Anda di halaman 1dari 66

Penerjemah:

Fahri Salam

Kisah
Pedagang Buku
yang tewas di bagdad:
Belajar dari para maestro nonfiksi
Kisah Pedagang Buku
yang Tewas di Bagdad:

Penyusun:
Fahri Salam
Kisah Penjual Buku yang Tewas di Bagdad:

© Fahri Salam, 2018

Pemeriksa aksara: Margareth Ratih Fernandez


Desain sampul & penata letak: Mohammad Sadam Husaen

iii + 61 halaman
13 x 20 cm

Diterbitkan oleh

Drono Gang Elang 6E Nomor 8


Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
D.I. Yogyakarta 55581
f: Buku Mojok | t: @bukumojok | IG: @bukumojok

Buku ini tidak diperjualbelikan


Daftar Isi

Mari Berkenalan dengan Pamela Colloff - Lyz Lenz ~1

Potret Hemingway – Lillian Ross ~15

Mari Mati Bareng – David Samuels ~23

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad - Anthony

Shadid ~39

Proses Prosa Wright - Joanna Cattanach ~47

______

Artikel-artikel dalam buku saku ini diterjemahkan Fahri Salam, editor di


Tirto.id, dan pernah dirilis di blog pribadinya. Twitter: @fahrisalam
Mari Berkenalan dengan
Pamela Colloff, Penulis yang
Bagusnya Brengsek Banget
di Texas

“Cuma segelintir penulis unik seperti Pam. Dalam


segala aspek pada bisnis ini, ia seperti Unicorn—
diburu oleh Chupacabra, dilahap oleh Bigfoot.”

Oleh Lyz Lenz

P AMELA COLLOFF, yang baru lulus dan tak punya kerjaan,


pergi dari New York bersama temannya, Margaret Brown, pada
1994 dengan Volvo butut tanpa tujuan pasti. Mereka bokek dan ingin
mengisi hidup sepenuhnya dengan petualangan dan seni. Pada akh-
irnya mereka berkelana ke Austin, Texas—negara bagian terbesar
kedua di daratan utama Amerika Serikat yang berbatasan dengan
Meksiko.

1 Fahri Salam
Rencananya, mereka cuma sebentar, tapi Colloff malah tidak
ingin beranjak. Sewa rumah di sana murah, cuma 300 dolar AS
sebulan, dan kondisi ini bikin dia punya waktu menulis.
Dan ada perihal lain: Texas membuat hatinya kepincut.
“Setelah aku tiba ke sini, aku selalu punya banyak ide. Kupikir
karena ini berbeda dan segalanya serba baru, aku jadi punya banyak
ide menulis,” ujarnya.
Di sinilah, di rumah yang serba kebetulan, di luar pusat media
tradisional di AS, Colloff menemukan panggilannya dan mem-
bangun sebuah dinasti.
Direkrut oleh Texas Monthly sebagai penulis pada 1997,
ia kini menjadi redaktur eksekutif dan salah satu arsitek yang
memimpin majalah tersebut menatah reputasi nasional dalam
laporan kriminal mendalam dan feature panjang. Di era yang ser-
ba tergesa-gesa, ketekunannya dalam investigasi, wawancara, dan
menyingkap karakter membuatnya diganjar enam nominasi Nation-
al Magazine Awards, lebih dari penulis perempuan dalam sejarah
penghargaan tersebut. (Ia menang satu kali.)
Akan tetapi, majalah tempatnya bekerja selama 20 tahun itu
kini dalam masa perubahan. Dalam satu wawancara untuk tulisan
ini, redaktur baru Texas Monthly berencana mengubah fokus ma-
jalah pada liputan ‘gaya hidup’. Rencana ini menuai protes dari para
pembaca setia, lalu belakangan editornya mengklarifikasi bahwa
liputan perjalanan serta kuliner tetap ada, begitupun laporan politik
dan narasi.
Dari kisah nyata kriminal hingga sejarah lisan maupun tokoh
politik, cerita memikatnya memahat reputasi Colloff sebagai jago-
an jurnalisme sastrawi. Tulisannya matang dalam reportase, tajam
dalam eksekusi, dan kaya dalam plot dan karakter, yang dibangun
lewat naluri tingkat tinggi. Para wartawan dan pembaca sama-sama
menanti cerita barunya. Akan tetapi kekuatan Colloff bukan sekadar
tulisannya, melainkan komunitas yang dibentuknya.
Para penulis yang dibimbingnya menerbitkan buku pe-
menang penghargaan—karya mereka termuat dalam antologi Best
American Sports Writing dan Best Food Writings, serta muncul di
majalah prestisius macam The Atlantic dan Wired.
“Dia tipe penulis yang segera berpaling ke kamu tiap kamu
butuh bantuan,” ujar Jake Silverstein, redaktur New York Times

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 2


Magazine dan mantan redaktur Texas Monthly. Silverstein meng-
utarakan banyak penulis yang rutin meminta Colloff sebagai teman
curhat selagi mereka mengembangkan ide dan bentuk tulisan.
“Kebanyakan orang tahu Pam sebagai penulis jempolan, tapi
sedikit yang menyadarinya betapa penting dia sebagai sumber
sumbangsih saran editorial ke ruang redaksi,” tambah Evan Smith,
CEO dan pendiri Texas Tribune serta mantan presiden dan
pemimpin redaksi Texas Monthly. “Pam tak pernah lupa bahwa dia
dulu pernah jadi penulis pemula.”
Colloff sendiri mengecilkan perannya sebagai mentor; ia ber-
kata para kolega saling belajar satu sama lain. Namun, pengaruhnya
tak dapat disangkal: Banyak penulis, baik di Texas Monthly maupun
di mana pun, menyebutnya sebagai mentor yang berpengaruh dan
dicintai, termasuk oleh Nicholas Jackson, pemimpin redaksi Pacific
Standard yang pernah magang di Texas Monthly pada 2009 dan
menyebut Colloff sangat membantu sepanjang kariernya.
Pengaruh Colloff juga mamahat warisan Texas Monthly.
Michael Levy, yang bekerja sebagai sopir taksi dan sipir Penjara
Dallas County, mendirikan majalah itu pada 1973 saat berusia 27
tahun. Bersama redaktur pendiri Bill Broyles, wartawan dan penulis
skenario, mereka membangun warisan jurnalisme investigatif dan
apa yang disebut Silverstein sebagai “jurnalisme naratif.” Pada awal
majalah itu berdiri, para penulis bekerja bersama orang berbakat
macam wartawan dan penulis skenario Gary Cartwright dan
pengarang Jan Reid.
“Kini,” ujar Silverstein, “mereka bekerja bersama Pam.”

COLLOFF, 45 tahun, besar di New York City. Ibunya pengacara


dan almarhum ayahnya bekerja untuk CBS sebagai manajer umum
cabang New York City sesudah tugas singkat dalam politik. Ia murid
yang baik dan jatuh cinta pada menulis saat SMA setelah Allen Gins-
berg—salah satu figur penting Generasi Beat—datang ke sekolah un-
tuk membacakan cerita.
Ia meyakinkan cowok tampan yang ia kenal buat bertanya
kepada Ginsberg apakah bisa diwawancara demi tugas sekolah.
Ginsberg bersedia dan Colloff ketagihan. Dalam satu wawancara
dengan Nieman Storyboard, Colloff mengingat, “Aku suka iseng
kamu bisa omong ke orang-orang kalau kamu wartawan—sekali-
pun kamu bukan wartawan sama sekali—dan karena omong begitu,

3 Fahri Salam
kamu diizinkan mendekati siapa pun dan bertanya pada mereka se-
banyak apa pun.”
Setelah SMA, ia kuliah di Brown University, berniat
mengambil jurusan jurnalisme. Namun, di sana ia menemui
masalah: Brown, yang jadi almamater ayahnya, tak punya jurusan
yang dimaksud. Tanpa ragu-ragu, Colloff merancang kurikulum
sendiri lewat kelas belajar dan pengalaman praktis mandiri.
Ia mulai menulis untuk majalah alternatif yang kini sudah
gulung tikar. Cerita perdananya mengenai kelompok persaudaraan
yang mengajak para cewek teler dan, sebagaimana ia ceritakan ke-
pada Tribeza, merekam “melakukan pelbagai adegan seksual dan
lantas menyebarkan kaset videonya.”
“Aku pergi ke kantor surat kabar dengan membawa cerita
itu,” ujarnya, “dan pada dasarnya belajar bagaimana melaporkan
sebuah cerita investigatif dari lapangan.”
Laporan itu dibeli oleh Associated Press. Colloff menyaksikan
bagaimana reportasenya berdampak pada kebijakan kampus. Dalam
satu wawancara, Colloff mengingat masa awal kariernya, “Sangat
memuaskan rasanya menyadari aku bisa melaporkan sesuatu dan
mengubah keadaan lewat kata-kata yang kutulis.”
Kemudian tibalah kelulusan dan berkelana bersama Austin.
Malam pertama di kota, Colloff dan sobatnya Margaret Brown
mendatangi sebuah kelab yang dinamakan Electric Lounge, tempat
salah satu teman Brown bermain untuk sebuah band rock. Teman
itu bernama Chad Nichols, yang kelak jadi suami Colloff. Pernikahan
mereka pada 2005 diumumkan dalam catatan ringan The New York
Times:
Mereka seketika saling nyantol satu sama lain. Bagi
Tuan Nichols, itu sebuah “epifani’—penampakan
benderang. Nyonya Colloff berkata momen epifani
itu tiba saat subuh hari ketika mereka ngobrol dan
menyadari ada sebuah novel di dasbor pikapnya.
Colloff berkata kepada Times: “Dia membaca Our
Lady of the Flowers – Jean Genet, dan dia mengendarai
pikap. … Sebuah kombinasi maut.”

COLLOFF MEMUTUSKAN MENETAP. Ia segera melihat Texas


Monthly sebagai peluangnya berkarier dan mengirimkan ide cerita

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 4


selama berbulan-bulan—gagasan tulisan yang tak diingatnya—tanpa
respons memuaskan. Pada akhirnya ia menerima penugasan dari
majalah Details yang kini sudah gulung tikar.
Artikel itu mengenai ada orang mencari tambahan uang
sebagai subjek percobaan obat-obatan dari perusahaan farmasi di
Austin. Sebagai bekal riset, Colloff menyodorkan diri sebagai subjek
percobaan itu dan langsung memicu reaksi senewen dari salah satu
obat—seperti diingatnya—“bikin aku menderita berat tetapi bagus
banget buat diolah sebagai cerita.” Sesudah laporan itu dirilis, Evan
Smith (saat itu redaktur Texas Monthly) memanggilnya ke kantor
dan menawarinya sebagai staf.
Smith mengenang bagaimana ia merekrut Colloff dengan
pendekatan agak berbeda. Pada 1995, selagi cuti orang tua, Smith
pulang ke rumah dengan putrinya, memilah-milah tumpukan surat.
Ia membuka sebuah surat bernada dingin yang mengajukan ide
liputan dari penulis muda, Pam Colloff. Ia seketika terkesan dengan
kedalaman pengetahuan si Penulis atas subjek yang ingin ditulisnya.
“Itu surat pengajuan tulisan terbaik yang pernah kuterima,”
kenang Smith.
“Kisahnya tentang sebuah wilayah di Texas Selatan, tempat
Peyote—sebuah jenis kaktus—yang kebetulan atau disengaja bisa di-
panen secara legal. Kami sudah menurunkan artikel mengenai topik
ini beberapa tahun sebelumnya. Namun, aku terkesan pada kedalaman
detail dan pengetahuannya untuk ide tulisan tersebut. Sangat jelas
ia sudah mengunjungi tempat itu dan memiliki data statistik. Aku
bilang ‘Tidak’ pada ide tulisannya dan ‘Ya’ pada Pam.”
Smith memanggil Colloff dan bertanya apakah punya ide
tulisan lain. Colloff bilang “Ya”—sebuah laporan soal program Lapas
dari kementerian yang dijalankan oleh Chuck Colson, mantan
penasihat khusus Presiden Nixon. Beberapa bulan kemudian, Smith
merekrutnya sebagai penulis staf.
Ia menjelaskan, “Kami bahkan enggak punya cukup uang
saat itu buat membayar penulis baru, tetapi kamu tidak akan
mendapatkan penulis seperti Pam setiap hari. Dia benar-benar unik.
Dalam segala aspek yang sangat jarang dimiliki dalam bisnis ini, dia
seperti Unicorn, diburu oleh Chupacabra—makhluk pengisap darah
ternak—dan dilahap oleh Bigfoot—makhluk legendaris raksasa. Dia
sosok yang menakjubkan dalam segala hal.”

5 Fahri Salam
Smith percaya, betapapun ide tulisan Colloff tersembunyi
entah di mana dalam tumpukan berkas, laporan-laporannya yang
terbit telah memancarkan warisan abadi. Meski ditawari oleh pel-
bagai majalah di seantero negeri, Colloff tetap bertahan di Texas
Monthly selama 20 tahun. Ia dan Nichols telah menikah. Nichols
bekerja sebagai korektor di Springbox, agensi pemasaran digital di
Austin, dan tetap bermain untuk sebuah band bernama “The Trans-
gressors.” Mereka dikaruniai dua anak, berumur 9 dan 5 tahun, yang
main kejar-kejaran seraya berteriak, “Ingatlah Alamo! Ingatlah
Goliad!”—merujuk pertempuran dan pembantaian dalam sejarah
Revolusi Texas pada abad 19.
Menulis di Texas punya tantangan yang unik, terutama
keragaman politik pembacanya. Majalah itu memiliki 300.000
pelanggan dan lebih dari 1,5 juta page views saban bulan. Colloff
menjelaskan, karena Texas adalah “red state”—kawasan pemilih Re-
publik—maka lebih banyak pelanggan cetak dari kalangan konservatif
ketimbang pembaca online yang bisa datang dari seluruh kawasan
AS.
“Karena itu, dari yang kubaca, situasi itu menimbulkan
banyak asumsi soal pandangan politik pembaca,” ujar Colloff.
“Jika aku menulis tentang pernikahan LGBT, aku sadar ketika aku
menulisnya ada sekelompok besar pembaca yang tak suka dengan
tulisan tersebut.
“Berusaha meraih pembaca yang beragam, kupikir, bikin
tulisanmu lebih baik. Bukan berarti asumsi itu adalah modal bagus
buatku sendiri sebagai penulis.”

RAHASIA MERENGKUH SEMUA KHALAYAK, demikian keyakinan


Colloff, terletak pada cerita. Ia berfokus pada aspek mendasar
manusia, sesuatu yang setiap orang bisa menelaahnya—seorang
ibu menjemput putrinya dari sekolah, seorang pegawai negeri yang
bekerja sebaik mungkin.
“Di sanalah awalnya: kisah yang mampu melibatkan manu-
sia, lalu aku memulainya dengan menempatkan nada berbeda atau
menyisipkan sudut pandang yang tajam.”
Colloff adalah pendongeng; nalurinya digerakkan untuk
mengisahkan cerita dengan memancang tujuan dan makna, tanpa
membobotinya dengan pesan moral.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 6


“Aku lebih tertarik menyingkap cerita yang menyimpan per-
tanyaan-pertanyaan berbobot—tentang kekerasan senjata, sistem
peradilan pidana, ketimpangan sosial—yang bergema melampaui
fakta-fakta pada kasus khusus yang kutulis,” jelas Colloff.
Smith menambahkan, “Pam selalu memiliki pemahaman
naluriah mengenai apa itu jurnalisme, yang tak cuma memberi tahu
kepada orang-orang apa yang perlu mereka ketahui, tetapi menga-
takan apa yang tidak diketahui yang seharusya orang ketahui. Dan
ia mengawalinya dengan kisah yang menakjubkan. Pam adalah pen-
cerita ulung.”
Sewaktu mereka masih kerja bareng, Silverstein menyebut
Colloff “Si P yang Gigih” karena dia salah satu reporter paling berse-
mangat, tekun, dan cermat yang pernah ia temui. “Dia membaca
setiap transkrip pengadilan, biasanya bahkan sebelum dia menga-
jukan usulan cerita,” ujar Silverstein. “Dan, di balik sikap lembut
dan sopan santunnya, dia adalah reporter gigih dan agresif, yang
menyiapkan cerita luar biasa yang didorong oleh tujuan moral.”
Colloff tahu ia memetik cerita selagi memikirkannya
seraya menggosok gigi atau mencuci piring. “Ketika sebuah cerita
mengikutimu, kamu tahu tibalah waktunya cerita tersebut ditutur-
kan,” ujarnya.
Akan tetapi ia takkan buru-buru menelepon narasumber.
Colloff melacak cerita selama bertahun-tahun, menyaksikan
sidang-sidang pengadilan dan gugatan banding, menunggu wak-
tu yang tepat untuk ditulis. Colloff bisa melakukan hal semacam
ini karena sebagian faktornya Texas Monthly mengizinkannya
mengolah cerita bak kita menikmati secangkir kopi di teras rumah—
mencecap pelan-pelan sembari menikmati angin sore.
Dedikasi pada cerita itulah yang jadi salah satu sandaran
Colloff mengapa ia tak pernah memulai sebuah tulisan dari dirinya
sendiri. Ia lebih suka menyimpan suaranya teredam lewat tindakan
narator. Hasilnya, suara penulis seringkali amat dekat dengan narasi
cerita, sehingga secara mulus menyelinap ke sudut pandang subjek,
mengungkap detail dan potongan cerita memilukan, seringkali tan-
pa disela tanda petik frasa atau kalimat.
Hal itu bisa kita baca lewat “The Reckoning,” profil tentang
Claire Wilson yang terluka dan kehilangan tunangan dan bayi dalam
kandungan pada peristiwa penembakan Menara Universitas Texas
pada 1966. Saat menulis Wilson kehilangan jabang bayi, Colloff

7 Fahri Salam
menuturkan: “Tanpa kesempatan memomong buah hati dalam
pelukan, Claire tak tahu caranya berduka atas kehilangan itu; ia be-
lum memutuskan sebuah nama, dan ia merasakan kehilangan itu
bak niskala—abstraksi; raut mukanya sulit dikenali.”
Tulisan Colloff membangkitkan perasaan Wilson melebihi
untaian kata, menyelinap ke dalam pikiran dan sanubari subjek.
Kisahnya punya kualitas sinema—suatu pendekatan yang takkan
mengejutkan mengingat sampai kematian ayahnya pada 1992, sang
Ayah bekerja di kantor berita televisi. Kepiawaian mamahat kata ke
dalam visual terdapat dalam darah Colloff.
Colloff menyebut gaya tulisannya yang tajam dan minimalis
berkat mentor dan koleganya, Skip Hollandsworth, redaktur
eksekutif Texas Monthly yang juga menulis beberapa skenario film.
Colloff mengingat sekali waktu Hollandsworth menyarankannya
membuang kutipan dari draf cerita. Hollandsworth menyangkal
pernah memberi saran semacam itu. “Apa pun yang aku bilang ke-
pada Pam, ia selalu mengabaikan,” Hollandsworth tertawa. “Dia
memang pada dasarnya punya kepekaan naluriah dan sempurna
bagaimana sebuah cerita dituturkan.”

SEWAKTU DUDUK UNTUK MENULIS, Pamela Colloff mengatur


catatan ke dalam apa yang disebutnya “Metode Skip Hollandsworth.”
Ia mengambil segala apa pun dari risetnya selama berbulan-bulan—
kutipan, nukilan dari surat kabar, observasi, dan catatan—lalu men-
yalinnya ke dalam satu dokumen Word. Dokumen inilah yang jadi
basis seluruh cerita.
Cara menyusun seperti itu nyaris sebagai bentuk sinematik—
menempatkan semua suara dan adegan dan kemudian memintalnya
ke dalam benang narasi. Salah satu ceritanya, “96 Minutes”, disadur
menjadi film dokumenter berjudul Tower (2016). Adegan-adegan
dari ceritanya terus nempel di kening pembaca selama berta-
hun-tahun.
Dalam “Flesh and Blood,” kisah pasangan muda yang
mendalangi pembunuhan keluarga dan membakar rumah dan
meninggalkan mayat, ada sebuah momen ketika sang Ayah kembali
ke puing-puing rumah dan menyadari reruntuhan kehidupan masa
lalunya—mobil Hot Wheels; secangkir keramik yang pecah;
gesper sabuk berbentuk tapal kuda milik anaknya sebagai kado
Natal. Momen ini menggugah, penuh detail yang menuntut kejelian
penulis menghimpun dan melaporkan peristiwa.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 8


Sentuhan minor Colloff pada adegan cerita mewujud lewat
suara si Subjek, sang Karakter, tanpa ada pengimbuhan. Holland-
sworth mencatat, Colloff tak pernah merasa perlu mendramatisasi,
“Dia membiarkan ceritanya bergerak sendiri. Dia tak perlu menam-
bahkan apa pun.”
Colloff mendekati sejarah lisan dengan sentuhan tipis yang
sama—misalnya pada “96 Minutes” dan “Dreaming of Her,” kisah
tentang pembunuhan Selena Quintanilla Perez. Ia menenun suara
para saksi ke dalam plot sempurna, dengan naik-turun adegan,
tindakan, dan penyelesaian. Proses ini menuntut berbulan-bulan
wawancara, riset, dan penulisan secara ekstensif, serta cek fakta
yang melelahkan. (Ia berkata setiap cerita ditulis dengan amat cer-
mat.)
Hollandsworth menuturkan, Colloff bisa sangat mudah me-
masuki hati dan pikiran subjek karena ia pendengar yang sangat
sabaran. “Dia tinggal mendengarkan dan membiarkan orang ber-
gantung padanya.” Colloff pribadi yang menyenangkan dan siap
ketawa kapan pun.
Dan, jalinan seperti ini dibangun olehnya bertahun-tahun
dengan para narasumbernya.

JIKA ORANG MENGABAIKAN TELEPONNYA, ia mengirim surat.


Jika sudah bertemu dengan narasumber, ia siap meladeninya den-
gan wawancara si Subjek dan menjaga hubungan hangat ini bahkan
sekalipun di luar urusan pekerjaan.
Colloff berkata ia mewawancarai narasumber yang segera
bikin mereka terpikat, lalu ia mengerahkan kemampuan terbaiknya
demi jerat pukau macam ini. Ia mengajak makan malam dengan
keluarga narasumber, jalan bareng dengan mereka, dan membaca
ribuan halaman berkas pengadilan.
Intimasi ini mengakar dalam kekuatan narasinya. Dalam
satu cerita berjudul “The Witness,” profil tentang Michelle Lyons
yang menyaksikan 278 eksekusi mati di negara bagian Texas, Colloff
mendiami memori Lyons.
Ia masih mengingat ibunda Ricky McGinn, perempuan
sepuh yang menghadiri eksekusi putranya dengan mengenakan
gaun kembang dan mutiara. Michelle tak pernah lupa melihat si
Ibu berusaha bangkit dari kursi roda sehingga bisa menyaksikan

9 Fahri Salam
lewat kaca besar yang memisahkannya dari bilik hukuman mati. Di
seberangnya, terbaring putranya, yang dihukum mati karena me-
merkosa dan membunuh gadis berusia dua belas tahun. McGinn
terbaring telentang, tubuhnya dilintangi pengikat tali kulit, dan
bebat infus menempel kedua lengannya. Si Perempuan Tua itu, tangan
keriputnya mencengkeram gelas kuat-kuat, menyaksikan dengan
saksama tubuh putranya perlahan mengendur. Michelle memikir-
kan si Ibu saat berangkat kerja pagi itu. Tatkala cakrawala Houston
tersibak di depannya, ia menyadari wajahnya basah oleh air mata.
“Aku tak punya trik apa pun,” ujar Colloff. “Aku hanya be-
rusaha jadi orang yang menyenangkan dan berharap hal itu bisa
bekerja.”
Colloff tetap membuka pintu dialog terjalin dengan para
narasumber sekalipun ceritanya sudah tuntas ditulis. Hasilnya,
sumber datang kembali dan berbagi cerita dengannya.
Claire Wilson, subjek dari artikel “The Reckoning” juga
muncul dalam “96 Minutes.” Michelle Lyons telah jadi salah satu
sumber bagi para penulis di majalah itu selama lebih dari satu dekade.
Mereka ngobrol pada satu hari dan Lyons berkata kepada Colloff bah-
wa ia terganggu pada beberapa eksekusi mati yang ia saksikan, bagian
dari pekerjaannya. Komentar itu berbuah sebuah feature yang men-
jadi nominasi kelima Colloff dalam National Magazine Awards.
Hubungan Colloff dan para narasumbernya adalah warisan
dari kemampuannya sebagai pewawancara. Untuk persiapan wawancara,
ia berkata “ia mengemas segalanya dengan matang”—melakukan riset
dan menyusun daftar pertanyaan.
Namun, sewaktu wawancara berjalan, ia hanya sesekali melihat
daftar itu cuma untuk memastikan tak ada pertanyaan satu pun yang
terlewat.
“Wawancara yang baik adalah suatu percakapan,” catat Colloff.
“Bukanlah interogasi, yang membuat kamu berusaha menggali sesuatu
dengan mengajukan tuduhan.”
Ia tak suka memakai alat perekam; alih-alih cuma mendengar-
kan. Usai wawancara, ia akan merekam apa yang diingatnya dari
percakapan tadi.
Meski begitu, ujar Hollandsworth, pastilah ada satu daftar
pengacara distrik yang menyesal telah mengobrol dengan Colloff: “Dia
pendengar yang baik. Kamu ingin menceritakan semua kepadanya.”

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 10


Itu benar belaka. Aku belajar langsung selagi berusaha me-
wawancarainya untuk tulisan ini. Colloff menyiapkan temu wawancara
ini dengan membaca artikelku dan bertanya tentang tulisanku dan
keluargaku. Pada akhir obrolan, ia bisa dengan gampang menulis
profilku. Itulah sihirnya.
Salah satu cerita paling menonjol mengenai seorang sumber
yang membuka diri kepada Colloff selama penelitiannya tatakla ia
menggarap laporan naratif “Unholy Act,” kisah tentang kasus tak
terpecahkan dan seorang pendeta yang menyimpan rahasia gelap.
Ia muncul di ambang pintu John Feit, tertuduh pembunuh yang ogah
menjawab telepon dan suratnya. Ia mengakiri ceritanya dengan kalimat
mengerikan sebagai respons atas satu permintaan wawancara:
Dia mematung sejenak di sana, seolah merenungkan
apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ada banyak
hal yang bisa dia katakan bahwa dia tidak melakukan-
nya: Bahwa dia tidak bersalah; bahwa pembunuhan
Irene adalah suatu kejahatan tak berperikemanusiaan;
bahwa dia bosan dengan orang asing yang mengetuk
pintunya, menanyakan tentang hal-hal mengerikan
yang kejadiannya sudah berselang lama. Sebagai
gantinya, dia malah mengatakan sesuatu yang akan
saya pikirkan berkali-kali pada minggu-minggu men-
datang.
“Spekulasi itu menggelitikku,” ujarnya. Lalu dia ber-
balik untuk menutup pintu, menambahkan, “Semoga
Tuhan memberkatimu, sayangku.”
Cerita itu juga jadi segelintir tulisan Colloff menyisipkan
dirinya ke dalam laporannya. Saat itu, katanya menjelaskan,
“Tak ada cara lain yang lebih baik dari itu.” John Feit ditangkap tahun
lalu.
Kemampuan gaib Colloff mendorong sumber mau terbuka
bukan berarti tulisannya sekonyong-konyong bisa berhasil. Colloff
menjauhi cerita ketika ia gagal mendapatkan detail yang ia butuh-
kan, sumbernya tak kunjung datang atau menolak bicara.
“Terkadang kamu tinggal mengisi lubang cerita, dan itu bikin
ceritanya makin menarik; tapi terkadang kamu tak bisa dan kamu
harus berlalu pergi,” katanya.
Sekali pernah ia membuang cerita yang kini terkenal
mengenai Cameron Todd Willingham, korban sala h t a n g k a p

11 Fahri Salam
t e r pidana mati atas tuduhan kejahatan membunuh istri dan anak-
nya. Ia kalah gesit dengan David Grann. “Grann menulis kisah itu
luar biasa,” ujar Colloff. “Aku tidak marah.” (Tulisan Grann tentang
kisah hidup Willingham berjudul “Trial by Fire” termuat dalam
antologi The Devil & Sherlock Holmes.)
Sosok yang sangat berpengaruh pada tulisan Colloff adalah
karib dan sejawatnya, Kate Rodemann, yang bekerja sebagai wakil
pemimpin redaksi Texas Monthly. Rodemann mengajari Colloff
menahan diri dari menyisipkan suara editorial dalam tulisannya
dan, sebaliknya, menulis dengan cara simpel dan metodis sesuai
fakta.
Colloff menjelaskannya ketika tahun 2010 ia menulis tentang
Anthony Graves, yang keliru didakwa atas pembunuhan enam
anggota keluarga di Somerville, Texas, dan dijatuhi hukuman mati.
Saat menulis kisah itu, Colloff dongkol atas fakta-fakta pada kasus
tersebut, dan draf awal tulisannya berlumur kemarahan moral.
“Kate bekerja denganku untuk membuang emosi dan, karena
itu, membuat naskah tersebut jauh lebih bertenaga dan meyakinkan.
Sarannya, jika aku hanya menyuguhkan fakta-fakta pada kasus itu
dan tidak menyelipkan suara editorial, dan menyajikan kepada pem-
baca apa yang mereka pikirkan, kesimpulannya akan sama—bahwa
Anthony tak bersalah. Namun, karena para pembaca dituntun untuk
menjalin potongan-potongan kisah dan dirancang untuk mencapai
kesimpulan itu di kepalanya sendiri, mereka akan semakin terperangah
dibuatnya.”
Baru-baru ini fokus Colloff bergeser dari kisah kriminal ke
cerita yang menggambarkan dampak politik nasional terhadap ke-
hidupan personal, meski moral dari cerita dan fokus yang digalinya
tetaplah sama. Ia menjelaskan, contoh terbaik dari seni bercerita
yang terus ia pancang adalah sebuah film dokumenter The Thin Blue
Line (1988)—dipuji sebagai salah satu karya sinema politis yang
signifikan secara kultural, historis, dan estetis.
“Film itu secara visual memikat dan sangat menggugah, dan
setiap aspeknya adalah karya naratif terbaik. Namun, inti kekuatan-
nya adalah sebuah karya jurnalisme investigasi yang brilian. Ia men-
ciptakan ketidakadilan yang menyeramkan,” ujar Colloff.
Colloff menghabiskan sebagian besar kariernya untuk jurnalisme
naratif (longform journalism). Bahkan proyek belajar mandirinya di
Brown pun menghasilkan artikel 4.000 kata, yang menyuguhkan

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 12


profil penanda kota di seputar Rhode Island. Terlepas dari latar
belakangnya, Colloff tak meremehkan cerita pendek.
“Menggali cerita dengan cepat dan melaporkan dengan se-
ketika juga penting, tetapi aku kira kamu takkan cukup cuma begitu.
Kamu harus punya beberapa cerita yang dilaporkan lebih mendalam.
Meski begitu, tak ada yang tahu bagaimana hal itu seketika mungkin
dilakukan.”
Agaknya kini Texas Monthly telah memecahkan misteri.
Hollandsworth menjelaskan, majalah ini dibangun dengan
warisan kisah yang kaya. “Orang kadang berpikir Texas itu edan,
dan cerita-cerita kriminal terjadi begitu saja di sini. Tetapi aku tak
berpikir demikian. Kisah kejahatan terjadi di mana pun di dunia—mau
di tempat seperti Oklahoma, misalnya. Tapi tak ada yang namanya
‘Oklahoma Monthly’ untuk meliputnya.” Ia diam sejenak. “Mengapa?
Well, itu di luar kuasaku, kukira.”
Sebagian jawabannya karena Emmis Communications men-
gucurkan duit buat laporan-laporan mendalam nan panjang.
Penjualan majalah ini pada 2016—dari Emmis ke firma ekuitas
Genesis Park LP yang berbasis di Houston—menandakan masa depan
Texas Monthly, sebagai oasis di tengah gurun, agak suram. Meski
begitu, editor baru Tim Taliaferro dalam satu wawancara mengatakan
Colloff akan tetap menjadi jantung ruang redaksi: “Kami semua
mengandalkannya.”
Beberapa hari kemudian, ia menambahkan: “Izinkan saya
juga berkata bahwa saya berkomitmen meliput isu politik,
sebagaimana Texas Monthly telah melakukannya sejak ia berdiri,
dan menjunjung tradisi jurnalisme naratif.”
Sementara bagi Colloff, ia berkata, ia tengah mempertimbang-
kan proyek menulis buku utuh, tetapi topik yang ia siapkan belum
mantap benar. Selagi begitu, ia tengah mengerjakan sebuah cerita
besar yang membuatnya bergairah, tetapi hanya itu yang bisa ia bagi
kepada kita.*

______
Artikel ini diterjemahkan dari “How Pamela Colloff became the best damn
writer in Texas”, dirilis Columbia Journalism Review pada 24 Februari 2017

13 Fahri Salam
Lyz Lenz tinggal di Iowa, redaktur pelaksana The Rumpus. Tulisannya
terbit di Pacific Standard, Marie Claire, Jezebel, dan The Washington Post.
Twitter: @lyzl
Pamela Colloff sejak Maret 2017 direkrut sebagai reporter senior di Pro-
Publica dan penulis lapangan di The New York Times Magazine. Laporan
perdana di pos barunya itu berjudul “Blood Will Tell”, dipecah menjadi
dua bagian sepanjang 22.000 kata, rilis pada akhir Mei 2018. Twitter: @
pamelacolloff

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 14


Potret Hemingway

Orang-orang meniru cacatnya, mencuri irama


dan ritmenya, dan menyebutnya ‘Mazhab Menulis
Hemingway’.

Oleh Lillian Ross

A
KU BERTEMU ERNEST HEMINGWAY kali pertama di
hari sebelum Natal pada 1947 di Ketchum, Idaho. Saat itu aku
dalam perjalanan pulang menuju New York dari Meksiko, tempat
aku menemui Sidney Franklin, matador dari Brooklyn, untuk kutulis
sosoknya buat rubrik profil di The New Yorker.

15 Fahri Salam
Hemingway sudah lama mengenal Franklin sebagai matador
di Spanyol pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Aku pergi meli-
hat sejumlah corrida—gelanggang pertarungan—bersama Franklin
di Meksiko. Aku mendapati diriku terhenyak dan ketakutan sampai
mati kaku saat menyaksikan untuk kali pertama adu manusia versus
banteng di sebuah arena.
Meski aku mengapresiasi usaha mati-matian matador dengan
jubah merahnya mengalahkan banteng, dan atmosfer seremonial
bersemangat yang menyelimutinya, aku tak begitu jatuh cinta pada
permainan ini. Kupikir yang membuatku tertarik adalah bagaimana
Franklin, putra dari polisi pekerja keras di Flatbush, menjadi seorang
matador.
Sewaktu Franklin berkata Hemingway adalah orang Amerika
pertama yang bicara dengan cerdas tentang adu matador versus ban-
teng, aku menelepon Hemingway di Ketchum. Hemingway menyu-
kai liburan di sana, bermain ski dan berburu, jauh dari rumahnya di
San Francisco de Paula, dekat Havana, Kuba. Ia kemudian membeli
sebuah rumah di Ketchum. Saat kutelepon, Hemingway tengah
menginap di sebuah kabin turis bersama istrinya, Mary, dan
anak-anaknya—John, Patrick, dan Gregory—serta beberapa teman
mancing dia dari Kuba. Ia bermurah hati mengundangku dalam per-
jalanan pulang ke Timur.
Pukul 7 pagi, sesudah kereta tiba, aku melihat Hemingway
di depan kabin turis. Ia berdiri di atas hamparan salju yang keras,
di bawah suhu dingin yang kering minus 10 derajat, beralas sandal
kamar tanpa kaos kaki. Ia mengenakan pantolan western dengan
sabuk Indian bergesper perak dan kaus olahraga tipis berkerah
dengan saku kancing model western. Kumisnya kelabu, tetapi saat
itu dagunya belum bercambang. Dalam pelbagai foto yang dikenang,
Hemingway kelak menampilkan bakat seorang patriark yang me-
mancar keagungan dan inosens—suatu aura yang entah bagaimana
tampaknya tak pernah bertentangan dengan sifat kasarnya.
Pagi itu ia terlihat kasar, kekar, bersemangat, ramah dan baik.
Badanku dilapisi mantel tebal tapi membeku diterpa cuaca dingin.
Sebaliknya Hemingway, saat kutanya, berkata tak merasa kedinginan
sama sekali. Ia seakan memiliki tubuh hangat mengagumkan.
Aku menikmati hari yang indah dengan mengobrol dan belanja
Natal bersama Hemingway dan para sahabatnya.
Mary Hemingway, seperti suaminya, adalah orang yang
hangat dan ramah dan cerdas, serta mampu membawa dirinya be-
gitu apik mengisi peran yang sulit sebagai istri pengarang terkenal.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 16


Mary menikmati hal sama yang dilakukan suaminya, dan bagiku
sendiri terlihat sebagai pasangan sempurna untuk Hemingway.
Segera setelah kunjungan itu, Hemingway menulis dari Kuba
bahwa ia pikir aku orang terakhir di dunia yang cocok mengerjakan
artikel tentang pertarungan matador. Namun, aku terus melaju, dan
akhirnya merampungkan profil Franklin. Setelah editor majalah
menerima naskahku, aku mengirim beberapa pertanyaan kepa-
da Hemingway. Ia membalas dalam sebuah surat dengan jawaban
yang sangat membantu, dan berkata menantikan artikelku dengan
perasaan waswas. The New Yorker akhirnya menerbitkan versi lebih
ringkas dari naskah aslinya. Hemingway dan istrinya, keduanya
pembaca reguler, agaknya menyukai artikelku.
Sewaktu naskah profil Franklin itu terbit, aku menerima surat
tulisan tangan Hemingway dari Villa Aprile, Cortina d’Ampezzo, Italia.
Ia berkata artikelku bagus. Di tengah kehidupannya yang sibuk, ia
mengingat dengan baik apa yang ia ucapkan sebelumnya, dan dengan
murah hati mengoreksinya saat hal itu dirasa penting. Pujian darinya
tegas dan tulus dan dirancang untuk membuat seseorang merasa ten-
teram. Caranya menulis lewat surat, caranya bicara, dengan sendirinya
membuatku merasa baik—begitu segar dan indah.
Ia ramah saat mengobrol, begitu terus terang, enggan menut-
upi gagasan atau pikirannya atau lelucon atas pendapatnya. Ia mun-
gkin saja menyipan perasaan terpendam. Namun, apa pun perasaan
itu, ia berkata dengan kemurahan hati belaka. Ia memberimu ban-
yak wejangan, dan selalu dibumbui kegembiraan dan pemahaman
dan kasih sayang dan sensitivitas tajam. Saat ia bicara, ia begitu hid-
up. Suara dan isi pesannya memendarkan kebebasan.
Pada musim semi 1950, aku menulis profil tentang Hemingway—
sebuah naskah yang simpatik mengisahkan dua hari Hemingway dan
Mary di New York. Aku berusaha mendeskripsikan setepat mungkin
bagaimana Hemingway, yang memiliki keberanian tiada banding,
terlihat dan terdengar saat bertindak dan berbicara, untuk meng-
gambarkan sebagai orang biasa yang unik dengan vitalitas dan
semangat menggebu. Sebelum terbit, aku mengirimkan naskah itu
ke mereka. Mereka mengembalikannya dengan menandai bebera-
pa koreksi. Hemingway berkata profilnya lucu dan bagus, serta
mengusulkan hanya satu deskripsi yang perlu dihapus.

17 Fahri Salam
Namun, sesuatu yang aneh dan misterius menjeratku sesudah
naskah itu terbit. Hal macam ini tak pernah kualami sebelumnya,
atau terjadi sesudahnya. Baik Hemingway maupun editor The New
Yorker tak menyangka naskah profil itu menyulut kontroversi.
Kebanyakan pembaca memperlakukan naskah itu biasa saja,
dan aku percaya mereka menikmatinya dalam cara yang simpel.
Namun, sejumlah pembaca tertentu melontarkan reaksi kasar, dan
dalam cara yang rumit. Di antara mereka, yang sangat membenci
kepribadian Hemingway, menilai aku telah memperolok persona
Hemingway—dan, dengan begitu, aku dianggap sekubu dengan
mereka.
Pembaca lain tak suka saja dengan cara Hemingway bicara
(mereka bahkan keberatan dengan caranya melucu yang terkadang
dilontarkan lewat lelucon bahasa Indian); mereka tidak menyukai
kebebasannya; mereka benci pembawaannya yang santai; mereka
sinis bahwa pengarang paling terkenal ini membuang-buang wak-
tu untuk menonton pertandingan tinju; pergi ke kebun binatang,
mengobrol dengan teman-temannya, pergi memancing, menikmati
waktu bersama teman-teman, dan merayakan bukunya yang bakal
terbit dengan pesta kaviar dan sampanye. Intinya, mereka tak suka
ini dan tak suka itu. Mereka tidak suka Hemingway menjadi
Hemingway.
Mereka ingin Hemingway menjadi orang lain—mungkin
menjadi apa yang dibayangkan oleh mereka sendiri. Dengan begitu,
mereka tiba pada satu kesimpulan bahwa aku seharusnya tak menulis
tentang Hemingway.
Mungkin saja mereka didorong prasangka cupet yang menyedih-
kan bagaimana seharusnya seorang pengarang jagoan bertingkah,
dan boleh jadi prasangka itu berkelabikan dengan kenyataan. Atau,
mereka menyeretku ke dalam sikap penolakan mereka yang sok suci
terhadap Hemingway, dan karena itu mengutukku. Beberapa dari
mereka, dengan pikiran konyol, bahkan menyebut profil yang ku-
tulis itu “kurang ajar.”
Saat Hemingway mendengar semua ini, ia menulis untuk
menenangkanku. Pada 16 Juni 1950, ia menulis aku tak perlu khawatir.
Orang-orang itu cuma ingin buang unek-unek yang ngawur, tulisnya.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 18


Beberapa kali ia menyebut sikap orang-orang itu sebagai
pengganggu. Beberapa orang, katanya, gagal memahami bahwa
seorang pengarang punya cara sendiri menikmati hidup dan enggan
menjadi pribadi yang sangat menakutkan. Mereka―tulis Hemingway―
gagal memahami bahwa ia ingin menjadi pengarang serius tanpa
menjadi sosok yang angkuh.

KEMATIAN MENEMPATKAN PIKIRAN tertentu ke dalam


suatu perspektif. Terhadap orang-orang yang keliru memahami
naskah profilku tentang Hemingway dan membacanya lagi sekarang,
tak sangsi lagi mereka dapat melihatnya untuk apa aku menulis
naskah tersebut.
Saat aku menggarap profil itu, aku berusaha menulis hanya
pada apa yang kulihat dan kudengar. Aku menghindari komentar
atau pendapat atau penilaian pribadi apa pun terhadap tindak-tanduk
Hemingway. Namun, melalui suaraku dan setiap detail dalam seluruh
atmosfer yang kususun, seiring waktu aku meyakini sekarang bah-
wa setiap pembaca bisa menilai perasaanku yang sarat sayang dan
kagum terhadap Hemingway, kendati aku tak mengungkapkan
sudut pandangku secara langsung. Aku menyukai Hemingway apa
adanya, dan aku senang jika profil yang kutulis itu menangkap secara
tepat apa yang dilakukannya selama dua hari di New York.
Di sisi lain, sebagai orang yang masa bodoh pada “peringkat”
karya Hemingway, alih-alih merasa cukup bersyukur dengan me-
nikmati karya yang sudah ia berikan kepada kita, aku mungkin saja
dinilai telah melemparkan sekelumit unek-unek para pengkritiknya
saat membahas tahun-tahun terakhir kehidupan Hemingway dan
apa yang mereka anggap sebagai penurunan kualitas karyanya.
Ejekan mereka: Hemingway seolah membiarkan reputasi-
nya telah menurun, terlebih karena Hemingway menikmati dirinya
sebagai figur publik. Padahal, sebagaimana yang kusaksikan,
Hemingway mengisi hari demi hari dengan menulis sedemikian
keras dan sebaik yang ia bisa, secara heroik dan penuh-seluruh dan
tanpa kompromi, sampai hari kematiannya.
Saat ia letih menulis, ia melakukan dengan vitalitas total apa
yang menurutnya sanggup dikerjakan. Kemudian, dengan kemurahan
hati, ia mengizinkan pengalaman pribadinya menjadi konsumsi
publik agar orang lain dapat menikmati waktu yang indah.

19 Fahri Salam
Dalam pelbagai kesempatan berbeda, ia sangatlah pemurah.
Lewat surat-suratnya dan obrolan bersama para sahabatnya,
Hemingway mencurahkan perhatian dengan seluruh energinya,
yang mungkin orang lain akan mengisi seluruh waktu itu dengan
menggarap karya. Gaya menulis suratnya mengandung corak berbeda
dari karyanya: bebas dan longgar dan penuh dengan penyingkatan
(sejak ia menyadari waktu semakin singkat). Isi surat-surat itu jauh
lebih bebas ketimbang tulisan formalnya.
Dan, tanpa letih, ia terus menulis surat.
Saat aku pergi ke Hollywood selama 1,5 tahun sesudah aku
menulis profilnya, buat menggarap artikel mengenai produksi se-
buah film, aku menerima puluhan surat darinya. Ia menyampaikan
pandangannya tentang film, pembuatan film dan kehidupannya di
pantai, serta tanpa sungkan memberitahuku dan membuatku ter-
hibur, lewat cerita memancing dan petualangan lain di Kuba.
Saat ia pergi ke Afrika untuk berburu pada 1953, ia menulis
betapa menakjubkan kehidupan di sana. Afrika, demikian katanya,
adalah segala kehidupan terbaik dari apa pun. Ia mengundangku
menyusul untuk menjajalinya. Seperti biasa, di akhir surat, ia minta
aku menulis balasan segera. Ia tak ingin berhenti menulis surat,
sebab jika ia tak menerima surat balasan dari siapa pun, hal ini akan
bikin ia kesepian.
Mary sesekali menulis surat dan bikin Hemingway diliputi
antusiasme dan humor. Mary menulis dari Kenya; bahwa Kenya
adalah tempat paling asyik di dunia tatkala kau bangun pagi; bawa
kau akan menjumpai seekor badak seberat dua ton menjelang fajar
saat kau hendak mencuci muka. Itu tempat yang bikin kita menghargai
apa artinya menetap, tulisnya.
Banyak orang lain yang dikenal pasangan itu—orang yang
mengenal mereka lebih baik ketimbang aku—mungkin juga menerima
undangan serupa untuk datang ke sana demi merasakan kesan dan
pengalaman mereka. Pasangan ini selalu ramah dan bersahabat.
Mereka selalu mengundangmu untuk mengunjungi mereka di Kenya
atau di Paris atau di peternakan mereka di Kuba. Aku minta maaf aku
tak pernah bisa menyanggupi ajakan itu.

TAK SEORANG PUN mampu membodohi Hemingway tentang


perkara menulis atau kepengarangan. Ia tahu keduanya dan ia tahu
dengan sangat mendalam.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 20


Ia tahu kapan seorang penulis tamat kepengarangannya atau
berlaku culas, tak peduli seberapa hebat reputasi si Penulis atau se-
berapa banyak uang yang diterimanya dari perusahaan film. Tentang
dirinya, ia menulis pada 8 Agustus 1950 bahwa sepanjang hidupnya
ia berusaha untuk belajar menulis dan mengetahui dan memahami
lebih baik.
Orang-orang, katanya, meniru cacatnya, mencuri irama dan
ritmenya, dan menyebutnya ‘Mazhab Menulis Hemingway.’ Tak
seorang pun, ujarnya, mengharapkannya dalam keadaan yang baik.
Akan tetapi, sejenak kemudian, ia memikirkan ulang per-
kataan itu, lalu menyebut pikiran macam itu keliru karena ada
banyak orang mendoakannya dalam keadaan baik tapi ia menduga
mereka sungkan mengatakannya.
Ia menjalani pekerjaan menulis dan kesusastraan dengan
sangat serius. Dan apa pun yang diminta padanya ia selalu berusaha
memberinya. Ia tanggap meladeni para penulis muda. Sekali waktu
aku memintanya memberi daftar bacaan yang mungkin bisa di-
rekomendasikan. Ia memberikan daftar ini:
Boule de Suif dan La Maison Tellier — Guy de Maupassant
The Red and the Black — Stendhal
Les Fleurs du Mal — Charles Baudelaire
Madame Bovary — Gustave Flaubert
Remembrance of Things Past — Marcel Proust
Buddenbrooks — Thomas Mann
Taras Bulba — Nikolai Gogol
The Brothers Karamazov — Fyodor Dostoyevsky
Anna Karenina dan War and Peace — Leo Tolstoy
Huckleberry Finn — Mark Twain
Moby Dick — Herman Melville
The Scarlet Letter — Nathaniel Hawthorne
The Red Badge of Courage — Stephen Crane
Madame de Mauves — Henry James
Apa pun yang kau ajukan kepada Hemingway, demikianlah
kesanku selama ini, ia selalu bersikeras memberimu tanggapan yang
sangat membantu. Pada satu kesempatan, sesudah aku menulis
artikel panjang, aku berkata aku ingin menggarap artikel lebih ringkas
dan lebih mudah ketimbang sebelumnya. Ia menjawab aku harus
menulis lebih sulit dan lebih baik lagi sampai aku mati. Hanya saja
jangan mati, ia menambahkan. Dan ia menjelaskan bahwa mati adalah
satu-satunya di dunia ini yang ia tahu sebagai perkara nirfaedah.

21 Fahri Salam
Ia juga sangat membantu untuk urusan remeh-temeh. Saat
aku di California untuk belajar menunggangi kuda, Hemingway
menyarankanku agar tidak naik kuda yang besar atau gemuk tapi
tunggangilah kuda yang lebih kecil, lebih pintar, dan setidaknya ada
kuda yang ia maksud itu. Tentang Hollywood, ia menasihatiku ring-
kas saja: Jangan terlalu lama-lama di sana.
Hemingway dikenal seorang romantis melebihi persoalan
realistis, terutama bagi kalangan pemikir serius. Bagiku sebutan macam
ini selalu menggambarkan Hemingway adalah suara pengamat dan
pencerap realitas. Pernah aku mendengar perihal menyenangkan
mengenai anaknya John, dan Hemingway menulis ia sangat mencintai
anaknya. Ia juga menambahkan, dalam hidupnya, ia mencintai tiga
benua, sejumlah pesawat dan kapal, lautan, putrinya, istrinya,
kehidupan dan kematian, pagi, siang, petang, dan malam, honor,
ranjang, tinju, renang, bisbol, menembak, memancing, dan membaca
dan menulis dan semua gambaran indah.
Tak lama sebelum ia meninggal, saat dirawat di Klinik Mayo
di Rochester, Minnesota, Hemingway menulis ia tengah mengatasi
serangan tekanan darah yang dibilangnya “nonsens” dan ia tengah
menggarap sebuah karya. Ia dan Mary ingin segera keluar dari sana
untuk pergi ke sejumlah tempat saat orang-orang akan membiarkan
mereka sendirian dan, pada situasi itu, “izinkanlah aku menulis.”*

______
“Portrait of Hemingway” kali pertama terbit dalam Reporting, antologi
tujuh reportase Lilian Ross yang terbit pada 1961. Artikel ini adalah pen-
gantar profil Hemingway berjudul “How Do You Like It Now, Gentlemen?”

Lillian Ross adalah penulis The New Yorker sejak 1945 sampai pensiun.
Ia meninggal pada 20 September 2017 dalam usia 99 tahun.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 22


Mari Mati Bareng

Mengapa bunuh diri berkelompok begitu populer


di Jepang?

Oleh David Samuels

I
Kematian di Saitama

1 0 MARET 2006. Sebuah mobil ditemukan di kawasan hutan


Saitama, satu prefektur pinggiran kota dekat Tokyo. Jendelanya
tertutup rapat dan terkunci. Petugas yang diminta menyelidiki lokasi
itu menemukan sesuatu sangat familier: sekantong plastik berisi
kemasan pil tidur yang tercecer, dan pembakar arang yang mengisap
oksigen dari mobil, menyebabkan sesak napas lima pria dan seorang
wanita.

23 Fahri Salam
Dua minggu sesudah kejadian itu saya mendatangi markas
besar kepolisian Saitama dan bertemu juru bicara polisi, seorang
pria paruh baya berperawakan tinggi-kurus yang semula menolak
menjawab pertanyaan apa pun tentang kasus terbaru sekawanan
orang yang bunuh diri di prefekturnya. Setelan abu-abu dan
kacamata berbingkai hitam yang ia pakai, serta pulpen ganda yang
terselip di saku kemejanya, memberinya kesan sangat culun atas
karakter manga.
Selama lawatan dua minggu saya di Jepang, lima mobil berisi
jasad orang-orang mati ditemukan di kawasan hutan di Tokyo. Ini
menandakan betapa akrab kasus-kasus mengerikan tersebut sam-
pai-sampai urgensinya tak lebih dari sepotong berita numpang-le-
wat di koran-koran lokal.
“Kami tidak tahu apakah para korban saling mengenal satu
sama lain atau bagaimana mereka menjadi karib,” ujar juru bicara
polisi itu sambil mencekal kuat-kuat tas kantor di pangkuannya.
Tidak seperti pembunuhan, bunuh diri bukanlah kejahatan
di Jepang sehingga para penyelidik kesulitan mencari pembenaran
untuk memecahkan kasus-kasus itu. “Memang,” katanya melanjut-
kan, “sampai hari ini, 15 hari setelah fakta itu, kami tidak menyadari
bagaimana mereka kemudian saling mengenal. Atau, tidak ada
bukti pelanggaran hukum sama sekali menyangkut insiden itu, meski
penyelidikan jalan terus.”
Dari 2003 hingga 2005, 180 orang mati dalam 61 kasus yang
dilaporkan terkait bunuh diri berkelompok yang dibantu lewat
jaringan dunia maya di Jepang. Kecuali dua kasus, mayoritas lain
menunjukkan olah jejak yang amat lazim: Para korban bertemu via
daring, memakai nama akun samaran, kemudian meminum pil
tidur dan menggunakan briket, pembakar arang, dan mengunci
mobil atau van yang seketika mengubahnya jadi kamar gas.
Laporan resmi perdana soal kematian di Saitama tercatat
pukul 12:30 siang tanggal 10 Maret. Laporan ini menyatakan warga
dusun Chichibu memberitahu polisi lokal bahwa ada sebuah mobil
dengan enam mayat ditemukan di satu jalan berangkal tanah ter-
dekat. Di kursi sopir, demikian laporan polisi yang ditulis dengan
sopan, adalah pria berumur 20-30 tahun berambut panjang, ber-
pakaian kemeja kotak-kotak dan jins biru. Di sampingnya
perempuan usia 20-an mengenakan mantel cokelat dan rok cokelat,
dan di sebelah kirinya lelaki usia 20-an berjaket hitam dan bercelana
jins. Sopir dan si Pria berjaket hitam itu bekerja sebagai pramuniaga.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 24


Si wanita adalah pengangguran umur 28 tahun dari Provinsi
Fukuoka. Di bangku belakang adalah pria usia 20-an “berambut normal”
memakai jins hitam dan bekerja sebagai arsitek di Saitama; pria
pengangguran umur 20-an berjaket merah; dan lelaki berambut
agak panjang umur 21 tahun memakai jaket hitam dan jins biru yang
bekerja sebagai asisten toko di Kanagawa.
Kesamaan mereka yang mencolok adalah usia mereka
berkisar 20-an, punya akses ke internet, dan bertemu via daring
dengan tujuan mati bareng di sebuah mobil.
Saat saya membaca berkas itu di satu kedai teh dekat kantor
polisi, saya ditemani reporter muda dari Saitama yang telah meliput
bunuh diri berjemaah yang terhubung jejaring internet untuk surat-
kabar Mainichi. Ia mulai menulis laporan soal gelombang bunuh diri
pada 11 Februari 2003 ketika tiga orang mati di Kota Iruma dengan
membakar briket di satu apartemen kosong—sebuah kasus perdana
yang dicatat oleh pegawai statistik pemerintah. Korban adalah pria
26 tahun bernama Michio Sakai, yang bermasalah karena sulit me-
nemukan pekerjaan, dan dua perempuan 24 tahun yang terhubung
lewat dunia maya bernama “Group Suicide Bulletin Board,” yang
diakses mereka setahun sebelumnya.
“Di mana mereka menemukan gagasan memakai arang?”
“Ada rumor di internet bahwa mati dengan mengisap briket
seakan mati dalam tidur,” kata si Reporter, yang berwajah tampan
dan jujur dengan bercak jerawat menampakkan usia akil-balignya.
“Ini cara meninggal tanpa rasa sakit sedikit pun.”
Tempat mereka mati di bilik tatami tradisional beralas lembaran
plastik guna melindungi tikar. Pembakar arang yang merepih
lembut ditempatkan di tiap-tiap pojok kamar, dan tubuh mereka
terbaring sejajar di tengah ruangan. Si perempuan membawa kantong
tidur untuk menjaga mereka tetap hangat dan ketiganya memakai
kacamata ski demi menghindari asap.
“Aku enggak paham sama sekali,” ujar si Reporter, “bagaimana
kamu bisa mengakhiri hidupmu dengan seseorang yang bahkan enggak
pernah bertemu kamu sebelumnya?”

25 Fahri Salam
II
Bunuh Diri Paripurna
BUNUH DIRI, yang disebut Shakespeare “menjagal diri sendiri”
dan dikenal dalam ajaran Kristen sebagai “dosa terhadap Roh
Kudus”, mendiami lokus imajinasi sangat berbeda di Barat ketimbang
di Jepang. Di sini seppuku atau harakiri—mengoyak perut dengan
sebilah pedang—telah sekian lama dianggap respons pantas untuk
memulihkan nama baik dari rasa malu atau aib. Dalam studi klasik
Suicide (1897), sosiolog Prancis Emile Durkheim menarik perbedaan
tajam antara bunuh diri di Eropa Barat dan apa yang dilihatnya
semacam bunuh diri “altruistik” yang lazim di Jepang. Gambaran
mengerikan atas gagasan Durkheim itu tersaji selama Perang Dunia
II lewat para pilot kamikaze yang memolopori aksi bom bunuh diri
sebagai taktik perang modern. Tiga pengarang termasyhur Jepang
pasca-perang—pemenang Nobel Yasunari Kawabata dan Kenzaburo
Oe, serta murid terkenal Kawabata, novelis Yukio Mishima—
begitu terpikat dengan pemikiran bunuh diri. Kawabata dan Mishima
meninggal di tangan sendiri.
Otoritas Jepang terlalu lamban bereaksi guna mengatasi kematian
nasional terbaru sehingga menyebabkan angka resmi bunuh diri
meningkat rata-rata sekira 5 persen per tahun selama dekade
terakhir. Lebih dari 32.500 bunuh diri dilaporkan pada 2005; dan
karena klaim asuransi keluarga si orang meninggal cenderung di-
tolak, banyak kasus bunuh diri dicatat sebagai kecelakaan.
Selama dua kali kunjungan saya di Tokyo sepanjang 10
minggu, di tengah jam-jam sibuk yang bikin kita linglung, s ay a
t e rh e ny ak o l e h pelantang suara yang terdengar begitu datar
yang meminta maaf kepada para pelaju atas keterlambatan layanan
komuter lantaran ada “insiden yang berhubungan dengan manusia”—
suatu ungkapan eufemisme yang resmi dipakai saat seorang komuter
melompat ke arah laju kereta. Kasus-kasus macam itu acapkali di-
laporkan sebagai kecelakaan ketimbang bunuh diri.
Satu-satunya negara dengan tingkat resmi bunuh diri lebih
tinggi adalah Sri Lanka, yang terperosok ke dalam perang sipil
berlarut-larut, serta bekas republik Soviet dan negara-negara pecahan-
nya di kawasan Eropa Timur, tempat ekonomi negara yang kolaps
dan perubahan politik maha dahsyat memompa pelbagai disintegrasi
sosial akibat kekalahan militer yang amat telak.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 26


Banyak rakyat Jepang menyalahkan kolapsnya “gelembung
ekonomi” pada awal 1990-an sebagai penyebab meningkatnya angka
bunuh diri, yang melempar ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan
dan mendorong banyak keluarga terjerat bermacam utang tak ter-
kira dan sulit dilunasi, seringkali lewat cara pemerasan (tapi legal)
dengan suku bunga hingga 40 persen. Namun, bahkan saat ekonomi
telah melonjak tajam, angka bunuh diri terus melompat. Sementara
total angka kelahiran bayi menukik tajam, mencapai ke level yang
membetot teori fatum Spenglerian sekitar 1,3 anak per perempuan,
terendah dalam sejarah dunia industri.
Manifestasi paling spektakuler meledaknya kultur bunuh diri
Jepang—bunuh diri berjemaah via internet—tergolong gejala khas
yang berakar dalam era teknologi komputer dan tanpa preseden
sebelumnya dalam perilaku sosial masyarakat tradisional Jepang.
Pada musim panas 2004, Jepang memutuskan untuk mengatasi
fenomena baru yang meresahkan ini dalam caranya y ang “ khas
Jepang modern”, lewat serangkaian pertemuan informal yang diada-
kan oleh konsorsium penyedia jasa internet atas anjuran Kepolisian
Nasional, sebuah badan penasihat yang mengajukan rekomendasi
prosedural tapi tanpa punya kuasa penegakan ke prefektur lokal.
Kembali ke Tokyo, saya bertemu dengan Kazuhiko Yoshida,
anak muda dengan dandanan rambut disasak yang mengepalai divisi
kejahatan siber, yang bertugas menyusun kebijakan nasional
tentang pelbagai masalah, dari spam hingga penipuan, dari
pelanggaran hak cipta hingga pornografi anak.
“Dalam enam bulan pertama kami mengadakan sekitar tujuh
atau delapan rapat yang memutuskan apakah kita memerlukan
buku panduan,” Yoshida menjelaskan. “Lalu tujuh atau delapan
rapat lagi diadakan sampai Oktober yang akhirnya diputuskanlah
kita perlu menerbitkan buku panduan.”
Agar pedoman itu bisa diterapkan, Yoshida menerangkan,
seseorang harus memakai kata “mati” atau mengungkapkan
hasrat untuk mati. Dia juga harus menyebutkan tempatnya
meninggal dan metode apa yang dipakai sehingga bunuh dirinya
akan tercapai. Percakapan harus berlangsung di forum daring (di
Jepang populer dengan sebutan ‘textboard’ atau ‘papan buletin’)
yang secara khusus menunjukkan keinginan bunuh diri. Bila semua
kriteria itu terpenuhi, polisi berhak untuk meminta informasi soal
registrasi dan kartu kredit ke penyedia jasa internet. Sejauh ini,
Yoshida berkata bangga, total ada 12 upaya ajakan bunuh diri bersama
yang dihentikan karena buku panduan baru tersebut.

27 Fahri Salam
Memperluas cakupan atas bangkitnya kultur bunuh diri yang
begitu populer di Jepang bisa dilacak pada peristiwa tunggal, dan
mungkin hal ini bisa kita temukan pada publikasi tahun 1993 ber-
judul Panduan Lengkap Bunuh Diri ( ), buku
yang ditulis Wataru Tsurumi, lulusan Universitas Tokyo dan
seorang yang gagal dalam karier industri penerbitan. Tsurumi adalah
seorang obsesif yang mendaku Nabokovian dengan sikap masa
bodohnya atas konsekuensi penerbitan karya tersebut. Dalam kultur
yang mengharapkan kau bersikap tunduk, dan berpenampilan cupu
(geek) meledak dalam populasi mengejutkan di panggung budaya,
Tsurumi menjadi figur kharismatik yang mencapai ketenaran
selebritas tatkala status macam ini di Jepang biasanya disandang
para bintang pop atau karakter manga.
Hingga kini Panduan Lengkap Bunuh Diri menyuapi lebih
dari 2 juta jiwa orang Jepang yang putus asa atau sebatas penasaran
dengan instruksi teknis yang eksplisit bagaimana mengakhiri hidup
lewat 10 metode termasuk gantung diri, tersengat listrik, overdosis,
mengisap racun, dan bakar diri. Buku Tsurumi memuat petunjuk
tempat-tempat terbaik untuk bunuh diri, profil pesohor beken yang
bunuh diri, disertai pelbagai rupa kartun, yang efeknya mengesankan
bunuh diri itu gampang dan tanpa rasa sakit, tindakan lazim, dan
aktivitas yang bisa diterima secara sosial.
Tsurumi menjual hak cipta karyanya ke satu studio film,
menelurkan tayangan yang memercik kesuksesan, diikuti sebuah
sekuel. Kini ia jadi pembicara kondang dengan bayaran mahal dan
langganan acara-acara tingkat internasional yang membahas kultur
anak muda. Sebagaimana ia berkata kepada reporter yang penasaran:
“Tidak ada yang salah tentang bunuh diri. Agama atau hukum kami
di Jepang tidak mengatakan sebaliknya. Untuk aksi bunuh diri ber-
sama, sebelum ada internet, orang-orang menulis surat atau
menelepon … ini sudah jadi bagian dari kultur kami.”
Pembenaran tanpa rasa menyesal dari Tsurumi karena
kandungan bukunya yang mengerikan tidaklah terdengar ganjil bagi
semua pembaca Jepang. Berbeda di Barat yang menilai secara umum
bunuh diri adalah perbuatan sia-sia dari orang yang putus asa atau
yang sakit parah, sebaliknya di Jepang dipahami sebagai keputusan
rasional yang dapat diambil oleh seseorang yang sepenuhnya waras,
begitupun oleh sebuah kelompok. Jepang punya sejarah panjang
tentang keluarga-keluarga yang bunuh diri bersama, sebagaimana
dilakukan oleh sekte dan kelompok bergaya militer, termasuk para
pilot kamikaze, atau para pendekar samurai yang menanggung rasa
malu dan berharap keburukannya terhapus.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 28


Apa yang mengejutkan dari epidemi bunuh diri mutakhir ini,
tak kurang dan tak lebih, adalah sekumpulan orang memilih bunuh
diri bersama tanpa saling kenal sebelumnya. Panduan Lengkap
Bunuh Diri menjadi teks esensial memperluas pemujaan atas ke-
matian yang memintas siapa saja, dan mereka yang bertemu di situs
web semata saling mendukung dan memperkuat tekad mati bareng.
Seperti bunuh diri bercorak terorisme di Irak dan di mana
pun dalam “dunia Islam”, bunuh diri berkelompok di Jepang tak
bisa sebatas diringkus karena produk kemiskinan, rendahnya pen-
didikan, atau penyakit sosial apa pun. Banyak korban bunuh diri
yang mengenyam sekolah bagus, punya pekerjaan layak, dibesarkan
dalam keluarga dua orang tua, dan bisa dikenali sebagai warga biasa
dari negara demokrasi paling aman dan terkaya di Asia. Kesamaan
rakyat Jepang dan muslim Arab terletak pada rasa sungkan yang
amat kuat untuk bikin malu serta simpati yang amat terpendam ter-
hadap para martir. Mereka yang memeluk kematian bisa memulih-
kan nama baik dan aib serta bahkan menjadi pahlawan lewat aksi
tersebut yang sebaliknya bikin bergidik masyarakat individualis
Barat.
Ketika kultur positif bunuh diri berjumpa internet, pelbagai
halangan yang masih muncul kian mengendor. Sebaran komunikasi
internet mempermudah pencari bunuh diri. Islamis radikal, pedofil,
dan kelompok subkultur lain bertemu via daring. Menjauhkannya
dari amatan penuh selidik orangtua, pasangan, dan polisi.
Sekali online, mudah bagi sebuah grup menarik anggota dari
populasi terombang-ambing ini—yang kesepian, yang penasaran,
atau yang jiwanya selalu berontak—dan mereka eksis sepanjang
ruang dan waktu dan pada semua kultur. Alih-alih menghabiskan
waktu untuk berdoa atau mendengarkan musik gembeng atau mem-
baca novel atau merajut atau memelihara belasan kucing, anggota
masyarakat yang rentan dan gelisah ini menuangkan interaksi
sosialnya lewat komunitas-komunitas virtual, membagi kosakata
dan nilai-nilainya menjadi antidot atas rasa kesepian, bahkan mereka
menganjurkan para anggotanya menuju kematian.
Bilamana kita masuk ke situsweb populer Jepang 2Channel
setiap malam Minggu, kita bisa menonton secara realtime
individu-individu bercakap via online yang berharap menemu-
kan rekan yang cocok untuk meninggal. Di sebuah situs bernama
“Ayo mati bareng di Shizuoka” (sebuah kota sekitar satu jam den-
gan kereta peluru dari Tokyo), saya duduk di depan layar komputer
dan menyaksikan skrip kematian yang dievaluasi dan diuraikan oleh

29 Fahri Salam
partisipan anonim; ada yang begitu enteng menyampaikan gagasan
radikal, ada pula yang mungkin berakhir mati di mobil:
1. MOON: Aku belum punya perlengkapan tapi pikiranku sudah
siap kapan saja. Dulu aku gagal bunuh diri karena kupikir aku harus
membuka lembaran baru dan berusaha menjalani hidup lagi. Tapi,
bayangan hitam di hatiku masih terus menetap. Aku selalu merasa
lelah. Aku pengin tidur, enggak pengin bangun lagi … Aku mencari
orang yang mau menemaniku ke sungai kematian bersamaku den-
gan membakar briket batubara …
3. HIROPON: Aku pergi dari rumah, tak ada tempat pulang, tak
punya pekerjaan, dan uangku menipis. Hidupku sekarang tak ada
taik-taiknya. Kalau ada hal baik terjadi padaku sekali lagi saja, dan
aku masih berpikir mati, maka sudah saatnya bagiku untuk mati.
4. MOON: Hiropon-san yang baik, apakah terlalu lancang kalau aku
menanyakan alamat email-mu? Bilang saja enggak kalau kamu
enggak pengin ngasih tahu, dan aku akan ngasih email punyaku
lebih dulu. Tapi, kalau kamu enggak keberatan, tolong kamu duluan
yang ngasih tahu, ya …
9. PRIA PARUH BAYA: Jika kamu masih muda dan tinggal bersama
orang tua, kamu tidak harus melakukan bunuh diri. Tapi saya, saya
pria paruh baya, terlilit utang, tanpa uang, punya masalah keseha-
tan, tanpa pekerjaan. Tidak ada gunanya bagi saya kalau terus hid-
up. Saya pikir saya akan melakukan bunuh diri atau mati bersama
dengan seseorang yang merasa hidupnya cuma timbunan sampah
seperti saya. Ketika kita semakin tua, tak ada yang menghentikan
kita …
12. TAKA: Bagaimana kamu, MOON-san, aku tinggal di Shizuoka.
Kita bisa beli briket dan sebuah kompor arang di pusat perlengka-
pan rumah. Yang kita butuhkan lagi pil tidur. Mohon izinkan aku
ikut …
31. MOON: Beda dari kecepatan percakapan ini, keinginanku un-
tuk mati makin cepat… Kalau aku berkata, “Kita akan mati besok,
tapi masih ada satu kursi kosong. Maukah kamu datang?” Aku akan
menganggukan kepala dengan cara sebiasa mungkin sebagai tanda
setuju untuk pergi dengan seorang teman.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 30


III
Wahyu Abad Baru
PRODUK BUDAYA JEPANG paling berpengaruh dalam dekade
terakhir adalah serial kartun animasi berjudul Neon Genesis
Evangelion ( ) yang disiarkan lewat
televisi nasional pada 1995 dan 1996. Serial ini membentuk psike
orang Jepang di bawah umur 40 tahun seakan sangat sepele dalam
pengalaman budaya Barat terkini, kecuali mungkin The Beatles dan
film Star Wars perdana.
Serial itu, diproduksi oleh sebuah kolektif bernama Gainax
dan disutradarai animator cult Hideaki Anno, tersusun atas narasi
tumpang-tindih yang gelap tentang dunia pasca-apokaliptik, mengisah-
kan petualangan empat anak muda dengan jiwa terkoyak parah yang
bergabung dengan teknologi baru yang dahsyat demi menyelamat-
kan sisa-sisa Bumi dari Malaikat—17 makhluk imortal ilahiah—yang
menebar teror dan kehancuran untuk menghabisi umat manusia.
Kurang dikenal karena kualitas animasinya ketimbang materinya
yang gelap, penceritaan non-linear, dan getaran batin yang depresif
akut, serial itu secara teratur menuai pujian dari para animator,
novelis, teoritikus budaya, dan seniman visual seiring mekarnya
budaya pop Jepang. Ia dipuji berkat melukiskan peran gender, me-
mengaruhi perilaku terhadap dunia sekitar, dan menumbuhkan
subkultur otaku yang begitu obsesif—dan sangat menguntungkan—
yang menggaet puluhan ribu penggemar berpenampilan cupu yang
mengisi kehidupannya dengan mengungkap pesan lebih besar atas
tontotan itu dan mengoleksi buku-buku komik porno dengan gambar
karakter-karakter perempuan di tontonan tersebut.
Mengenakan jumpsuit militer berwarna hijau dan sepatu
bot hitam, sosok Hideaki Anno di depan saya tengah duduk mem-
bungkuk dalam-dalam di sofa kantornya yang butut dengan sorotan
mata tajam. Di negara yang masih menilai kepatuhan sebagai
kebajikan, Anno mencolok karena rambut hitam keritingnya dan
cuping telinganya yang lebar berbentuk kembang kol. Dipadankan
dengan jumpsuit-nya, Anno menampilkan kesan seorang hobbit pe-
marah dengan kacamata berbingkai hitam. Sebelum membuat anime
tersohor itu, Anno melewati empat tahun masa depresi. Selama itu
ia tidak bekerja dan mengisi sebagian besar waktunya sendirian di
kamar. Pada 2003, Gainax menjual hak live-action Neon Genesis
Evangelion ke seorang produser film yang berkolaborasi dengan
Weta Workshop, perusahaan yang berperan utama termasuk untuk

31 Fahri Salam
film Lord of the Rings besutan Peter Jackson. Saya sangat tertarik
bicara dengan Anno tentang karakter Rei, gadis yang menghasrat-
kan bunuh diri, depresif, bermata bulat, berpotongan polos, dan
ekspresi kosongnya telah jadi model bagi karakter utama perem-
puan dalam anime Jepang selama satu dasawarsa terakhir.
“Rei adalah orang yang sadar pada fakta apabila dia mening-
gal, maka ada orang lain yang menggantinya, jadi dia tidak menilai
kehidupannya terlampu tinggi,” ujar Anno, yang duduk mem-
bungkuk makin dalam di sofanya. “Kehadirannya, eksistensinya—
eksistensi hampa—adalah fana. Dia gadis yang teramat sedih. Dia
hanya menginginkan sebatas pada apa yang dia butuhkan. Dia ber-
masalah dalam segala hal; dia menyakiti diri sendiri. Dia tidak butuh
teman.”
Anno memahami daya tarik nasional Jepang terhadap karak-
ter Rei adalah produk dari lanskap imajinatif centet yang lahir dari
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua. “Jepang kalah perang
dengan Amerika,” ujarnya, tampak tertarik dengan kalimatnya
sendiri untuk kali pertama selama wawancara kami. “Sejak itu, pen-
didikan yang kami terima tidak membentuk pribadi dewasa. Bahkan
bagi kami, orang berusia 40-an tahun, dan bagi generasi lebih tua
dari kami, usia 50-an dan 60-an, tak ada model yang pantas seperti
apa menjadi seorang dewasa seharusnya.”
Teori bahwa kekalahan Jepang menguliti negeri itu dari ke-
merdekaannya, dan menciptakan sebuah bangsa anak-anak permanen,
dipaksa hidup lembek di bawah perlindungan Big Daddy Amerika,
tersebar meluas oleh para seniman dan intelektual di Jepang. Itu
juga menjadi fundamen kartun-kartun populer, yang kebanyakan
menampilkan pemerintahan bermaksud baik tapi ternyata menampak-
kan wujud asali berkekuatan jahat yang jauh lebih dahsyat.
Anno diam sejenak, dan membiarkan alis hitamnya menatap
ke luar jendela. “Saya tidak melihat satu pun orang dewasa di sini di
Jepang,” katanya, mengangkat bahu. “Fakta bahwa kamu melihat
pekerja kerah putih membaca manga dan pornografi di kereta dan
merasa tidak takut, tidak malu atau apalah, adalah sesuatu yang
tidak akan kamu lihat 30 tahun lalu, dengan orang-orang yang tumbuh
dewasa di bawah sistem pemerintahan yang berbeda. Mereka akan
terlalu malu membuka sebuah buku kartun dan gambar cabul di se-
buah kereta. Tetapi inilah apa yang kami miliki sekarang di Jepang.”

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 32


“Kami adalah negeri anak-anak,” katanya.
Anak-anak generasi Anno bertemu di tempat seperti Loft
Plus One, ruang pesta bawah tanah di Shinjuku yang dekorasinya
menyerupai bar East Village di Manhattan dan berbau klorin.
Kesempatan kali ini sebuah acara pesta buku untuk Karin Amamiya,
penyanyi punk-rock sayap kanan yang molek dan jadi pemikat
kultural setelah baru-baru ini menulis memoar tentang pengalaman-
nya mengiris pergelangan tangan, suatu perilaku yang sedang ngetren
di antara gadis-gadis remaja.
Pemandangan di ruang bawah tanah semacam versi mimpi
buruk generasi bunga dari tayangan hiburan siang hari di televisi
Jepang. Seorang penyanyi bernama Akira, mengenakan setelan kulit
biawak, jaket kulit rusa, dan topi jerami, memetik gitar dan menyanyi,
“Ya, hidup ini enggak gampang dijalani.” Di bawah panggung,
seorang gadis SMA merokok sendirian. Ia memakai kostum rok
hitam mengembang dan topi renda yang romantik dan gelap, mode
populer yang dikenal Gothic Lolita.
Tuan rumah acara petang itu adalah penulis bernama pena
Con Isshow, artinya “Enggak Ada Matinya.” Memakai kurduroi hijau
yang kucel dan kacamata model John Lennon, ia perokok dan peminum
berat, serta pakar terkemuka seantero negeri tentang perilaku
sosial anak-anak muda Jepang, sekalipun atau mungkin karena ia
tak pernah merampungkan kuliahnya. Ketelitiannya pada kebersihan
sangatlah merepotkan. Berkeringat di bawah lampu, ia memeriksa
ruangan.
“Pengiris pergelangan tangan, angkat tanganmu. Penggila pil,
angkat tanganmu. Siapa saja yang hikikomori—penyendiri akut—
dan tidak meninggalkan ruanganmu, angkat tanganmu,” Con Isshow
menyanyi, dan anak-anak itu menuruti perintahnya dengan sopan.
“Mereka yang berusaha shudan jisatsu—bunuh diri bareng-
bareng—“angkat tanganmu.”
Jauh di sana, di pojokan kelab yang gelap, seorang pria
penyendiri berpakaian sweter cokelat mengangkat tangannya,
kemudian cepat-cepat menunduk seakan menghindari sorotan.
Takaya Shiomi menatap dari panggung dengan pandangan
mencela. Di usianya sekarang 60-an tahun, dengan rambut bak ga-
ram dan merica dan tampak kebapakan, dengan tatapan baja dik-
tator proletarian, Shiomi adalah mantan komandan Faksi Tentara
Merah, grup teroris yang memoles diri sebagai perpanjangan tangan

33 Fahri Salam
rakyat Jepang dari revolusi Marxis di seantero dunia. Pada 1970, di
bawah kepemimpinan Shiomi, anggota grup itu membajak pesawat
menuju Korea Utara; kemudian mereka mengajarkan seni membajak
pesawat kepada para pengikut George Habash, nasionalis sekuler
sayap kiri pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. (Pada
1972, di bawah arahan Habash, tiga anggota Faksi Tentara Merah
membunuh 26 turis dan melukai lusinan lain di Bandar Udara Lod
Israel.) Menghabiskan dua dekade di penjara, kini Shiomi hidup tenang
di daerah pinggiran luar Tokyo. Menyandarkan dagu ke buku-buku
jemarinya, Shiomi tampak menjadi pembicara kontra-kultur bunuh
diri dan melukai diri sendiri yang jadi tema kegemaran anak-anak
muda ini.
“Emang siapa sih kalian, hei bangsat?” Shiomi akhirnya
meludah, meraih mikropon. “Saya tahu hidup itu berat. Saya juga
pernah muda. Emang sangat gampang jadi nihilis, enggak peduli
sama sekali, dan berpikir semua hal di dunia ini cuma taik. Jawaban
paling manjur untuk pikiran macam itu adalah penjara. Kalau kamu
ingin hidupmu berguna, kamu butuh sesuatu yang riil! Pahami dunia!
Belajar ideologi!”
Amamiya, yang bepergian dengan Shiomi ke Korea Utara be-
berapa tahun lalu, lawatan yang disebut media sayap kanan Jepang
sebagai aksi provokasi yang disengaja, sudah cukup mendengar
ocehan Shiomi. “Yeah, yeah, yeah. Kami sudah tahu,” katanya, mengusir
teroris bau tanah itu dengan senyuman menyeringai.
Usai tensi pesta menurun, saya keluar dari kelab dengan pria
bersweter cokelat tersebut. Usianya hampir 30 tahun, namanya Toji,
dan ia tinggal di Shizuoka, kota kediaman Moon. Kami berkeluyuran
bersama menyusuri sisi bawah Shinjuku yang kacau balau, lorong
yang berpendar oleh kelab penari telanjang dan bar dan konter mi,
lantas naik ke sebuah restoran Cina, tempat mangkal favorit geng
Taiwan, yang melayani pangsit sangat enak. Kami memilih sebuah
meja di ruang belakang.
Mendengarkan penuturan Toji yang terpikat pada bunuh
diri seperti menyimak setiap kisah indoktrinasi yang digerakkan
oleh suatu pemujaan, minus si dalang jahat, yang akan membujuk
para pengikutnya membuang kepemilikan ragawi mereka dan me-
nenggak Flavor Aid beracun di sebuah hutan Amerika Selatan. Selagi
Toji mengisahkan kegilaannya yang terus meningkat pada grup chat
online, lapisan perasaan tertekan yang membawa pikiran terseret
ke perangai ketagihan seperti merokok atau berjudi, ada sesuatu

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 34


yang sangat berbeda dan terasa jauh pada sikapnya. Ia mungkin
juga akan menceritakan satu per satu kehidupannya secara runtut.
Semasa kuliah ia mulai tertarik dengan politik dan ekonomi, tapi tak
bisa menjalin pertemanan atau mengajak kencan perempuan. Lulus
1997, ia masih perjaka. Ia mulai bekerja di bagian pemasaran kredit
untuk usaha kecil dan menengah. Ia tidak menikmati pekerjaan itu,
dan satu-satunya yang ia pikirkan adalah berhenti. Di malam hari
ia akan pulang ke rumah orang tuanya dan berselancar internet, di
kamar tidurnya yang sama ditempatinya sebagai bocah laki-laki.
“Aku akan melihat situs web seperti Yahoo Jepang, berita,
dan sebagainya,” ujar Toji. Ia juga penggemar Ayumi Hamasaki,
aktris film kelas B yang kemudian jadi bintang pop, dikenal karena
kostumnya menonjolkan desir seksual dan menggubah lirik-lirik
banal dengan pelbagai nama samaran yang membingungkan. Ia
sering mengunjungi situs web fans kelab Hamasaki dan ikut nim-
brung di textboard’, keterlibatannya selama dua tahun tapi tak
membangkitkan hubungan personal yang mendalam. Merasa lebih
tertekan dari sebelumnya, ia mulai mengunjungi situs bunuh diri.
“Segalanya tidak berjalan baik, dan aku pikir lebih baik
melakukan bunuh diri daripada terus mempertontonkan diriku
yang bodoh kepada orang lain,” ujar Toji. “Aku ingin orang lain di
sekitarku berpikir bahwa aku ‘pria baik-baik’. Jadi aku akan menyim-
pan dalam-dalam perasaanku sendiri.”
Ia keluar dari pekerjaan lamanya dan menemukan tempat
kerja baru, tetapi ketertarikannya pada bunuh diri justru tumbuh
makin kuat. Ia lebih menyukai ide mati bunuh diri dengan orang
lain, sekalipun orang itu tak dikenalnya, karena ia mengaku kurang
berani mati sendiri.
“Gagasan untuk mati bareng, dan juga ide mati sekarat
menghirup karbon monoksida, sehingga cara matinya lebih ringan
dan menimbulkan sedikit rasa sakit, telah memikatku,” katanya.
Setiap kali ia akan mengunjungi situs bunuh diri selama 20
menit, berharap untuk membatasi diri menjelajahi konten muram
itu kendati ia penasaran bila ada sebuah grup yang sekiranya tepat.
Ia mulai berpikir untuk bunuh diri lewat langkah-langkah praktis.
Lokasinya haruslah paling dekat, dan mempertimbangkan jumlah
terbaik partisipan di grup bunuh diri tersebut dan mereka harus
punya pil tidur yang cukup supaya tujuannya berhasil, mengingat
obat-obatan ringan bahkan seperti pil tidur mulai dikontrol ketat di
Jepang.

35 Fahri Salam
Dua minggu setelah pertemuan pertama kami, Toji
mengirimkan pesan setuju atas permintaan saya utuk mewawancarainya
lagi. Rencananya sudah tambah serius, katanya. Saya mengambil
jalur Tokaido menuju Hara, tempat ia menemui saya di stasiun. Cara-
nya bicara begitu cerdas, tetapi tetap saja ada jurang pemisah dari
dirinya, tanpa ditingkahi bujukan, tensi, kehangatan sebagaimana
sebuah percakapan normal.
Sewaktu kecil, katanya, ia mengoleksi tabel jam perjalanan
kereta, dan ia bangun pagi-pagi untuk memotret beragam kereta
yang melewati kota. Sepur favoritnya adalah Kereta Biru di Afrika
Selatan dan Falcon di Jepang. Sekali waktu keluarganya menaiki
kereta ekspres mewah Odakyu bernama Romansukā untuk men-
jumpai kerabat di Saitama. Beberapa tahun setelah Toji memiliki
pekerjaan, orang tuanya berkata mereka selalu membayangkannya
bekerja yang ada hubungannya dengan kereta api. Orang tuanya
berharap dia akan punya pekerjaan bagus pada satu hari kelak dan
membina keluarga.
“Ini sangat menyakitkan,” katanya, menunjukkan emosinya
untuk pertama kali dan sekali itu saja selama percakapan kami.
Apa yang hilang dari hidupnya, ujarnya memutuskan, adalah
gairah. Jika ia punya gairah hidup, ia akan berjalan dengan enteng.
Sekali waktu ia pernah menjalani pengobatan depresi, tetapi ber-
henti saat dokter baru menggantikan dokter yang biasanya ia temui
di sebuah rumah sakit lokal. Seketika ia melihat dokter baru itu
arogan dan bersikap tidak menyenangkan.
“Secara pribadi dokter itu berpikir bahwa menggunakan pil
adalah sama dengan obat insulin untuk diabetes,” penerjemah saya
menjelaskan. “Tapi, karena orang-orang di sekitarnya tidak berpikir
begitu, ia dipaksa untuk berpikir sama dengan mereka, dan men-
jauhi pil tersebut.”
Toji adalah individu yang meniti kehidupan masyarakat Jepang
abad 21 yang makmur, yang semakin gelisah tapi masih terkontrol
ketat. Malam itu, kami pergi ke rumahnya tempat dia tidur sendirian
di kamar masa kecilnya: sebuah ruangan dengan dinding polos, satu
ranjang, meja, laci, rak buku, dan PlayStation 2 merek Sony terbaru di
lantai. Saudara perempuannya, yang kamar tidurnya di bawah ruang
utama, tak pernah punya pacar dan takkan mengizinkan Toji masuk
ke kamarnya.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 36


Sejak terakhir saya bertemu dengannya tiga minggu lalu, Toji
berkata telah mengunjungi lokasi bunuh diri favoritnya dua atau
tiga kali dalam sepekan, masing-masing selama sekitar 10 menit.
Saat ia online, rasa sepi dan depresinya terangkat, dan ia merasa
tujuan hidupnya untuk mati tampak jelas.
Takkan lama lagi, ujarnya, ia akan menemukan rekan yang
serius menginginkan mati, dan akan mengizinkannya bergabung ke
grup untuk melakukan bunuh diri bersama.

______
Naskah ini diterjemahkan dari “Let’s Die Together”, terbit di The Atlantic
pada Mei 2007.

David Samuels (lahir tahun 1967) adalah penulis nonfiksi kelahiran


Brooklyn, New York, dan editor naskah sastrawi untuk The Tablet Maga-
zine, serta editor tamu untuk Harper’s Magazine dan kontributor untuk
The Atlantic dan The New Yorker. Dia dikenal berkat karya-karya jurnal-
isme dan esai bernapas panjang. Karya perdananya, soal musik rap yang
jadi laporan utama The New Republic tahun 1991, merebut perhatian
khalayak karena pendapat kontroversialnya saat itu soal pendengar utama
musik hip-hop berasal dari remaja suburban kulit putih. Dua bukunya yang
terbit tahun 2008 adalah antologi berjudul Only Love Can Break Your
Heart dan The Runner: A True Account of the Amazing Lies and Fantasti-
cal Adventures of the Ivy League Impostor James Hogue. Kedua buku itu
dipuji kritikus sebagai karya “jurnalis terkemuka” dan “reporter cemerlang”.
Kritikus menyebut Samuels sebagai “master of the new old journalism”
berkat kercedasan dan kejernihannya menulis secara matang. Ia kerap
dipadankan dengan Joan Didion, Gay Talese, dan Tom Wolfe—para penulis
dari generasi Jurnalisme Baru tahun 1960-an yang karya-karyanya me-
nekankan, di antara hal lain, pada pengamatan orang pertama, reportase
mendetail, dan kejernihan berbahasa.

37 Fahri Salam
Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 38
Kisah Pedagang Buku yang
Tewas di Bagdad

“Pada masa jayanya, Jalan al-Mutanabbi mewujud-


kan pepatah kuno: Kairo yang menulis, Beirut yang
menerbitkan, Bagdad yang membaca.”

oleh Anthony Shadid

M usim panas 2003. Irak diliputi separuh kebenaran soal pen-


dudukan dan pembebasan sebelum berbalik pada aksi-aksi
nihilistik berwujud pembantaian. Mohammed Hayawi, seorang
pria botak, berdiri di tokonya, Toko Buku Renaisans, di Jalan
al-Mutanabbi yang terkenal.

39 Fahri Salam
Di rak setinggi delapan baris berjejal buku-buku karya penyair
komunis dan ulama syahid, terjemahan Shakespeare, kitab ramalan
astrolog Lebanon, sekuplet 44 jilid karya Ayatullah yang dihormati,
dan risalah dari pemikir saklek abad pertengahan, Ibnu Taimiyyah.
Rak-rak buku berdebu menyesaki lantai ubin krem, membentang
dan bernoda terbalut usia. Di ruangan sempit, Hayawi menyejuk-
kan diri dengan sebuah kipas; keringat mengucur deras di mukanya
yang tembam dan membasahi kemeja birunya.
Kami bertemu sebelum invasi Amerika, dan nyaris setahun
kemudian ia segera mengenaliku.
“Abu Laila,” katanya, memanggilku dengan nama putriku.
Nyaris saban kali bilamana kami berjumpa, ia selalu meng-
utarakan sepotong kalimat yang sama. “Aku menantang setiap
orang, Abu Laila, untuk mengungkapkan apa yang terjadi, apa yang
terjadi sekarang ini, dan apa yang akan terjadi di masa depan.” Dan,
seraya minum secangkir teh yang mengepul hangat bahkan di hari
yang panas, ia menggelengkan kepalanya.
Sebuah bom mobil meledak pekan lalu di Jalan al-Mutanabbi,
meninggalkan sepotong jejak yang kian lazim saja di Bagdad, suatu
gambaran akan kekacauan, kekejaman yang memilukan, dan situasi
tak terbayangkan yang terus berulang. Sedikitnya 26 orang tewas.
Hayawi si Penjual Buku salah satunya.
Tidak seperti serdadu AS yang tewas dalam konflik, nama
para korban rakyat Irak sepi dalam pemberitaan, tercampakkan
dalam keadaan tanpa nama yang menjelaskan kematian mutakhir
di Bagdad. Hayawi bukanlah politikus atau panglima perang. Bah-
kan cuma segelintir orang di Jalan al-Mutanabbi yang mengenal-
nya. Namun, hayat hidupnya layak mendapatkan lebih dari sekadar
catatan kaki. Dan, jika tak ada alasan lain, kita hanya perlu ingat
seorang pria yang merengkuh Bagdad dalam kondisi apa pun dan
ia berusaha memahami sebuah negeri yang kian sulit dinalar lagi.
Menghabiskan waktu bersamanya di masa yang singkat, selalu
bersikap ramah dan lembut sesederhana orang biasa, kini Hayawi
lenyap ditelan serakan reruntuhan di sebilah jalan itu yang takkan
pernah sama lagi.
Sesudah kematiannya, aku mengenang obrolan kami di hari
musim panas itu. Sebagaimana kebiasaanya, ia akan menghentikan
ucapannya pada topik yang paling penting dan meloloskan rokoknya.
Ia mengusap pipinya yang berkeringat.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 40


“Apakah mukaku terlihat seperti orang berumur 39 tahun?”
katanya menyeringai. Lantas keningnya berkerut, tampak muram.
“Kami tak ingin mendengar ledakan, kami tak ingin mendengar
serangan lagi, kami ingin kedamaian,” katanya kepadaku.
Entah apakah ia bisa terlelap, kantong mata hitam selalu
terlihat di bawah sepasang matanya yang jernih. “Orang Irak ingin
merebahkan kepalanya di atas bantal dan bersantai.”

Pemikir Independen
Hayawi bekerja di toko buku seumur hidupnya.
Ayahnya, Abdel-Rahman, mendirikan toko itu pada 1954, dan
sesudah meninggal pada 1993, lima anaknya mewarisi bisnis itu,
menggantung potret si Patriark yang memakai topi musim dingin
ala Rusia di tembok berpanel kayu. Selama bertahun-tahun, Hayawi
dan kakak sulungnya mengembangkan bisnis sang Ayah. Mereka
memiliki toko lain di al-Mutanabbi—Toko Bku Legal dan Toko Buku
Nibras—bersama bisnis lain yang menjual Alquran di seluruh kota.
Keluarganya adalah muslim Sunni, tetapi Hayawi mengecil-
kan pentingnya identitas itu demi mengasah kepekaan diri dan ia
tinggal bersama istri dan putranya, Ahmed Akram, di lingkungan
yang didominasi muslim Syiah. Ia bangga atas kemandiriannya,
menjadi pribadi yang merayakan pusaran abu-abu, suatu cerminan
terbaik dari intelektual yang sudah sepatutnya merepresentasikan
Jalan al-Mutanabbi.
Kali pertama kami berjumpa saat aku memasuki toko buku
miliknya sebelum invasi tatkala Saddam Hussein masih berkuasa
pada 2002. Seperti biasa, ia begitu mencolok dengan rambut plontos
dan bahkan saat itu ia langsung mengajakku bicara. “Invasi Irak ke
Kuwait itu salah,” katanya, suatu ungkapan cukup berani—unek-unek
yang dianggap penghinaan kala itu.
Akan tetapi lama kemudian ia sulit memahami obsesi Amerika
atas Irak dan Saddam. Mengapa, katanya, krisis demi krisis terus
berlangsung? Untuk senjata pemusnah massal? Kami tidak punya
satu pun. Jika pun punya, ia berseru, kami akan menembakkannya
ke Israel. Sebuah perang hanya untuk menjungkalkan Saddam?
Sesudah invasi dan pemerintahan jatuh, Hayawi menggambarkan
dirinya sebagaimana kebanyakan rakyat Irak di tahun pertama yang berge-
jolak: tidak untuk Saddam dan tidak pula untuk kebahagiaan Amerika.

41 Fahri Salam
Tentu saja ia marah—pada kekacauan, tiadanya rasa aman, minim-
nya pasokan listrik.
“Janji orang Amerika pada Irak seperti berusaha meng-
genggam air di tangan,” ujarnya dalam satu perbincangan. “Tumpah
di sela jari-jarimu.”
Namun, ia tak pernah kasar; ia pria dengan rasa welas yang
melimpah dan itu mencerminkan kualitas bertahan hidup di Irak
yang nyaris mustahil akhir-akhir ini.
Hayawi membenci pendudukan tapi menyumbangkan suara
dalam pemilu yang dibekingi Amerika Serikat. Ia muslim taat tapi
cemas atas naiknya sentimen agama dalam politik. Di toko bukunya,
ada buku-buku karangan ulama Syiah yang pernah dilarang beredar,
diimpor dari Iran, bersanding dengan buku-buku karangan ulama
Sunni berpandangan radikal, termasuk di antaranya Muhammad
Abdul Wahhab, mufti agung abad ke-18 yang menyiarkan Islam
di bawah naungan Kerajaan Saudi. Pertimbangan laba mungkin
mengilhami saling-silang pandangan eklektiknya—memilih yang
terbaik dari beragam sumber—tapi Hayawi tampaknya juga hendak
memberi kita pernyataan: Jalan al-Mutanabbi, Bagdad-nya dan
Irak-nya, menghormati keragaman.
Ia selalu menjadi sosok membanggakan. Sangat sering
Hayawi akan mengulangi kisah ini: berkendaraan dengan Chevrolet
Caprice warna kuning menuju Suriah untuk kepentingan bisnis, ia
dihentikan di pos pemeriksaan AS, dijaga oleh dua Humvee, di luar
Sungai Efrat di Kota Ramadi, Irak bagian barat. Melalui seorang
penerjemah, salah satu tentara Amerika, berpakaian loreng dan ter-
saput debu angin gurun, mulai mengajukan pertanyaan rutin.
“’Apa yang Anda lakukan di sini?’ Si Tentara bertanya.
“Lantas aku membalas, ‘Apa yang Anda lakukan di sini? Anda
tamu saya. Apa yang Anda kerjakan di Irak?’”
“Dia tertawa dan menepuk pundakku,” Hayawi mengenang.

Suaka di Tengah Perang


Pintu masuk Toko Buku Renaisans ialah pembatas ping-
gir jalan. Di luar terdengar sirene ambulans dan mobil patroli
polisi. Tembakan sudah biasa. Suara klakson meraung di dua
jalur lalu lintas, satunya mengarah ke Jalan al-Mutanabbi.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 42


Di dalam, Hayawi menjalankan bisnis setiap hari sejak ia diwarisi
toko itu dari ayahnya.
Terakhir kali aku melihatnya pada 2005. Ia duduk di belakang
meja, menyesap secangkir teh seharga 10 sen, dan di dekatnya satu
pak rokok Gauloise.
Seperti biasa setiap pagi, jam demi jam, Haji Sadiq, penukar
uang, berjalan tergesa-gesa ke toko buku.
“Berapa kurs sekarang?” Hawayi berteriak.
“Aku enggak akan ngasih tahu kecuali kamu mau menukar,”
jawab Haji Sadiq.
Hayawi melambaikan tangan ke teman-temannya yang
melintasi jalan di depan tokonya. Seorang wanita paruh baya berdiri
di pintu, meminta sedekah. Para pedagang kaki lima menjajakan
segala barang dari buku hingga handuk.
Hari beranjak dalam ritme kehidupan yang kini telah pudar.
Dua pedagang buku orang Kurdi datang, membawa hadiah madu
dari Sulaimaniya di utara. Mereka bersalaman dalam bahasa Kurdi,
lanjut bercakap dalam bahasa Arab. Haji Sadiq kembali, menyebut
nilai mata uang yang kurang-lebih sama seperti kemarin. Listrik
padam tanpa seorang pun memperhatikan. Para pembeli dari Balad
di utara mengisahkan situasi di daerahnya, begitupun para pengunjung
dari Basra di selatan.
Menjelang petang, listrik menyala dan setangkai pipa diambil.
Menguarlah harum tembakau terbalut wangi apel.
“Hidup berjalan terus,” Hayawi berkata kepadaku saat itu.
“Kami berada di tengah-tengah perang, dan kami masih bisa minum
tembakau.”

Khazanah Sastra Menyurut


Jalan al-Mutanabbi selalu terasa mengisahkan riwayat Irak.
Ia adalah labirin toko buku dan toko alat tulis, mendiami
sebuah arsitektur Ottoman yang elegan, merujuk nama seorang
penyair terbesar dunia Arab, sang Manikam bijak abad ke-10 yang
keangkuhannya sebanding kecerdasannya. Jalan itu berlabuh di
Kedai Syahbandar, yang menyimpan deretan pipa isap antik. Di
dinding ruangan kedai itu tergantung foto yang menggambarkan

43 Fahri Salam
sejarah Irak: potret tim gulat bertelanjang dada tahun 1936,
pengadilan Raja Faisal setelah Perang Dunia II, dan pemakaman
Raja Ghazi tahun 1939.
Pada masa jayanya, jalan ini mewujudkan pepatah kuno:
Kairo yang menulis, Beirut yang menerbitkan, Bagdad yang mem-
baca. Namun, lantaran sanksi PBB menyusul invasi Irak ke Kuwait
pada 1990, mengisolasinya dari dunia luar, toko-toko itu berselimut
majalah bekas berumur 20 tahun, buku pelajaran usang dan buku
babon dengan sampul berdebu, terlihat lebih untuk pajangan
ketimbang untuk dijual. Ia menjadi pasar loak yang suram untuk
buku bekas, sebagaimana para pedagangnya menjual koleksi pribadi
guna bertahan hidup. Hayawi dan saudaranya mencari nafkah tambahan
dengan menjual buku-buku agama, mengajar sejarah untuk kurikulum
universitas, dan membuka kursus bahasa Inggris yang ia sebut
sebagai paspor ke luar negeri.
Pada bulan-bulan sesudah invasi, Jalan al-Mutanabbi
menampakkan iklim intelektual bebas bagi semua golongan. Ter-
dapat buku karya Mohammed Baqir al-Sadr, teolog cemerlang yang
kematiannya, demikian cerita yang beredar, dengan cara eksekutor
Saddam membenamkan paku ke kepalanya. Ikonografi Syiah—
gambaran Ayatullah dan orang suci abad ke-7 yang berbaris men-
jemput ajal—beredar di mana-mana. Di dekatnya edisi baru majalah
FHM dan Maxim yang sampulnya dihiasi model wanita nyaris tanpa
busana. Di lapak reyot terdapat cakram padat, berisi pesan-pesan
Osama bin Laden yang dijual seharga 50 sen. Di jalan-jalan ter-
pampang pamflet Partai Komunis yang dikagumi. Sebagaimana si
Penjual Buku berkata, mengutip baris puisi Mutanabbi, “Rimba
suara yang buat kau pekak, butuh 10 jari buat kau tutup telinga.”
Kini Jalan al-Mutanabbi menuturkan kisah berbeda.
Tatkala pasukan Mongol merebut Kota Bagdad pada 1258,
dikisahkan Sungai Tigris mengalir warna merah pada satu hari dan
warna hitam di hari lain. Itu berasal dari darah orang-orang tanpa
nama, dibantai oleh pasukan berkuda yang keji; dan warna hitam
dari tinta buku tak terhitung banyaknya dari perpustakaan dan
universitas. Senin lalu, bom di Jalan al-Mutanabbi meledak pukul
11:40 siang. Trotoar digenangi darah. Lidah api membubungkan
sulang asap hitam, membakar berkas-berkas kertas.
Seorang kolega berkata kepadaku bahwa di dekat toko buku
Hayawi, di jalan kecil dari Kedai Syahbandar yang kini musnah,
sehelai spanduk hitam tergantung hari ini. Tertulis aksara Arab yang

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 44


meliuk-liuk anggun, bersepuh tinta kuning, berisi pesan dukacita
untuk Hayawi dan keponakannya: “Ia yang terbunuh oleh aksi bom
pengecut.”

______
Artikel ini diterjemahkan dari “The Bookseller’s story, Ending Much Too
Soon”, terbit di the Washington Post pada 12 Maret 2007.

Anthony Shadid adalah koresponden luar negeri untuk The New York
Times, dan kepala biro Bagdad untuk The Washington Post sampai De-
sember 2009. Ia meraih dua kali Pulitzer Prize pada 2004 dan 2010 untuk
reportase internasional saat meliput invasi AS ke Irak. Ia menulis tiga buku
termasuk House of Stone, memoarnya yang mengisahkan pengalaman
personal di tengah peperangan yang melanda nyaris seluruh negara Arab.
Ia dikenal berkat suaranya yang amat mengagumkan mengangkat wajah
kemanusiaan dari dunia yang telah ringsek.
Shadid meninggal pada 16 Februari 2012 karena serangan asma selagi
berusaha meninggalkan Suriah lewat rute Turki. Umurnya 43 tahun. Ia tak
sempat menyaksikan buku memoarnya terbit dan menjadi topik obrolan
yang sangat kaya. Buku tersebut membahas bagaimana ia diliputi rasa
waswas di Suriah, diculik di Libya, dan ongkos tak terkira harganya untuk
mendapatkan cerita kemanusiaan dari zona perang.

45 Fahri Salam
“Janji orang Amerika pada
Irak seperti berusaha
menggenggam air di tangan,
tumpah di sela jari-jarimu.”
- Mohammed Hayawi -

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 46


Proses Prosa Wright

Lawrence Wright bicara soal pendekatan “bagal”


dan kartu 4×6 cm dalam menggarap prosa nonfiksi.

Oleh Joanna Cattanach

L AWRENCE WRIGHT bersandar di pinggir kolam renang di


Pakistan. Pikirannya berkutat pada panggilan telepon yang ia
terima berjam-jam lalu. Apakah ia harus di sini ataukah pulang?
Seorang sahabat yang baik mestinya pulang. Seorang penulis yang
baik mestinya tinggal.

47 Fahri Salam
Namun, ia tak bisa menjadi keduanya—sebagai teman mau-
pun penulis yang baik; tidak untuk cerita yang sedang ia kerjakan.
Kabar itu bikin ia nelangsa. Seorang temannya meninggal─karib
baiknya─dan Wright memilih menetap. Ia mematung di tepi kolam
di Pakistan ketimbang terbang ke Austin dan menghadiri pemakaman
sahabatnya, ketimbang menghabiskan waktu bersama istrinya,
Roberta, dan kedua anaknya, Gordon dan Caroline. Ia memilih
menulis melebihi kehidupan keluarganya, meneliti melebihi per-
sahabatan, Pakistan melebihi seorang kawan dekat.
Wright merosot ke perairan kolam, pikirannya berkecamuk;
ia merasa pedih atas kehilangan sahabat baiknya dan jenis teman
yang tak kuasa ia lakukan: meninggalkan Pakistan dan mendatangi
pemakaman. Ia bertanya-tanya: apakah sebesar itu ia berkorban untuk
prosa yang sedang ia garap dan apakah selayak itu?
Selagi ia berenang di tengah kesejukan kolam, ia pun penasaran
apakah ia harus kembali ke dalam pelukan agama? Sebagai seorang
Methodis yang tumbuh agak taat di Dallas, ia meninggalkan salah
satu persekutuan gereja Protestan itu selagi remaja kendati ia meng-
hormati iman dalam diri manusia, bahkan bagi seseorang yang
meragukannya. Terlebih bagi seorang yang berenang kesepian di
sebuah kolam hotel di Islamabad pada tengah malam demi mencari
jawaban.
Dan tibalah momen itu, di perairan kolam renang, saat ia
mendengar apa yang mungkin bagi seorang religius menyebutnya
suara Tuhan. Namun, ia mengatakannya sebagai perasaan, sebuah
jawaban yang terang dan simpel dan mendalam. Pekerjaanmu
memiliki arti.
Ia mengulangi kata-kata itu sekali lagi di ruangan kerja
rumahnya di Austin, 10 tahun setelahnya. “Pekerjaanmu memiliki
arti,” ujarnya. “Bukan mengatakan setiap penulis atau seniman pasti
mengamini hal sama, tetapi itulah yang kuanggap jadi misiku.”
Wright mengalami peristiwa eksistensial serupa dalam
hidupnya—cuma segelintir, ia berkata—tetapi malam itu di Pakistan
menjadi titik menentukan dalam kariernya. Riset yang membuatnya
tetap di sana adalah untuk kepentingan bukunya yang terbit tahun
2006: The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11 (diterjemahkan
penerbit Kanisius pada 2011 berjudul Sejarah Teror: Jalan Panjang
Menuju 11/9). Ia menghabiskan hampir 2,5 tahun di luar negeri, bepergian
ke Mesir dan Arab Saudi serta Pakistan. Buku itu mendapatkan

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 48


penghargaan Pulitzer untuk kategori Nonfiksi pada 2007 dan men-
jadi karya sahih tentang latar serangan al-Qaeda terhadap Menara
Kembar lewat kisah beragam karakter termasuk Ayman al-Zawahiri
(wakil Osama bin Laden); Pangeran Turki al-Faisal (mantan kepala
intelijen Arab Saudi), dan John O’Neill (mantan kepala kontraterorisme
FBI). The Looming Tower mengerek karier Wright ke level baru, mem-
buka kesempatan baginya berpenampilan tunggal untuk program spesial
HBO, My Trip to Al-Qaeda.
Akan tetapi, ia tidak menduganya pada 2004. Saat itu ia
memilih cerita tentang al-Qaeda karena menulis bukanlah apa yang
ia kerjakan. Itu sudah menjadi bagian dirinya. Ia mencurahkan
sepanjang tahun menulis sejumlah kisah, menyelami bagaimana
mengulik ingatan dapat mengubah seorang gadis kecil menjadi pen-
dusta (Remembering Satan: A Tragic Case of Recovered Memory;
1994), melacak terbentuknya al-Qaeda (The Looming Tower), dan
menelusuri mengapa para penulis skenario dan aktor kaya-raya ter-
goda pada Saintologi (Going Clear: Scientology, Hollywood and
The Prison of Belief; 2013).
Dedikasinya pada kisah—bahkan bagi seorang Wright—
bukanlah perihal yang baru. Itu hal lazim baginya sejak ia belum
dikenal sebagai penulis pemenang Pulitzer dan dua kali menyabet
National Magazine Award.
Untuk Going Clear, ia menyelidiki perbenturan kebenaran
dan praktik sembrono Saintologi—sesuatu yang senada dengan
fokus penelitiannya saat mengisahkan profil televangalist (per-
paduan televisi + evangelis) Jimmy Swaggart (1993) dan Mormon
serta si kembar pada masa awal kariernya. Bahkan semasih penulis
lepas─selagi berusia muda─ia selalu mengejar cerita yang mengandung
gagasan besar. Tak peduli kocek yang harus ia sisihkan, waktu ter-
buang jauh dari rumah, dan upaya keras kepala untuk membuat
hidupnya stabil.
Sebagai anak bankir, Wright dibesarkan dalam
keluarga Methodis yang bikin jengah di Dallas dan dalam usia
remaja di masa penuh gejolak tahun 1960-an. Agama menjadi tema
yang acap dieksplorasi dalam banyak karyanya, tetapi ia kurang
tertarik pada ajarannya yang kaku, melainkan pada daya pikatnya.
Sebagai penentang, ia pergi ke Mesir selama dua tahun untuk meng-
hindari berperang ke Vietnam, dan di sana ia mempelajari bahasa
Arab pada kurun paling krusial dalam sejarah Timur Tengah.
Pemahamannya a t a s k a r a k t e r , b u d a y a , d a n bahasa telah

49 Fahri Salam
membantunya dalam menulis The Looming Tower serta naskah
The Siege, film keluaran 1998 tentang para ekstremis muslim di New
York dan penahanan sewenang-wenang serta penyiksaan terhadap
warga Amerika keturunan Arab oleh pemerintah. (Diperankan oleh
Denzel Washington, Bruce Willis, dan Annette Bening—The Siege
menjadi film paling banyak disewa di AS sesudah 9/11.)
Dua buku terbarunya, The Looming Tower dan Going Clear,
mendatangkan pujian. Namun pendekatannya dalam menulis dua
karya itu dengan sangat teliti bak ilmuwan, bahkan bagi penulis ber-
pengalaman, tetaplah bikin ciut nyali.
Ia begitu terorganisasi berkat displin, cermat karena ia kreatif.
Untuk narasinya, ia merekam setiap sumber (600 narasumber untuk
The Looming Tower, 200 narsum untuk Going Clear), terkadang
mewawancarai mereka belasan kali, menorehkan ke buku catatan
berwarna kuning cerah dengan tulisan tangan (4.100 halaman untuk
The Looming Tower). Ia menapis informasi paling penting ke dalam
kartu putih ukuran 4×6, yang diaturnya dengan cermat dalam katalog
berdasarkan subjek. Wright bersumpah metode penelitiannya tidak
bisa ditebak seperti kelihatannya, dan seperti profesor yang sabar, ia
bermurah hati mengajarkan metodologinya kepada siapa pun yang
sudi mendengarkan.
Itu bukan hanya soal proses “wawancara horizontal” (mendaftar
satu per satu sumber) atau “teori gelang karet” (mengulur informasi)
maupun “bagal” (karakter pemanggul beban) yang ia terapkan untuk
menggulirkan kisahnya. Melainkan juga kelihaiannya menyibak DNA
narasi dalam kartu 4×6—entah itu dalam karya buku (ada delapan),
skenario film (dua), ataupun drama (6 termasuk serial terbaru yang
dikerjakan bersama HBO, God Save Texas, berbasis naskah dramanya
tahun 2005, Sonny’s Last Shot.) Riset baginya adalah bagaimana mem-
bangun jalur cerita. Ini pintu masuk untuk meyakinkan pembaca
bahwa ia memahami akar masalah terorisme dan motivasi anak-anak
muda menerbangkan pesawat dan menabrak World Trade Center.
Memakai rekaman pengakuan menjelang ajal dari Sarah Northrup,
istri kedua L. Ron Hubbard—Wright enggan membocorkan bagaimana
ia mendapatkan rekaman itu—ia membuat pembacanya curiga jika
pendiri Saintologi tidaklah lebih dari perisak brutal.
Wright memikat pembaca menikmati beratus-ratus halaman,
dengan beragam alur cerita dan adegan, serta segudang data dan
fakta—dan membuat para pembaca melihatnya sebagai prosa, bukan
merasakan sebagai karya penelitian. Ia merancang kerangka dan

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 50


wawancara sampai benar-benar narasi nonfiksi itu dihayati sebagai
fiksi. Metodenya terletak pada kartu dan bloknot berukuran pas
(dengan warna yang tepat) dan kemampuannya memandu ber-
tumpuk-tumpuk bahan secara tertib—ya, kebanyakan penulis
memang memiliki suatu metode. Mereka, para penulis, punya proses
kerjanya sendiri, tetapi hanya segelintir yang sukses, lewat ragam
media, dengan kemampuan yang terus terjaga dan bernapas panjang.
Proses dan metode tidak membikin para pembaca terus menyimak.
Atau mengapa ia terus menulis.
Lawrence Wright, usia 66 tahun, masih bekerja keras
sekalipun sudah bangkotan. “Aku tidak punya jaminan pensiun,”
katanya. Jadi motivasi apa yang mendorong seorang kakek, pemain
piano, penulis skenario, pengarang naskah drama, aktor, penulis,
staf wartawan The New Yorker, dan—bila kamu bertanya kepada kaum
Saintologi—“seorang pengganyang,” melabuhkan risiko nyawanya,
reputasinya, keluarganya, dan persahabatannya?
Apa yang membuat seorang lelaki dari Austin bersitahan di
Pakistan?

Menata Panggung
Suaka ibadah menulis Wright di Austin adalah kamar tidur
di lantai atas yang diubah menjadi kantor rumah. Ini jenis tempat
yang diangankan sarjana untuk dihuni, dengan karpet hitam tebal
dan deretan rak buku melapisi dinding. Ada banyak jendela, tetapi
meja kerjanya tidak menghadap ke sana. Ia sungkan melihat ke luar
jendela selagi menulis. Di satu rak bersama foto keluarga dan para
sahabatnya, ada bisbol yang ditandatangani anggota Philadelphia
Phillies 1956 dan tanda tangan tim sepakbola Dallas Cowboys—
penanda untuk tim kampung halamannya. Inilah tempat ia baru
saja merampungkan Cleo, naskah drama tentang penggarapan film
Cleopatra (1963) yang dibintangi Elizabeth Taylor dan Richard Burton.
(“Itu hal favorit yang pernah kutulis,” katanya, menekankan riset
dan menulis itu menyenangkan.) Inilah tempat ia mengedit lagi
karya yang belum dirilis, Thirteen Days in September: Carter, Begin,
and Sadat at Camp David. (Naskah drama atas subjek itu, yang ia
tulis, akan dipentaskan di Washington, D.C., pada musim semi.)
Karangan setebal 5 sentimeter tentang kesepakatan perdamaian
di Timur Tengah itu, dijepit dengan klip bulldog, berada di atas meja

51 Fahri Salam
kerjanya. Wright memiliki meja tulis terbuat khusus dari kayu
mahoni dan cemara. Lihat, katanya, menunjukkan fitur mejanya
yang halus: bagian sayap kiri di tepian meja itu cembung—meja
kerja lain tak seperti ini, ujarnya bangga. Tumpukan kertas—
catatan dari para koleganya—berada di meja penulisan ulang. Ia
menyimak saran-saran mereka: Berpakulah pada rasa ingin tahu
khalayak, tidak setiap orang mengenal perjanjian Camp David
1978, tulis seorang kolega.
Seperti penulisnya sendiri, kantor itu menguarkan aroma
maskulin. Wright terlihat bugar, dengan rambut beruban tebal.
Satu-satunya yang menandakan ia berumur adalah kacamata baca
berbingkai tanduk. Dibalut korduroi dan sepatu cokelat, ia mem-
bahas menggunakan telepon sekali pakai saat berbincang dengan
para teroris dan surel terenskripsi untuk berkomunikasi dengan
kaum Saintologis, seakan itu perkara sehari-hari yang sangat biasa
seperti kita mengatur alarm rumah atau mengingatkan diri untuk
mematikan kompor. Saat jenak berpikir, ia menyilangkan lengannya
di belakang kepala. Saat bicara, ia terdengar seorang New Yorker
yang cerdas tapi beraksen Texas. Terkadang kamu merasakan ada
nada yang agak sedikit intimidatif saat ia bicara sewaktu menatap-
mu dengan mata birunya yang tajam, dan tersenyum saat ada yang
lucu serta terbahak kala ketemu banyolan segar.
Ia sebesar dan seluas perkakas di ruangan ini karena ia
adalah majikannya, seorang penulis yang dikitari oleh penelitian-
nya. Tak jauh darinya ada dua papan tulis geser memuat catatan
buku. Untuk buku tentang Saintologi, ia menulis di papan itu
daftar kronologi tanggal dan peristiwa. Untuk The Looming Tower,
di papan satunya, ia membubuhkan karakter utama yang terbagi
ke dalam tiga kolom berwarna. Di papan yang sama ia tuliskan
aksara Arab, dari kanan ke kiri, sebuah latihan untuk perjalanan
risetnya ke luar negeri. (Untuk memoles bahasa Arab, ia menyewa
guru privat yang datang ke rumahnya delapan sampai 10 jam
dalam sepekan.) Di tumpuan terdekatnya adalah kamus berukuran
Gutenberg. Di salah satu sudut ruangan ada kursi usang berdecit
tempat para tamu diajak untuk duduk, dan bercericit. Dan men-
dengarkannya. Dan berusaha tidak mencicit.
Bicaranya meluap-luap sewaktu obrolan kami menyinggung
kartu catatan, dan ia melangkah menuju kabinet logam, dengan kedala-
man 61 sentimeter, yang terpacak di satu pojokan. Setiap kartu catatan
itu memuat ketikan informasi, selarik paragraf atau secukupnya.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 52


Ia membagi tiap-tiap kartu itu berdasarkan subjek, dan memisah-
kannya sesuai katalog menurut subjek.
“Ini terlihat kuno, aku paham, tapi aku belum menemukan
cara yang lebih baik,” ujarnya sambil menelusuri kartu-kartu catatan
itu untuk bahan penulisan The Looming Tower.
Ada label untuk masing-masing penerbangan dalam
peristiwa 9/11—di landasan Pennsylvania, ke Menara Kembar, dan
ke Pentagon. Ia menunjukkan kartu berlabel merah bertuliskan
“Pemancungan” dan label hijau “al-Qaeda.” Tidak semuanya tentang
al-Qaeda, ia mengingatkan. “Aku bisa menyimpan informasi setebal
51 sentimeter tentang al-Qaeda.”
Segera kemudian ia menutup laci dan berdiri di tempat yang
dulunya balkon tapi kini jadi ruangan kantor tambahan. Di atas
meja makan yang kokoh, di tengah ruangan kecil, ia melonggok-
kan berkas-berkas penelitian tentang Camp David, dari awal sampai
akhir. Di sela tumpukan itu wajah Jimmy Carter mengambang.

Setia pada Proses


Selama 25 tahun Wright memulai setiap pekan dengan
mengayuh sepeda ke sebuah toko roti setempat untuk sarapan ber-
sama teman dekat dan rekan penulis H.W. Brands, Gregory Curtis,
dan Stephen Harrigan. Robert Caro, pemenang dua kali Pulitzer
yang menulis biografi apik Lyndon B. Johnson (Presiden AS ke-36),
kadang juga mampir. Mereka inilah yang pendapatnya diindahkan
oleh Wright. Komentar mereka berakhir di tumpukan catatan di
meja khusus tempatnya menulis ulang.
Ia selalu melewati pagi hari dengan penelitian dan petang
hari dengan menulis. Pada pagi hari 11 September 2011, ketika
Menara Kembar rontok, Wright duduk di kantor rumahnya di Aus-
tin dan meraih bloknot berwarna kuning cerah dan menulis sebuah
nama di daftar teratas: Khaled al-Maeena. Ia menuju kotak bloknot
dan mengambil kertas catatan baru tempatnya menulis pagi itu.
Maeena adalah seorang pengkritik keras Kerajaan Saudi. Seiring
bertambah dan berkembang catatannya, ia terus menuliskan nama
dan nomor telepon. Ia tengah mencari “bagal”—si pemanggul be-
ban—untuk narasinya, karakter yang dapat mengangkut perhatian
pembaca ke dalam dunia tersembunyi al-Qaeda. Satu nama muncul
dalam halaman obituari The Washington Post dan menarik perhatian-
nya: John O’Neill, saat itu kepala keamanan World Trade Center dan

53 Fahri Salam
mantan kepala kontraterorisme FBI. O’Neill sekian lama memburu
Bin Laden. Alih-alih Bin Laden yang menemukannya.
Daftar itu seketika mencakup dimensi internasional: Saudi,
Pakistan, Sudan. Seiring terus bergulir, si Lelaki yang setia pada
proses dalam penulisannya ini segera mengambil alih.
“Setelah aku mendapatkan nomor telepon narasumber, aku
menulisnya di tepi halaman. Dan saat aku bicara dengan para
narasumber, aku menandainya sehingga aku tahu aku pernah
mengobrol dengan mereka. Dan ketika kamu mewawacarainya,
kamu bilang, ‘Siapa lagi yang harus kuajak bicara?’ Seketika ada
ribuan nama.”
Selagi bicara itu, ia membolik-balik halaman bloknot, kini
berusia 13 tahun, untuk bahan The Looming Tower. “Ini berkembang
terus. Inilah proses mengisi alam semesta dari cerita yang kamu
tulis. Kamu mengetahui secara umumnya saja siapa yang ada dalam
cerita. Kamu mengetahuinya dalam surat kabar secara umumnya
saja nama-nama mereka dan kamu selalu mengatakan, ‘Siapa lagi
yang mesti kuajak bicara?’ dan kamu lantas bicara dengan mereka,
kemudian bertanya hal yang sama, dan seterusnya. Akhirnya, kamu
benar-benar tenggelam dalam cerita. Sampai kemudian kamu
tidak lagi mendengar nama-nama narasumber yang baru. Dan pada
momen itulah kamu tahu bahwa semesta ceritamu sepenuhnya
sempurna.” Itulah apa yang dinamakan Wright sebagai reportase
horizontal.
“Itu aturan mendasar dalam jurnalisme: Ajak bicaralah setiap
orang.”
Pria yang setia pada proses ini menakik pula pada apa yang
disebut “peliputan vertikal.” “Beberapa dari mereka berwawasan
luas, sangat menarik, lebih jujur dari yang lain. Dan kamu kembali
ke mereka untuk mengajaknya bicara lagi dan lagi dan lagi. Kamu
perlu kembali ke sumbermu. Kamu perlu menyadari bahwa mereka
adalah kunci. Mereka adalah narator kunci untuk ceritamu,” kata
Wright.
“Sepertinya memang ada 600 narasumber [untuk The
Looming Tower], tapi beberapa dari mereka kuwawancarai puluhan
dan mungkin bahkan ratusan kali. Karena mereka adalah orang
yang mampu menuturkan kisah dalam cara yang paling otentik dan
menarik.”

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 54


Salah satu sumber pertama yang diwawancarai Wright
untuk The Looming Tower adalah Khalid Khawaja, pria yang
menurut Mariane Pearl bertanggung jawab atas pemancungan
kepala suaminya, reporter The Wall Street Journal Daniel Pearl, di
Pakistan. Khawaja diyakini membiarkan para penculik tahu bahwa
Pearl adalah Yahudi.
“Aku biasanya percaya naluriku bila ada bahaya mengintai
atau orang cuma bicara omong kosong. Kamu harus mengembang-
kan naluri ini. Aku merasa cukup linglung di Pakistan,” kata Wright.
Kunci lain dalam proses ini ialah membangun ketegangan,
atau dalam istilah Wright, “teori gelang karet.” Tanamkan per-
tanyaan pada benak pembaca dan ulurlah jawabannya sebisa
mungkin, ujarnya. Ia memulai halaman pembuka The Looming
Tower dengan pertanyaan simpel:
“Di kabin kelas satu di kapal pesiar menuju New
York dari Alexandria, Mesir, seorang penulis dan
pendidik paruh baya yang getis bernama Sayyid
Qutb mengalami krisis iman. ‘Haruskah aku pergi
ke Amerika sebagaimana mahasiswa normal yang
mendapatkan beasiswa, yang hanya makan dan tidur,
atau haruskah aku jadi orang yang spesial?’”
Qutb, penulis yang menjadi Karl Marx-nya gerakan Islam,
akhirnya kembali ke Mesir dan dieksekusi gantung.
Untuk film HBO, My Trip to Al-Qaeda, Wright menuturkan
kalimat pembuka, “Kamu tak pernah tahu kapan hidupmu berubah
selamanya.” Khalayak dibiarkan penasaran: Bagaimana hidupnya
berubah?
“Fakta bahwa aku menulis skenario film telah membantuku
memahami bagaimana menuntun pembaca. Kamu tahu: menatah
karakter dan membangun adegan yang lebih mencekam dan
menukik bagi pembaca,” ujarnya.
Di sisi lain, ia menggamit teknik jurnalistik untuk menggarap
tangga dramatis. “Aku selalu merasa bahwa perihal nyata lebih
menakjubkan ketimbang hal-hal imajiner. Ini hanya pemikiranku,”
ujarnya. “Rasanya kamu tak bisa membuatku takjub dengan hal-hal
yang serba dibuat-buat. Realitas melemparkan begitu banyak kejutan
pada kita.”
Wright sepenuhnya merawat sejumlah bloknot serta
rekaman percakapan, di mana hanya yang terpenting diletakkan

55 Fahri Salam
ke dalam kartu catatan. Menjaga tumpukan bahan ini secara
terorganisasi dan gampang diraih di kabinet arsip miliknya adalah
kunci menjaga “kereta terus bergerak”—bukan hanya bagi penulisnya,
tetapi juga bagi pembaca, ucapnya.
“Secara tidak sadar, jika kamu beranjak dan memutuskan
mulai menulis karena kamu tak punya bahan yang pas di tanganmu
dan kamu tak menguasainya, maka kukira hasilnya pun merefleksikan
itu.”
Asisten penelitiannya, Lauren Wolf—yang membantu proses
kerja Going Clear, mentranskrip wawancara dan bekerja dengan bos
serta mentornya dalam penulisan nonfiksi bergenre narasi (atau
dikenal pula ‘longform’). Bekerja dengan Wright membantu Wolf
belajar kapan kita berhenti meneliti dan mulai menulis. Melihat
secara dekat bagaimana Wright bekerja, ujarnya, “membuatku tak
terlalu berusaha keras menghasilkan draf pertama yang sempurna.”
Mendengarkan wawancaranya, kata Wolf, kita akan mengetahui
kekuatan suatu jeda panjang. Ia tidak cemas dengan keheningan, ujarnya.
Ia akan membiarkannya berlama-lama sementara kebanyakan
reporter akan mengisi keheningan itu dengan basa-basi tiada guna.
Subjek wawancara juga menginginkan keheningan. “Berkat dia, cara-
ku kini mendengarkan pun berubah,” ujar Wolf.
John Burnett, koresponden nasional untuk National Public
Radio di Austin, memakai sistem penelitian Wright dalam serial
investigasi terbaru dan “hal itu benar-benar menyelamatkan cerita,”
ujarnya.
“Aku menyukai fakta dia orangnya baik dan analog sekaligus 3D”
dalam dunia sekarang yang terhubung lewat Dropbox, ujar Burnett.
Wright mendekati subjek ketika kebanyakan reporter
sungkan menyentuhnya, melacak asal-usul al-Qaeda pra-9/11
dan kemudian menggarap riwayat Gereja Saintologi yang tersembunyi
dan doyan berpekara, menurut Burnett. “Aku kira siapa pun tak
sanggup meladeni kedua topik itu seambisius dirinya.”
Kelihatannya mudah bagi Wright, tetapi hasilnya tak selalu
sukses. Pada awal tahun kariernya, ia tertatih-tatih, melakukan ini-
itu sebagai pekerja lepas. Ia merasakan tekanan untuk bisa meng-
hidupi kebutuhan keluarganya dan menghasratkan karya yang
laku keras.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 56


Pada satu acara pesta peluncuran bukunya, Noriega: God’s
Favorite—novel yang terbit tahun 2000—ternyata hanya empat orang
yang hadir. Itu satu fakta yang kerap jadi terminal bagi karier para
penulis yang cuma datang sekelebatan. Namun, sahabatnya, Mimi
Swartz, kontributor Texas Monthly, berkata ia tetap mengejar cerita
yang sulit, tak peduli ongkos dan waktu yang dipertaruhkan.
“Apa yang kupikirkan soal awal tahun kariernya ini, ketika
keuangannya empot-empotan, ia terus saja mengejar kisah-kisah
berdampak luas,” katanya. “Begitu banyak penulis yang menyerah.
Sebaliknya ia berani mengambil langkah besar. Ia terus berusaha
hingga berhasil.”

Tema Agama
Karya buku dan esai Wright acapkali mengeksplorasi keyakinan
agama beserta rasa aib, penghinaan, dan konversi yang biasa dialami
para penganutnya dari Mormon, Saintologis, sampai muslim. “Aku
terpesona pada bagaimana seseorang bisa merengkuh orang baik
yang idealis dan menanamkan keyakinan yang tak pernah mereka
kira yakini dan melakukan tindakan yang tak pernah mereka sangka
lakukan. Kita semua dipengaruhi dalam hidup kita suatu gagasan
besar maupun sepele.”
Dalam Twins: And What They Tell Us About Who We Are—
bukunya yang terbit tahun 2000—ia mengarungi kehidupan bayi
kembar yang terpisah sejak lahir dan risetnya menunjukkan bahkan
bayi kembar yang dibesarkan terpisah pun akan berbagi minat dan
pertautan pada keyakinan agama.
“Keyakinan agama jauh lebih kuat ketimbang keyakinan politik.
Dalam observasiku, orang bisa punya pandangan politik yang sangat
keras. Jarang hal itu benar-benar memengaruhi perilakunya. Namun,
pandangan agama yang sangat teguh memang punya sifat dasar
yang berbeda. Pandangan itu sangat mengakar. Dan tak hanya bagi
individu tapi bagi masyarakat,” ujarnya.
“Aku kita para reporter cenderung melihat agama sebagai
sesuatu yang tidak suka dibahas karena dianggap tidak sopan atau
tak relevan. Aku tak sepakat. Aku kira peta bumi agama harus jadi
gudang senjata setiap reporter.”
Dengan memindai keyakinan agama orang per orang,
katanya, “kamu mungkin mengetahui apa yang menarik mereka
sehingga mendorong mereka meyakini jalan yang mereka tempuh.”

57 Fahri Salam
Keyakinan religius Wright tumbuh kuat semasa muda di
Dallas pada 1960-an. Keluarganya termasuk jemaat Gereja
Methodis Bersatu tempatnya bergabung bersama Young Life, se-
buah kelompok pemuda, dan kemudian anggota Kampanye, satu
divisi lebih sengit yang sumpahnya disaksikan anak muda sebaya dan
mengikat mereka dengan akad persahabatan dan kabar baik. Bagian
dari pekerjaan mereka termasuk memeragakan peran sebagai seorang
pendusta, penggoda, dan penyangsi saat hendak melanjutkan
sekolah tinggi.
“Aku yakin aku tidak mengajak siapa pun berpindah keyakinan
di sekolah,” kata Wright. “Malahan mereka lebih sering meyakinkan
diriku.”
Peran yang ia peragakan adalah seorang intelektual yang
mengklaim diri Tuhan seperti seorang pembuat jam yang menciptakan
jam dan lalu mati. “Alam semesta ini sebuah jam dan tak ada campur
tangan Tuhan. Dan aku melakukan peran itu dengan sangat meyakinkan,”
katanya.
Sesudahnya, kenang Wright, pemimpin grup berkata agar ia
menyangkal ucapan yang baru dilontarkan dalam peran tersebut.
“Aku tak bisa. Aku sebenarnya mengungkapkan unek-unek semua
anggota Young Life. Jadi, aku pergi kuliah dan menjadi eksistensialis.”
Kini ia tak bisa memastikan label agama untuk dirinya, “Aku
kepincut tapi tidak optimis.”
Wright meninggalkan Texas untuk studi ke Tulane University
di New Orleans tempatnya bertemu Roberta, dan kemudian kuliah
di Universitas Amerika Kairo. Ia kembali ke AS pada 1971 dan mengam-
bil kesempatan kerja perdana sebagai wartawan di Race Relations
Reporter di Nashville—suatu ironi bagi seorang pemuda kulit putih
tapi tak menghalanginya meliput isu rasial di Selatan.
Dua tahun kemudian ia bekerja untuk Southern Voices
dari Atlanta dan menulis lepas untuk sejumlah majalah nasional
sampai berlabuh di Rolling Stone sebagai kontributor editor. Pada
1992 ia menjadi staf penulis yang didambakan di The New Yorker,
tetapi tentu setelah beberapa kali tulisannya ditolak. Artikelnya
tahun 2011, “The Apostate” tentang penulis skenario Paul Haggis
dan kehidupan publiknya yang terbelah karena Gereja Saintologi
menjadi dasar bagi karya narasinya Going Clear.

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 58


Kronikus Ulung
“Bertahun-tahun lalu kami hanya mengobrol ngalor-ngidul
tentang bagaimana kami bisa sukses. Seperti apa rasanya jadi orang
sukses dan bagaimana kami mencapainya,” ujar Stephen Harrigan,
anggota klub sarapan yang bekerja dengan Wright di Texas Monthly
pada 1980-an—Wright hanya enam bulan di sana—dan baru
belakangan ini menulis naskah drama. Harrigan, salah satu penulis
paling sukses di Texas, sepakat bahwa keberhasilan karier menulis Wright
berkat kecakapan organisasionalnya yang ulung.
Namun, terkadang seorang penulis “menjumpai perkara
yang membuatnya tergerak menulis,” kata Harrigan, yang melihat
draf perdana The Looming Tower dan segera tahu akan jadi karya
mentereng. “Sambutan dan pencapaian atas buku itu memberinya
dimensi personal sebagai pengarang dan pengakuan internasional.
Dengan kata lain, identitas anyar sebagai penulis, kekuatan baru,
suatu tujuan baru,” ujar Harrigan. “Mencapai kesuksesan seperti itu
dan [lantas menulis] Going Clear agak menenangkan batinmu.”
Jika Wright melakukan sesuatu, kata kolega dan keluarganya,
ia akan mengerjakannya mati-matian. Usai menulis artikel majalah
soal mengenang 20 tahun pembunuhan Kennedy, ia sendiri meng-
hipnotis dirinya pada 1983 untuk menyingkap apakah ia salah satu
di antara anak-anak sekolah di Dallas yang dikabarkan tertawa saat
berita kematian Kennedy diumumkan. Di bawah pengaruh hipnotis,
ia ingat ia mendengar semburan napas dan pengumuman itu lewat
sistem alarm publik. Namun, ia tak bisa mengingat apakah ia tertawa.
Ketika ingin memainkan “Great Balls of Fire” untuk ulang tahunnya
ke-40, ia mulai berlatih pada usia 38 tahun, memulainya dengan
belajar memainkan lagu “Somewhere Over the Rainbow.” Kini, ia
berlatih dengan Floyd Domino, pemain piano “boogie woogie”
pemenang Grammy. Wright juga bermain di seputaran Texas ber-
sama band WhoDo, berpenampilan koboi urban dengan jins hitam,
sepatu bot hitam, dan kemeja koboi berkancing mutiara hitam
bersulam banteng putih.
Bahkan sesudah ia menerbitkan buku, ia masih menyentuhnya.
Ketika Wright mendengar mantan juru bicara Saintologi Tommy
Davis pindah ke Austin, ia mencoba menemuinya. Davis akhirnya
menjawab permintaannya tahun lalu dan berkata kepada Wright,
“Pandanganku tak berubah.” Wright tak terkejut bahwa Davis
masih mempertahankan posisi di kubu gereja. “Satu-satunya hal

59 Fahri Salam
yang kutahu adalah aku tak ingin dia lantas punya kesempatan un-
tuk berkata, “Sudahlah, Wright tak pernah menanyakanku.”
Keuletan itu tetap saja tak berpihak padanya. Gereja Saintologi
membuat situsweb LawrenceWrightGoingClear.com, Gimana Lawrence
Wright Ketauan Bo’ong Banget, yang membelejeti bab demi bab bukunya,
dan laman utama situs itu menampilkan m u k a Wr i gh t y a ng d i -
re ka-ulang dengan mata tajam mengerling di balik sampul buku—
jelas sekali mengirim pesan dirinya sebagai jelmaan iblis.
Pada awal 2000-an, anggota Pasukan Gabungan Anti-Teror-
isme datang ke rumah Wright di Austin dan ingin tahu mengapa ia
mengontak nomor telepon di London milik seorang pengacara yang
mewakili jihadis. Wright berkata ia menelepon untuk kepentingan
riset tapi mereka ingin tahu tentang Caroline Wright, putrinya, yang
namanya tak terdaftar dalam tagihan telepon. Itulah bagaimana ia
mengetahui mereka menguping percakapannya. Nama putrinya
muncul dalam transkrip telepon yang didapatkan secara ilegal ber-
sama nama-nama anggota al-Qaeda.
Selama reportasenya untuk The Looming Tower, Wright
beradu argumen dengan anggota Ikhwanul Muslimin dan lantas
mendapati dirinya hampir berkarib dengan orang yang dipastikan
“tangannya berlumuran darah.” Keluarganya cemas atas lawatannya ke
luar negeri. Istrinya lebih khawatir pada pengikut Saintologi. Wright
melucu seenggaknya mereka tak memancung kepalanya. Roberta
tak berpikir itu sebagai lelucon.
Ya, ia letih menulis Saintologis dan teroris. Meski ia penulis
tahan banting dan tipe suami setia, kartu-kartu catatannya men-
jemukan, waktu terbuang jauh dari rumahnya melelahkan, dan
penelitiannya menelan banyak waktu bahkan sekalipun dibantu
oleh asisten. Tetapi cerita-cerita ini, ujarnya, adalah pemikat hati.
Mereka menggairahkan. Mereka tak ingin lepas. Dan ia pun sungkan
melepasnya.
“Ini semata soal cerita. Kisah. Prosa. Kamu tahu, aku orang-
nya sangat simpel. Aku didorong kerinduan untuk menuturkan kisah
besar. Tak peduli apa pun kondisinya. Aku hanya ingin memiliki
kesempatan untuk menciptakan narasi dan hal ini sudah jadi bagian
fundamental dari diriku,” tuturnya.
“Ada pengorbanan untuk keinginan menjadi sekadar pencerita dan
tidak menangguk keuntungan atau tidak berperan sebagai penengah
atau apalah sebutannya. Tetapi aku seorang kronikus.”

Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 60


Tubuhnya mencondong ke depan; ia mengangkat lengan di
atas kepalanya lantas jemarinya menjepit kacamata baca. Sekilas
ia tersenyum dan menghela napas dalam-dalam, merosot dalam
perasaan murung bahwa bila ia menarik diri dari pekerjaannya,
sesungguhnya itu menentang kariernya yang tak mengenal kata
pensiun.
Wright akan selalu berdiri di tepi kolam di Pakistan dan
memilih cerita melebihi sahabat baik. Melebihi keluarga. Melebihi
keselamatan. Ia akan sekali lagi mengetuk pintu penganut Saintologi.
Ia akan mengisi lagi kartu catatan di kabinet arsipnya yang dipenuhi
berkas penelitian dan menorehkan lagi kerangka kerja di papan
tulis.
Ia takkan berhenti karena ia tak bisa berhenti.

______
Artikel ini diterjemahkan dari “The Wright Process”, yang dirilis di Frank
W. Mayborn Graduate Institute of Journalism.

Joanna Cattanach, penulis artikel ini, adalah seorang pendidik dan penu-
lis lepas bermukim di Texas.
Salah satu buku Lawrence Wright, The Looming Tower: Al-Qaeda and the
Road to 9/11, diterjemahkan penerbit Kanisius pada 2011 berjudul Sejarah
Teror: Jalan Panjang Menuju 11/9. Twitter: @lawrence_wright

61 Fahri Salam
"
Pada masa jayanya, Jalan
al-Mutanabbi mewujudkan pepatah
kuno: Kairo yang menulis, Beirut
yang menerbitkan, Bagdad yang
membaca.

"

Anda mungkin juga menyukai