk lebih
memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok, yaitu penambahan kalimat wilayah
hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan September 1999 untuk kasus
Timor
Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof.
DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. Bagir Manan, SH, MCL
meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang pertama di Indonesia sebagai salah satu
pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000, yaitu bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Pusat. Pengadilan HAM bukanlah badan peradilan baru atau badan peradilan yang berdiri
sendiri yang terlepas dari keempat badan peradilan yang selama ini kita ketahui (Peradilan

1
Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Pengadilan
HAM hanyalah salah satu divisi atau bagian dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan
badan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13 UU No.
14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 seperti Pengadilan
Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada perbedaan yang mendasar dengan pengadilan
lain, baik yang berada dalam kamar Pengadilan Niaga atau Pengadilan TUN, dimana
Pengadilan HAM tidak sepenuhnya bergantung kepada hakim karier, melainkan pada hakim
nonkarier (hakim ad hoc) yang merupakan mayoritas dalam majelis hakim.

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum
yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali, Pengadilan HAM tersebut
dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar, dengan wilayah
hukumnya sebagai berikut:
1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumsel,
Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel, Kaltim,
NTB dan NTT;
3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku, Maluku
Utara dan Papua.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor Timur dan Tanjung Priok
seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II,
Kerusuhan Massa di berbagai tempat di Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban
Pengadilan HAM untuk memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan.
Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU
No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM
dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini
merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya mewujudkan
supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan didasari adanya pengaturan
mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD

2
1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan
HAM itu sendiri.

Pengertian Pelanggaran HAM


Dalam pengertian secara umum, pelanggaran HAM menurut pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.

Berdasarkan pengertian secara umum mengenai pelanggaran HAM, terdapat beberapa unsur
mengenai Pelanggaran HAM yakni:

1. Perbuatan dilakukan oleh seseorang atau kelompok


2. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja
3. Adanya suatu perbuatan hukum yang melanggar hak asasi manusia

Berdasarkan penjelasan secara umum mengenai pelanggaran HAM, apabila ditinjau dari
tingkat pelanggarannya maka pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua (2) yaitu:

1. Pelanggaran HAM berat (extra ordinary crime)


2. Pelanggaran HAM ringan (ordinary crime)

1.1. Pelanggaran HAM berat (extra ordinary crime)


Pelanggaran HAM yang berat adalah pelanggaran HAM yang telah diatur dan
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Menurut Undang-Undang
Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang berat terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan
genosida (crimes of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity).

Kejahatan genosida ( crimes of genocide ) adalah setiap perbuatan yang dilakukan


dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

1. membunuh anggota kelompok;

3
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) adalah salah satu


perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa :

1. Pembunuhan berencana ( pasal 340 kuhp )


Berdasarkan pasal 340 kuhp, ”barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahu ”.
2. Pemusnahan, permusnahan disini meliputi perbuatan yang menimbulkan
penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan
menghambat pemasokan barang makanan da obat-obatan yang dapat
menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
3. Perbudakan, dalam hal ini termasuk perdagangan manusia, khususnya
perdagangan wanita dan anak
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, dalam arti pemindahan
orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain
dari daerah mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. Penyiksaan, penyiksaan dapat diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja dan
melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik
maupun mental
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin

4
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa yakni penangkapan, penahanan atau penculikan
seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau
kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan
kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau
keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan
hukum dalam jangka waktu yang panjang.
10. kejahatan apartheid. Yakni suatu perbuatan yang tidak manusiawi dengan sifat
yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam kejahatan genosida yang
dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan
dominasi oleh suatu kelompok rasial atau suatu kelompok ras lain yang dilakukan
untuk mempertahankan rezim tersebut.

Lembaga-Lembaga resmi Ham di Indonesia.

Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga-lembaga resmi
oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama
dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM, Adapun Lembaga-lembaga tersebut adalah:

A. Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50
Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat
maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di
Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM (Bab VIII, pasal 75 s/d. 99)
maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan
UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
1. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia.
2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya
pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan.
B. Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan
pengadilan husus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan

5
kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM).
Jadi Pengadilan HAM memiliki tugas, yaitu: memeriksa dan memutus perkara
pelanggaranHAM yang berat, Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah
negara RI oleh warga Negara Indonesia. Disamping itu juga dikenal pengadilan Hakim
Ad Hoc, yang diberikan kewenanananuntuk mengadi pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM,
Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa, Dengan kata lain
adanya Pengadian HAM ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive “Berlaku
Surut” terhadap pelanggaran HAM berat.

C. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.


Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) berawal darigerakan nasional
perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era
reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada
masyarakat. Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya:
diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang
mendorong lahirnya UURI Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI
dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlin-dungan anak
b. mengumpulkan data dan informasi, menerima penga-duan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
c. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI
meminta pemerintah segera membuat undang – undang larangan merokok bagi anak atau
setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU Kesehatan
(yang sedang dalam proses amandemen) dan atau UU Kesejahteraan Sosial (yang sedang
dalam proses pembuatan).

6
D. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah
sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Komisi Nasional ini bersifat indepeden dan bertujuan:
a) Menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
c) Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan diatas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai
berikut:
1) Pemyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan, segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan,
2) Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan
hak asasi manusia terhadap perempuan.
3) Pemantauan dan penelitian segala bentuk kekerasan terhadap perempuandan
memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4) Penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap
perempuan kepada masyarakat.
5) Pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan
penggulangan kekerasan terhadap perempuan.
E. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi ini dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) untuk:
1) Memberikan alternative penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan
HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan
pengadilan HAMAd Hoc mengalami kebuntuan,
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk
menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat disesuaikan, sebab
kalua tidak dapat diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa
keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan
masyarakat untuk mengungkap kebenaran dapat diwujudkan , maka akan dapat
diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar
kehidupan berbangsa antar sesame anak bangsa. Perdamaian sesame anak bangsa
merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan
dalam segala bidang.
F. LSM Pro-demokrasi dan HAM

7
Di samping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah.
Masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga ham. Lembaga HAM bentukan masyrakat
terutama dalam bentuk LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau NGO (non
governmental organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan
kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering
disebut sebgai LSM prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI
(yayasan lembaga bantuan hokum Indonesia) kontras (komisi untuk orang hilang dan
korban tindak kekerasan), Elsam (lembaga studi dan advokasi masyarakat) PBHI
(Perhimpunan bantuan hokum dan hak asasi manusia)
LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan minat dan kemampuannya
sendiri pada umumnya terbentuk sebelum didirikannya komnas HAM. Dalam
pelaksanaan perlindungan dan penegakan HAM, LSM tampak merupakan mitra kerja
komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingipara korban pelanggaran HAM ke Komnas
HAM.

Dasar-dasar Hukum yang mengatur tentang pelanggaran HAM


1. Universal Declaration of Human Rights
2. International Covenant on Civil and Political Rights
3. Rome Statute of the International Criminal Court
4. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undag-Undang Hukum Acara
Pidana
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Ketentuan-ketentuan ( beracara ) khusus yang timbul akibat adanya Pengadilan HAM


UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibandingkan
ketentuan dalam KUHAP yang bersifat umum

Dalam perkara pelanggaran HAM, dimana perkara HAM termasuk dalam ruang lingkup Peradilan
Umum, dimana hukum formil dalam perkara HAM menggunakan KUHAP, namun dalam perkara HAM
berat, ada pengaturan hukum formil itu sendiri yang mengatur beberpa aturan yang berbeda dengan
KUHAP, adapun perbedaannya adalah:

NO RUANG UU NO. 26/2000 tentang KUHAP


LINGKUP pengadilan HAM
1. Penangkapan Kewenangan di pengadilan HAM Kewenangan di KUHAP
dalam hal melakukan penangkapan yang melakukan
adalah Jaksa Aging penangkapan adalah

8
petugas kepolisian
Republik Indonesia
2. Penahanan Kewenagan dalam melakukan Kewenangan dalam
penahanan di pengadilan HAM melakukan penahanan di
adalah jaksa agung sedangkan KUHAP di lakukan oleh
untuk kepentingan pemeriksaan Kepolisian RI, dalam hal
dilakukan oleh hakim. Dalam perpanjangan penahana
jangka waktu penahanan dalam untuk pemeriksaan dapat
pengadilan HAM dilakukan paling dilakukan apabila
lama 90 hari tersangka mengalami
gangguan fisik dan
dilakukan perpanjangan
penahanan paling lama 30
hari
3. Penyelidikan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan di KUHAP
Penyelidikan di pengadilan HAM dalam melakukan
adalah Komnas HAM penyelidikan adalah
Kepolisian RI
4. Penyidikan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan dalam
penyidikan dalam pengadilan melakukan penyidikan
HAM adalah Jaksa Agung dalam KUHAP adalah
Kepolisian RI
5. Penuntutan Kewenangan dalam melakukan Kewenangan dalam
penuntutan di pengadilan HAM melakukan penututan
adalah Jaksa Agung dalam KUHAP adalah
Jaksa

Perbandingan secara khusus terlihat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000


dengan KUHAP adalah pada bagian penyelidikan dimana Huruf 5 ketentuan umum UU No.
26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. UU No 26 Tahun 2000
mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan. Dalam
penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah

9
yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan
penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan
penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai
kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Penyelidikan
untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan
penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya
pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil
penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik
dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak
memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia
sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan
kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas
HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. Komnas
HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka
melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan
dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau
pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk
didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan
tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan
secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping
tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu,
mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. Komnas HAM dalam melakukan
penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus
memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa
telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka
hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya
Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa
penyelidikan kurang lengkap maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai
petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.
10
Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan
secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan
perkara pelanggaran HAM yang berat.

Jadi ketentuan-ketentuan (beracara) khusus yang timbul akibat adanya Pengadilan


HAM UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibandingkan
ketentuan dalam KUHAP yang bersifat umum adalah dimana Dasar pembentukan Undang-
Undang tentang Pengadilan HAM adalah sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal
104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pada bagian umum paragraf kedelapan Penjelasan Undang-Undang Pengadilan HAM


disebutkan bahwa Pembentukan Undang-Undang ini didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan,
yakni: Pertama, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat merupakan extra ordinary crimes
dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta
menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril yang mengakibatkan perasaan tidak
aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman,
keadilan, dan kesejateraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, Terhadap perkara
Pelanggaran HAM yang Berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.

Kekhususannya adalah dalam penanganan Pelanggaran HAM yang Berat:

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad-hoc, penyidik ad-hoc, penuntut ad- hoc,
dan hakim ad-hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi Pelanggaran HAM
yang Berat.

11
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memiliki hukum acara tersendiri yang
dimuat di dalam berbagai ketentuannya. Namun demikian, hukum acara pidana sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetap
dijadikan acuan untuk melaksanakan proses beracara jika Undang-Undang Pengadilan HAM
tidak mengatur hal-hal yang terkait dalam proses beracara untuk tindak pidana Pelanggaran
HAM yang Berat sebagaimana bunyi dari Pasal 10 UU Pengadilan HAM. Bagian yang
terpenting dalam UU Pengadilan HAM selain menentukan siapa pelaku Pelanggaran HAM
yang Berat, ialah menentukan apakah suatu peristiwa dapat dibuktikan adanya dugaan
Pelanggaran HAM yang Berat atau tidak. Pembuktian ini menyangkut bagaimana unsur-
unsur pembuktiannya dan lembaga yang berwenang melakukan pembuktian tersebut.

Prinsip-prinsip Universal yang harus dihormati dalam memperlakukan pelaku


pelanggaran HAM berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

Menurut Jean Pictet, dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang
berlaku secara umum yaitu :
1. Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu
mempunyai hak untuk dihormati jiwanya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-
atribut yang tidak dapat dipisahkan dari personalitasnya;
2. Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap
individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis
kelamin, ras, suku, agama, bangsa, status social, dan lain sebagainya;
3. Principle of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu berhak
untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya;
4. Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
menikmati kebebasan individual;
5. Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan.
Apabila dilihat dalam prinsip dalam UDHR menurut Jean Pictet, dimana pada prinsip ke
tiga yaitu Principle of security itu berisikan suatu prinsip yang menyatakan bahwa setiap
individu berhak untuk mendapatkan perindungan keamanan dan seseorang tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas suatu perbuatan yang tidak dilakukannya, jadi dimana HAK
Pelaku masih ada sebelum perbuatan pelaku tersebut dibuktikan dalam persidangan HAM.
Dimana dalam UDHR sendiri mengatur tentang perlindungan HAM Pelaku, yaitu:

12
Article 11
(1) Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved
guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary
for his defence (Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran
hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam
suatu pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan
untuk pembelaannya).
(2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which
did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it
was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable
at the time the penal offence was committed (Tidak seorangpun boleh dipersalahkan
melakukan pelnggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan
suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika
perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuma lebih
beruat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika penggaran hukum itu
dilakukan).
Selain prinsip universal, perlindungan terhadap pelaku pelanggaran HAM juga diatur
dalam asas yang dianut dalam KUHAP sebagai dasar hukum formil dalam berperkara, namun
ada beberapa hal yang di khususkan dalam perkara HAM yaitu diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tapi selain yang diatur dalam
Undang-Undang tersebut tetap menggunakan KUHAP. Adapun asas yang melindungi pelaku
perkara HAM adalah:
Asas Praduga Tak Bersalah “persumtion of inno- cent” tedapat dalam penjelasan umum
butir 3 huruf c KUHAP dan Pasal 8 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Dimana asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditaham, dituntut dana tau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menjatakan kesalahannya dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Problem Task

Penuntasan Kasus Salah Tangkap


Dalam Kasus Tersebut menceritakan tentang korban salah tangkap yang diiringi
dengan penyiksaan, dimana korban mengalami beberapa pelanggaran hak antara lain bebas
13
dari segala bentuk penyiksaan, perlakuan dan penghukuman secara keji yang merendahkan
martabat manusia.
Jadi dalam kasus tersebut, kelompok kami sangat tidak setuju atau sependapat dengan
perlakuan yang dilakukan oleh para pihak yang tidak mengindahkan aturan-aturan hukum
yang ada untuk melindungi seseorang yang baru dianggap sebagai pelaku, namu sebenarnya
belumtentu bahwa ia pelakunya.
Bila dilihat dari beberapa instrument seperti DUHAM, sudah dijelaskan juga di atas
bahwa dijelaskan dalam article 11 Universal Declaration of Human Rights, dimana intinya
pelaku kejahatan pun masih memiliki hak untuk dianggap sebagai orang yang tidak bersalah
sampai ada bukti atau putusan yang inkrah yang menyatakan bahwa orang tersebut benar-
benar bersalah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), diatur dimana
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hokum” itu memiliki makna, kitajuga harus disamakan
hak nya dengan manusia lainnya, biarpun diduga melakukan kejahatan, namun seharusnya
tidak ada pendiskriminasian dengan orang yang diduga melakukan kejahatan tersebut, baru
diduga belum tentu pelakunya adalahorang tersebut, maka dalam Asas dalam KUHAP
berisikan akan asas Praduga Tak Bersalah. Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU no 2Tahun
2002 tentang Kepolisian, dimana bertuliskan:
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan
dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hokum;
b. Selaras dengan kewajiban hokum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
Dalam undang-undang kepolsian pun mengatur tentang hal yang dapat dilakukan bila
sedang bertugas, dan tetap menghormati Hak Asasi Manusia, jadi bila kita lihat problem task
tersebut sudah sangat kontra sekali dengan Undang-Undang kepolisian tersebut.
Melihat kata menghormati HAK asasi manusia, dimana pada Pasal 4 UU no 39 tahun
1999 tentang HAM ini Berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapa pun”.
14
Dan Pada Pasal 17 berbunyi “Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara
pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh
hakim yang jujur dan adil untuk memperleh putusan yang adil dan benar”.
Jadi seharusnya sebagai Instansi yang mendukung HAM seharusnya memperlakukan
Pelaku dengan menjamin HAM nya juga, sehingga tidak timbul kata-kata kekerasan dalam
instansi baik dalam pelakukan penyelidikan maupaun penyidikan terhadap pelalu, karena
pelaku juga punya HAM.

15

Anda mungkin juga menyukai