Fahri Salam
Kisah
Pedagang Buku
yang tewas di bagdad:
Belajar dari para maestro nonfiksi
Kisah Pedagang Buku
yang Tewas di Bagdad:
Penyusun:
Fahri Salam
Kisah Penjual Buku yang Tewas di Bagdad:
iii + 61 halaman
13 x 20 cm
Diterbitkan oleh
Shadid ~39
______
1 Fahri Salam
Rencananya, mereka cuma sebentar, tapi Colloff malah tidak
ingin beranjak. Sewa rumah di sana murah, cuma 300 dolar AS
sebulan, dan kondisi ini bikin dia punya waktu menulis.
Dan ada perihal lain: Texas membuat hatinya kepincut.
“Setelah aku tiba ke sini, aku selalu punya banyak ide. Kupikir
karena ini berbeda dan segalanya serba baru, aku jadi punya banyak
ide menulis,” ujarnya.
Di sinilah, di rumah yang serba kebetulan, di luar pusat media
tradisional di AS, Colloff menemukan panggilannya dan mem-
bangun sebuah dinasti.
Direkrut oleh Texas Monthly sebagai penulis pada 1997,
ia kini menjadi redaktur eksekutif dan salah satu arsitek yang
memimpin majalah tersebut menatah reputasi nasional dalam
laporan kriminal mendalam dan feature panjang. Di era yang ser-
ba tergesa-gesa, ketekunannya dalam investigasi, wawancara, dan
menyingkap karakter membuatnya diganjar enam nominasi Nation-
al Magazine Awards, lebih dari penulis perempuan dalam sejarah
penghargaan tersebut. (Ia menang satu kali.)
Akan tetapi, majalah tempatnya bekerja selama 20 tahun itu
kini dalam masa perubahan. Dalam satu wawancara untuk tulisan
ini, redaktur baru Texas Monthly berencana mengubah fokus ma-
jalah pada liputan ‘gaya hidup’. Rencana ini menuai protes dari para
pembaca setia, lalu belakangan editornya mengklarifikasi bahwa
liputan perjalanan serta kuliner tetap ada, begitupun laporan politik
dan narasi.
Dari kisah nyata kriminal hingga sejarah lisan maupun tokoh
politik, cerita memikatnya memahat reputasi Colloff sebagai jago-
an jurnalisme sastrawi. Tulisannya matang dalam reportase, tajam
dalam eksekusi, dan kaya dalam plot dan karakter, yang dibangun
lewat naluri tingkat tinggi. Para wartawan dan pembaca sama-sama
menanti cerita barunya. Akan tetapi kekuatan Colloff bukan sekadar
tulisannya, melainkan komunitas yang dibentuknya.
Para penulis yang dibimbingnya menerbitkan buku pe-
menang penghargaan—karya mereka termuat dalam antologi Best
American Sports Writing dan Best Food Writings, serta muncul di
majalah prestisius macam The Atlantic dan Wired.
“Dia tipe penulis yang segera berpaling ke kamu tiap kamu
butuh bantuan,” ujar Jake Silverstein, redaktur New York Times
3 Fahri Salam
kamu diizinkan mendekati siapa pun dan bertanya pada mereka se-
banyak apa pun.”
Setelah SMA, ia kuliah di Brown University, berniat
mengambil jurusan jurnalisme. Namun, di sana ia menemui
masalah: Brown, yang jadi almamater ayahnya, tak punya jurusan
yang dimaksud. Tanpa ragu-ragu, Colloff merancang kurikulum
sendiri lewat kelas belajar dan pengalaman praktis mandiri.
Ia mulai menulis untuk majalah alternatif yang kini sudah
gulung tikar. Cerita perdananya mengenai kelompok persaudaraan
yang mengajak para cewek teler dan, sebagaimana ia ceritakan ke-
pada Tribeza, merekam “melakukan pelbagai adegan seksual dan
lantas menyebarkan kaset videonya.”
“Aku pergi ke kantor surat kabar dengan membawa cerita
itu,” ujarnya, “dan pada dasarnya belajar bagaimana melaporkan
sebuah cerita investigatif dari lapangan.”
Laporan itu dibeli oleh Associated Press. Colloff menyaksikan
bagaimana reportasenya berdampak pada kebijakan kampus. Dalam
satu wawancara, Colloff mengingat masa awal kariernya, “Sangat
memuaskan rasanya menyadari aku bisa melaporkan sesuatu dan
mengubah keadaan lewat kata-kata yang kutulis.”
Kemudian tibalah kelulusan dan berkelana bersama Austin.
Malam pertama di kota, Colloff dan sobatnya Margaret Brown
mendatangi sebuah kelab yang dinamakan Electric Lounge, tempat
salah satu teman Brown bermain untuk sebuah band rock. Teman
itu bernama Chad Nichols, yang kelak jadi suami Colloff. Pernikahan
mereka pada 2005 diumumkan dalam catatan ringan The New York
Times:
Mereka seketika saling nyantol satu sama lain. Bagi
Tuan Nichols, itu sebuah “epifani’—penampakan
benderang. Nyonya Colloff berkata momen epifani
itu tiba saat subuh hari ketika mereka ngobrol dan
menyadari ada sebuah novel di dasbor pikapnya.
Colloff berkata kepada Times: “Dia membaca Our
Lady of the Flowers – Jean Genet, dan dia mengendarai
pikap. … Sebuah kombinasi maut.”
5 Fahri Salam
Smith percaya, betapapun ide tulisan Colloff tersembunyi
entah di mana dalam tumpukan berkas, laporan-laporannya yang
terbit telah memancarkan warisan abadi. Meski ditawari oleh pel-
bagai majalah di seantero negeri, Colloff tetap bertahan di Texas
Monthly selama 20 tahun. Ia dan Nichols telah menikah. Nichols
bekerja sebagai korektor di Springbox, agensi pemasaran digital di
Austin, dan tetap bermain untuk sebuah band bernama “The Trans-
gressors.” Mereka dikaruniai dua anak, berumur 9 dan 5 tahun, yang
main kejar-kejaran seraya berteriak, “Ingatlah Alamo! Ingatlah
Goliad!”—merujuk pertempuran dan pembantaian dalam sejarah
Revolusi Texas pada abad 19.
Menulis di Texas punya tantangan yang unik, terutama
keragaman politik pembacanya. Majalah itu memiliki 300.000
pelanggan dan lebih dari 1,5 juta page views saban bulan. Colloff
menjelaskan, karena Texas adalah “red state”—kawasan pemilih Re-
publik—maka lebih banyak pelanggan cetak dari kalangan konservatif
ketimbang pembaca online yang bisa datang dari seluruh kawasan
AS.
“Karena itu, dari yang kubaca, situasi itu menimbulkan
banyak asumsi soal pandangan politik pembaca,” ujar Colloff.
“Jika aku menulis tentang pernikahan LGBT, aku sadar ketika aku
menulisnya ada sekelompok besar pembaca yang tak suka dengan
tulisan tersebut.
“Berusaha meraih pembaca yang beragam, kupikir, bikin
tulisanmu lebih baik. Bukan berarti asumsi itu adalah modal bagus
buatku sendiri sebagai penulis.”
7 Fahri Salam
menuturkan: “Tanpa kesempatan memomong buah hati dalam
pelukan, Claire tak tahu caranya berduka atas kehilangan itu; ia be-
lum memutuskan sebuah nama, dan ia merasakan kehilangan itu
bak niskala—abstraksi; raut mukanya sulit dikenali.”
Tulisan Colloff membangkitkan perasaan Wilson melebihi
untaian kata, menyelinap ke dalam pikiran dan sanubari subjek.
Kisahnya punya kualitas sinema—suatu pendekatan yang takkan
mengejutkan mengingat sampai kematian ayahnya pada 1992, sang
Ayah bekerja di kantor berita televisi. Kepiawaian mamahat kata ke
dalam visual terdapat dalam darah Colloff.
Colloff menyebut gaya tulisannya yang tajam dan minimalis
berkat mentor dan koleganya, Skip Hollandsworth, redaktur
eksekutif Texas Monthly yang juga menulis beberapa skenario film.
Colloff mengingat sekali waktu Hollandsworth menyarankannya
membuang kutipan dari draf cerita. Hollandsworth menyangkal
pernah memberi saran semacam itu. “Apa pun yang aku bilang ke-
pada Pam, ia selalu mengabaikan,” Hollandsworth tertawa. “Dia
memang pada dasarnya punya kepekaan naluriah dan sempurna
bagaimana sebuah cerita dituturkan.”
9 Fahri Salam
lewat kaca besar yang memisahkannya dari bilik hukuman mati. Di
seberangnya, terbaring putranya, yang dihukum mati karena me-
merkosa dan membunuh gadis berusia dua belas tahun. McGinn
terbaring telentang, tubuhnya dilintangi pengikat tali kulit, dan
bebat infus menempel kedua lengannya. Si Perempuan Tua itu, tangan
keriputnya mencengkeram gelas kuat-kuat, menyaksikan dengan
saksama tubuh putranya perlahan mengendur. Michelle memikir-
kan si Ibu saat berangkat kerja pagi itu. Tatkala cakrawala Houston
tersibak di depannya, ia menyadari wajahnya basah oleh air mata.
“Aku tak punya trik apa pun,” ujar Colloff. “Aku hanya be-
rusaha jadi orang yang menyenangkan dan berharap hal itu bisa
bekerja.”
Colloff tetap membuka pintu dialog terjalin dengan para
narasumber sekalipun ceritanya sudah tuntas ditulis. Hasilnya,
sumber datang kembali dan berbagi cerita dengannya.
Claire Wilson, subjek dari artikel “The Reckoning” juga
muncul dalam “96 Minutes.” Michelle Lyons telah jadi salah satu
sumber bagi para penulis di majalah itu selama lebih dari satu dekade.
Mereka ngobrol pada satu hari dan Lyons berkata kepada Colloff bah-
wa ia terganggu pada beberapa eksekusi mati yang ia saksikan, bagian
dari pekerjaannya. Komentar itu berbuah sebuah feature yang men-
jadi nominasi kelima Colloff dalam National Magazine Awards.
Hubungan Colloff dan para narasumbernya adalah warisan
dari kemampuannya sebagai pewawancara. Untuk persiapan wawancara,
ia berkata “ia mengemas segalanya dengan matang”—melakukan riset
dan menyusun daftar pertanyaan.
Namun, sewaktu wawancara berjalan, ia hanya sesekali melihat
daftar itu cuma untuk memastikan tak ada pertanyaan satu pun yang
terlewat.
“Wawancara yang baik adalah suatu percakapan,” catat Colloff.
“Bukanlah interogasi, yang membuat kamu berusaha menggali sesuatu
dengan mengajukan tuduhan.”
Ia tak suka memakai alat perekam; alih-alih cuma mendengar-
kan. Usai wawancara, ia akan merekam apa yang diingatnya dari
percakapan tadi.
Meski begitu, ujar Hollandsworth, pastilah ada satu daftar
pengacara distrik yang menyesal telah mengobrol dengan Colloff: “Dia
pendengar yang baik. Kamu ingin menceritakan semua kepadanya.”
11 Fahri Salam
t e r pidana mati atas tuduhan kejahatan membunuh istri dan anak-
nya. Ia kalah gesit dengan David Grann. “Grann menulis kisah itu
luar biasa,” ujar Colloff. “Aku tidak marah.” (Tulisan Grann tentang
kisah hidup Willingham berjudul “Trial by Fire” termuat dalam
antologi The Devil & Sherlock Holmes.)
Sosok yang sangat berpengaruh pada tulisan Colloff adalah
karib dan sejawatnya, Kate Rodemann, yang bekerja sebagai wakil
pemimpin redaksi Texas Monthly. Rodemann mengajari Colloff
menahan diri dari menyisipkan suara editorial dalam tulisannya
dan, sebaliknya, menulis dengan cara simpel dan metodis sesuai
fakta.
Colloff menjelaskannya ketika tahun 2010 ia menulis tentang
Anthony Graves, yang keliru didakwa atas pembunuhan enam
anggota keluarga di Somerville, Texas, dan dijatuhi hukuman mati.
Saat menulis kisah itu, Colloff dongkol atas fakta-fakta pada kasus
tersebut, dan draf awal tulisannya berlumur kemarahan moral.
“Kate bekerja denganku untuk membuang emosi dan, karena
itu, membuat naskah tersebut jauh lebih bertenaga dan meyakinkan.
Sarannya, jika aku hanya menyuguhkan fakta-fakta pada kasus itu
dan tidak menyelipkan suara editorial, dan menyajikan kepada pem-
baca apa yang mereka pikirkan, kesimpulannya akan sama—bahwa
Anthony tak bersalah. Namun, karena para pembaca dituntun untuk
menjalin potongan-potongan kisah dan dirancang untuk mencapai
kesimpulan itu di kepalanya sendiri, mereka akan semakin terperangah
dibuatnya.”
Baru-baru ini fokus Colloff bergeser dari kisah kriminal ke
cerita yang menggambarkan dampak politik nasional terhadap ke-
hidupan personal, meski moral dari cerita dan fokus yang digalinya
tetaplah sama. Ia menjelaskan, contoh terbaik dari seni bercerita
yang terus ia pancang adalah sebuah film dokumenter The Thin Blue
Line (1988)—dipuji sebagai salah satu karya sinema politis yang
signifikan secara kultural, historis, dan estetis.
“Film itu secara visual memikat dan sangat menggugah, dan
setiap aspeknya adalah karya naratif terbaik. Namun, inti kekuatan-
nya adalah sebuah karya jurnalisme investigasi yang brilian. Ia men-
ciptakan ketidakadilan yang menyeramkan,” ujar Colloff.
Colloff menghabiskan sebagian besar kariernya untuk jurnalisme
naratif (longform journalism). Bahkan proyek belajar mandirinya di
Brown pun menghasilkan artikel 4.000 kata, yang menyuguhkan
______
Artikel ini diterjemahkan dari “How Pamela Colloff became the best damn
writer in Texas”, dirilis Columbia Journalism Review pada 24 Februari 2017
13 Fahri Salam
Lyz Lenz tinggal di Iowa, redaktur pelaksana The Rumpus. Tulisannya
terbit di Pacific Standard, Marie Claire, Jezebel, dan The Washington Post.
Twitter: @lyzl
Pamela Colloff sejak Maret 2017 direkrut sebagai reporter senior di Pro-
Publica dan penulis lapangan di The New York Times Magazine. Laporan
perdana di pos barunya itu berjudul “Blood Will Tell”, dipecah menjadi
dua bagian sepanjang 22.000 kata, rilis pada akhir Mei 2018. Twitter: @
pamelacolloff
A
KU BERTEMU ERNEST HEMINGWAY kali pertama di
hari sebelum Natal pada 1947 di Ketchum, Idaho. Saat itu aku
dalam perjalanan pulang menuju New York dari Meksiko, tempat
aku menemui Sidney Franklin, matador dari Brooklyn, untuk kutulis
sosoknya buat rubrik profil di The New Yorker.
15 Fahri Salam
Hemingway sudah lama mengenal Franklin sebagai matador
di Spanyol pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Aku pergi meli-
hat sejumlah corrida—gelanggang pertarungan—bersama Franklin
di Meksiko. Aku mendapati diriku terhenyak dan ketakutan sampai
mati kaku saat menyaksikan untuk kali pertama adu manusia versus
banteng di sebuah arena.
Meski aku mengapresiasi usaha mati-matian matador dengan
jubah merahnya mengalahkan banteng, dan atmosfer seremonial
bersemangat yang menyelimutinya, aku tak begitu jatuh cinta pada
permainan ini. Kupikir yang membuatku tertarik adalah bagaimana
Franklin, putra dari polisi pekerja keras di Flatbush, menjadi seorang
matador.
Sewaktu Franklin berkata Hemingway adalah orang Amerika
pertama yang bicara dengan cerdas tentang adu matador versus ban-
teng, aku menelepon Hemingway di Ketchum. Hemingway menyu-
kai liburan di sana, bermain ski dan berburu, jauh dari rumahnya di
San Francisco de Paula, dekat Havana, Kuba. Ia kemudian membeli
sebuah rumah di Ketchum. Saat kutelepon, Hemingway tengah
menginap di sebuah kabin turis bersama istrinya, Mary, dan
anak-anaknya—John, Patrick, dan Gregory—serta beberapa teman
mancing dia dari Kuba. Ia bermurah hati mengundangku dalam per-
jalanan pulang ke Timur.
Pukul 7 pagi, sesudah kereta tiba, aku melihat Hemingway
di depan kabin turis. Ia berdiri di atas hamparan salju yang keras,
di bawah suhu dingin yang kering minus 10 derajat, beralas sandal
kamar tanpa kaos kaki. Ia mengenakan pantolan western dengan
sabuk Indian bergesper perak dan kaus olahraga tipis berkerah
dengan saku kancing model western. Kumisnya kelabu, tetapi saat
itu dagunya belum bercambang. Dalam pelbagai foto yang dikenang,
Hemingway kelak menampilkan bakat seorang patriark yang me-
mancar keagungan dan inosens—suatu aura yang entah bagaimana
tampaknya tak pernah bertentangan dengan sifat kasarnya.
Pagi itu ia terlihat kasar, kekar, bersemangat, ramah dan baik.
Badanku dilapisi mantel tebal tapi membeku diterpa cuaca dingin.
Sebaliknya Hemingway, saat kutanya, berkata tak merasa kedinginan
sama sekali. Ia seakan memiliki tubuh hangat mengagumkan.
Aku menikmati hari yang indah dengan mengobrol dan belanja
Natal bersama Hemingway dan para sahabatnya.
Mary Hemingway, seperti suaminya, adalah orang yang
hangat dan ramah dan cerdas, serta mampu membawa dirinya be-
gitu apik mengisi peran yang sulit sebagai istri pengarang terkenal.
17 Fahri Salam
Namun, sesuatu yang aneh dan misterius menjeratku sesudah
naskah itu terbit. Hal macam ini tak pernah kualami sebelumnya,
atau terjadi sesudahnya. Baik Hemingway maupun editor The New
Yorker tak menyangka naskah profil itu menyulut kontroversi.
Kebanyakan pembaca memperlakukan naskah itu biasa saja,
dan aku percaya mereka menikmatinya dalam cara yang simpel.
Namun, sejumlah pembaca tertentu melontarkan reaksi kasar, dan
dalam cara yang rumit. Di antara mereka, yang sangat membenci
kepribadian Hemingway, menilai aku telah memperolok persona
Hemingway—dan, dengan begitu, aku dianggap sekubu dengan
mereka.
Pembaca lain tak suka saja dengan cara Hemingway bicara
(mereka bahkan keberatan dengan caranya melucu yang terkadang
dilontarkan lewat lelucon bahasa Indian); mereka tidak menyukai
kebebasannya; mereka benci pembawaannya yang santai; mereka
sinis bahwa pengarang paling terkenal ini membuang-buang wak-
tu untuk menonton pertandingan tinju; pergi ke kebun binatang,
mengobrol dengan teman-temannya, pergi memancing, menikmati
waktu bersama teman-teman, dan merayakan bukunya yang bakal
terbit dengan pesta kaviar dan sampanye. Intinya, mereka tak suka
ini dan tak suka itu. Mereka tidak suka Hemingway menjadi
Hemingway.
Mereka ingin Hemingway menjadi orang lain—mungkin
menjadi apa yang dibayangkan oleh mereka sendiri. Dengan begitu,
mereka tiba pada satu kesimpulan bahwa aku seharusnya tak menulis
tentang Hemingway.
Mungkin saja mereka didorong prasangka cupet yang menyedih-
kan bagaimana seharusnya seorang pengarang jagoan bertingkah,
dan boleh jadi prasangka itu berkelabikan dengan kenyataan. Atau,
mereka menyeretku ke dalam sikap penolakan mereka yang sok suci
terhadap Hemingway, dan karena itu mengutukku. Beberapa dari
mereka, dengan pikiran konyol, bahkan menyebut profil yang ku-
tulis itu “kurang ajar.”
Saat Hemingway mendengar semua ini, ia menulis untuk
menenangkanku. Pada 16 Juni 1950, ia menulis aku tak perlu khawatir.
Orang-orang itu cuma ingin buang unek-unek yang ngawur, tulisnya.
19 Fahri Salam
Dalam pelbagai kesempatan berbeda, ia sangatlah pemurah.
Lewat surat-suratnya dan obrolan bersama para sahabatnya,
Hemingway mencurahkan perhatian dengan seluruh energinya,
yang mungkin orang lain akan mengisi seluruh waktu itu dengan
menggarap karya. Gaya menulis suratnya mengandung corak berbeda
dari karyanya: bebas dan longgar dan penuh dengan penyingkatan
(sejak ia menyadari waktu semakin singkat). Isi surat-surat itu jauh
lebih bebas ketimbang tulisan formalnya.
Dan, tanpa letih, ia terus menulis surat.
Saat aku pergi ke Hollywood selama 1,5 tahun sesudah aku
menulis profilnya, buat menggarap artikel mengenai produksi se-
buah film, aku menerima puluhan surat darinya. Ia menyampaikan
pandangannya tentang film, pembuatan film dan kehidupannya di
pantai, serta tanpa sungkan memberitahuku dan membuatku ter-
hibur, lewat cerita memancing dan petualangan lain di Kuba.
Saat ia pergi ke Afrika untuk berburu pada 1953, ia menulis
betapa menakjubkan kehidupan di sana. Afrika, demikian katanya,
adalah segala kehidupan terbaik dari apa pun. Ia mengundangku
menyusul untuk menjajalinya. Seperti biasa, di akhir surat, ia minta
aku menulis balasan segera. Ia tak ingin berhenti menulis surat,
sebab jika ia tak menerima surat balasan dari siapa pun, hal ini akan
bikin ia kesepian.
Mary sesekali menulis surat dan bikin Hemingway diliputi
antusiasme dan humor. Mary menulis dari Kenya; bahwa Kenya
adalah tempat paling asyik di dunia tatkala kau bangun pagi; bawa
kau akan menjumpai seekor badak seberat dua ton menjelang fajar
saat kau hendak mencuci muka. Itu tempat yang bikin kita menghargai
apa artinya menetap, tulisnya.
Banyak orang lain yang dikenal pasangan itu—orang yang
mengenal mereka lebih baik ketimbang aku—mungkin juga menerima
undangan serupa untuk datang ke sana demi merasakan kesan dan
pengalaman mereka. Pasangan ini selalu ramah dan bersahabat.
Mereka selalu mengundangmu untuk mengunjungi mereka di Kenya
atau di Paris atau di peternakan mereka di Kuba. Aku minta maaf aku
tak pernah bisa menyanggupi ajakan itu.
21 Fahri Salam
Ia juga sangat membantu untuk urusan remeh-temeh. Saat
aku di California untuk belajar menunggangi kuda, Hemingway
menyarankanku agar tidak naik kuda yang besar atau gemuk tapi
tunggangilah kuda yang lebih kecil, lebih pintar, dan setidaknya ada
kuda yang ia maksud itu. Tentang Hollywood, ia menasihatiku ring-
kas saja: Jangan terlalu lama-lama di sana.
Hemingway dikenal seorang romantis melebihi persoalan
realistis, terutama bagi kalangan pemikir serius. Bagiku sebutan macam
ini selalu menggambarkan Hemingway adalah suara pengamat dan
pencerap realitas. Pernah aku mendengar perihal menyenangkan
mengenai anaknya John, dan Hemingway menulis ia sangat mencintai
anaknya. Ia juga menambahkan, dalam hidupnya, ia mencintai tiga
benua, sejumlah pesawat dan kapal, lautan, putrinya, istrinya,
kehidupan dan kematian, pagi, siang, petang, dan malam, honor,
ranjang, tinju, renang, bisbol, menembak, memancing, dan membaca
dan menulis dan semua gambaran indah.
Tak lama sebelum ia meninggal, saat dirawat di Klinik Mayo
di Rochester, Minnesota, Hemingway menulis ia tengah mengatasi
serangan tekanan darah yang dibilangnya “nonsens” dan ia tengah
menggarap sebuah karya. Ia dan Mary ingin segera keluar dari sana
untuk pergi ke sejumlah tempat saat orang-orang akan membiarkan
mereka sendirian dan, pada situasi itu, “izinkanlah aku menulis.”*
______
“Portrait of Hemingway” kali pertama terbit dalam Reporting, antologi
tujuh reportase Lilian Ross yang terbit pada 1961. Artikel ini adalah pen-
gantar profil Hemingway berjudul “How Do You Like It Now, Gentlemen?”
Lillian Ross adalah penulis The New Yorker sejak 1945 sampai pensiun.
Ia meninggal pada 20 September 2017 dalam usia 99 tahun.
I
Kematian di Saitama
23 Fahri Salam
Dua minggu sesudah kejadian itu saya mendatangi markas
besar kepolisian Saitama dan bertemu juru bicara polisi, seorang
pria paruh baya berperawakan tinggi-kurus yang semula menolak
menjawab pertanyaan apa pun tentang kasus terbaru sekawanan
orang yang bunuh diri di prefekturnya. Setelan abu-abu dan
kacamata berbingkai hitam yang ia pakai, serta pulpen ganda yang
terselip di saku kemejanya, memberinya kesan sangat culun atas
karakter manga.
Selama lawatan dua minggu saya di Jepang, lima mobil berisi
jasad orang-orang mati ditemukan di kawasan hutan di Tokyo. Ini
menandakan betapa akrab kasus-kasus mengerikan tersebut sam-
pai-sampai urgensinya tak lebih dari sepotong berita numpang-le-
wat di koran-koran lokal.
“Kami tidak tahu apakah para korban saling mengenal satu
sama lain atau bagaimana mereka menjadi karib,” ujar juru bicara
polisi itu sambil mencekal kuat-kuat tas kantor di pangkuannya.
Tidak seperti pembunuhan, bunuh diri bukanlah kejahatan
di Jepang sehingga para penyelidik kesulitan mencari pembenaran
untuk memecahkan kasus-kasus itu. “Memang,” katanya melanjut-
kan, “sampai hari ini, 15 hari setelah fakta itu, kami tidak menyadari
bagaimana mereka kemudian saling mengenal. Atau, tidak ada
bukti pelanggaran hukum sama sekali menyangkut insiden itu, meski
penyelidikan jalan terus.”
Dari 2003 hingga 2005, 180 orang mati dalam 61 kasus yang
dilaporkan terkait bunuh diri berkelompok yang dibantu lewat
jaringan dunia maya di Jepang. Kecuali dua kasus, mayoritas lain
menunjukkan olah jejak yang amat lazim: Para korban bertemu via
daring, memakai nama akun samaran, kemudian meminum pil
tidur dan menggunakan briket, pembakar arang, dan mengunci
mobil atau van yang seketika mengubahnya jadi kamar gas.
Laporan resmi perdana soal kematian di Saitama tercatat
pukul 12:30 siang tanggal 10 Maret. Laporan ini menyatakan warga
dusun Chichibu memberitahu polisi lokal bahwa ada sebuah mobil
dengan enam mayat ditemukan di satu jalan berangkal tanah ter-
dekat. Di kursi sopir, demikian laporan polisi yang ditulis dengan
sopan, adalah pria berumur 20-30 tahun berambut panjang, ber-
pakaian kemeja kotak-kotak dan jins biru. Di sampingnya
perempuan usia 20-an mengenakan mantel cokelat dan rok cokelat,
dan di sebelah kirinya lelaki usia 20-an berjaket hitam dan bercelana
jins. Sopir dan si Pria berjaket hitam itu bekerja sebagai pramuniaga.
25 Fahri Salam
II
Bunuh Diri Paripurna
BUNUH DIRI, yang disebut Shakespeare “menjagal diri sendiri”
dan dikenal dalam ajaran Kristen sebagai “dosa terhadap Roh
Kudus”, mendiami lokus imajinasi sangat berbeda di Barat ketimbang
di Jepang. Di sini seppuku atau harakiri—mengoyak perut dengan
sebilah pedang—telah sekian lama dianggap respons pantas untuk
memulihkan nama baik dari rasa malu atau aib. Dalam studi klasik
Suicide (1897), sosiolog Prancis Emile Durkheim menarik perbedaan
tajam antara bunuh diri di Eropa Barat dan apa yang dilihatnya
semacam bunuh diri “altruistik” yang lazim di Jepang. Gambaran
mengerikan atas gagasan Durkheim itu tersaji selama Perang Dunia
II lewat para pilot kamikaze yang memolopori aksi bom bunuh diri
sebagai taktik perang modern. Tiga pengarang termasyhur Jepang
pasca-perang—pemenang Nobel Yasunari Kawabata dan Kenzaburo
Oe, serta murid terkenal Kawabata, novelis Yukio Mishima—
begitu terpikat dengan pemikiran bunuh diri. Kawabata dan Mishima
meninggal di tangan sendiri.
Otoritas Jepang terlalu lamban bereaksi guna mengatasi kematian
nasional terbaru sehingga menyebabkan angka resmi bunuh diri
meningkat rata-rata sekira 5 persen per tahun selama dekade
terakhir. Lebih dari 32.500 bunuh diri dilaporkan pada 2005; dan
karena klaim asuransi keluarga si orang meninggal cenderung di-
tolak, banyak kasus bunuh diri dicatat sebagai kecelakaan.
Selama dua kali kunjungan saya di Tokyo sepanjang 10
minggu, di tengah jam-jam sibuk yang bikin kita linglung, s ay a
t e rh e ny ak o l e h pelantang suara yang terdengar begitu datar
yang meminta maaf kepada para pelaju atas keterlambatan layanan
komuter lantaran ada “insiden yang berhubungan dengan manusia”—
suatu ungkapan eufemisme yang resmi dipakai saat seorang komuter
melompat ke arah laju kereta. Kasus-kasus macam itu acapkali di-
laporkan sebagai kecelakaan ketimbang bunuh diri.
Satu-satunya negara dengan tingkat resmi bunuh diri lebih
tinggi adalah Sri Lanka, yang terperosok ke dalam perang sipil
berlarut-larut, serta bekas republik Soviet dan negara-negara pecahan-
nya di kawasan Eropa Timur, tempat ekonomi negara yang kolaps
dan perubahan politik maha dahsyat memompa pelbagai disintegrasi
sosial akibat kekalahan militer yang amat telak.
27 Fahri Salam
Memperluas cakupan atas bangkitnya kultur bunuh diri yang
begitu populer di Jepang bisa dilacak pada peristiwa tunggal, dan
mungkin hal ini bisa kita temukan pada publikasi tahun 1993 ber-
judul Panduan Lengkap Bunuh Diri ( ), buku
yang ditulis Wataru Tsurumi, lulusan Universitas Tokyo dan
seorang yang gagal dalam karier industri penerbitan. Tsurumi adalah
seorang obsesif yang mendaku Nabokovian dengan sikap masa
bodohnya atas konsekuensi penerbitan karya tersebut. Dalam kultur
yang mengharapkan kau bersikap tunduk, dan berpenampilan cupu
(geek) meledak dalam populasi mengejutkan di panggung budaya,
Tsurumi menjadi figur kharismatik yang mencapai ketenaran
selebritas tatkala status macam ini di Jepang biasanya disandang
para bintang pop atau karakter manga.
Hingga kini Panduan Lengkap Bunuh Diri menyuapi lebih
dari 2 juta jiwa orang Jepang yang putus asa atau sebatas penasaran
dengan instruksi teknis yang eksplisit bagaimana mengakhiri hidup
lewat 10 metode termasuk gantung diri, tersengat listrik, overdosis,
mengisap racun, dan bakar diri. Buku Tsurumi memuat petunjuk
tempat-tempat terbaik untuk bunuh diri, profil pesohor beken yang
bunuh diri, disertai pelbagai rupa kartun, yang efeknya mengesankan
bunuh diri itu gampang dan tanpa rasa sakit, tindakan lazim, dan
aktivitas yang bisa diterima secara sosial.
Tsurumi menjual hak cipta karyanya ke satu studio film,
menelurkan tayangan yang memercik kesuksesan, diikuti sebuah
sekuel. Kini ia jadi pembicara kondang dengan bayaran mahal dan
langganan acara-acara tingkat internasional yang membahas kultur
anak muda. Sebagaimana ia berkata kepada reporter yang penasaran:
“Tidak ada yang salah tentang bunuh diri. Agama atau hukum kami
di Jepang tidak mengatakan sebaliknya. Untuk aksi bunuh diri ber-
sama, sebelum ada internet, orang-orang menulis surat atau
menelepon … ini sudah jadi bagian dari kultur kami.”
Pembenaran tanpa rasa menyesal dari Tsurumi karena
kandungan bukunya yang mengerikan tidaklah terdengar ganjil bagi
semua pembaca Jepang. Berbeda di Barat yang menilai secara umum
bunuh diri adalah perbuatan sia-sia dari orang yang putus asa atau
yang sakit parah, sebaliknya di Jepang dipahami sebagai keputusan
rasional yang dapat diambil oleh seseorang yang sepenuhnya waras,
begitupun oleh sebuah kelompok. Jepang punya sejarah panjang
tentang keluarga-keluarga yang bunuh diri bersama, sebagaimana
dilakukan oleh sekte dan kelompok bergaya militer, termasuk para
pilot kamikaze, atau para pendekar samurai yang menanggung rasa
malu dan berharap keburukannya terhapus.
29 Fahri Salam
partisipan anonim; ada yang begitu enteng menyampaikan gagasan
radikal, ada pula yang mungkin berakhir mati di mobil:
1. MOON: Aku belum punya perlengkapan tapi pikiranku sudah
siap kapan saja. Dulu aku gagal bunuh diri karena kupikir aku harus
membuka lembaran baru dan berusaha menjalani hidup lagi. Tapi,
bayangan hitam di hatiku masih terus menetap. Aku selalu merasa
lelah. Aku pengin tidur, enggak pengin bangun lagi … Aku mencari
orang yang mau menemaniku ke sungai kematian bersamaku den-
gan membakar briket batubara …
3. HIROPON: Aku pergi dari rumah, tak ada tempat pulang, tak
punya pekerjaan, dan uangku menipis. Hidupku sekarang tak ada
taik-taiknya. Kalau ada hal baik terjadi padaku sekali lagi saja, dan
aku masih berpikir mati, maka sudah saatnya bagiku untuk mati.
4. MOON: Hiropon-san yang baik, apakah terlalu lancang kalau aku
menanyakan alamat email-mu? Bilang saja enggak kalau kamu
enggak pengin ngasih tahu, dan aku akan ngasih email punyaku
lebih dulu. Tapi, kalau kamu enggak keberatan, tolong kamu duluan
yang ngasih tahu, ya …
9. PRIA PARUH BAYA: Jika kamu masih muda dan tinggal bersama
orang tua, kamu tidak harus melakukan bunuh diri. Tapi saya, saya
pria paruh baya, terlilit utang, tanpa uang, punya masalah keseha-
tan, tanpa pekerjaan. Tidak ada gunanya bagi saya kalau terus hid-
up. Saya pikir saya akan melakukan bunuh diri atau mati bersama
dengan seseorang yang merasa hidupnya cuma timbunan sampah
seperti saya. Ketika kita semakin tua, tak ada yang menghentikan
kita …
12. TAKA: Bagaimana kamu, MOON-san, aku tinggal di Shizuoka.
Kita bisa beli briket dan sebuah kompor arang di pusat perlengka-
pan rumah. Yang kita butuhkan lagi pil tidur. Mohon izinkan aku
ikut …
31. MOON: Beda dari kecepatan percakapan ini, keinginanku un-
tuk mati makin cepat… Kalau aku berkata, “Kita akan mati besok,
tapi masih ada satu kursi kosong. Maukah kamu datang?” Aku akan
menganggukan kepala dengan cara sebiasa mungkin sebagai tanda
setuju untuk pergi dengan seorang teman.
31 Fahri Salam
film Lord of the Rings besutan Peter Jackson. Saya sangat tertarik
bicara dengan Anno tentang karakter Rei, gadis yang menghasrat-
kan bunuh diri, depresif, bermata bulat, berpotongan polos, dan
ekspresi kosongnya telah jadi model bagi karakter utama perem-
puan dalam anime Jepang selama satu dasawarsa terakhir.
“Rei adalah orang yang sadar pada fakta apabila dia mening-
gal, maka ada orang lain yang menggantinya, jadi dia tidak menilai
kehidupannya terlampu tinggi,” ujar Anno, yang duduk mem-
bungkuk makin dalam di sofanya. “Kehadirannya, eksistensinya—
eksistensi hampa—adalah fana. Dia gadis yang teramat sedih. Dia
hanya menginginkan sebatas pada apa yang dia butuhkan. Dia ber-
masalah dalam segala hal; dia menyakiti diri sendiri. Dia tidak butuh
teman.”
Anno memahami daya tarik nasional Jepang terhadap karak-
ter Rei adalah produk dari lanskap imajinatif centet yang lahir dari
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua. “Jepang kalah perang
dengan Amerika,” ujarnya, tampak tertarik dengan kalimatnya
sendiri untuk kali pertama selama wawancara kami. “Sejak itu, pen-
didikan yang kami terima tidak membentuk pribadi dewasa. Bahkan
bagi kami, orang berusia 40-an tahun, dan bagi generasi lebih tua
dari kami, usia 50-an dan 60-an, tak ada model yang pantas seperti
apa menjadi seorang dewasa seharusnya.”
Teori bahwa kekalahan Jepang menguliti negeri itu dari ke-
merdekaannya, dan menciptakan sebuah bangsa anak-anak permanen,
dipaksa hidup lembek di bawah perlindungan Big Daddy Amerika,
tersebar meluas oleh para seniman dan intelektual di Jepang. Itu
juga menjadi fundamen kartun-kartun populer, yang kebanyakan
menampilkan pemerintahan bermaksud baik tapi ternyata menampak-
kan wujud asali berkekuatan jahat yang jauh lebih dahsyat.
Anno diam sejenak, dan membiarkan alis hitamnya menatap
ke luar jendela. “Saya tidak melihat satu pun orang dewasa di sini di
Jepang,” katanya, mengangkat bahu. “Fakta bahwa kamu melihat
pekerja kerah putih membaca manga dan pornografi di kereta dan
merasa tidak takut, tidak malu atau apalah, adalah sesuatu yang
tidak akan kamu lihat 30 tahun lalu, dengan orang-orang yang tumbuh
dewasa di bawah sistem pemerintahan yang berbeda. Mereka akan
terlalu malu membuka sebuah buku kartun dan gambar cabul di se-
buah kereta. Tetapi inilah apa yang kami miliki sekarang di Jepang.”
33 Fahri Salam
rakyat Jepang dari revolusi Marxis di seantero dunia. Pada 1970, di
bawah kepemimpinan Shiomi, anggota grup itu membajak pesawat
menuju Korea Utara; kemudian mereka mengajarkan seni membajak
pesawat kepada para pengikut George Habash, nasionalis sekuler
sayap kiri pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. (Pada
1972, di bawah arahan Habash, tiga anggota Faksi Tentara Merah
membunuh 26 turis dan melukai lusinan lain di Bandar Udara Lod
Israel.) Menghabiskan dua dekade di penjara, kini Shiomi hidup tenang
di daerah pinggiran luar Tokyo. Menyandarkan dagu ke buku-buku
jemarinya, Shiomi tampak menjadi pembicara kontra-kultur bunuh
diri dan melukai diri sendiri yang jadi tema kegemaran anak-anak
muda ini.
“Emang siapa sih kalian, hei bangsat?” Shiomi akhirnya
meludah, meraih mikropon. “Saya tahu hidup itu berat. Saya juga
pernah muda. Emang sangat gampang jadi nihilis, enggak peduli
sama sekali, dan berpikir semua hal di dunia ini cuma taik. Jawaban
paling manjur untuk pikiran macam itu adalah penjara. Kalau kamu
ingin hidupmu berguna, kamu butuh sesuatu yang riil! Pahami dunia!
Belajar ideologi!”
Amamiya, yang bepergian dengan Shiomi ke Korea Utara be-
berapa tahun lalu, lawatan yang disebut media sayap kanan Jepang
sebagai aksi provokasi yang disengaja, sudah cukup mendengar
ocehan Shiomi. “Yeah, yeah, yeah. Kami sudah tahu,” katanya, mengusir
teroris bau tanah itu dengan senyuman menyeringai.
Usai tensi pesta menurun, saya keluar dari kelab dengan pria
bersweter cokelat tersebut. Usianya hampir 30 tahun, namanya Toji,
dan ia tinggal di Shizuoka, kota kediaman Moon. Kami berkeluyuran
bersama menyusuri sisi bawah Shinjuku yang kacau balau, lorong
yang berpendar oleh kelab penari telanjang dan bar dan konter mi,
lantas naik ke sebuah restoran Cina, tempat mangkal favorit geng
Taiwan, yang melayani pangsit sangat enak. Kami memilih sebuah
meja di ruang belakang.
Mendengarkan penuturan Toji yang terpikat pada bunuh
diri seperti menyimak setiap kisah indoktrinasi yang digerakkan
oleh suatu pemujaan, minus si dalang jahat, yang akan membujuk
para pengikutnya membuang kepemilikan ragawi mereka dan me-
nenggak Flavor Aid beracun di sebuah hutan Amerika Selatan. Selagi
Toji mengisahkan kegilaannya yang terus meningkat pada grup chat
online, lapisan perasaan tertekan yang membawa pikiran terseret
ke perangai ketagihan seperti merokok atau berjudi, ada sesuatu
35 Fahri Salam
Dua minggu setelah pertemuan pertama kami, Toji
mengirimkan pesan setuju atas permintaan saya utuk mewawancarainya
lagi. Rencananya sudah tambah serius, katanya. Saya mengambil
jalur Tokaido menuju Hara, tempat ia menemui saya di stasiun. Cara-
nya bicara begitu cerdas, tetapi tetap saja ada jurang pemisah dari
dirinya, tanpa ditingkahi bujukan, tensi, kehangatan sebagaimana
sebuah percakapan normal.
Sewaktu kecil, katanya, ia mengoleksi tabel jam perjalanan
kereta, dan ia bangun pagi-pagi untuk memotret beragam kereta
yang melewati kota. Sepur favoritnya adalah Kereta Biru di Afrika
Selatan dan Falcon di Jepang. Sekali waktu keluarganya menaiki
kereta ekspres mewah Odakyu bernama Romansukā untuk men-
jumpai kerabat di Saitama. Beberapa tahun setelah Toji memiliki
pekerjaan, orang tuanya berkata mereka selalu membayangkannya
bekerja yang ada hubungannya dengan kereta api. Orang tuanya
berharap dia akan punya pekerjaan bagus pada satu hari kelak dan
membina keluarga.
“Ini sangat menyakitkan,” katanya, menunjukkan emosinya
untuk pertama kali dan sekali itu saja selama percakapan kami.
Apa yang hilang dari hidupnya, ujarnya memutuskan, adalah
gairah. Jika ia punya gairah hidup, ia akan berjalan dengan enteng.
Sekali waktu ia pernah menjalani pengobatan depresi, tetapi ber-
henti saat dokter baru menggantikan dokter yang biasanya ia temui
di sebuah rumah sakit lokal. Seketika ia melihat dokter baru itu
arogan dan bersikap tidak menyenangkan.
“Secara pribadi dokter itu berpikir bahwa menggunakan pil
adalah sama dengan obat insulin untuk diabetes,” penerjemah saya
menjelaskan. “Tapi, karena orang-orang di sekitarnya tidak berpikir
begitu, ia dipaksa untuk berpikir sama dengan mereka, dan men-
jauhi pil tersebut.”
Toji adalah individu yang meniti kehidupan masyarakat Jepang
abad 21 yang makmur, yang semakin gelisah tapi masih terkontrol
ketat. Malam itu, kami pergi ke rumahnya tempat dia tidur sendirian
di kamar masa kecilnya: sebuah ruangan dengan dinding polos, satu
ranjang, meja, laci, rak buku, dan PlayStation 2 merek Sony terbaru di
lantai. Saudara perempuannya, yang kamar tidurnya di bawah ruang
utama, tak pernah punya pacar dan takkan mengizinkan Toji masuk
ke kamarnya.
______
Naskah ini diterjemahkan dari “Let’s Die Together”, terbit di The Atlantic
pada Mei 2007.
37 Fahri Salam
Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad 38
Kisah Pedagang Buku yang
Tewas di Bagdad
39 Fahri Salam
Di rak setinggi delapan baris berjejal buku-buku karya penyair
komunis dan ulama syahid, terjemahan Shakespeare, kitab ramalan
astrolog Lebanon, sekuplet 44 jilid karya Ayatullah yang dihormati,
dan risalah dari pemikir saklek abad pertengahan, Ibnu Taimiyyah.
Rak-rak buku berdebu menyesaki lantai ubin krem, membentang
dan bernoda terbalut usia. Di ruangan sempit, Hayawi menyejuk-
kan diri dengan sebuah kipas; keringat mengucur deras di mukanya
yang tembam dan membasahi kemeja birunya.
Kami bertemu sebelum invasi Amerika, dan nyaris setahun
kemudian ia segera mengenaliku.
“Abu Laila,” katanya, memanggilku dengan nama putriku.
Nyaris saban kali bilamana kami berjumpa, ia selalu meng-
utarakan sepotong kalimat yang sama. “Aku menantang setiap
orang, Abu Laila, untuk mengungkapkan apa yang terjadi, apa yang
terjadi sekarang ini, dan apa yang akan terjadi di masa depan.” Dan,
seraya minum secangkir teh yang mengepul hangat bahkan di hari
yang panas, ia menggelengkan kepalanya.
Sebuah bom mobil meledak pekan lalu di Jalan al-Mutanabbi,
meninggalkan sepotong jejak yang kian lazim saja di Bagdad, suatu
gambaran akan kekacauan, kekejaman yang memilukan, dan situasi
tak terbayangkan yang terus berulang. Sedikitnya 26 orang tewas.
Hayawi si Penjual Buku salah satunya.
Tidak seperti serdadu AS yang tewas dalam konflik, nama
para korban rakyat Irak sepi dalam pemberitaan, tercampakkan
dalam keadaan tanpa nama yang menjelaskan kematian mutakhir
di Bagdad. Hayawi bukanlah politikus atau panglima perang. Bah-
kan cuma segelintir orang di Jalan al-Mutanabbi yang mengenal-
nya. Namun, hayat hidupnya layak mendapatkan lebih dari sekadar
catatan kaki. Dan, jika tak ada alasan lain, kita hanya perlu ingat
seorang pria yang merengkuh Bagdad dalam kondisi apa pun dan
ia berusaha memahami sebuah negeri yang kian sulit dinalar lagi.
Menghabiskan waktu bersamanya di masa yang singkat, selalu
bersikap ramah dan lembut sesederhana orang biasa, kini Hayawi
lenyap ditelan serakan reruntuhan di sebilah jalan itu yang takkan
pernah sama lagi.
Sesudah kematiannya, aku mengenang obrolan kami di hari
musim panas itu. Sebagaimana kebiasaanya, ia akan menghentikan
ucapannya pada topik yang paling penting dan meloloskan rokoknya.
Ia mengusap pipinya yang berkeringat.
Pemikir Independen
Hayawi bekerja di toko buku seumur hidupnya.
Ayahnya, Abdel-Rahman, mendirikan toko itu pada 1954, dan
sesudah meninggal pada 1993, lima anaknya mewarisi bisnis itu,
menggantung potret si Patriark yang memakai topi musim dingin
ala Rusia di tembok berpanel kayu. Selama bertahun-tahun, Hayawi
dan kakak sulungnya mengembangkan bisnis sang Ayah. Mereka
memiliki toko lain di al-Mutanabbi—Toko Bku Legal dan Toko Buku
Nibras—bersama bisnis lain yang menjual Alquran di seluruh kota.
Keluarganya adalah muslim Sunni, tetapi Hayawi mengecil-
kan pentingnya identitas itu demi mengasah kepekaan diri dan ia
tinggal bersama istri dan putranya, Ahmed Akram, di lingkungan
yang didominasi muslim Syiah. Ia bangga atas kemandiriannya,
menjadi pribadi yang merayakan pusaran abu-abu, suatu cerminan
terbaik dari intelektual yang sudah sepatutnya merepresentasikan
Jalan al-Mutanabbi.
Kali pertama kami berjumpa saat aku memasuki toko buku
miliknya sebelum invasi tatkala Saddam Hussein masih berkuasa
pada 2002. Seperti biasa, ia begitu mencolok dengan rambut plontos
dan bahkan saat itu ia langsung mengajakku bicara. “Invasi Irak ke
Kuwait itu salah,” katanya, suatu ungkapan cukup berani—unek-unek
yang dianggap penghinaan kala itu.
Akan tetapi lama kemudian ia sulit memahami obsesi Amerika
atas Irak dan Saddam. Mengapa, katanya, krisis demi krisis terus
berlangsung? Untuk senjata pemusnah massal? Kami tidak punya
satu pun. Jika pun punya, ia berseru, kami akan menembakkannya
ke Israel. Sebuah perang hanya untuk menjungkalkan Saddam?
Sesudah invasi dan pemerintahan jatuh, Hayawi menggambarkan
dirinya sebagaimana kebanyakan rakyat Irak di tahun pertama yang berge-
jolak: tidak untuk Saddam dan tidak pula untuk kebahagiaan Amerika.
41 Fahri Salam
Tentu saja ia marah—pada kekacauan, tiadanya rasa aman, minim-
nya pasokan listrik.
“Janji orang Amerika pada Irak seperti berusaha meng-
genggam air di tangan,” ujarnya dalam satu perbincangan. “Tumpah
di sela jari-jarimu.”
Namun, ia tak pernah kasar; ia pria dengan rasa welas yang
melimpah dan itu mencerminkan kualitas bertahan hidup di Irak
yang nyaris mustahil akhir-akhir ini.
Hayawi membenci pendudukan tapi menyumbangkan suara
dalam pemilu yang dibekingi Amerika Serikat. Ia muslim taat tapi
cemas atas naiknya sentimen agama dalam politik. Di toko bukunya,
ada buku-buku karangan ulama Syiah yang pernah dilarang beredar,
diimpor dari Iran, bersanding dengan buku-buku karangan ulama
Sunni berpandangan radikal, termasuk di antaranya Muhammad
Abdul Wahhab, mufti agung abad ke-18 yang menyiarkan Islam
di bawah naungan Kerajaan Saudi. Pertimbangan laba mungkin
mengilhami saling-silang pandangan eklektiknya—memilih yang
terbaik dari beragam sumber—tapi Hayawi tampaknya juga hendak
memberi kita pernyataan: Jalan al-Mutanabbi, Bagdad-nya dan
Irak-nya, menghormati keragaman.
Ia selalu menjadi sosok membanggakan. Sangat sering
Hayawi akan mengulangi kisah ini: berkendaraan dengan Chevrolet
Caprice warna kuning menuju Suriah untuk kepentingan bisnis, ia
dihentikan di pos pemeriksaan AS, dijaga oleh dua Humvee, di luar
Sungai Efrat di Kota Ramadi, Irak bagian barat. Melalui seorang
penerjemah, salah satu tentara Amerika, berpakaian loreng dan ter-
saput debu angin gurun, mulai mengajukan pertanyaan rutin.
“’Apa yang Anda lakukan di sini?’ Si Tentara bertanya.
“Lantas aku membalas, ‘Apa yang Anda lakukan di sini? Anda
tamu saya. Apa yang Anda kerjakan di Irak?’”
“Dia tertawa dan menepuk pundakku,” Hayawi mengenang.
43 Fahri Salam
sejarah Irak: potret tim gulat bertelanjang dada tahun 1936,
pengadilan Raja Faisal setelah Perang Dunia II, dan pemakaman
Raja Ghazi tahun 1939.
Pada masa jayanya, jalan ini mewujudkan pepatah kuno:
Kairo yang menulis, Beirut yang menerbitkan, Bagdad yang mem-
baca. Namun, lantaran sanksi PBB menyusul invasi Irak ke Kuwait
pada 1990, mengisolasinya dari dunia luar, toko-toko itu berselimut
majalah bekas berumur 20 tahun, buku pelajaran usang dan buku
babon dengan sampul berdebu, terlihat lebih untuk pajangan
ketimbang untuk dijual. Ia menjadi pasar loak yang suram untuk
buku bekas, sebagaimana para pedagangnya menjual koleksi pribadi
guna bertahan hidup. Hayawi dan saudaranya mencari nafkah tambahan
dengan menjual buku-buku agama, mengajar sejarah untuk kurikulum
universitas, dan membuka kursus bahasa Inggris yang ia sebut
sebagai paspor ke luar negeri.
Pada bulan-bulan sesudah invasi, Jalan al-Mutanabbi
menampakkan iklim intelektual bebas bagi semua golongan. Ter-
dapat buku karya Mohammed Baqir al-Sadr, teolog cemerlang yang
kematiannya, demikian cerita yang beredar, dengan cara eksekutor
Saddam membenamkan paku ke kepalanya. Ikonografi Syiah—
gambaran Ayatullah dan orang suci abad ke-7 yang berbaris men-
jemput ajal—beredar di mana-mana. Di dekatnya edisi baru majalah
FHM dan Maxim yang sampulnya dihiasi model wanita nyaris tanpa
busana. Di lapak reyot terdapat cakram padat, berisi pesan-pesan
Osama bin Laden yang dijual seharga 50 sen. Di jalan-jalan ter-
pampang pamflet Partai Komunis yang dikagumi. Sebagaimana si
Penjual Buku berkata, mengutip baris puisi Mutanabbi, “Rimba
suara yang buat kau pekak, butuh 10 jari buat kau tutup telinga.”
Kini Jalan al-Mutanabbi menuturkan kisah berbeda.
Tatkala pasukan Mongol merebut Kota Bagdad pada 1258,
dikisahkan Sungai Tigris mengalir warna merah pada satu hari dan
warna hitam di hari lain. Itu berasal dari darah orang-orang tanpa
nama, dibantai oleh pasukan berkuda yang keji; dan warna hitam
dari tinta buku tak terhitung banyaknya dari perpustakaan dan
universitas. Senin lalu, bom di Jalan al-Mutanabbi meledak pukul
11:40 siang. Trotoar digenangi darah. Lidah api membubungkan
sulang asap hitam, membakar berkas-berkas kertas.
Seorang kolega berkata kepadaku bahwa di dekat toko buku
Hayawi, di jalan kecil dari Kedai Syahbandar yang kini musnah,
sehelai spanduk hitam tergantung hari ini. Tertulis aksara Arab yang
______
Artikel ini diterjemahkan dari “The Bookseller’s story, Ending Much Too
Soon”, terbit di the Washington Post pada 12 Maret 2007.
Anthony Shadid adalah koresponden luar negeri untuk The New York
Times, dan kepala biro Bagdad untuk The Washington Post sampai De-
sember 2009. Ia meraih dua kali Pulitzer Prize pada 2004 dan 2010 untuk
reportase internasional saat meliput invasi AS ke Irak. Ia menulis tiga buku
termasuk House of Stone, memoarnya yang mengisahkan pengalaman
personal di tengah peperangan yang melanda nyaris seluruh negara Arab.
Ia dikenal berkat suaranya yang amat mengagumkan mengangkat wajah
kemanusiaan dari dunia yang telah ringsek.
Shadid meninggal pada 16 Februari 2012 karena serangan asma selagi
berusaha meninggalkan Suriah lewat rute Turki. Umurnya 43 tahun. Ia tak
sempat menyaksikan buku memoarnya terbit dan menjadi topik obrolan
yang sangat kaya. Buku tersebut membahas bagaimana ia diliputi rasa
waswas di Suriah, diculik di Libya, dan ongkos tak terkira harganya untuk
mendapatkan cerita kemanusiaan dari zona perang.
45 Fahri Salam
“Janji orang Amerika pada
Irak seperti berusaha
menggenggam air di tangan,
tumpah di sela jari-jarimu.”
- Mohammed Hayawi -
47 Fahri Salam
Namun, ia tak bisa menjadi keduanya—sebagai teman mau-
pun penulis yang baik; tidak untuk cerita yang sedang ia kerjakan.
Kabar itu bikin ia nelangsa. Seorang temannya meninggal─karib
baiknya─dan Wright memilih menetap. Ia mematung di tepi kolam
di Pakistan ketimbang terbang ke Austin dan menghadiri pemakaman
sahabatnya, ketimbang menghabiskan waktu bersama istrinya,
Roberta, dan kedua anaknya, Gordon dan Caroline. Ia memilih
menulis melebihi kehidupan keluarganya, meneliti melebihi per-
sahabatan, Pakistan melebihi seorang kawan dekat.
Wright merosot ke perairan kolam, pikirannya berkecamuk;
ia merasa pedih atas kehilangan sahabat baiknya dan jenis teman
yang tak kuasa ia lakukan: meninggalkan Pakistan dan mendatangi
pemakaman. Ia bertanya-tanya: apakah sebesar itu ia berkorban untuk
prosa yang sedang ia garap dan apakah selayak itu?
Selagi ia berenang di tengah kesejukan kolam, ia pun penasaran
apakah ia harus kembali ke dalam pelukan agama? Sebagai seorang
Methodis yang tumbuh agak taat di Dallas, ia meninggalkan salah
satu persekutuan gereja Protestan itu selagi remaja kendati ia meng-
hormati iman dalam diri manusia, bahkan bagi seseorang yang
meragukannya. Terlebih bagi seorang yang berenang kesepian di
sebuah kolam hotel di Islamabad pada tengah malam demi mencari
jawaban.
Dan tibalah momen itu, di perairan kolam renang, saat ia
mendengar apa yang mungkin bagi seorang religius menyebutnya
suara Tuhan. Namun, ia mengatakannya sebagai perasaan, sebuah
jawaban yang terang dan simpel dan mendalam. Pekerjaanmu
memiliki arti.
Ia mengulangi kata-kata itu sekali lagi di ruangan kerja
rumahnya di Austin, 10 tahun setelahnya. “Pekerjaanmu memiliki
arti,” ujarnya. “Bukan mengatakan setiap penulis atau seniman pasti
mengamini hal sama, tetapi itulah yang kuanggap jadi misiku.”
Wright mengalami peristiwa eksistensial serupa dalam
hidupnya—cuma segelintir, ia berkata—tetapi malam itu di Pakistan
menjadi titik menentukan dalam kariernya. Riset yang membuatnya
tetap di sana adalah untuk kepentingan bukunya yang terbit tahun
2006: The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11 (diterjemahkan
penerbit Kanisius pada 2011 berjudul Sejarah Teror: Jalan Panjang
Menuju 11/9). Ia menghabiskan hampir 2,5 tahun di luar negeri, bepergian
ke Mesir dan Arab Saudi serta Pakistan. Buku itu mendapatkan
49 Fahri Salam
membantunya dalam menulis The Looming Tower serta naskah
The Siege, film keluaran 1998 tentang para ekstremis muslim di New
York dan penahanan sewenang-wenang serta penyiksaan terhadap
warga Amerika keturunan Arab oleh pemerintah. (Diperankan oleh
Denzel Washington, Bruce Willis, dan Annette Bening—The Siege
menjadi film paling banyak disewa di AS sesudah 9/11.)
Dua buku terbarunya, The Looming Tower dan Going Clear,
mendatangkan pujian. Namun pendekatannya dalam menulis dua
karya itu dengan sangat teliti bak ilmuwan, bahkan bagi penulis ber-
pengalaman, tetaplah bikin ciut nyali.
Ia begitu terorganisasi berkat displin, cermat karena ia kreatif.
Untuk narasinya, ia merekam setiap sumber (600 narasumber untuk
The Looming Tower, 200 narsum untuk Going Clear), terkadang
mewawancarai mereka belasan kali, menorehkan ke buku catatan
berwarna kuning cerah dengan tulisan tangan (4.100 halaman untuk
The Looming Tower). Ia menapis informasi paling penting ke dalam
kartu putih ukuran 4×6, yang diaturnya dengan cermat dalam katalog
berdasarkan subjek. Wright bersumpah metode penelitiannya tidak
bisa ditebak seperti kelihatannya, dan seperti profesor yang sabar, ia
bermurah hati mengajarkan metodologinya kepada siapa pun yang
sudi mendengarkan.
Itu bukan hanya soal proses “wawancara horizontal” (mendaftar
satu per satu sumber) atau “teori gelang karet” (mengulur informasi)
maupun “bagal” (karakter pemanggul beban) yang ia terapkan untuk
menggulirkan kisahnya. Melainkan juga kelihaiannya menyibak DNA
narasi dalam kartu 4×6—entah itu dalam karya buku (ada delapan),
skenario film (dua), ataupun drama (6 termasuk serial terbaru yang
dikerjakan bersama HBO, God Save Texas, berbasis naskah dramanya
tahun 2005, Sonny’s Last Shot.) Riset baginya adalah bagaimana mem-
bangun jalur cerita. Ini pintu masuk untuk meyakinkan pembaca
bahwa ia memahami akar masalah terorisme dan motivasi anak-anak
muda menerbangkan pesawat dan menabrak World Trade Center.
Memakai rekaman pengakuan menjelang ajal dari Sarah Northrup,
istri kedua L. Ron Hubbard—Wright enggan membocorkan bagaimana
ia mendapatkan rekaman itu—ia membuat pembacanya curiga jika
pendiri Saintologi tidaklah lebih dari perisak brutal.
Wright memikat pembaca menikmati beratus-ratus halaman,
dengan beragam alur cerita dan adegan, serta segudang data dan
fakta—dan membuat para pembaca melihatnya sebagai prosa, bukan
merasakan sebagai karya penelitian. Ia merancang kerangka dan
Menata Panggung
Suaka ibadah menulis Wright di Austin adalah kamar tidur
di lantai atas yang diubah menjadi kantor rumah. Ini jenis tempat
yang diangankan sarjana untuk dihuni, dengan karpet hitam tebal
dan deretan rak buku melapisi dinding. Ada banyak jendela, tetapi
meja kerjanya tidak menghadap ke sana. Ia sungkan melihat ke luar
jendela selagi menulis. Di satu rak bersama foto keluarga dan para
sahabatnya, ada bisbol yang ditandatangani anggota Philadelphia
Phillies 1956 dan tanda tangan tim sepakbola Dallas Cowboys—
penanda untuk tim kampung halamannya. Inilah tempat ia baru
saja merampungkan Cleo, naskah drama tentang penggarapan film
Cleopatra (1963) yang dibintangi Elizabeth Taylor dan Richard Burton.
(“Itu hal favorit yang pernah kutulis,” katanya, menekankan riset
dan menulis itu menyenangkan.) Inilah tempat ia mengedit lagi
karya yang belum dirilis, Thirteen Days in September: Carter, Begin,
and Sadat at Camp David. (Naskah drama atas subjek itu, yang ia
tulis, akan dipentaskan di Washington, D.C., pada musim semi.)
Karangan setebal 5 sentimeter tentang kesepakatan perdamaian
di Timur Tengah itu, dijepit dengan klip bulldog, berada di atas meja
51 Fahri Salam
kerjanya. Wright memiliki meja tulis terbuat khusus dari kayu
mahoni dan cemara. Lihat, katanya, menunjukkan fitur mejanya
yang halus: bagian sayap kiri di tepian meja itu cembung—meja
kerja lain tak seperti ini, ujarnya bangga. Tumpukan kertas—
catatan dari para koleganya—berada di meja penulisan ulang. Ia
menyimak saran-saran mereka: Berpakulah pada rasa ingin tahu
khalayak, tidak setiap orang mengenal perjanjian Camp David
1978, tulis seorang kolega.
Seperti penulisnya sendiri, kantor itu menguarkan aroma
maskulin. Wright terlihat bugar, dengan rambut beruban tebal.
Satu-satunya yang menandakan ia berumur adalah kacamata baca
berbingkai tanduk. Dibalut korduroi dan sepatu cokelat, ia mem-
bahas menggunakan telepon sekali pakai saat berbincang dengan
para teroris dan surel terenskripsi untuk berkomunikasi dengan
kaum Saintologis, seakan itu perkara sehari-hari yang sangat biasa
seperti kita mengatur alarm rumah atau mengingatkan diri untuk
mematikan kompor. Saat jenak berpikir, ia menyilangkan lengannya
di belakang kepala. Saat bicara, ia terdengar seorang New Yorker
yang cerdas tapi beraksen Texas. Terkadang kamu merasakan ada
nada yang agak sedikit intimidatif saat ia bicara sewaktu menatap-
mu dengan mata birunya yang tajam, dan tersenyum saat ada yang
lucu serta terbahak kala ketemu banyolan segar.
Ia sebesar dan seluas perkakas di ruangan ini karena ia
adalah majikannya, seorang penulis yang dikitari oleh penelitian-
nya. Tak jauh darinya ada dua papan tulis geser memuat catatan
buku. Untuk buku tentang Saintologi, ia menulis di papan itu
daftar kronologi tanggal dan peristiwa. Untuk The Looming Tower,
di papan satunya, ia membubuhkan karakter utama yang terbagi
ke dalam tiga kolom berwarna. Di papan yang sama ia tuliskan
aksara Arab, dari kanan ke kiri, sebuah latihan untuk perjalanan
risetnya ke luar negeri. (Untuk memoles bahasa Arab, ia menyewa
guru privat yang datang ke rumahnya delapan sampai 10 jam
dalam sepekan.) Di tumpuan terdekatnya adalah kamus berukuran
Gutenberg. Di salah satu sudut ruangan ada kursi usang berdecit
tempat para tamu diajak untuk duduk, dan bercericit. Dan men-
dengarkannya. Dan berusaha tidak mencicit.
Bicaranya meluap-luap sewaktu obrolan kami menyinggung
kartu catatan, dan ia melangkah menuju kabinet logam, dengan kedala-
man 61 sentimeter, yang terpacak di satu pojokan. Setiap kartu catatan
itu memuat ketikan informasi, selarik paragraf atau secukupnya.
53 Fahri Salam
mantan kepala kontraterorisme FBI. O’Neill sekian lama memburu
Bin Laden. Alih-alih Bin Laden yang menemukannya.
Daftar itu seketika mencakup dimensi internasional: Saudi,
Pakistan, Sudan. Seiring terus bergulir, si Lelaki yang setia pada
proses dalam penulisannya ini segera mengambil alih.
“Setelah aku mendapatkan nomor telepon narasumber, aku
menulisnya di tepi halaman. Dan saat aku bicara dengan para
narasumber, aku menandainya sehingga aku tahu aku pernah
mengobrol dengan mereka. Dan ketika kamu mewawacarainya,
kamu bilang, ‘Siapa lagi yang harus kuajak bicara?’ Seketika ada
ribuan nama.”
Selagi bicara itu, ia membolik-balik halaman bloknot, kini
berusia 13 tahun, untuk bahan The Looming Tower. “Ini berkembang
terus. Inilah proses mengisi alam semesta dari cerita yang kamu
tulis. Kamu mengetahui secara umumnya saja siapa yang ada dalam
cerita. Kamu mengetahuinya dalam surat kabar secara umumnya
saja nama-nama mereka dan kamu selalu mengatakan, ‘Siapa lagi
yang mesti kuajak bicara?’ dan kamu lantas bicara dengan mereka,
kemudian bertanya hal yang sama, dan seterusnya. Akhirnya, kamu
benar-benar tenggelam dalam cerita. Sampai kemudian kamu
tidak lagi mendengar nama-nama narasumber yang baru. Dan pada
momen itulah kamu tahu bahwa semesta ceritamu sepenuhnya
sempurna.” Itulah apa yang dinamakan Wright sebagai reportase
horizontal.
“Itu aturan mendasar dalam jurnalisme: Ajak bicaralah setiap
orang.”
Pria yang setia pada proses ini menakik pula pada apa yang
disebut “peliputan vertikal.” “Beberapa dari mereka berwawasan
luas, sangat menarik, lebih jujur dari yang lain. Dan kamu kembali
ke mereka untuk mengajaknya bicara lagi dan lagi dan lagi. Kamu
perlu kembali ke sumbermu. Kamu perlu menyadari bahwa mereka
adalah kunci. Mereka adalah narator kunci untuk ceritamu,” kata
Wright.
“Sepertinya memang ada 600 narasumber [untuk The
Looming Tower], tapi beberapa dari mereka kuwawancarai puluhan
dan mungkin bahkan ratusan kali. Karena mereka adalah orang
yang mampu menuturkan kisah dalam cara yang paling otentik dan
menarik.”
55 Fahri Salam
ke dalam kartu catatan. Menjaga tumpukan bahan ini secara
terorganisasi dan gampang diraih di kabinet arsip miliknya adalah
kunci menjaga “kereta terus bergerak”—bukan hanya bagi penulisnya,
tetapi juga bagi pembaca, ucapnya.
“Secara tidak sadar, jika kamu beranjak dan memutuskan
mulai menulis karena kamu tak punya bahan yang pas di tanganmu
dan kamu tak menguasainya, maka kukira hasilnya pun merefleksikan
itu.”
Asisten penelitiannya, Lauren Wolf—yang membantu proses
kerja Going Clear, mentranskrip wawancara dan bekerja dengan bos
serta mentornya dalam penulisan nonfiksi bergenre narasi (atau
dikenal pula ‘longform’). Bekerja dengan Wright membantu Wolf
belajar kapan kita berhenti meneliti dan mulai menulis. Melihat
secara dekat bagaimana Wright bekerja, ujarnya, “membuatku tak
terlalu berusaha keras menghasilkan draf pertama yang sempurna.”
Mendengarkan wawancaranya, kata Wolf, kita akan mengetahui
kekuatan suatu jeda panjang. Ia tidak cemas dengan keheningan, ujarnya.
Ia akan membiarkannya berlama-lama sementara kebanyakan
reporter akan mengisi keheningan itu dengan basa-basi tiada guna.
Subjek wawancara juga menginginkan keheningan. “Berkat dia, cara-
ku kini mendengarkan pun berubah,” ujar Wolf.
John Burnett, koresponden nasional untuk National Public
Radio di Austin, memakai sistem penelitian Wright dalam serial
investigasi terbaru dan “hal itu benar-benar menyelamatkan cerita,”
ujarnya.
“Aku menyukai fakta dia orangnya baik dan analog sekaligus 3D”
dalam dunia sekarang yang terhubung lewat Dropbox, ujar Burnett.
Wright mendekati subjek ketika kebanyakan reporter
sungkan menyentuhnya, melacak asal-usul al-Qaeda pra-9/11
dan kemudian menggarap riwayat Gereja Saintologi yang tersembunyi
dan doyan berpekara, menurut Burnett. “Aku kira siapa pun tak
sanggup meladeni kedua topik itu seambisius dirinya.”
Kelihatannya mudah bagi Wright, tetapi hasilnya tak selalu
sukses. Pada awal tahun kariernya, ia tertatih-tatih, melakukan ini-
itu sebagai pekerja lepas. Ia merasakan tekanan untuk bisa meng-
hidupi kebutuhan keluarganya dan menghasratkan karya yang
laku keras.
Tema Agama
Karya buku dan esai Wright acapkali mengeksplorasi keyakinan
agama beserta rasa aib, penghinaan, dan konversi yang biasa dialami
para penganutnya dari Mormon, Saintologis, sampai muslim. “Aku
terpesona pada bagaimana seseorang bisa merengkuh orang baik
yang idealis dan menanamkan keyakinan yang tak pernah mereka
kira yakini dan melakukan tindakan yang tak pernah mereka sangka
lakukan. Kita semua dipengaruhi dalam hidup kita suatu gagasan
besar maupun sepele.”
Dalam Twins: And What They Tell Us About Who We Are—
bukunya yang terbit tahun 2000—ia mengarungi kehidupan bayi
kembar yang terpisah sejak lahir dan risetnya menunjukkan bahkan
bayi kembar yang dibesarkan terpisah pun akan berbagi minat dan
pertautan pada keyakinan agama.
“Keyakinan agama jauh lebih kuat ketimbang keyakinan politik.
Dalam observasiku, orang bisa punya pandangan politik yang sangat
keras. Jarang hal itu benar-benar memengaruhi perilakunya. Namun,
pandangan agama yang sangat teguh memang punya sifat dasar
yang berbeda. Pandangan itu sangat mengakar. Dan tak hanya bagi
individu tapi bagi masyarakat,” ujarnya.
“Aku kita para reporter cenderung melihat agama sebagai
sesuatu yang tidak suka dibahas karena dianggap tidak sopan atau
tak relevan. Aku tak sepakat. Aku kira peta bumi agama harus jadi
gudang senjata setiap reporter.”
Dengan memindai keyakinan agama orang per orang,
katanya, “kamu mungkin mengetahui apa yang menarik mereka
sehingga mendorong mereka meyakini jalan yang mereka tempuh.”
57 Fahri Salam
Keyakinan religius Wright tumbuh kuat semasa muda di
Dallas pada 1960-an. Keluarganya termasuk jemaat Gereja
Methodis Bersatu tempatnya bergabung bersama Young Life, se-
buah kelompok pemuda, dan kemudian anggota Kampanye, satu
divisi lebih sengit yang sumpahnya disaksikan anak muda sebaya dan
mengikat mereka dengan akad persahabatan dan kabar baik. Bagian
dari pekerjaan mereka termasuk memeragakan peran sebagai seorang
pendusta, penggoda, dan penyangsi saat hendak melanjutkan
sekolah tinggi.
“Aku yakin aku tidak mengajak siapa pun berpindah keyakinan
di sekolah,” kata Wright. “Malahan mereka lebih sering meyakinkan
diriku.”
Peran yang ia peragakan adalah seorang intelektual yang
mengklaim diri Tuhan seperti seorang pembuat jam yang menciptakan
jam dan lalu mati. “Alam semesta ini sebuah jam dan tak ada campur
tangan Tuhan. Dan aku melakukan peran itu dengan sangat meyakinkan,”
katanya.
Sesudahnya, kenang Wright, pemimpin grup berkata agar ia
menyangkal ucapan yang baru dilontarkan dalam peran tersebut.
“Aku tak bisa. Aku sebenarnya mengungkapkan unek-unek semua
anggota Young Life. Jadi, aku pergi kuliah dan menjadi eksistensialis.”
Kini ia tak bisa memastikan label agama untuk dirinya, “Aku
kepincut tapi tidak optimis.”
Wright meninggalkan Texas untuk studi ke Tulane University
di New Orleans tempatnya bertemu Roberta, dan kemudian kuliah
di Universitas Amerika Kairo. Ia kembali ke AS pada 1971 dan mengam-
bil kesempatan kerja perdana sebagai wartawan di Race Relations
Reporter di Nashville—suatu ironi bagi seorang pemuda kulit putih
tapi tak menghalanginya meliput isu rasial di Selatan.
Dua tahun kemudian ia bekerja untuk Southern Voices
dari Atlanta dan menulis lepas untuk sejumlah majalah nasional
sampai berlabuh di Rolling Stone sebagai kontributor editor. Pada
1992 ia menjadi staf penulis yang didambakan di The New Yorker,
tetapi tentu setelah beberapa kali tulisannya ditolak. Artikelnya
tahun 2011, “The Apostate” tentang penulis skenario Paul Haggis
dan kehidupan publiknya yang terbelah karena Gereja Saintologi
menjadi dasar bagi karya narasinya Going Clear.
59 Fahri Salam
yang kutahu adalah aku tak ingin dia lantas punya kesempatan un-
tuk berkata, “Sudahlah, Wright tak pernah menanyakanku.”
Keuletan itu tetap saja tak berpihak padanya. Gereja Saintologi
membuat situsweb LawrenceWrightGoingClear.com, Gimana Lawrence
Wright Ketauan Bo’ong Banget, yang membelejeti bab demi bab bukunya,
dan laman utama situs itu menampilkan m u k a Wr i gh t y a ng d i -
re ka-ulang dengan mata tajam mengerling di balik sampul buku—
jelas sekali mengirim pesan dirinya sebagai jelmaan iblis.
Pada awal 2000-an, anggota Pasukan Gabungan Anti-Teror-
isme datang ke rumah Wright di Austin dan ingin tahu mengapa ia
mengontak nomor telepon di London milik seorang pengacara yang
mewakili jihadis. Wright berkata ia menelepon untuk kepentingan
riset tapi mereka ingin tahu tentang Caroline Wright, putrinya, yang
namanya tak terdaftar dalam tagihan telepon. Itulah bagaimana ia
mengetahui mereka menguping percakapannya. Nama putrinya
muncul dalam transkrip telepon yang didapatkan secara ilegal ber-
sama nama-nama anggota al-Qaeda.
Selama reportasenya untuk The Looming Tower, Wright
beradu argumen dengan anggota Ikhwanul Muslimin dan lantas
mendapati dirinya hampir berkarib dengan orang yang dipastikan
“tangannya berlumuran darah.” Keluarganya cemas atas lawatannya ke
luar negeri. Istrinya lebih khawatir pada pengikut Saintologi. Wright
melucu seenggaknya mereka tak memancung kepalanya. Roberta
tak berpikir itu sebagai lelucon.
Ya, ia letih menulis Saintologis dan teroris. Meski ia penulis
tahan banting dan tipe suami setia, kartu-kartu catatannya men-
jemukan, waktu terbuang jauh dari rumahnya melelahkan, dan
penelitiannya menelan banyak waktu bahkan sekalipun dibantu
oleh asisten. Tetapi cerita-cerita ini, ujarnya, adalah pemikat hati.
Mereka menggairahkan. Mereka tak ingin lepas. Dan ia pun sungkan
melepasnya.
“Ini semata soal cerita. Kisah. Prosa. Kamu tahu, aku orang-
nya sangat simpel. Aku didorong kerinduan untuk menuturkan kisah
besar. Tak peduli apa pun kondisinya. Aku hanya ingin memiliki
kesempatan untuk menciptakan narasi dan hal ini sudah jadi bagian
fundamental dari diriku,” tuturnya.
“Ada pengorbanan untuk keinginan menjadi sekadar pencerita dan
tidak menangguk keuntungan atau tidak berperan sebagai penengah
atau apalah sebutannya. Tetapi aku seorang kronikus.”
______
Artikel ini diterjemahkan dari “The Wright Process”, yang dirilis di Frank
W. Mayborn Graduate Institute of Journalism.
Joanna Cattanach, penulis artikel ini, adalah seorang pendidik dan penu-
lis lepas bermukim di Texas.
Salah satu buku Lawrence Wright, The Looming Tower: Al-Qaeda and the
Road to 9/11, diterjemahkan penerbit Kanisius pada 2011 berjudul Sejarah
Teror: Jalan Panjang Menuju 11/9. Twitter: @lawrence_wright
61 Fahri Salam
"
Pada masa jayanya, Jalan
al-Mutanabbi mewujudkan pepatah
kuno: Kairo yang menulis, Beirut
yang menerbitkan, Bagdad yang
membaca.
"