Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa hidung atau peradangan mukosa hidung
akibat reaksi alergi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE) pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi, terpapar alergen yang sama serta dilepaskannya mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang.1,5

Rinitis Alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, basofil, sel mast dan pelepasan zat
mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada
saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin
terlibat dalam menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme imunologis lain mungkin
terlibat dalam menimbulkan reaksi peradangan dalam hidung. Peranan mekanisme alergi
dalam perkembangan polip hidung dan sinusitis masih belum jelas.4,6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Mukosa Hidung

1.1 Mukosa

Mukosa hidung disusun oleh sel kolumner semu berlapis bersilia dengan membrana
basalis sebagai pemisah terhadap sub mukosa. Diantara epitel mukosa terdapat sel-sel
goblet yang menghasilkan mukus glikoprotein. Pada sub mukosa terdapat kelenjar mukus,
serus dan seromukus dimana kelenjar mukus menghasilkan glikoprotein, kelenjar serus
menghasilkan lisozim dan laktoferin, endopeptidase dan Si IgA. Sel limfosit pada orang
normal terdapat pada membran basalis sedangkan mastosit terdapat pada jaringan ikat
mukosa, ujung saraf dan pembuluh darah. (Suprihati W, 1999)

Gambar 1. Mukosa Hidung (Aria, 2002)

Keterangan : Basal sel, goblet sel, columner sel bersilia

1.2 Pembuluh Darah

Pembuluh darah mukosa hidung menurut fungsinya dibedakan atas (Mygint N, 1985):

1. Capacitance vessels menentukan banyak sedikitnya darah tertimbun

2. Exchange vessels untuk pertukaran zat dengan jaringan

3. Ressistance vassels untuk membentuk kecepatan aliran darah.


Gambar 2. Pembuluh Darah Mukosa Hidung (Aria 2002)

1.3 Persarafan

Persarafan mukosa hidung diatur oleh saraf sensoris oleh saraf V, dan parasimpatis
oleh saraf VII, simpatis oleh saraf servikalis superior. (Mygind N, 1985)

2. Rinitis Alergi

Angka prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand


20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari segi usia
Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 5 – 10 tahun, dengan
puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun. (Sumarman I, 1993)

2.1 Definisi

Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa hidung atau peradangan mukosa hidung
akibat reaksi alergi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE) pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi, terpapar alergen yang sama serta dilepaskannya mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang.1,5

2.2 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis, rinitis alergi secara khas
dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung
disertai gatal pada hidung, bersin berseri, rinore disertai mata berair dan gatal, dan
postnasal drip.1,4,6

Pemeriksaan fisik pada penderita rinitis alergi memperlihatkan lakrimasi berlebihan,


sklera dan konjungtiva yang hiperemis, daerah gelap periorbita (mata biru alergi),
pembengkakan sedang sampai berat dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga
keunguan, sekret hidung encer jernih.1,4,6

Hasil laboratorium yang sesuai dengan reaksi imunologik termasuk eosinofil yang
meninggi dalam sekret hidung dan darah tepi, dan peningkatan kadar serum IgE.2

2.3 Patogenesis Rinitis Alergi

Patogenesis Rinitis Alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, basofil, sel mast dan
pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada
gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme
imunologis lain mungkin terlibat dalam menimbulkan manifestasi klinis. Mekanisme
imunologis lain mungkin terlibat dalam menimbulkan reaksi peradangan dalam hidung.
Peranan mekanisme alergi dalam perkembangan polip hidung dan sinusitis masih belum
jelas.4,6

Mekanisme eosinofilia lokal pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti.


Beberapa teori mekanisme terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya
kemotaksis, ekspresi molekul adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam
jaringan. Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia.
Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil,
makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype switch
untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi
pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan.
IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk
diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil
untuk melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat
meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan
dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas nasal.2,5,6

2.4 Pengobatan

1. Menghindari Alergen Penyebab

Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari alergen, menempatkan suatu sawar
antara pasien dengan alergen atau menjauhkan alergen dari pasien.4
2. Terapi simtomatik dengan obat-obatan

a. Terapi Oral

Antihistamin oral merupakan senyawa kimia yang dapat melawan kerja


histamin dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor histamin. Obat
ini perlu diberikan secara rasional. Karena pasien menunjukkan variabilitas respons
yang nyata dengan pemberian antihistamin, maka besar dosis dan frekuensi
pemberian perlu disesuaikan untuk masing-masing penderita.4

Antihistamin H1 yang sering digunakan adalah etanolamin, etilendiamin,


alkilamin, fenotiazin, dan agen lain seperti siproheptadin, hidroksizin dan piperazin.
Efek samping antihistamin yang sering terlibat adalah rasa mengantuk, kehilanagn
nafsu makan, konstipasi dan efek antikolinergik seperti kekeringan membran
mukosa, dan kesulitan berkemih. 4

Suatu generasi antihistamin H1 yang baru masih dikembangkan. Golongan ini


tidak memiliki hubungan kimia yang langsung dengan histamin, namun mempunyai
suatu struktur nitrogen aromatik yang sama, dalam bentuk piperidin, piperazin atau
piridin. Lebih lanjut, struktur-struktur ini lebih polar sehingga akses kesistem saraf
pusat menjadi terbatas, dengan demikian mengurangi atau menghilangkan efek
sampai terkait. Golongan antihistamin ini antara lain adalah terfenadin, loratadin,
dan astemizol. Golongan ini memiliki masa kerja yang lebih lama. Oleh beberapa
peneliti telah dikemukakan bahwa antihistamin H2 seperti simetidin dan ranitidin
dapat bermanfaat bila diberikan bersama antihistamin H1 pada sumbatan hidung
yang nyata.4

Suatu dekongestan dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan


antihistamin H1 lokal atau peroral pada pengobatan rinitis alergi. Cara oral biasanya
lebih disukai. Pemakaian kronik antihistamin lokal dan dekongestan tidak rutin
dianjurkan. Beberapa informasi mengatakan bahwa antihistamin lokal dapat
menimbulkan sensitisasi. Disamping itu, penggunaan dekongestan lokal dalam
jangka waktu lama dapat menimbulkan iritasi dan rebound phenomenon seperti
rinitis medikamentosa.4

b. Terapi Topikal 4
- Natrium kromolin dapat diberikan intranasal. Obat ini akan menurunkan
pelepasan zat mediator. Dianggap sebagai medikasi pencegahan dan diberikan
sebelum awitan gejala. Efek samping adalah minimal dan terutama berupa iritasi
lokal.
- Kortikosteroid dapat digunakan pada rinitis alergika. Dapat diberikan secara
sistemik atau intranasal untuk kortikosteroid yang diabsorpsi buruk seperti
beklometason atau flunisolid. Mediasi lokal lebih disukai karena kerjanya yang
lebih langsung dan risiko efek samping yang lebih rendah. Biasanya memerlukan
waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi efektif.
- Injeksi alergen, Imunoterapi, atau Hiposensitisasi. Bila cara-cara konservatif
tidak berhasil, maka injeksi alergen dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa
penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin
meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.

Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala yang dialami dan


kemungkinan alergen penyebab, riwayat keluarga, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala
alergi yang tampak, pemeriksaan didapatkan : Alergic Schinner yaitu warna kehitaman infra
orbita dan pembengkakan. Sekret hidung serous, konka pucat atau keunguan dan udem, tes
kulit tusuk (prick test) positif. Usapan mukosa hidung terdapat eosinofil dan eosinofil
dalam darah lebih dari 25.000/mm2. Pemeriksaan IgE dengan FRIST (Paper Radio
Immuno Sorbent Test) lebih dari 180 iu dan RAST (Radio Allergen Sorbent Test) positif dan
apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan penunjang.

Diagnostik pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo ataupun in


vitro.1,8,9

Pemeriksaan in vitro.1

1. Hitung eosinofil total

Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan
mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil
darah lebih dari 450 eosinofil/μL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung
leukosit total. 1,2
Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit,
pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan
(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.1,2

Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis
berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan
pemberian kortikosteroid secara sistemik.1,2

2. Hitung eosinofil dalam sekret

Pemeriksaan jumlah eosinofil mukosa hidung merupakan pemeriksaan penunjang


yang cukup spesifik, dapat dikerjakan disarana kesehatan dan menggunakan pewarnaan
sederhana. Berbagai cara pengambilan sekret mukosa hidung, yaitu sekresi sisi hidung,
kapas lidi steril, penyikatan, isap mikro, biopsi, serta menggunakan kerokan.7
Dari pilihan di atas, sediaan apus yang dibuat berdasarkan pengambilan melalui
kerokan pada mukosa konka inferior merupakan cara mudah dan sederhana yaitu dapat
menggunakan alat yang telah distandarisasi seperti rhinoprobe® atau ringhaak. Teknik
pengambilan secara kerokan juga mempunyai kelebihan tidak nyeri sehingga lebih
disukai penderita.7
Bermacam-macam teknik pengecatan seperti Hansel khusus untuk menilai eosinofil,
Wright- Giemsa untuk eosinofil-neutrofil-basofil, Wright untuk basofil, dan toluidine blue
untuk basofil. Pada teknik pengecatan dengan Papanicolaou. Kelebihannya adalah
memberikan pewarnaan yang tajam pada inti sel, sitoplasma yang transparan, serta
memberikan perbedaan warna yang jelas antara sel asidofilik dan basofilik.7
Terdapatnya eosinofil pada sekret hidung dapat menandakan adanya suatu rinitis
alergi karena sel-sel inflamasi yang paling konsisiten terakumulasi pada organ sasaran
adalah eosinofil pasca uji provokasi hidung. Dari segi jumlah, eosinofil yang paling
konsisten menunjukkan hubungan dengan tingkat beratnya gejala rinitis alergi. Seorang
peneliti berpendapat bahwa pada mukosa hidung hanya jumlah eosinofil aktif yang
menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca pacuan alergen. Peningkatan
jumlah eosinofil dan sel mastosit juga ditemukan pada penderita rinitis alergi yang
diperiksa melalui biopsi mukosa hidung.7
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan indikator yang
lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi dan dapat membedakan rinitis alergi dari
rinitis akibat penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab
yang spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam
apusan sekret hidung, sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia
sekret hidung juga dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung
topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan konjungtiva.1,2,7

3. Kadar serum IgE total


Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi sehingga
seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis
atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi
dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih
tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada
populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE
total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit
non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).1,2
4. Kadar IgE spesifik

Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan secara in
vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio Allergosorbent
Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan
metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh
obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji
provokasi, namun sensitivitas RAST lebih rendah.1,2

Pemeriksaan in vivo.1

1. Uji kulit

Saat ini, uji kulit merupakan metode awal yang digunakan untuk memastikan adanya
suatu mekanisme IgE yang melibatkan alergen tersangka. Hal ini terutama dikarenakan
biayanya yang lebih murah dan kepekaan yang lebih besar pada metode ini. Jika RAST
atau peneraan pelepasan histamin masih hendak dilakukan sebagai pengujian pertama,
maka hanya dilakukan dengan pengetahuan bahwa kedua metode itu kurang peka dan
lebih mahal serta bahwa uji kulit masih harus dilakukan uji-uji in vitro tersebut berhasil
negatif.4

Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan reseptor yang
berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit
pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen
dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan
melepaskan berbagai preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan
mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji
kulit positif ). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20
menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih
lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan
berakhir setelah 24 jam (fase lambat).1,4

Terdapat cara-cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji gores (scratch
test), uji tusuk (skin prick test/SPT), uji tempel (patch test).1,3

a. Uji kulit intradermal


Metode yang sama dengan skin prick test, alergen diinjeksikan dengan jarum
sehingga disebut intradermal skin test, biasanya dipakai untuk alergen spesifik seperti
bisa lebah atau penisilin,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam lapisan
dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm. Dimulai dengan konsentrasi
terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi
10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif
dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk alergen
makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.1
b. Uji gores (scratch test)
Uji gores (scratch test) sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya yang
inkonsisten.1
c. Uji tusuk (skin prick test/SPT)
Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan
alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam
gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan
dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang
terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-
agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji
kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas
SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji
intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun spesifisitasnya lebih
tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik dengan gejala yang timbul.1
Sebelum melakukan tes ini, pasien harus menghentikan penggunaan obat
seperti antihistamin (generasi I minimal 72 jam dan generasi II minimal 1 minggu
sebelum tes) dan kortikosteroid (dosis kecil seperti prednison <20mg dihentikan 3 hari
sedangkan dosis tinggi 1 minggu), sedangkan teofilin, obat simpatomimetik dan
nedocromil tidak perlu dilarang karena tidak mempengaruhi hasil tes. Tes boleh
dilakukan pada pasien berusia >2tahun. Kontraindikasi absolut dari tes ini adalah lesi
luas pada kulit, pasien yang tidak kooperatif dan pasien tidak bisa menghentikan
pengobatan yang dapat mengganggu hasil. Sedangkan kontraindikasi relatif berupa
asma yang persisten dan instabil, anafilaksis, kehamilan dan penggunaan obat-obatan
seperti antihistamin, antidepresan trisiklik dan beta blocker.3

Bagian volar lengan bawah, lengan atas atau punggung dibersihkan dengan
alkohol. Ketika kering dibuat garis dengan jarak 2-3cm. Lalu dengan jarum disposibel
ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal dengan ujung jarum pada daerah yang sudah
diteteskan kontrol negatif (larutan phosphate buffered saline dengan fenol 0,4%) atau
kontrol positif (larutan histamin fosfat 0,1%). Setiap penusukan, dilakukan dengan
jarum yang baru.3

Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan


eritema. Positif apabila rata-rata diameter satu bentol 3mm lebih besar daripada
kontrol negatif.3

Adapun interpretasi hasil tes:3

← Hasil Negatif : sama dengan kontrol negatif


← Hasil +1 : 25% dari kontrol positif
← Hasil +2 : 50% dari kontrol positif
← Hasil +3 : 100% dari kontrol positif
← Hasil +4 : 200% dari kontrol positif
d. Uji tempel (patch test) 3
Pada umumnya digunakan pada kasus dermatitis kontak. Alergen yang
dicurigai diletakkan pada kulit dan hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72
jam. Selain pada dermatitis kontak, uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis
alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi dan esofagitis eosinofilik. Dijumpai
67% anak dengan uji provokasi susu sapi yang positif menunjukkan hasil SPT (reaksi
alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji tempel menunjukkan hasil yang negatif.
Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak dengan reaksi alergi tipe lambat (25-44
jam). Dikatakan bahwa kombinasi uji tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi
positif tertinggi dan dapat menggantikan uji provokasi makanan.3

0 = tidak ada reaksi

+/- = eritema ringan, meragukan

1+ = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)

2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)

3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)

2. Uji provokasi 1,3

Hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan dalam diagnosis dan ketidakcocokan


gambaran klinis dengan tes lainnya.Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara
paparan alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna, paru),
maka dapat dilakukan uji provokasi.Adapun contoh tes provokasi adalah:

a. Uji provokasi bronkial


Ekstrak alergen dengan konsentrasi yang makin tinggi dihirup melalui
nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas. Tes inhalasi histamin dan metakolin
menimbulkan 90% reaksi pada pasien asma sehingga menjadi kriteria diagnosis asma.
Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi bronkial berkorelasi baik
dengan uji kulit maupun uji alergi in vitro.1,3
b. Uji provokasi dan eliminasi makanan.
Eliminasi makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi selama beberapa
minggu dan kemudian dikonsumsi kembali pada suatu waktu secara perlahan
kemudian dilihat reaksi alergi. Dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang
dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap makanan tersebut. Oral food
challenge dengan metode double blind placebo dianggap sebagai gold standart.1,3
Prosedur ini tidak dilakukan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas yang
jelas. Pasien diminta untuk pantang makanan selama 2 minggu. Antihistamin
dihentikan sesuai waktu paruhnya dan dibawah pengawasan medis untuk
mengantisipasi reaksi berat seperti syok anafilaktik. Makanan diberikan dalam bentuk
suatu seri kapsul yang diberikan bergantian dengan kapsul placebo. Hasil negatif
apabila setelah menelan makanan dalam jumlah besar, tidak ada reaksi alergi. Jika uji
kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji provokasi
makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama tiga
minggu. Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu sapi mulai
dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah mencapai 200 ml tidak
terjadi reaksi alergi, maka pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.1,3
c. Uji provokasi sekum
Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocation/ COLAP), dilakukan
melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan ekstrak alergen ke dalam mukosa sekum.
Hasil positif berupa pembentukan wheal dan kemerahan pada mukosa. Derajat alergi
ditentukan secara semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi, 1=meragukan, 2=reaksi
sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat (1-2 cm), dan 4=reaksi maksimal (>2 cm).
Hasil COLAP sesuai dengan riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil SPT
dan RAST. Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus tidak beredar
secara sistemik, atau reaksi hipersensitivitas pada usus bukan (bukan hanya)
merupakan mekanisme yang IgE-tergantung.1,3

3. Immuno CAP Phadiatop Infant (PI)


Berguna untuk mendeteksi IgE pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila dibandingkan
dengan skin prick test (SPT) dan RAST pada bayi dengan hasil SPT dan RAST seluruhnya
positif atau negatif, maka PI memiliki sensitivitas 96%, spesifisitas 98%, nilai prediktif
positif 89%, dan nilai prediktif negatif 99% namun pada bayi dengan hasil SPT atau RAST
positif, PI menunjukkan sensitivitas 82%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 94%, dan
nilai prediktif negatif 95%. Terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara eksim dan
hasil PI yang positif, namun korelasi dengan gejala asma dan rinokonjungtivitis tidak
meyakinkan karena di atas usia dua tahun telah terdapat peran infeksi virus. Dengan demikian
PI dapat digunakan sebagai pemeriksaan alergi pada bayi karena dapat menggantikan SPT
dan tidak memerlukan seleksi antigen spesifik baik pada SPT maupun RAST.1

4. Microarrayed Allergen Molecules

Dapat diketahui molekul alergen penyebab sehingga dapat memberi informasi tentang
profit reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi dengan tepat molekul yang diguna- kan
dalam imunoterapi.12 Beberapa dekade yang lampau terdapat berbagai metode pemeriksaan
alergi yang saat ini telah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit
alergi, antara lain uji alergi sitotoksik (cytotoxic allergy testing), uji provokasi, dan
netralisasi (provocative and neutralization testing) secara subkutan ataupun sublingual,
imunoterapi dengan titrasi kulit (skin titration method of inzinunotherapy), urine
autoinjection (autogenous urine immunization), dan pemeriksaan kadar IgG serum terhadap
makanan tertentu.1,3

5. Uji elektrodermal (electrodermal testing)

Uji elektrodermal merupakan salah satu uji alergi yang banyak digunakan dalam
complementary and alternative medicine (CAM) sebagai terapi homeopati. Dasar kerja
adalah perubahan kecil gelombang listrik pada kulit terjadi pada titik akupunktur sebagai
respons terhadap suatu bahan yang diletakkan dalam sirkuit listrik. Dewasa ini penggunaan
uji elektrodermal semakin meningkat untuk menentukan status alergi makanan dan alergi
hirup, kemungkinan karena faktor keamanannya, tidak invasif, dan sederhana. Namun suatu
penelitian buta ganda dengan kontrol dan lebih dari 1500 subjek penelitian menunjukkan
bahwa metode uji elektrodermal tidak dapat membedakan antara individu dengan atopi dan
non-atopi.1

6. Terapi Bioresonans (bioresonance therapy)


Didasarkan pada teori fenomena alergi dapat dijelaskan dengan konsep biofisika.
Alergi engram diperlukan untuk proses mekanisme alergi dalam tubuh berlangsung. Alergi
engram merupakan cetakan biofisika sebagai dasar predisposisi herediter melalui kontak
berulang dengan suatu bahan yang mengiritasi tubuh. Bahan tersebut akan menjadi alergen
bagi seorang individu bila telah tercetak sebagai alergi engram dan akan menjadi aktif hanya
bila terjadi kontak dengan suatu alergen.1
Diagnosis alergi dengan metode biofisika dilakukan dengan meletakkan tuas tensor
secara horizontal antara dada pasien dan ekstrak alergen yang akan diperiksa. Bila tensor
berayun dengan arah vertikal, (atas-bawah) menandakan pasien alergi terhadap alergen
tersebut. Sebelum terapi dimulai, dilakukan proses detoksifikasi dengan cara menggenggam
dua logam berbentuk tabung yang dihubungkan dengan kabel ke alat BIOCOM®. Proses
berlangsung selama 5-10 menit selama 2-3 hari. Langkah-langkah terapi adalah sebagai
berikut, (1) Input cup dihubungkan dengan alat BIOCOM® melalui dua kabel, (2) Pasien
menggenggam dua bola elektroda yang dihubungkan dengan bagian output dari alat, (3) Alat
BIOCOM® di-setting dengan frekuensi tertentu sesuai jenis alergen. Terapi untuk satu jenis
alergen dilakukan satu kali selama 10 menit namun terapi dapat diulang bila gejala alergi
timbul kembali.1
Beberapa penelitian dengan menggunakan kontrol menyatakan terapi bioresonans
tidak dapat mengenali, mempengaruhi, dan meniadakan alergen. Namun meskipun demikian,
hal ini tidak berpengaruh pada popularitas terapi bioresonans yang sangat diminati di Jerman
sekitar tahun 1995.1

BAB III

KESIMPULAN
Kejadian Rinitis Alergi merupakan penyakit kronis yang sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, terutama anak, remaja serta
dewasa muda dan diperkirakan mengenai 20-40% populasi anak. 2,4 Meskipun penyakit ini
bukan penyakit yang membahayakan jiwa, tetapi gejala yang ditimbulkannya sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup, karena penyakit ini
bersifat rekuren (mudah kambuh), kronis, progesif, reversibel pada tahap awal dan
ireversibel pada tahap lanjut. 3,7 Namun kadangkala banyak anak yang didiagnosis RA oleh
para klinisi tanpa suatu konfirmasi pemeriksaan laboratorium sehingga sering mendapat
pengobatan yang tidak tepat.2

Dalam menegakkan diagnosis penyakit alergi dan menentukan alergen penyebabnya


tidak jarang diperlukan pemeriksaan penunjang, baik yang dilakukan secara in vivo maupun
in vitro. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu
dikombinasi agar dapat diperoleh diagnosis yang tepat dan tata laksana yang undertreatment
maupun overtreatment dapat dihindari.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi Ni Putu


Sudewi, Nia Kurniati, EM Dadi Suyoko, Zakiudin Munasir, Arwin AP Akib Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta (Sari Pediatri 2009;11(3):174-8).
2. Eosinofil Mukosa Hidung Sebagai Uji Diagnostik Rinitis Alergi pada Anak
Johnny Sugiarto, D.Takumansang S, M.(SARI Pediatri vol7, No.4, Maret 2006)
3. MedLine Plus .Allergy testing. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003519.htm.Diakses pada 28 Maret
2012.
4. Boeis
5. World Health Organization Initiative Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA), Document 2001.
6. Skoner DP. Allergic rhinitis: definition, epidemiology, pathophysiology, detection
and diagnosis. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:2-8.
7. Aryati. Pemeriksaan eosinofil mukosa hidung. Pelatihan alergi PKB IV THT-KL.
Surabaya; 2004.
8. Maesano IA, Bachert C, Cagnani CB, Classification World Health Organisation
Initiative (ARIA). 2002 : 1- 62
9. Soetomo N. Eosinophilia Infus Hidung Sebagai Kriteria Diagnosis Rinitis Alergika.
Kumpulan Naskah Konggres Nasional Perhati V Semarang 1977

Anda mungkin juga menyukai