DIFTERI
Disusun Oleh :
Maritsatun Nisa’
30101407235
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
Rate sebesar 4,71%. Tahun 2012 Indonesia berada pada urutan kedua dunia setelah
India dan jumlah kasus meningkat sebanyak 1192 kasus dan CFR sebesar 6,38%.
Begitu juga pada tahun 2013 Indonesia berada pada urutan kedua tertinggi dunia
setelah India yaitu terdapat 778 kasus dan CFR 5.01% sedangkan tahun 2014
jumlah kejadian difteri di Indonesia adalah sebanyak 396 kasus dan CFR sebesar
4,04 %. Meskipun pada tahun 2014 jumlah kasus difteri menurun namun, Indonesia
masih berada pada urutan tertinggi kejadian difteri diantara negara ASEAN. (5)
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Gambar 1. Bakteri C.diphteriae pada medium Loeffler
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan
3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
a. Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit
b. Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
c. Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
5
Gambar 3. Bakteri C.diphteriae pada pewarnaan Neisser
a. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan
masih dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
b. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
c. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya
membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan
Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
6
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-
kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya
dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium
serosis. Basil dapat membentuk :
7
2.2.Patofisiologi dan Patogenesis
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa, melekat serta
berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri
mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
sehingga proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon,
terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin
maka semakin lebar
daerah infeksi sehingga
terbentuk eksudat
fibrin, kemudian
membentuk suatu
membran yang melekat
erat berwarna kelabu
kehitaman tergantung
dari jumlah darah yang
terkandung. Selain
fibrin, membran juga
terdiri dari sel radang,
eritrosit, dan epitel. Bila
dipaksa dilepaskan akan
terjadi perdarahan
(IDAI,2008).
Pada pseudomembran dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri lain,
seperti Streptococcuc pyogenes. Membran dan jaringan edematus dapat
menyumbat jalan nafas. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
8
pada setiap organ, terutama jantung, saraf, dan ginjal. Antitoksin difteri hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi apabila toksin melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi
saraf umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltasi sel mononuklear pada
serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi
otot dan fibrosis intersisial. Pada saraf tampak neuritis toksis dengan degenerasi
lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia,
kadang- kadang tampakperdarahan adrenal dan nekrosis akut pada ginjal
(IDAI,2008).
Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu
seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi
selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan
jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan
berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran
udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran
inilah diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis
9
dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian
Kesehatan,2013).
2.3.Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen)berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri
menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan
10
sakit kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen
P2PL Depkes,2003).
a. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian
makropulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbs sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama terdiagnosis.
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari
berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih-kelabu dapat
menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular,
bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi
toksin dan luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan
atau sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10
hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas
dalam 7-10 hari dan bisa sembuh total.
11
Gambar 5. Pseudomembran Difteri
c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer
gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe
infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara
parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring berat terdapat retraksi suprasental,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi peleasan membrane yang menutup
jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak.
12
b. Dampak toksin, damak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan mauoun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. Biasanya terjadi pada minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini pada
minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke enam. Manifestasi
miokarditis dapat berupa takikardi, suara jantung redup, bising suara
jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelaianan pemeriksaan
EKG dapat berupa ST elevasi, PR interval memanjang dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan bisa sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan
pada palatum molle pada minggu ke tiga, suara menjadi sengau, regurgitasi
nasal, dan sukar menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu
ke 5-7. Paralisis ekstremitas bersifat bilateral disertai hilangnya deep tendon
refleks, peningkatan kadar protein dalam LCS. Paralisis diafragma dapat
terjadi pada minggu ke 5-7 sebagai akibat neuritis saraf phrenicus. Hal ini
dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator
mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi
hipotensi dan gagal jantung.
c. Infeksi sekunder bakteri
2.5.Penatalaksanaan
Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin
yangbelum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadiminimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobatiinfeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya
berpengaruh padatoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam sel. (Detending
RR, 2007)
a. Pengobatan Umum
1. Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu.
13
2. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
3. Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
4. Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori.
5. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
antaralain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu.
6. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)
b. Pengobatan Khusus
i. Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005)
14
> 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam
fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS
diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas
tersebut diatasnegatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam
larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
(Long SS, 1996)
ii. Antibiotik
Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan
mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas.
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi diberikan
selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24
jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).
iii. Kortikosteroid
Kortikosteroid Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan
obat ini pada difteri. Dianjurkan kortikosteroid diberikan kepada kasus
difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat
disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis,
15
namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari (Detending RR, 2007).
c. Pengobatan Penyulit
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18