Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN REFLEKSI KASUS KOMPREHENSIF

Nama : Fiqih Adhyaksafitri


NIM : 20120310262
RS : RSIA Aisyiyah Klaten

I. Rangkuman pengalaman
Hari Kamis, tanggal 31 Mei 2018 seorang pegawai rumah sakit (Ny. R)
mendatangi IGD RSIA Aisyiyah Klaten dengan maksud memeriksakan anaknya
yang demam sejak Rabu pagi (1 hari sebelumnya). Setelah dokter memeriksa
anak Ny. R dan meresepkan obat kepada anaknya, Ny. R meminta dokter untuk
meresepkan sebuah obat tambahan untuk suaminya.
Ny. R mengatakan bahwa semalam suaminya pulang dari kantor dengan nada
kesal sambil bertanya apakah Ny. R memiliki stok obat yang dapat membantunya
untuk tidur. Ny. R merupakan pegawai rumah sakit, sehingga tidak asing baginya
apa saja obat yang dapat digunakan untuk memudahkan proses tidur. Kemudian
ia meminta dokter jaga IGD untuk menulis resep berisikan sebuah obat
psikotropika yaitu Alprazolam. Dokter jaga langsung mengiyakan tanpa
memeriksa kondisi suami Ny. R, bahkan dokter jaga menawarkan dosis berapa
yang ingin ditebus oleh Ny. R di apotek. Akhirnya dokter menuliskan Alprazolam
1 miligram (sesuai permintaan Ny. R) pada kertas resep.

II. Perasaan terhadap pengalaman


Menurut saya, kasus ini menarik karena dokter jaga IGD yang meresepkan
Alprazolam merupakan dokter yang baru saja bekerja di rumah sakit RSIA
Aisyiyah Klaten selama 3 bulan. Peresepan obat oleh dokter adalah salah satu
langkah penting dalam pemberian terapi obat yang rasional kepada pasien, namun
dengan meresepkan Alprazolam yang merupakan obat psikotropika tanpa
memeriksa subjek yang akan diberikan obat merupakan tindakan yang kurang
tepat dan mengusik idealisme saya sebagai dokter.
III. Evaluasi
Bagaimana seharusnya sikap dokter jika dihadapkan dengan situasi seperti
kasus di atas? Apakah tepat bila dokter meresepkan obat psikotropika tanpa
memeriksa terlebih dahulu?

IV. Analisis/pembahasan
Peresepan obat oleh dokter adalah salah satu langkah penting dalam pemberian
terapi obat yang rasional kepada pasien. Berdasar Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 resep adalah permintaan
tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker
pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik serta
menyerahkan obat kepada pasien. 8 Penulis resep adalah dokter, dokter gigi
(terbatas pada pengobatan gigi dan mulut) dan dokter hewan(terbatas pada
pengobatan pada hewan/ pasien hanya hewan). Penerima resep adalah apoteker
pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan Apoteker
Pendamping/Apoteker Pengganti atau Asisten Apoteker Kepala di bawah
pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek.
Alprazolam merupakan salah satu dari golongan obat Benzodiazepines atau
disebut juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang
paling umum digunakan sebagai anti ansietas. dan anti panik yang efektif
digunakan untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat
neurotransmitter asam gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga
menyebabkan efek penenang. Alprazolam memiliki waktu paruh yang pendek
yaitu 12 – 15 jam dan efek sedasi (mengantuk) lebih pendek dibanding
Benzodiazepines lainnya, sehingga tidak akan terlalu mengganggu
aktivitas. Menurut UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Alprazolam
termasuk dalam Psikotropika golongan IV, yakni mempunyai potensi ringan
dalam menyebabkan ketergantungan, dapat digunakan untuk pengobatan tetapi
harus dengan resep dokter.
Praktek kedokteran merupakan bidang yang riskan untuk terjadinya
pemakluman yang salah. Ada satu hipotesis mengapa dokter jaga IGD tersebut
meresepkan Alprazolam secara mudah kepada Ny. R, yakni kemungkinan karena
dokter jaga sungkan untuk menolak karena ia merupakan pegawai baru di rumah
sakit tersebut. Sesuai KODEKI yang tertuang dalam SK PB IDI no
221/PB/A.4/04/2002 Pasal 2 yakni “Seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi” serta
Pasal 3 yakni “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi” seharusnya sudah jelas bahwa peresepan psikotropika
secara bebas bukanlah merupakan tindakan yang tepat. Sebaiknya seorang dokter
selalu menjunjung tinggi idealisme profesi sehingga tindakan peresepan secara
bebas bisa dihindarkan. Penanaman etika kedokteran dan hukum kesehatan pada
saat masa pembelajaran akan membantu penerapannya kelak ketika seorang
dokter praktek.

Kesimpulan dan rencana tindak lanjut


- Alprazolam merupakan obat psikotropika golongan IV
- Peresepan secara bebas sebuah obat psikotropika tanpa memeriksa terlebih
dahulu subjek yang akan meminum obat tersebut bukanlah tindakan yang
tepat.
- Penanaman nilai etika kedokteran harus lebih diberikan agar kelak dalam
prakteknya seorang dokter senantiasa menjunjung tinggi idealisme profesi
serta menjaga kemandirian profesinya.

V. Referensi
Amir Amri, 2013, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Anda mungkin juga menyukai