PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa hidung atau peradangan mukosa hidung
akibat reaksi alergi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE) pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi, terpapar alergen yang sama serta dilepaskannya mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang.1,5
Rinitis Alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, basofil, sel mast dan pelepasan zat
mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada
saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin
terlibat dalam menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin
terlibat dalam menimbulkan reaksi peradangan dalam hidung. Peranan mekanisme alergi
dalam perkembangan polip hidung dan sinusitis masih belum jelas.4,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Mukosa
Mukosa hidung disusun oleh sel kolumner semu berlapis bersilia dengan membrana
basalis sebagai pemisah terhadap sub mukosa. Diantara epitel mukosa terdapat sel-sel
goblet yang menghasilkan mukus glikoprotein. Pada sub mukosa terdapat kelenjar mukus,
serus dan seromukus dimana kelenjar mukus menghasilkan glikoprotein, kelenjar serus
menghasilkan lisozim dan laktoferin, endopeptidase dan Si IgA. Sel limfosit pada orang
normal terdapat pada membran basalis sedangkan mastosit terdapat pada jaringan ikat
mukosa, ujung saraf dan pembuluh darah. (Suprihati W, 1999)
Pembuluh darah mukosa hidung menurut fungsinya dibedakan atas (Mygint N, 1985):
1.3 Persarafan
Persarafan mukosa hidung diatur oleh saraf sensoris oleh saraf V, dan parasimpatis
oleh saraf VII, simpatis oleh saraf servikalis superior. (Mygind N, 1985)
2. Rinitis Alergi
2.1 Definisi
Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa hidung atau peradangan mukosa hidung
akibat reaksi alergi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE) pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi, terpapar alergen yang sama serta dilepaskannya mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang.1,5
Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis, rinitis alergi secara khas
dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung
disertai gatal pada hidung, bersin berseri, rinore disertai mata berair dan gatal, dan
postnasal drip.1,4,6
Hasil laboratorium yang sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang
meninggi dalam sekret hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE.2
Patogenesis Rinitis Alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, basofil, sel mast dan
pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada
gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme
imunologis lain mungkin terlibat dalam menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme
imunologis lain mungkin terlibat dalam menimbulkan reaksi peradangan dalam hidung.
Peranan mekanisme alergi dalam perkembangan polip hidung dan sinusitis masih belum
jelas.4,6
2.4 Pengobatan
Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari alergen, menempatkan suatu sawar
antara pasien dengan alergen atau menjauhkan alergen dari pasien.4
2. Terapi simtomatik dengan obat-obatan
a. Terapi Oral
b. Terapi Topikal 4
- Natrium kromolin dapat diberikan intranasal. Obat ini akan menurunkan
pelepasan zat mediator. Dianggap sebagai medikasi pencegahan dan diberikan
sebelum awitan gejala. Efek samping adalah minimal dan terutama berupa iritasi
lokal.
- Kortikosteroid dapat digunakan pada rinitis alergika. Dapat diberikan secara
sistemik atau intranasal untuk kortikosteroid yang diabsorpsi buruk seperti
beklometason atau flunisolid. Mediasi lokal lebih disukai karena kerjanya yang
lebih langsung dan risiko efek samping yang lebih rendah. Biasanya memerlukan
waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi efektif.
- Injeksi alergen, Imunoterapi, atau Hiposensitisasi. Bila cara-cara konservatif
tidak berhasil, maka injeksi alergen dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa
penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin
meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Pemeriksaan in vitro.1
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan
mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil
darah lebih dari 450 eosinofil/μL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung
leukosit total. 1,2
Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit,
pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan
(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.1,2
Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis
berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan
pemberian kortikosteroid secara sistemik.1,2
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan secara in
vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio Allergosorbent
Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan
metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh
obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji
provokasi, namun sensitivitas RAST lebih rendah.1,2
Pemeriksaan in vivo.1
1. Uji kulit
Saat ini, uji kulit merupakan metode awal yang digunakan untuk memastikan adanya
suatu mekanisme IgE yang melibatkan alergen tersangka. Hal ini terutama dikarenakan
biayanya yang lebih murah dan kepekaan yang lebih besar pada metode ini. Jika RAST
atau peneraan pelepasan histamin masih hendak dilakukan sebagai pengujian pertama,
maka hanya dilakukan dengan pengetahuan bahwa kedua metode itu kurang peka dan
lebih mahal serta bahwa uji kulit masih harus dilakukan uji-uji in vitro tersebut berhasil
negatif.4
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan reseptor yang
berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit
pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen
dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan
melepaskan berbagai preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan
mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji
kulit positif ). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20
menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih
lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan
berakhir setelah 24 jam (fase lambat).1,4
Terdapat cara-cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji gores (scratch
test), uji tusuk (skin prick test/SPT), uji tempel (patch test).1,3
Bagian volar lengan bawah, lengan atas atau punggung dibersihkan dengan
alkohol. Ketika kering dibuat garis dengan jarak 2-3cm. Lalu dengan jarum disposibel
ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal dengan ujung jarum pada daerah yang sudah
diteteskan kontrol negatif (larutan phosphate buffered saline dengan fenol 0,4%) atau
kontrol positif (larutan histamin fosfat 0,1%). Setiap penusukan, dilakukan dengan
jarum yang baru.3
Dapat diketahui molekul alergen penyebab sehingga dapat memberi informasi tentang
profit reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi dengan tepat molekul yang diguna- kan
dalam imunoterapi.12 Beberapa dekade yang lampau terdapat berbagai metode pemeriksaan
alergi yang saat ini telah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit
alergi, antara lain uji alergi sitotoksik (cytotoxic allergy testing), uji provokasi, dan
netralisasi (provocative and neutralization testing) secara subkutan ataupun sublingual,
imunoterapi dengan titrasi kulit (skin titration method of inzinunotherapy), urine
autoinjection (autogenous urine immunization), dan pemeriksaan kadar IgG serum terhadap
makanan tertentu.1,3
Uji elektrodermal merupakan salah satu uji alergi yang banyak digunakan dalam
complementary and alternative medicine (CAM) sebagai terapi homeopati. Dasar kerja
adalah perubahan kecil gelombang listrik pada kulit terjadi pada titik akupunktur sebagai
respons terhadap suatu bahan yang diletakkan dalam sirkuit listrik. Dewasa ini penggunaan
uji elektrodermal semakin meningkat untuk menentukan status alergi makanan dan alergi
hirup, kemungkinan karena faktor keamanannya, tidak invasif, dan sederhana. Namun suatu
penelitian buta ganda dengan kontrol dan lebih dari 1500 subjek penelitian menunjukkan
bahwa metode uji elektrodermal tidak dapat membedakan antara individu dengan atopi dan
non-atopi.1
BAB III
KESIMPULAN
Kejadian Rinitis Alergi merupakan penyakit kronis yang sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, terutama anak, remaja serta
dewasa muda dan diperkirakan mengenai 20-40% populasi anak. 2,4 Meskipun penyakit ini
bukan penyakit yang membahayakan jiwa, tetapi gejala yang ditimbulkannya sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup, karena penyakit ini
bersifat rekuren (mudah kambuh), kronis, progesif, reversibel pada tahap awal dan
ireversibel pada tahap lanjut. 3,7 Namun kadangkala banyak anak yang didiagnosis RA oleh
para klinisi tanpa suatu konfirmasi pemeriksaan laboratorium sehingga sering mendapat
pengobatan yang tidak tepat.2
DAFTAR PUSTAKA