Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

STROKE HEMORAGIK

Pembimbing :
dr. Perwitasari Bustomi, Sp.S

dr. Eny Waeningsih, Sp.S, M.Kes

Disusun oleh :
SELLA PRATIWI
1102014240

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF
RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA
2019
LAPORAN PRESENTASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. S
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 54 tahun
 Pekerjaan : Buruh
 Agama : Islam
 Alamat : Kp. Kebagusan
 Tanggal Masuk RS : 25 januari 2019
 Tanggal Pemeriksaan : 29 Januari 2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan Istri Pasien tanggal
29 Januari 2019 pukul 14.30 wib.

 Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran

 Keluhan Tambahan
Nyeri kepala
Lumpuh anggota gerak kiri

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS. dr. Dradjat Prawiranegara Serang rujukan dari PKM
Kramatwatu. Pasien awalnya merasa kaki sebelah kirinya keram, lalu pasien terjatuh
saat di kamar mandi pada pukul 16.30 wib (Jum’at, 25/1/2019), setelah jatuh pasien
tetap sadar, namun mengeluh nyeri kepala seperti di tusuk-tusuk dan tidak dapat
menggerakkan tangan dan kaki kirinya sama sekali. Pasien langsung di bawa ke IGD
PKM Kramatwatu lalu pada pukul 18.00 wib pasien di rujuk ke RS. dr. Dradjat
Prawiranegara. Saat tiba di IGD Rumah Sakit, Istri pasien mengatakan pasien tidak
sadarkan diri dari pukul 19.00-24.00 wib. Pasien terlihat tidur terus dan tampak
mengantuk. Tidak ada keluhan kejang sebelumnya, pasien mengeluh mual dan
muntah kurang lebih 4-5x, dari saat sebelum sakit pasien sudah sering merasa mual
dan muntah, tidak terdapat keluhan demam. Pasien baru pertama kali mengalami
keluhan seperti ini.

 Riwayat Penyakit Dahulu


- Diabetes mellitus : tidak ada
- Hipertensi : tidak ada

 Riwayat Penyakit Keluarga


- Diabetes mellitus : tidak ada
- Hipertensi : ada

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan tanggal 29/01/2019 (Perawatan hari ke 5)

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- Tekanan darah : 142/80 mmHg
- Nadi : 94 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,8° C

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
THT : Dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Thorax
 Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
 Palpasi : NT (-), massa (-)
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
 Inspeksi : Perut datar
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), batas hepar normal, massa (-)
 Perkusi : Timpani (+)
 Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, udem kaki (-/-)

Status Neurologis
(Pemeriksaaan dilakukan di hari ke-5 pasien dirawat)
 GCS : E4M6V515 (Composmentis)
 Pupil
Dextra Sinistra
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak langsung + +

 Tanda Rangsang Meningeal


Dextra Sinistra
Kaku kuduk - -
Brudzinski I - -
Laseque >70° >70°
Kernig ˃ 135° ˃ 135°
Brudzinski II - -
 Pemeriksaan Saraf Kranial
Dextra Sinistra
N.I Baik Baik
N. II
Visus Baik Baik
Lapang Pandang Baik Baik
Warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.III. IV dan VI
M. Rektus Medius Baik Baik
M. Rektus Inferior Baik Baik
M. Rektus Superior Baik Baik
M. Rectus Lateralis Baik Baik
M. Obliqus Inferior Baik Baik
M. Obliqus Superior Baik Baik
M. Levator Palpebra Baik Baik
N. V
Sensorik Refleks Kornea + Refleks Kornea +
V1 Sensasi raba V1, V2 Sensasi raba V1, V2
V2 & V3 Baik & V3 Baik
V3
Motorik Baik Baik
N. VII
Sensorik
Pengecapan (2/3 anterior + +
lidah)
Motorik:
Mengerutkan dahi + +
Mengangkat alis + +
Menutup mata + +
Lipatan nasolabial Baik Mendatar
Sudut mulut Baik Turun
Parese N. VII Sinistra Central
N. VIII
Vestibularis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Cochlearis
Menggesekan jari Baik Baik
Garpu tala Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
N. IX & N. X
Arkus Faring Simetris
Refleks muntah + +
Pengecapan (1/3 posterior + +
lidah)
N. XI
M. Sternocleidomastoideus Baik Baik
M. Trapezius Baik Baik
N. XII
Tremor lidah -
Atrofi lidah -
Deviasi lidah Deviasi ke kiri
Fasikulasi -

Motorik
Dextra Sinistra
Kekuatan
Ekstremitas atas 5 0
Ekstremitas bawah 5 0
Tonus
Ekstremitas atas Normal Normal
Ekstremitas bawah Normal Normal
Trofi
Ekstremitas atas Normal Normal
Ekstremitas bawah Normal Normal
Refleks
Fisiologis
++ ++
Biseps
++ ++
Triseps
++ ++
Patella ++ ++
Achilles
Patologis
- -
Hoffmann- Tromner
- -
Babinski dan Babinski
Group

0 = Sama sekali tidak dapat bergerak


1 = Hanya mengahasilkan sedikit sekali gerakan
2 = Tidak dapat melawan gaya berat ekstremitas hanya bisa digeser
3 = Masih dapat melawan gaya berat
4 = Dapat melawan tahanan
5 = Normal

Sensorik
Dextra Sinistra
Raba halus
Ekstremitas atas Baik Baik
Ekstremitas bawah Baik Baik
Nyeri
Ekstremitas atas Baik Baik
Ekstremitas bawah Baik Baik
Suhu
Ekstremitas atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ekstremitas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Getar
Ekstremitas atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Otonom
- Alvi : Baik
- Uri : Baik
- Hidrosis : Baik

Siriraj Score
(2,5 x tingkat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala)+ (0,1 x tekanan darah
diastolik)+(3xatheroma markers)-12
Keterangan:
- Derajat kesadaran : sadar penuh (0), somnolen (1), koma (2)
- Nyeri kepala : tidak ada (0), ada (1)
- Vomitus : tidak ada (0), ada (1)
- Atheroma : Tidak ada penyakit jantung, DM (-0), ada 1 atau
lebih (-1)
Hasil:
- SS > 1 : Stroke hemoragik
- -1 > SS > 1 : Perlu CT-Scan
- SS < -1 : Stroke non hemoragik

(2,5 x 1) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 80) + (3 x 0) – 12 = 2,5

Pada pasien ini diapatkan hasil Siriraj Score 2,5 (Stroke Hemoragik)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan laboraturium
- Darah Lengkap : Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit
- Gula Darah : GDP dan G2PP
- Elektrolit : Na, K, Cl
- Profil Lipid : kolesterol total, trigliseride, HDL, LDL
- Faal Ginjal : Ureum, Kreatinin, asam urat
 CT-Scan kepala non kontras
 EKG
 Foto thoraks

2.5 Diagnosis
 Diagnosis Klinis : Hemiplegi sinistra + parase N. VII dan N. XII sinistra central
 Diagnosis Topis : Arteri carotis dextra
 Diagnosis Etiologi : Stroke Hemoragik

2.6 Tatalaksana
Medikamentosa
 Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
 Posisikan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 30o
 Pasang infus NaCl 0,9 % pada sisi kanan
 Pemberian neuroprotektor citicholin 2x1 gr IV
 Pemberian diuretic osmosis Mannitol 4 x 125cc
 Pemberian Vit. K 3 x 10mg IV
 Pemberian Asam Traneksamat 4 x 500 mg IV
 Pemberian analgetik Coditam 3 x 1
 Pemberian obat pencahar Laxadin Syrup 3 x 1
 Pemasangan NGT
 Pemasangan Kateter Urin

Non Medikamentosa
 Fisioterapi pasif

2.7 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : ad malam
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik


Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat
akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular
intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
langsung ke dalam jaringan otak.

3.2. Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik


Stroke merupakan urutan kedua penyakit mematikan setelah penyakit jantung.
Serangan stroke lebih banyak dipicu karena hipertensi yang disebut silent killer, diabetes
mellitus, obesitas dan berbagai gangguan alliran darah ke otak. Angka kejadian stroke didunia
kira-kira 200 per 100.000 penduduk dalam setahun. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun
terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang
meninggal sedangkan sisanya mengalami cacat ringan bahkan bisa menjadi cacat berat.
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi stroke tertinggi terdapat
di Sulawesi Selatan (17,9). Sementara itu di Sumatera Utara prevalensi kejadian stroke sebesar
6,3%. Prevalensi penyakit stroke juga meningkat seiring bertambahnya usia. Kasus stroke
tertinggi adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan lebih banyak pria (7,1%) dibandingkan
dengan wanita (6,8%).
Setiap tahun, hampir 700.000 orang Amerika mengalami stroke, dan stroke
mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik
terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Menurut Yayasan Stroke
Indonesia, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia
dalam dasawarsa terakhir.

3.3 Etiologi Stroke Hemoragik


penyebab perdarahan intrakranial ( perdarahan intraserebral, subarakhnoid,
ventrikuler, dan perdarahan subdural) menurut Adams tahun 2002 adalah :

1. primer ( hipertensive ) ICH


2. ruptur dari saccular aneurisma
3. ruptur AVM
4. amyloid angiopathy
5. infark hemoragik
6. trauma
7. gangguan perdarahan : warfarin antikoagulan, leukemia, aplastik anemia, purpura
trombositopenia, penyakit hati, komplikasi akibat pembelian trombolitik,
hiperfibrinolisis, christmast disease, dll.
8. hemoragik sekunder akibat tumor otak
9. emboli septik, mycotic aneurism
10. penyakit inflamasi pada arteri dan vena
11. akibat dari beberapa kejadian yang jarang terjadi, diantaranya : setelah pemberian obat
vasopresor, selama arteriografi, komplikasi dari fistula carotis-cavernosa
AV, pseudomonas meningitis, dan karena gigitan ular berbisa.
12. perdarahan akibat penyebab yang belum diketahui (tekanan darah normal, tidak ada
koagulopati, AVM, maupun aneurisma.

3.4 Faktor Resiko Stroke Hemoragik


Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).
Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya:
 Hipertensi,
 Penyakit jantung (fibrilasi atrium)
 Diabetes mellitus
 Merokok
 Konsumsi alcohol
 Hiperlipidemia
 Stenosis arterikarotis
 Obesitas
 Penggunaan kontrasepsi oral

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:


 Usia
 Jenis kelamin
 Ras/suku
 Faktor genetik.

3.5. Patogenesis Stroke Hemoragik

A. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau amfetamin dapat
menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang
tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini
(disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir, luka,
tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan
antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Gangguan perdarahan dan penggunaan
antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan intraserebral.

B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena
cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke.
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika
perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh. Sebuah
perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak,
yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat
kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana
tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah
hasil dari aneurisma kongenital.

3.6. Manifestasi Klinis Stroke Hemoragik


Manifestasi klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik,
hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada
stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam
ventrikel.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kana terpotong,
dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah
sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan
pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi
batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea, dan
kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas
ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori
atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan
diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan
kontralateral tubuh.

A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah penderita,
serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua,
sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan
perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan,
kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visus dapat terganggu atau
hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah,
kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk
menit.

B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan pada
saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang menyebabkan
sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut:
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang disebut sakit
kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma. Individu
harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan kesadaran
singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit.
Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa
bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi
tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi lapisan
jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala terus,
sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan
pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:
 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit atau
jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah perdarahan
subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti:
 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat
membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dari
pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak,
peningkatan tekanan dalam tengkorak. Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan
gejala seperti sakit kepala, mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan
dapat meningkatkan risiko koma dan kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat
kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak
mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik.
Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan
atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami
bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu.

3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Stroke Hemoragik


Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia,
disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi
secara mendadak.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita
stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan
kadar serum glukosa.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.
Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi
komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non
kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke
iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya.
CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1
cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan
daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular
yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk
memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki
kejadian signifikan dengan stroke.
Tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat seperti yang tertera di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu
sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem
skoring yang sering digunakan antara lain:

Siriraj Hospital Score

Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah
diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) –
(3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Algoritma
KetepatanStroke Gadjah
diagnostic Mada
: 90.3%.
Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM) dapat digunakan sebagai diagnosis pengganti dalam
menetukan jenis patologi stroke dengan parameter penurunan kesadaran, nyeri kepala dan
refleks babinski.
Apabila terdapat pasien stroke akut dengan atau tanpa penurunan kesadaran, nyeri
kepala dan terdapat reflek babainski atau dua dari ketiganya maka merupakan stroke
hemoragik. Jika ditemukan penurunan kesadaran atau nyeri kepala ini juga merupakan stroke
non hemoragik. Sedangkan bila hanya didapatkan reflek babinski positif atau tidak didapatkan
penurunan kesadaran, nyeri kepala dan reflek babinski maka merupakan stroke non hemoragik.

Diagnosis Banding
Ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis,
dan Transient Ischemic Attack (TIA).

3.8. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat


1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang

B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis
yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor
VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi
yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant,
tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen
plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent
coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan
FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan
ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai
warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus
tetap diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya
hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin
diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya
gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi
platelet, atau keduanya.
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat
dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap
kontroversial.
 Tidak dioperasi bila:
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.
 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan
intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.
 Dioperasi bila:
 Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau
kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya
dibedah.
 PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma
cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi
strukturnya terjangkau.
 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.
 Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan
perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.

B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan
neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat
darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang
adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian
status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua
hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya
vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture


a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA,
banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda
dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain,
operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik
khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme


a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist
lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan “cerebral
perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat
vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien
yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai
adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-
12 g/hari.

6. Antihipertensi
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik
(TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum
tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari
90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai
mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan
memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang
mungkin terjadi akibat vasospasme.

7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl
hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak
melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg
dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan
hiponatremi.1

8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin
timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran
yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan
kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100
mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang
tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai
faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri
serebri media.

9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya
kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal
ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan
infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer
atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

10. Terapi Tambahan


a. Laksansia (pencahar) diperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah
trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

3.9. Pencegahan Stroke Hemoragik


Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi
berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi
yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
 Mengatur pola makan yang sehat
 Melakukan olah raga yang teratur
 Menghentikan rokok
 Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
 Memelihara berat badan yang layak
 Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
 Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
 Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
 Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi
seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan sebagainya.

3.10. Komplikasi Stroke Hemoragik


Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling
ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan
deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi
neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi
neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan
mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul.
Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari
disabilitas permanen.

3.11. Prognosis Stroke Hemoragik


Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran
dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar
dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome
fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam
ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome
fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Diunduh dari:


file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/Documents/Hasil%20Riskesdas%202013_2.pd
f
2. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2011.
3. Liebeskind, David S, et al. Hemorrhagic Stroke. Medscape, 2017. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1916662-overview
4. Mesiano, Taufik. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM, 2007
5. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6.EGC,
Jakarta. 2006
6. Pudiastuti. Penyakit Pemicu stroke . Yogyakarta. Nuha Medika, 2011
7. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB
4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill:
New York. 2005.
8. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta,
2007
9. Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003
10. Sotirios AT. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery. New York.
Thieme Stuttgart. 2000.

Anda mungkin juga menyukai