Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HUKUM PERTANAHAN

Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan


Konversi Dan PP No. 24/1997

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting
dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga
tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Selain itu
tanah memiliki lima jenis rent yaitu rent ricardian, rent lokasi, rent lingkungan, rent sosial, rent
politik yang menyebabkan tanah dapat memberi manfaat kepada manusia.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan
dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut
hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan
berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-
tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di
dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui
lembaga konversi.
Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk
masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1).
Untuk terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah digariskan suatu
program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang pertanahan, yaitu : “Agar
pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan
makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk
pengalihan hak atas tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas
tanah adalah penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas
tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Di
samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam pasal 19 UUPA (UU No. 5 / 1960)
merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum.
Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III alenia
terakhir UU No. 5/1960 yang berbunyi : “Adapun hak-hak yang pada mula berlakunya undang-
undang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA”.
Jadi semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, baik hak milik adat
atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk dikonversi kepada salah satu
hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan sehingga terwujud unifikasi dan
kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia sesuai dengan tujuan dari UUPA.
Bahkan dalam Pasal 41 PP No. 10 tahun 1961 dan Pasal 63 PP. No. 24 Tahun 1997 akan
memberikan sanksi bagi yang terlambat atau lalai untuk melakukan pendaftaran, baik pendaftaran
tanah maupun pendaftaran hak atas tanah yang diakui sebelum berlakunya UUPA.
Setelah berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dan kemudian
telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang akan
tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum
adat setempat kecuali menerangkan bahwa, hak-hak tersebut merupakan hak adat.
Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas
tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA maka diberikan suatu
kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana pendaftaran
hak-hak atas tanah adat menurut kententuan konversi dan PP No. 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tentang Konversi
1. Pengertian dan Landasan Hukum Konversi
a. Pengertian Konversi

Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan (1990 : 1)
menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari UUPA”.
Boedi Harsono (1968 : 140) menyatakan : “Konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu
hak yang baru menurut UUPA”.
Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah
penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA
menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud
dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan
tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW).
Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar
sebagai berikut :
“Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis,
oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di
tanah air kita, sunggupun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga
trampil belumlah ada sebelumnya”.
Walaupun pada kenyataannya UUPA telah melakukan perombakan yang mendasar terhadap sistem-
sistem agraria, terdapat dalam bagian kedua dari UUPA adalah merupakan suatu pengakuan
terhadap adanya jenis-jenis hak atas tanah yang lama, walaupun hak tersebut perlu disesuaikan
dengan hak-hak yang ada dalam UUPA, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan
jiwa dan filosofi yang terkandung dalam UUPA.
b. Landasan Hukum Konversi

Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang
ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”,
khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dan sejenisnya diatur
dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk
pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri
Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak
Indonesia atas tanah”.
Beberapa ketentuan-ketentuan konversi hak atas tanah adat :
Pasal II Ketentuan konversi berbunyi :
ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas
druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak
usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak
milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna
bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.
Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2
tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut maka jelaslah bahwa untuk pengkonversian dari
hak-hak yang disebut dalam Pasal II ketentuan konversi diperlukan tindakan penegasan :
a. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak
milik atau tidak.
b. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik.

Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari pada hak tersebut di atas disertai syarat-syarat
yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat penggunaan tanah pada tanggal 24
September 1960.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur, bruikleen,
ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun
juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini
menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.
Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka hak-hak atas tanah seperti ganggam bauntuik,
anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas yang berasal dari hukum adat dikonversikan menjadi hak
pakai.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang
ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 Ayat (1).
Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai terebut pada Pasal 41
ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya
pada mulai berlakunya undang-undang ini”.
Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap,
maka menteri agrarialah yang memutuskan.
Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri
Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang berbunyi :
(1) . Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang
dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok
Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang
bersangkutan.
(2) . Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah
gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu.
(3). Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan
memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut
kenyataannya.
(4). Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal
apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang
berangkutan berlainan pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya dikemukakan
lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.
Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri No. SK
40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April
1964 yang menyatakan bahwa hak gogolan tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak
milik karena hukum sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk
kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria.
Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dan SK. Menteri
Dalam Negeri No. 26/DDA/1970.
Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah tunduk kepada :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1958.
b. Hak atas tanah yang didaftar menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang agrarisch eigendom.
c. Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Yokyakarta, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan
Kalimantan Barat.

Dalam pelaksanaan konversinya diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang
bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda
bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan
kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah
tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh
yang bersangkutan dijaukan :
a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat
pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).
b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (Camat) yang :
1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli
tanahnya.
c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi
tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu
hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka
ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang
dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan
menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan
kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Dalam pasal ini diatur lembaga konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas
tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan
tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor Kecamatan,
jika tidak diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan
kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanian setempat, penerbitan
pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut
sekaligus mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja
hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (A.P. Parlindungan ; 1990 :
42).
Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan
dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya :
menegaskan bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2
tahun 1962 adalah :
a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi
(landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24
September 1960, jika antara tanggal 24 September 1960 dan saat mulai diselenggarakan
pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak
(jual-beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal
24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli jual-beli, hibah atau
tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang
bersangkutan).
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya
bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh
yang menerima hak.
b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi
(landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh
Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut
peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut.
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya
bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh
yang menerima hak.
Dengan demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk kedalam sistem UUPA melalui padanannya
dan setelah itu diperlakukan seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan tidak perlu lagi
menyebut bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum UUPA.

2. Objek dan Tujuan Konversi


a. Objek konversi

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA terdiri dari
hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hak-hak yang tunduk pada hukum barat.
Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah :
1. Hak agrarisch egeidom

Lembaga agrarisch egeidom ini adalah usaha dari Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk
mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak
perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat
pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch ageidom.
2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini.
Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa.
3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang dikeluarkan oleh
Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang diterbitkan oleh para Datuk yang
terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama
yaitu bukti hak tanah yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4. Landrerijen bezitrecat, altijddurende erfpacht, hak-hak usaha atas bekas tanah partikelir.

Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada juga hak-hak atas tanah
yang lain yang dikenal dengan nama antara lain ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituas dan lain-lain.
b. Tujuan konversi

Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang menganut asas unifikasi hukum agraria,
maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas
tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam
UUPA melalui lembaga konversi.
Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas tanah menurut
sistem UUPA di samping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan
mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di
dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang
dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3).
B. Tentang Pendaftaran Tanah
1. Pengertian dan Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas
tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan
pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.

Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 8
sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di
suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak
atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut
hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
b. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah

Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan,
dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang
bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di
dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu
lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk
dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32
dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum
bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut
dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak
milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
32 UUPA :
1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak
tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya
hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
38 UUPA :
1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak
tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna
bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh
pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian
yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
2. Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari
pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk
menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk
mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech
Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya
pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status
hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang
empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping
untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P.
Parlindungan; 1990 : 6).
a. Kepastian hak seseorang

Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak-hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan

Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya
sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui
berapa luasnya serta batas-batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan

Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan
besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang.
Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai
suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk
apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang
terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga
bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-
pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang
bersangkutan.
C. Pendaftaran Hak atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP N. 24 Tahun 1997.
Pendaftaran hak atas tanah menurut Pasal 19 UUPA ditujukan kepada pemerintah agar melakukan
pendaftaran tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, sebaliknya pendaftaran menurut
Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA adalah ditujukan kepada para pemegang hak agar
menjadikan kepastian hukum mereka sendiri, karena pendaftaran atas setiap peralihan,
penghapusannya dan pembebanannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak
didaftar, pada hal pendaftaran itu merupakan bukti yang kuat sebagaimana disyaratkan Pasal 23
ayat 1 bahwa hak milik demikian pula setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19
UUPA, begitupun dengan hak guna usaha (Pasal 32 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 38
UUPA), termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian pula setiap peralihan dan penghapusan
hak tersebut harus didaftar.
Dari bunyi pasal 19 UUPA tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa UUPA telah memerintahkan
kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah dan untuk itu diperlukan suatu
Peraturan Pemerintah, sebagai implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah
diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah
prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP 10 Tahun 1961.
Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniform
untuk seluruh wilayah Indonesia, yang mencakup hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum
Barat dan hukum Adat semuanya diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek)
harus
dikonversikan kepada sistem yang diatur oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-tanah adat yang
sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan hak milik adat baik bersifat perorangan
atau kelompok. Untuk membuktikan hak milik adat masih diakui, pada waktu pendaftaran hak
atas tanah secara sistematis sebagai bukti hak atas tanah adat, yaitu :
1. Surat tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan Swapraja
dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak bertentangan dengan UUPA.
2. Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat yang dibubuhi kesaksian oleh kepala desa.

Pasal 24 ayat (1) No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk
keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi dengan :
a. bukti-bukti tertulis
b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia
Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk mendaftarkan hak.

Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat
dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20
tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat :
1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan
sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain (Chadidjah
Dalimunthe, 2000 : 136 – 137).

Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah,
maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975),
tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa
menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun
1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematis baik tanah yang bersertifikat
maupun yang belum bersertifikat.
Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995
mengatur tentang pendaftaran tanah baik yang memilki bukti hak atas tanah secara tertulis
maupun bukti tidak tertulis yaitu penguasaan fisik
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 12
atas sebidang tanah. Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah adat, adalah ;
1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja
2. Grant Sultan
3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat
4. Girik.

Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada
Hukum Adat dengan bukti hak atas tanah tersebut di atas, hal ini tidak terlepas dengan konversi
terhadap hak atas tanah. Adapun hak yang dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam
pendaftaran tanah, yaitu :
1. Hak milik adat
2. Grant Sultan
3. Grant lama
4. Girik
5. Hak Agrarisch eigendom
6. Hak Druwe dan Pesini
7. Hak Usaha Gogolan
8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D
9. Tanah Bengkok

Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak milik adat, Grant Sultan, Grant lama, Girik,
Hak Agrarisch Eigendom, Hak Druwe, Hak Pesini dan Hak Usaha Gogolan dikonversikan
menjadi hak milik atas tanah sebagaimana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria. Sedangkan hak gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan
menjadi hak pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak pakai khusus.
Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan tersendiri (permohonan individu) maupun dilakukan
secara sistematis (massal) terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat yang memiliki
bukti baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan
konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftran ajudikasi yang bertindak atas nama
Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk tanah yang tidak mempunyai bukti
tertulis dalam pendaftaran tanah secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan baik.
Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak atas tanah adat oleh Pemerintah dibentuk
format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk pendaftaran tanah secara sistemtis ini
harus berlaku di daerah yang sudah dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa
yang belum dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran hak-
hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk desa lengkap yang berkepentingan mengajukan permohonan pendaftaran hak-hak atas tanah
(hak milik adat) harus melampirkan tanda bukti hak dan surat keterangan hak yang diperlukan
untuk pendaftaran.
Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berlalu untuk tanah yang sudah bersertifikat atau
memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersifat sementara maupun yang belum memiliki bukti
terhadap hak atas tanah.
Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi pemegang hak atas tanah untuk melakukan
pendaftaran hak.
Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah ini diharapkan permasalahan
tentang informasi mengenai pertanahan ini dapat dihindarkan kekurangan atau tidak adanya
jelasnya status kepemilikan (hak-hak atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari undang-
undang Pokok Agraria yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan terwujudnya unifikasi hukum
pertanahan di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui lembaga konversi hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA disesuaikan
dengan hak yang ada di UUPA. Untuk menjamin kepastian hukum maka semua hak atas tanah
harus didaftar.
Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum
didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti-
bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran
ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan
dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti
dilakukan dengan proses pengakuan hak.
B. Saran
1. Agar supaya pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga masyarakat mengetahui secara baik
tentang peraturan pertanahan.
2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional
secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat.
3. Dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia bukan
diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa
tingkat ekonomi lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni Bandung.

Bachtiar Efendie, 1983, Pendaftaran Tanah di Idonesia dan Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung.
Fausi Riduan, 1982, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta.
Harsono Budi, 1960, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta.
Parlindungan A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.
____________, 1990, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
____________, 1990, Berakhirnya Hak-hak atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.
____________, 1991, Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Ruchiyat Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai