Anda di halaman 1dari 11

KB 4

Nasionalisme sebagai Konsep Persatuan dan Kesatuan Bangsa


dalam Masyarakat Multikultur Indonesia

A. Konsep Nasionalisme
Nasionalisme menurut Kamus Studi Kewarganegaraan (Kalidjernih, 2010, hlm.
116) merupakan ideologi yang menekankan bangsa sebagai prinsip sentral dari organisasi
politik dengan berbagai cita-cita dan tujuan. Nasionalisme akan lahir apabila ada kesamaan
tujuan, cita-cita, visi, dan misi dari suatu organisasi atau negara sehingga menimbulkan
rasa kebersamaan dan satu tujuan. Nasionalisme kebanyakan membahas tentang konsep
bangsa, ada pula yang menyebutkan bahwa nasionalisme merupakan suatu ideologi yang
menempatkan bangsa sebagai hal yang pokok dan berupaya mempertinggi keberadaan
bangsa tersebut di ranah nasional dan di dalam hati setiap warga negara (Smith, D.A.,
2000, hlm. 10). Kemudian diperkuat oleh Ir. Soekarno (2015, hlm. 14) yang pernah
memaparkan bahwa nasionalisme itu ialah suatu itikad rakyat dari satu golongan, satu
bangsa. Rasa nasionalisme itu menimbulkan suatu rasa nasionalistik atau suatu rasa
percaya akan diri sendiri, rasa yang perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam
perjuangan. Sudah selayaknya kita sebagai bangsa Indonesia memiliki rasa nasionalisme.
Salah satu bukti bahwa kita memiliki rasa nasionalisme adalah dengan kita merasa bangga
dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi, rasa kebanggaan ini tidak
berlebihan dan mengagungkan bangsa kita adalah bangsa yang terbaik.
Geertz (1974) mengemukakan empat tahap nasionalisme, terutama pada negara-
negara baru merdeka setelah revolusi kemerdekaan, yaitu:
1. Tahap dimana gerakan nasionalis terbentuk dan terkristal;
2. Tahap dimana gerakan nasionalis menang;
3. Tahap gerakan nasionalis mengorganisasikan diri menjadi negara-negara;
4. Tahap dimana gerakan nasionalis menemukan diri, yang tidak mau
mendefiniskan dan menstabilkan hubungan-hubungan dengan negara lain.
Awal mula munculnya istilah nasionalisme di Indonesia yaitu pada saat masa
pergerakan nasional, terutama yang ditandai dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno pada tahun 1927. Pada masa pergerakan nasional
pula bangsa Indonesia mengalami tahap tumbuhnya gerakan nasionalisme yang berasal
dari rasa kesadaran dan keinginan kaum muda bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi batu loncatan dan bukti bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi rasa nasionalismenya.
Berikut adalah isi dari Sumpah Pemuda:
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,
Tanah Indonesia
(Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah
Indonesia)
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia
(Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa
Indonesia)
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa
Indonesia
(Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia)

Isi dari sumpah Pemuda tersebut menjadi ikrar dan janji seluruh bangsa Indonesia
untuk mencintai dan merasa bangga akan bangsa dan negara Indonesia. Para pemuda
berikrar untuk berbangsa dan bertumpah darah yang satu, yaitu Indonesia. Tetapi berbeda
halnya dengan penggunaan kata berbahasa dalam isi Sumpah Pemuda tersebut. Menurut
Muhammad Yamin, bagi bangsa Indonesia yang majemuk, tidaklah mungkin untuk
berbahasa satu. Lebih jauh dari itu, yang dirasa perlu adalah adanya komitmen untuk
menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sumpah Pemuda juga
menjadi pemersatu bangsa yang kemudian akan diaplikasikan ke dalam perilaku setiap
warga negara dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara. Demikianlah
Sumpah Pemuda dapat membuka kesadaran kaum muda untuk menerobos kelembaman
solidaritas etno-religius melalui penemuan politik atau the invention of politics (Latif,
2015, 324).
Perilaku yang mencerminkan kesetiaan terhadap nasionalisme akan semakin terlihat
dan mampu disebut sebagai refleksi sikap nasionalisme apabila memiliki beberapa faktor
seperti yang dikemukakan oleh Tilaar (2004, hlm. 25):
1. Bahasa, menjadi suatu kekhasan suatu negara sebagai pemersatu bangsa dan tidak
menjadi penghambat pertumbuhan nasionalisme.
2. Budaya, keberagaman yang dimiliki Indonesia baik dari adat istiadat dan budaya
akan tetapi berawal dari perbedaan inilah kemudian menjadi pemersatu bangsa
dalam perwujudan nasionalisme.
3. Faktor pendidikan yang menjadi perhatian utama karena mampu mempersatukan
suatu bangsa dan memajukan negara yang dewasa cerdas dan berwawasan luas.

Magnis Suseno (1995) mengungkapkan bahwa nasionalisme Indonesia memiliki


lima karakteristik atau sifat yaitu:
1. Bhinneka Tunggal Ika, tidak bersifat uniform, monolit dan totaliter, melainkan
mengakui kanekaragaman budaya, bahasa, adat dan tradisi lokal se-Nusantara.
2. Etis, karena selalu dipahami dalam kerangka lima prinsip etika politik Pancasila.
3. Universal, karena berdasarkan pengakuan terhadap harkat martabat kemanusiaan
universal.
4. Terbuka secara kultur dan religious, dalam ribuan tahun menunjukan bahwa bangsa
Indonesia tidak pernah menutup diri, sehingga menumbuhkan identitas nasional.
5. Berdasarkan kepercayaan diri, bangsa Indonesia percaya pada kemampuan diri
sendiri untuk mengatasi masalah-masalah dan membangun masa depan bangsa.
Selanjutnya, Panjaitan et al. (2010, hlm. 115) juga memaparkan tentang bentuk-
bentuk dari nasionalisme yang beragam, yaitu:
1. Nasionalisme kewarganegaraan atau nasionalisme sipil (JJ. Rousseau)
Nasionalisme jenis ini adalah nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran
politik dari penyertaan aktif rakyatnya, kehendak rakyat, perwakilan politik.
2. Nasionalisme etnis (Johan Gottfried von Herder)
Nasionalisme etnis adalah nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran
politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.
3. Nasionalisme romantik
Nasionalisme romantik disebut juga nasionalisme organic atau nasionalisme
identitas adalah lanjutan dari nasionalisme etnis, dimana negara memperoleh
kebenaran politik secara organik hasil dari bangsa atau ras, menurut semangat
romantisme. Nasioalisme romantik begitu bergantung kepada perwujudan budaya
etnis yang menepati idealisme romantik atau kisah tradisi yang telah direka untuk
konsep nasionalisme romantik.
4. Nasionalisme budaya
Nasionalisme budaya adalah nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran
politik dari budaya bersama dan bukannya sifat keturunan seperti warna kulit dan
sebagainya.
5. Nasionalisme kenegaraan
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, lalu
digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat
sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan.
6. Nasionalisme agama
Nasionalisme agama adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh
legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun demikian, lazimnya bahwa
nasionalisme etnis digabung dengan nasionalisme agama.

Secara sederhana nasionalisme berisi rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan,


dan kesamaan tujuan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Keberlangsungan nasional pada suatu negara sangat tergantung pada rasa solidaritas dan
kesetiaan bangsanya. Negara-negara berkembang cenderung mengalami tantangan
nasionalisme yang lebih tinggi daripada negara maju. Seperti yang dikemukakan Goodwin,
dalam Komalasari & Syaifullah (2009, hlm. 137) tentang empat faktor di balik tidak
adanya pertalian nasionalisme berikut ini:
1. Multiple and conflicting bases for national identity, ini berkaitan dengan basis yang
menjadi nasionalisme suatu bangsa, misalnya kesamaan bahasa, agama, etnis, dan
sebagainya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, basis ini dikhawatirkan memicu
konflik horizontal di Indonesia, seperti konflik SARA yang terjadi di beberapa
daerah.
2. A license for fragmentation, konflik yang terjadi sampai saat ini tidak mengenal
batas waktu. Konflik tersebut bisa saja muncul tiba-tiba dan berakhir tanpa kita
tahu bagaimana ujungnya. Konflik ini juga bisa meluas ke berbagai daerah dan
menyangkut hal-hal di luar SARA.
3. The problem of multiple loyalities, manusia Indonesia memiliki loyalitas yang
berlapis-lapis. Maksudnya, seorang warga Indonesia berkedudukan atau menempati
peran sebagai anggota suatu keluarga, anggota masyarakat, organisasi, pertemanan,
dan negara secara bersamaan. Hal inilah yang memicu perpecahan di masyarakat
karena kelas, ras, atau agama.
4. Circularity, maksudnya ada sirkularitas antara identifikasi subjektivitas individu
dan masyarakat yang sifatnya voluntaris atas keberadaan sebuah bangsa. Misalnya
dengan mempertanyakan kembali apa untung ruginya kita menjadi orang Indonesia.
Strategi pembinaan nasionalisme (Buchori, 1994) saat ini setidaknya meliputi:
1. Mengenali lingkungan fisik, dimulai dari mengenali lingkungan lokal sampai ke
lingkungan yang lebih luas, dan pengenalan gejala sederhana sampai ke gejala yang
lebih kompleks.
2. Mengenali lingkungan sosiokultural, dimulai dengan pengenalan lingkungan di
sekitar tempat tinggal menuju ke lingkungan di luar tempat tinggal.
3. Mengenali diri sendiri, dimulai dengan mengenali secara individual sampai
pengenalan diri secara kolektif, keluarga, masyarakat, nasional, regional, sampai ke
internasional. Sehingga bisa mengenali potensi diri yang dimiliki.
Berikut merupakan contoh perilaku yang sesuai prinsip nasionalisme negara
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
1. Bangga menjadi warga negara Indonesia;
2. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan
menjunjung tinggi hukum dan peradilan yang adil dan mandiri;
3. Mencintai tanah air Indonesia;
4. Ikut serta dalam usaha pembelaan negara di lingkungan sekitar;
5. Menggunakan produk dalam negeri;
6. Tidak melecehkan dan menghina negara, pemimpin negara, warga negara
Indonesia.

B. Konsep Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia


Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik. bentuk negara kesatuan sesuai dengan sila ketiga
Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Di dalam negara kesatuan, Presiden bertindak sebagai
Kepala Negara. Selain itu, Presiden dibantu oleh para Menteri berperan sebagai Kepala
Pemerintahan yang menjalankan tugas kepemerintahan. Sebagai negara kesatuan, bangsa
kita menghendaki perwujudan kesatuan Kepulauan Nusantara sebagai (Kansil & Kansil,
2013, hlm. 47):
1. Satu kesatuan politik;
2. Satu kesatuan ekonomi;
3. Satu kesatuan sosial dan budaya;
4. Satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
Selain dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
kesatuan, di dalam lambang dan semboyan negara pun terlihat jelas bahwa Indonesia
merupakan negara kesatuan. Lambang negara burung garuda membawa pita bertuliskan
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetap satu jua. Meskipun Indonesia terdiri
dari belasan ribu pulau, ras, etnis, suku bangsa, agama, dan golongan, tetapi merupakan
satu kesatuan.
Persatuan Indonesia yang dimaksud bukanlah persatuan untuk melawan penjajah
atau menghadapi musuh dari luar, akan tetapi persatuan untuk tetap bersatu menjadi
bangsa Indonesia. Bangsa yang kuat dan maju serta mampu mengatasi permasalahan
internal dan eksternal bangsanya secara mandiri. Seperti yang dijelaskan oleh Kaelan
(2013, hlm. 276) bahwa persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek
kekuasaan yang mempengaruhinya yaitu kekuasaan politik (lahir) atau disebut juga
kekuasaan materialis yang berupa kekerasaan dan paksaan. Kemudian kekuasaan idealis
yang berupa nafsu psikis, moral, ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses
nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan fisik/lahir/materialis akan tumbuh
berkembang menjadi negara utopis idealis yang jauh dari realitas bangsa dan negara.
Prinsip-prinsip persatuan dan kesatuan dari keberagaman di Indonesia (Setiawan,
2014) adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Prinsip mengakui bangsa Indonesai sebagai bangsa yang terdiri dari beragamnya
suku, bahasa, agama, adat kebiasaan. Hal ini mengharuskan kita bersatu sebagai
bangsa Indonesia.
2. Prinsip nasionalisme Indonesia
Mencintai tanah air bukan berarti kita harus membanggakan secara berlebihan dan
cenderung mengagung-agungkan bangsa sendiri yang paling baik daripada bangsa
lain. Nasionalisme Indonesia tetap harus menghargai keberadaan bangsa lain dalam
kancah dunia internasional.
3. Prinsip kebebasan yang bertanggung jawab
Manusia Indonesia adalah ciptaan Tuuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia
dianugerahi hak asasi manusia yang patut dihormati dan dijunjung tinggi. Akan
tetapi, dalam pelaksanaannya kebebasan tersebut harus diimbangi dengan tanggung
jawab terhadap dirinya, sesamanya, dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Prinsip wawasan nusantara
Wawasan nusantara memberikan kedudukan manusia Indonesia dalam kerangka
kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan
wawasan nusantara, manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan,
sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai tujuan dan
cita-cita pembangunan nasional.
5. Prinsip persatuan pembangunan untuk mewujudkan reformasi
Semangat persatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus bisa mengisi
kemerdekaan dan melanjutkan permbangunan menuju masyarakat adil dan
makmur.
Berikut merupakan contoh perilaku yang mencerminkan nilai persatuan dan
kesatuan Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
1. Saling tolong menolong jika ada orang yang mengalami kesulitan;
2. Memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan dengan sesama warga negara
Indonesia;
3. Tidak melakukan tindakan bullying;
4. Bergotong royong di lingkungan sekitar;
5. Tidak membeda-bedakan teman.

Nilai persatuan kesatuan di Indonesia merupakan ciri khas dari negara Indonesia
yang tentu saja di pengaruhi oleh budaya politik yang ada di negara kita. Budaya politik
adalah pola perilaku suatu masyarakat dan orientasinya terhadap kehidupan berpolitik, baik
itu penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan
norma kebiasaan yang dihayati setiap individu di dalam masyarakat sehari-hari. Setiap
negara memiliki budaya politik yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang
lainnya.
Menurut abdul hadi mengatakan bahwa secara umum nasionalisme sering diartikan
sebagai tuntutan politik yang menghendaki agar sebuah negara dibangun di wilayah
tertentu, dengan kedaulatan penuh dan tidak memperbolehkan negara atau kekuasaan
negara lain bercokol di wilayah tersebut. Di dalam wilayah negara tersebut telah diam
kelompok-kelompok komunitas yang secara turun temurun menjadi penduduk tetap negeri
tersebut. Di sana penduduk tetap itu secara turun temurun dalam kurun sejarah lama
membangun kebudayaan, seperti mengembangkan aliran-aliran pemikiran sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan tertentu; mengembangkan agama dan aliran-aliran agama yang
mereka yakini benar; membentuk pola hidup dan adat istiadat yang aneka ragam sesuai
dengan tuntutan budaya; melahirkan kearifan-kearifan dan ragam seni, sastra, ilmu
pengetahuan, filsafat, bentuk-bentuk organisasi sosial dan lain sebagainya, di atas fundasi
yang disebut gambaran dunia (worldview), pandangan hidup (way of life), dan sistem nilai
(etika dan estetika) tertentu.Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal
pastilah berkenaan dengan apa yang dikenal sebagai cita-cita hidup, sikap mental,
semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-
hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam
semua bidang kehidupan. Kebudayaan dengan begitu merupakan jaringan kompleks dari
symbol-ssimbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu
komunitas yang disebut etnik atau bangsa. Dengan cara pandang seperti itu kita akan bisa
memahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara,
mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat.
Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-
formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana,
serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan selalu
tumbuh dengan sehat.
C. Nilai Kehidupan Multikultur
Multikultur atau keberagaman merupakan karakteristik dari bangsa Indonesia yang
terdiri dari beragamnya suku bangsa, etnis, ras, agama, dan kebudayaan daerahnya.
Multikultur merupakan suatu tantangan yang mengedepankan majemuknya nilai-nilai,
mekanisme dan struktur sosial dalam bingkai human being (Barndsford, 2000, hlm. 25).
Dalam kesadaran akan keberagaman ini, masyarakat Indonesia diharuskan untuk terus
belajar sepanjang hidupnya terhadap hal-hal yang ada di dunia luar pribadi dan identitas
monokulturnya. Kondisi keberagaman yan dialami bangsa Indonesia saat ini merupakan
dampak dari adanya perubahan kultur yang terus-menerus terjadi (globalisasi).
Multikulturalisme (Azra, 2006, hlm. 8) pada dasarnya adalah pandangan dunia yang
kemudian dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
penerimaan realitas pluralitas agama dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme juga dapat dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik. Secara antropologis, bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang multikultur dengan adanya keberagaman suku bangsa, etnis,
agama, dan adatnya.
Relitas keberagaman atau multikultur ini rentang akan terjadinya konflik, baik
vertikal maupun horizontal. Untuk menghadapi realitas bangsa Indonesia yang penuh
keberagaman ini, maka diperlukan kompetensi atau sikap yang harus dimiliki oleh warga
negara Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Wahab & Sapriya (2011, hlm. 207)
sebagai berikut:
1. Unsur kompetensi, merupakan unsur objektif yang harus dimiliki oleh semua warga
negara. Unsur in iberisi kemampuan berpikir, kemampuan mendengarkan,
kecakapan sosial, kemampuan mengungkapkan pendapat, dan pengendalian diri.
2. Unsur organisasi, kemampuan berorganisasi ini penting untuk dimiliki karena kita
tidak bisa hidup sendiri atau bergantung pada segelintir orang saja. Contoh
organiisasi yang dapat memfasilitasi kebutuhan masyarakat adalah media massa,
pengadilan, dewan kota, forum komunikasi, dan sebagainya.
3. Unsur identitas, bersifat subjektif karena berkaitan dengan identitas warga negara
itu sendiri.
4. Unsur emosi, masyarakat yang majemuk rawan akan munculnya emosi dan konflik.
Oleh karena itu, seorang warga negara harus bisa mengontrol emosinya dan hidup
berdampingan dalam kemajemukan.

D. Nilai Kehidupan Masyarakat Mulitkultur pada Era Globalisasi


Upaya untuk mencegah terjadinya gesekan atau konflik akibat multikulturalisme
adalah dengan menumbuhkembangkan sikap saling menghargai atau toleransi antar
sesama. Selain itu, menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal agar bersama-sama
mendorong tujuan nasional dan mencerminkan identitas nasionalnya. Dengan demikian,
kita bisa menjaga keberlangsungan hidup bangsa yang majemuk atau multikultur dengan
saling menghargai, tanpa harus meniadakan kemajemukan itu.
Jika kita dihadapkan pada perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita harus bisa menghormatinya, karena setiap
anggota masyarakat tersebut memiliki hak yang sama untuk dihormati. Sikap saling
menghargai dan menghormati ini akan terbiasa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
dan melekat menjadi kebaikan dalam dirinya. Sikap kebaikan dalam saling menghargai ini
harus tercermin dalam perilakunya sehari-hari, meskipun di lingkungan masyarakat yang
multikultur atau beragam karena dapat menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa
(Watson, 2000).
Berikut merupakan contoh perilaku yang menghargai keberagaman negara
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
1. Menghargai perbedaan suku, ras, etnis, dan agama di lingkungan sekitar;
2. Mengembangkan sikap toleransi;
3. Menghindari konflik horizontal akibat perbedaan pendapat, ras, etnis, dan agama;
4. Menyelesaikan konflik dengan cara damai;
Dengan kondisi keberagaman yang demikian, proses pembelajaran di Indonesia
harus memfasilitasi dan mendukung multikulturalisme. Bangsa Indonesia harus memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengetahui tentang nilai-nilai keberagaman yang ada di
negaranya dan dibelajarkan untuk memiliki sikap saling menghargai dan toleransi yang
bertanggung jawab agar terciptanya kehidupan di dalam harmoni perbedaan. Untuk itu,
perlu adanya persamaan persepsi dan mengajarkan nilai-nilai yang bersifat universal
seperti yang dimuat dalam APNIEVE (Asia Pacifik Network for International Education
and Values Education), yakni:
1. Perdamaian, yang meliputi: cinta, keharuan, harmoni, toleransi, mengasuh dan
berbagi, interdependensi, pengenalan jiwa orang lain, spiritualitas, dan rasa
berterima kasih.
2. Hak-hak asasi manusia, yang meliputi: kebenarab, kesamaan dan keadilan,
penghormatan atas martabat manusia, integritas, akuntabilitas, kejujuran, kesediaan
menerima, penghargaan atas kemajemukan, kebebasan dan tanggung jawab, dan
kerjasama.
3. Demokrasi, yang meliputi: penghormatan atas hukum dan ketertiban, kebebasan
dan tanggung jawab, kesamaan, disiplin diri, kewarganegaraan aktif dan
bertanggungjawab, keterbukaan, berpikir kritis, dan solidaritas.
4. Pembangunan berkelanjutan, yang meliputi: efektivitas dan efisiensi, industri,
orientasi masa depan, memperhatikan lingkungan, pengurusan sumber daya,
kreativitas, kehematan, kesederhanaan, dan ekologi pribadi.
Nilai-nilai universal ini perlu diketahui, dipahami, dan dimiliki oleh seluruh bangsa
Indonesia agar terciptanya kerukunan hidup, saling menghargai, dan toleransi. Dalam buku
laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et al. (1996, hlm. 85-97) mengemukakan bahwa
ada empat sendi/pilar pendidikan, diantaranya:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui);
2. Learning to do (belajar untuk berbuat);
3. Learning to live together, learning to live with others (belajar untuk hidup
bersama); dan
4. Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang).
Dalam Pointers and Recommendations, berikut merupakan penjelasannya, yang
dimaksud dengan learning to know adalah dengan memadukan pengetahuan umum yang
cukup luas dengan kesempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil
mata pelajaran. Pilar ini juga berarti leraning to learn (belajar untuk belajar), sehingga
memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan
sepanjang hayat. Learning to do, manusia bukan hanya harus memiliki satu keterampilan
kerja saja, tetapi lebih dari itu, ia harus memiliki kompetensi utnuk berurusan dengan
banyak situasi positif dan negatif serta dapat bekerjasama dalam sebuah kelompok atau
tim. Misalnya dalma konteks warga negara muda di persekolahan, ia bukan hanya
melaksanakan kewajiban pembelajaran di dalam kelas. Akan tetapi ia harus aktif dalam
berbagai kegiatan persekolahan dan kemasyarakatan yang formal dan informal.
Learning to live together, learning to live with others, hal ini bisa ditandai degnan
kemampuan-kemampuan yang telah didapatkan dalam poin sebelumnya, harus diimbangi
dengan rasa menghargai dan menghormati perbedaan yang ada di lingkungannya dan
diharapkan dapat mengatasi konflik yang dimungkinkan akan timbul. Learning to be, dapat
mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu menjadi pribadi yang lebih baik,
bertanggung jawab dan toleran. Dari penjelasan tersebut, dalapt terlihat betapa pentingnya
menumbuhkan pemahaman akan kondisi keberagaman yang ada di Indonesia. Hal ini
diperlukan sebagai upaya pencegahan konflik antar golongan.

Anda mungkin juga menyukai