Anda di halaman 1dari 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KONJUNGTIVA DAN KORNEA


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan)
dan dengan epitel kornea di limbus.1,2
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. 1,2
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat
berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar
lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat
kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.Lipatan konjungtiva
bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di
kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa
binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel
superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi
yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa. 1,2

Gambar 2.1 Konjungtiva

10
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea terletak di bagian sentral dari
kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan
konjungtiva. Kornea dewasa raa-rata mempunyai tebal 550 µm di pusatnya
(terdapat variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalmua 10,6 mm. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya
dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembesaran sinar,
masuk kornea. Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah bagian perifer
kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi pembuluh-pembuluh darah
limbus, difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air
mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen dari
atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sapai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus kruase untuk sensasi
dingin ditemukan di daerah limbus. Tranparansi kornea disebabkan oleh
strukturnya yang seragam, avasularitas, dan deturgensinya. Dari anterior ke
posterior kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda. Lapisan epitel
(yang berbatasan dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan bowman,
stroma, membran descement, dan lapisan endotel. Secara mikroskopis kornea
terdiri dari 5 lapisan, yaitu1,2:
1. Epitel
Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat

11
erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Adanya ikatan yang kuat antara sel-sel epitel superfisial mencegah
terjadinya penetrasi cairan air mata ke dalam stroma.
2. Lapisan Bowman
Lapisan Bowman merupakan lapisan jernih aselular, yang merupakan
bagian stroma yang berubah. Lapisan bowman terletak dibawah membran
basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Bila terjadi luka yang
mengenai bagian ini maka akan digantikan dengan jaringan parut karena
tidak memiliki daya regenerasi.
3. Stroma
Stroma merupakan 90% dari seluruh ketebalan kornea. Bagian ini
tersusun atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-
250 µm dan tinggi 1-2 µm yang mencakup hampir seluruh diameter
kornea. Kornea terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadangkadang sampai
15 bulan. Lemella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dan
karena ukuran dan kerapatannya menjadi jernih secara optis. Lamella
terletak didalam suatu zat dasar proteogilkan terhidrasi bersama keratosit
yang menghasilkan kolagen dan zat dasar. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma.Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Membrana descement merupakan lamina basalis endotel kornea,
memiliki tampilan yang homogen dengan mikroskop cahaya, tetapi
tampak berlapis-lapis dengan mikroskop elektron akibat perbedaan
struktur antara bagian pra-dan pasca nasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar
3µm dan terus menebal selama hidup, mencapai 10-12 µm, bersifat sangat
elastis. Membran descement merupakan membran aselular dan merupakan

12
batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan
membrane basalnya.
5. Endotel
Endotel kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-
selnya seiring dengan penuaan. Reparasi endotel terjadi hanya dalam
wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel dengan sedikit pembesaran sel.
Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan edema kornea. Berasal dari
mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula
okluden.

Gambar2.2 lapisan kornea

Fisiologi Kornea
Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi
dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat
dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya.

13
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik
avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui
transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler
perilimbal. Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear
film.1,2
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat
menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri.
Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama
bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang
mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks
akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi
secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi. 1,2

2.2 Definisi Pterigium


Pterygium (baca:’ter ig’ee um’) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wingatau sayap. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan
ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.2,3

Gambar 2.3 Gambaran mata normal dan yang terdapat pterigium

2.3 Epidemologi Pterigium


Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 1982
menunjukkan bahwa pterigium menempati urutan ketiga insiden terbesardari

14
penyakit mata dengan 8,79%. Hasil survei nasional tahun 1993-1996 tentang
angka kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada
urutan kedua dengan 13,9%. Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia
menemukan bahwa angka prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi
Sumatra.Sedangkan dari survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran
tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara menempatkan
pterigium pada urutan pertama dengan 17,9%.Mandang pada tahun 1970
menemukan 14,69% pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50% pterigium
di 3 ibukota kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium
merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah kelainan refraksi dan penyakit
infeksi luar. Mangindaan dan Bustanimelaporkan 21,35% pterigium di 2 desa
di Kabupaten Minahasa Utara. Hasilnya 12,92% pada pria dan 8,43% pada
wanita. Sebanyak 9,55% berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan sebagai
petani sebesar 10,11%, insidens terbanyak adalah pterigium stadium 3 dengan
42,11%, dan insiden pterigium yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26
%.2,3
2.4 Faktor Resiko4
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter.3
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan
topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan

15
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.

2.5Patofisiologi Pterigium
Etiologi pterigium tidak diketahui secara jelas. Tetapi penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas. Oleh karena
iturespon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar
ultraviolet, kelembaban yang rendah, angin kencang, debu,dan iritan lainnya
diduga sebagai penyebabnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva
yang disebabkan oleh kelainan tear filmsehingga menimbulkan pertumbuhan
fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium
pada daerah dingin dan kering juga mendukung teori ini.4,5
Sinar ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan sehingga proses kolagenase meningkat,
sel-sel bermigrasi, dan terjadi angiogenesis. Akibatnya terjadi degenerasi
kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva mengalami degenerasi elastik, proliferasi jaringan vaskular
bawah epithelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea
terjadi pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal, atau tipis, serta kadang terjadi displasia. 4,5
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell akan terjadi pembentukan jaringan konjungtiva
pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
Bowman, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium sehingga banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Sinar
ultraviolet dicurigai sebagai penyebab terjadinya kerusakan limbal stem cell
di daerah interpalpebra. 4,5

16
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
fenotipe. Pertumbuhanlebih baik pada media yang mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigiummenunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigiummenunjukkan matriks metalloproteinase.
Matriks ekstraseluler tersebut berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang
rusak dan penyembuhan luka. Hal ini menjelaskan kenapa
pterigiumcenderung terus tumbuh menginvasi stroma kornea dan terjadi
reaksi fibrovaskular serta inflamasi. 4,5

17
2.6 Penegakan diagnosa
1. Anamnesa
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu
untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada
kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan
juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien
terpapar sinar matahari. 2,7
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan Penglihatan terganggu
karena astigmatisme atau jika area pupil ditutupi oleh pterigium progresif.
Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia, dapat hadir karena
keterbatasan gerakan mata khususnya dalam kasus pasca operasi (karena
cedera pada otot rektus medial). Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada
yang mengganjal. 2,7
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain mata sering berair dan tampak merah,terasa
seperti ada benda asing, dan ketajaman penglihatan menurun. 2,8
Dari pemeriksaan didapatkan adanya jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebra sampai
kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna
coklat kemerahan,dan umumya tumbuh di daerah nasal, yaitu pada 90%
kasus. Banyak kekeruhan kecil, yaitu deposit besi (Stocker line) dapat
terletak di depan puncak tumpul pterigium. Pterigium yang mengalami
iritasi dapat menjadi merah dan menebal, hal tersebut yang terkadang
dikeluhkan oleh penderita. Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu2,8 :
a. Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke
arah kantus. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile

18
(dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung
b. Neck. Merupakan bagian sempit didekat limbus. . Terletak langsung
setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi
kornea seperti halnya kepala.
c. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibrobla menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi
(line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.

Pterigium dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu2,8:


a. Pterigium simpleks; jikaterjadi hanya di bagian nasal atau temporal saja.
b. Pterigium dupleks; jika terjadi di bagian nasal dan temporal.
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe, yaitu2,8:
a. Pterigium progresif; tebal dan terdapat vaskularisasi dengan infiltrat
didepan kepala pterigium pada kornea, yang disebut cap dari pterigium.
pertumbuhan pterygium meningkat bertahap dan mencapai pusat kornea.
Kadang-kadang dapat mencakup seluruh area pupil.
b. Pterigium regresif ; tipis, atrofi, dan terdapat sedikit vaskularisasi. Tipe
ini akhirnya akan membentuk membran yang tidak hilang.
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat sesuai dengan
perluasannya ke kornea dan pupil, yaitu2,8:
a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat2 :jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm.

19
c. Derajat 3 : jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi belum
mencapai pinggiran pupil dalam keadaan cahaya normal, dimana pupil
berdiameter sekitar 3–4 mm.
d. Derajat 4: jika pterigium sudah mencapai pupil.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di
sebabkan oleh pterigium.

2.7 Diagnosis Banding


1. Pinguekula1,2
Pinguekula sangat umum pada orang dewasa. Mereka muncul sebagai
nodul kuning di kedua sisi kornea (lebih sering di sisi hidung) di area
aperture palpebral. Nodul, terdiri dari jaringan elastis hialin dan kuning,
jarang bertambah besar, tetapi peradangan sering terjadi. Secara umum,
tidak diperlukan pengobatan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu
pingueculitis, steroid topikal yang lemah (misalnya, prednisolon 0,12%)
atau agen anti-inflamasi nonsteroid topikal dapat diberikan.
2. Pseudopterigium1,2
Pada pseudopterigium terbentuk jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea, Hal ini terbentuk karena
adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal.
penyebabnya adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya

20
seperti trauma, trauma kimia, trauma bedah atau ulkus perifer kornea dan
konjungtivitis sikatrikal. Untuk membedakaannya dengan pterygium
dilakukan uji sonde, dan didaptkan hasil (+) pada pseudopterygium.
3. Ocular Surface Squamous Neoplasm1,2
OSSN secara klinis tampak sebagai lesi konjungtiva diawali didaerah
limbus kornea pada limbal stem kearah konjungtiva bulbi pada kondisi
awal. Lesi ini ditandai dengan batas meninggi terlihat di atau dekat limbus,
warna putih keabuabuan dengan pembesaran pembuluh darah. Pada OSSN
saat dilakukan pemeriksaan dengan slitlamp akan dijumpai pembesaran
diawali disekitar limbus kornea dengan warna merah muda, leukoplakia,
gambaran khas crockshaw, tampak seperti sisik ikan, dengan pelebaran
pembuluh darah disekitar massa. Standar baku emas penegakan
diagnosisnya adalah dengan pemeriksaan histopatologi dari spesimen
pasca biopsi eksisi.
Tabel 3.1 diagnosa banding pterygium
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan

21
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva

2.8 Penatalaksanaan
Terapi pterygium dikelompokkan berdasarkan tipe progresif dan tipe
regresif. Pada pasien ditemukan pterygium tipe progresif dimana pertumbuhan
pterygium meningkat bertahap dan mencapai pusat kornea. Kadang-kadang
dapat mencakup seluruh area pupil. Indikasi operasi pada tipe progresif adalah
adanya gangguan visual, astigmatisma, alasan kosmetik, keterbatasan gerak
bola mata, dan diplopia.8,9
1. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating
drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta
sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-
inflamasi (misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih intens. Selain itu,
penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi
ultra violet lebih lanjut. 8,9

22
2. Terapi pembedahan
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah
yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium2,8,9:
a. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali
konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat
direkomendasikan karena tingginya tingkat rekurensi pasca
pembedahan yang dapat mencapai 40-75%
Teknik Bare sclera
1) Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga
menggunakan kokain 4% yang diteteskan maupun dioles dengan
kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva dengan
lidokain 1-2 % .
2) Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.
3) Siapkan lid speculum
4) Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan
pterigium.
5) Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah
jam 6 dan jam 12.
6) Posisi mata pada jahitan korset.
7) Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.
8) Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah
ketika sedang dilakukan pengikisan pterigium dari apek dengan
menggunakan forcep jaringan.
9) Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat
kornea mata dengan menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep
ukuran 0.12 mm akan memudahkan pengangkatan pterigium.
10) Bebaskan sklera dari pterigium.
a) Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang
tanda cautery.
b) Kikislah pterigium dengan gunting.

23
c) Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan
menggunakan sharp sehingga tampak jaringan sklera yang
telanjang.
d) Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu
sangkutan otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang
akan membentuk sikatrik.
11) Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.
12) Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.
13) Menghaluskan sekeliling tepi limbus.Dengan tepi punggung mata
pisau scarifier.
14) Berikan antibiotik dan steroid topikal.
15) Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.
b. Teknik conjunctival autograft
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah
dieksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva di manipulasi minimal jaringan
dan orientasi akurat dari graft tersebut.
Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal
diukur.
1. Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama,
diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang diukur,
kemudian diberi tanda.
2. Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar
mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan
autograft.
3. Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area
yang akan digraft.
4. Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan
menggunakan vicryl 8.0 1-6.
c. Cangkok membran amnion

24
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membrane amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar
peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion merupakan faktor
penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan epithelialisasi.
Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episcleral di bawahnya.
Terapi adjuvant
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang
dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini2
mitomycin C, suatu anti-metabolit dengan kemampuannya untuk menghambat
fibroblast. mungkin juga efektif dalam pencegahan kekambuhan. Ini digunakan
sebagai tetes mata dalam konsentrasi 2 mg bubuk yang dilarutkan dalam 5 ml
saline normal atau 5% glukosa mulai dari hari pertama pasca operasi dan
dilanjutkan selama 7 hari. Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam
mencegah kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang.Tingkat
kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycinC secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi
mitomycinC yang saat ini digunakan aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang
direndam dalam larutan mitomycinC diterapkan secara langsung ke sclera setelah
eksisi pterigium,dan penggunaan pasca operasi mitomycinC topikal sebagai obat
tetes mata. 2
Selain itu, dapat juga digunakan Beta-radiasi dari sumber strontium-90
diterapkan pada limbus pasca operasi. 2500 rad diberikan pada minggu pertama
setelah operasi untuk mencegah rekurensi pterigium pasca operasi. 2

25
2.9 Komplikasi
Komplikasi pada pterygium adalah2,10:
a. Astigmatisma merupakan komplikasi yang paling sering terjadi
b. Gangguan penglihatan dapat terjadi jika area pupil terlibat
c. Kadang dapat terjadi diplopia karena keterbatasan pergerakan dari bola
mata sebagai akibat dari fibrosis muskulus rektus medial.

2.10 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.10
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi
dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama
setelah operasi. 10
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi terpapar sinar matahari. 10

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata.. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Edisi ke-5 2014.
2. Riordan-eva P, Whitcher PJ. Vaughan&Asbury Oftalmologi umum. Jakarta:
EGC. Edisi ke-17. 2013.
3. Jogi Renu. Basic ophtalmology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. Edisi ke-4. 2009
4. Mulyani, Adhi Ully, Erry, dan Dwi Sulistilowati. Distribusi dan Karakteristik
Pterigium di Indonesia. Diunduh pada 23 Maret 2019 dari URL :
https://media.neliti.com/media/publications/21259-ID-distribusi-dan-
karakteristik-pterigium-di-indonesia.pdf
5. Rezvan F, Khabazkhoob M, Hooshman D, Yekta A,dkk. Prevalence and risk
factors of pterygium: a systematic review and meta-analysis.Noor
Ophthalmology Research Center, Noor Eye Hospital, Tehran, Iran. 2018
6. J, Chui, Di Girolamo M, Wakefield D, dan Coroneo MT. The pathogenesis of
pterygium: current concepts and their therapeutic implications.Department of
Ophthalmology, University of New South Wales at Prince of Wales Hospital,
Sydney, Australia. 2010
7. Fisher, Jerome A. Pterygium Clinical Manifestation.2017. Diunduh pada 23
Maret 2019 dari URL : https://emedicine.medscape.com/article/1192527-
clinical
8. Hall, Anthony Benneth. Understanding adn Managing Pterigium. Newcastle
Eye Hospital, Newcastle, Australia. 2016
9. Aminlar, Ardlan, Ravi Signh, dan David Liang. Management of Pterygium.
American Academy of Ophtalmology. 2010
10. Hovanhesian, John, dan Sara Akbari. Several Complication from Pterygium.
2012. Diunduh pada 23 Maret 2019 dari URL :
https://emedicine.medscape.com/article/1192527-differential

27

Anda mungkin juga menyukai