1. Pendahuluan
Dalam dekade terakhir, Indonesia telah mengalami cukup banyak serangan terorisme
yang tidak hanya merenggut korban jiwa dan menimbulkan kerugian material, tetapi juga
menyebarkan atmosfer kecemasan dan ketakutan di kalangan masyarakat luas. Saat ini,
pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai ancaman terhadap
keamanan dan keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan nasional.1 Pasca-peristiwa
9/11 dan dideklarasikannya Perang Global Melawan Teror oleh Amerika Serikat, dengan
Bom Bali I sebagai tipping point dalam negeri,2 pemerintah Indonesia semakin mendapat
tekanan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk menanggulangi terorisme secara
efektif. Respon kebijakan pertama pemerintah dalam menghadapi serangan teroris
kontemporer adalah respon kebijakan cepat, yakni dengan mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian dipertegas
dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam
bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 dan 2 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi UU dengan
Undang-Undang No. 15 tahun 2003. Berdasarkan UU tersebut, Indonesia menyelenggarakan
upaya penanggulangan terorisme yang bertumpu pada penggunaan sistem hukum pidana dan
kepolisian sebagai ujung tombaknya.
Upaya dan respon nasional Indonesia di atas seringkali dipuji karena dipandang
berhasil menangkapi dan mengadili anggota kelompok teroris secara efektif seraya menjaga
agar transisi demokrasi Indonesia tetap berjalan.3 Akan tetapi, terdapat pula berbagai masalah
dan tantangan mengenai penyelenggaraan upaya penanggulangan terorisme
(anti/kontraterorisme) di Indonesia, misalnya dilema penguatan mekanisme hukum yang
1
Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, diunduh dari www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/6159/ pada 17 September 2011.
2
Jonathan C. Chow, “Asean Counterterrorism Cooperation since 9/11,” Asian Survey, Vol. 45, No. 2
(Mar. - Apr., 2005), hh. 302, diunduh dari http://www.jstor.org/stable/4497099 pada 30 November 2010.
3
Zachary Abuza, “Indonesian Counter-Terrorism: The Great Leap Forward.” Terrorism Monitor, Volume:
8 Issue: 2 January 14 2010, diunduh dari http://www.jamestown.org/uploads/media/TM_008_2_03.pdf pada 17
September 2011.
1
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
represif versus kebebasan sipil dan hak asasi manusia (HAM), perdebatan mengenai
keterlibatan dan peran militer dalam kontraterorisme di Indonesia, dan skeptisisme terhadap
program deradikalisasi yang saat ini menjadi fokus strategi antiterorisme (pendekatan lunak)
di Indonesia.
Untuk mengatasi berbagai masalah dan tantangan tersebut, respons legislatif yang
sifatnya reaktif dan penyelenggaraan kebijakan yang sifatnya ad hoc saja tidak cukup.
Pemerintah dituntut untuk menyusun sebuah strategi yang komprehensif yang menyediakan
dasar, orientasi, serta pengaturan bagi penyelenggaraan berbagai kebijakan untuk
menanggulangi terorisme di Indonesia. Hingga saat ini, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) yang dibentuk pada tahun 2010 dan diserahi tugas untuk menyusun
strategi nasional penanggulangan terorisme belum mengeluarkan dokumen strategi resmi
sehingga satu-satunya dokumen pemerintah yang ada tentang penanggulangan terorisme
adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau
Bappenas.
Dalam konteks di atas, makalah ini bertujuan untuk memaparkan strategi dan
kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia (existing policies) dan paparan
normatif mengenai strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Secara
umum, makalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
Bagian pembahasan dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni strategi dan kebijakan serta aktor
dan kelembagaan. Di dalam bagian strategi dan kebijakan, akan diulas mengenai empat hal
berikut: 1) pendekatan hard power, yaitu penegakan hukum (pendeteksian dan pencegahan,
penindakan, pasca-penahanan) yang turut mengulas mengenai pelibatan masyarakat dan
pengaturan faktor-faktor yang memfasilitasi terorisme, 2) pendekatan soft power yang
membahas tentang deradikalisasi dan kontraradikalisasi atau kontra/deideologi, 3) pelibatan
penyintas (survivor) terorisme dan 4) masyarakat sipil, 5) kerja sama internasional, 6)
pendekatan kesejahteraan, 7) transformasi konflik komunal, dan 8) penguatan demokrasi dan
HAM. Sementara itu, di bagian aktor dan kelembagaan di bahas mengenai Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, Polri dan Detasemen Khusus Antiteror 88, dan Militer.
2. Pembahasan
2
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
4
“Indonesia Paparkan Strategi Anti Terorisme ke Eropa,” dalam
http://madina.co.id/index.php/polhukam/9373-indonesia-paparkan-strategi-anti-terorisme-ke-eropa.html.
Diunduh 10 Januari 2012.
5
Paul Wilkinson, Terrorism and Democracy (London and New York: Routledge, 2002).
3
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
penindakan, yakni disrupsi jejaring teror melalui penyergapan dan penangkapan untuk
selanjutnya diproses secara hukum melalui sistem peradilan.
Kunci dari menanggulangi terorisme melalui mekanisme hukum pidana adalah
“perang intelijen” di mana penegak hukum harus diberikan sarana dan prasarana yang
memadai untuk dapat membangun kualitas yang tinggi sehingga dapat membongkar rencana
teroris sebelum tindak terorisme itu sendiri terjadi (pre-emptive). Saat ini, Densus 88 dapat
menangkap teroris pada tahap perencanaan/persiapan (doktrin 90%), tapi Kadensus 88
menginginkan “persentase” yang lebih rendah lagi, yaitu untuk dapat menangkap teroris pada
tahap ideas inception, seperti tercermin dalam pernyataannya untuk memperkuat UU
Antiterorisme Indonesia sehingga dapat mengkriminalisasi tindak penyebaran kebencian,
misalnya khotbah-khotbah yang mendorong seseorang menggunakan metode “teroris.” Perlu
adanya pengaturan yang rinci dan transparan mengenai apa saja yang dapat dikriminalisasi
jika aturan ini akan dibuat. Selanjutnya, hal ini harus disosialisasikan dengan baik kepada
publik sehingga tidak dianggap sebagai general repression. Di Australia, telah disusun
sebuah panduan publik yang menarik berkenaan dengan informasi tentang segala peraturan
anti/kontraterorisme di negara tersebut dan prosedur-prosedur yang harus dijalankan oleh
intelijen dan petugas polisi Australia dalam menangkap seseorang yang dicurigai sebagai
teroris. Panduan publik ini berguna untuk memperkecil pelanggaran prosedur hukum dan
mempertinggi legitimasi penegak hukum dan pemerintah di mata publik. 6 Sayangnya,
sebagian besar UU di Indonesia kekurangan implementing regulations dan peraturan-
peraturan penjelas. Dengan demikian, saatnya untuk menyusun UU Penanggulangan
Terorisme Indonesia panduan publik mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan
penanggulangan terorisme yang mudah diakses publik.
Secara umum, strategi penegakkan hukum ini dapat dikatakan masih menghadapi
berbagai tantangan. Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme dipandang masih
lemah.7 Yang pertama adalah permasalahan aturan yang dianggap kurang ketat. Dari segi
payung hukum, institusi keamanan nasional mengalami masalah karena keberadaan UU No.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi
operasi pencegahan dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal. Keberadaan
6
Australian Muslim Civil Rights Advocacy Network. 2007. Undang-Undang Anti-Terorisme: ASIO,
Polisi dan Anda. Dikutip dalam http://www.lawfoundation.net.au.
7
Tri Poetranto, loc. cit.
4
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
unit dan satuan pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa
institusi juga menjadi kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan. 8 Hal
yang dapat dilakukan untuk mengasi kelemahan-kelemahan ini adalah mengamandemen UU
No. 15 tahun 2003 untuk memungkinkan adanya kebijakan pre-emptive yang lebih efektif
dalam rangka deteksi dini dan cegah-tangkal terorisme, yakni dengan memberi wewenang
kepada intelijen untuk melakukan surveillance yang lebih efektif melalui izin peradilan
berdasarkan bukti-bukti intelijen awal. Intelijen tidak dapat diberi wewenang untuk
menangkap karena hal ini berpotensi mengarah pada abuse of power. Bukti intelijen saja pun
tidak dapat dijadikan bukti yang cukup untuk membawa tersangka teroris ke pengadilan
(harus disertai dengan alat bukti lain yang sifatnya non-intelijen), namun intelijen dapat
diberdayakan (dalam artian diberi wewenang yang lebih besar) untuk mengumpulkan
informasi secara lebih leluasa di bawah kontrol yudikatif. Sementara itu, untuk mengatasi
masalah klasik mengenai koordinasi, baik dalam pendeteksian dan pencegahan maupun
dalam penindakan, dapat dibentuk sebuah pasukan bersama yang sifatnya permanen
(standing joint force) yang terdiri dari elemen-elemen kepolisian (Densus 88) dan detasemen-
detasemen khusus militer untuk menanggulangi teror, dan perwakilan dari berbagai
komunitas intelijen yang dikoordinasikan di bawah BNPT. Adanya pasukan khusus ini
tentunya membawa konsekuensi pengalokasian sumber daya seperti teknologi dan anggaran.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah ketidakmampuan hukum untuk menjangkau
tindakan yang tidak dikategorikan melanggar hukum, seperti menyebarkan paham tertentu
atau kebencian (hatred speech).9 Agar lebih efektif dalam menekan tindak terorisme, perlu
ada pengaturan mengenai komunikasi publik yang mendukung penggunaan kekerasan
terhadap pihak-pihak tertentu, termasuk dalam bentuknya yang spesifik seperti terorisme.
Aturan ini berpotensi menjadi aturan yang kontroversial karena dapat dipandang sebagai
bentuk represi terhadap penyebaran ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu diatur secara tegas
bahwa yang akan dikriminalkan adalah advokasi secara eksplisit terhadap penggunaan
kekerasan, bukan gagasan-gagasan yang dianggap anti-pemerintah atau anti-ideologi tertentu.
8
Tri Poetrantro, “Konsepsi Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia dalam Rangka
Menjaga Keutuhan NKRI,” Puslitbang Strahan Balitbang Dephan. Dikutip dalam http://www.
buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=6&vnomor=17. Diakses 10 Januari 2012.
9
“Mencari Strategi Penanganan Terorisme,” dalam Seminar ”Penanggulangan Terorisme guna Persatuan
dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional”, yang diadakan Program Pendidikan Singkat
Angkatan XVII Lembaga Ketahanan Nasional.
5
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Penindakan
Dalam mengupayakan pencegahan dan penanggulangan terorisme, terdapat prinsip-
prinsip strategis yang telah diadopsi di tingkat nasional, yaitu prinsip supremasi hukum,
indiskriminasi, independensi, koordinasi, demokrasi, dan partisipasi. Melalui strategi
supremasi hukum, upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum). Strategi
indiskriminasi mensyaratkan upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme diberlakukan
tanpa pandang bulu, serta tidak mengarah pada penciptaan citra negatif kepada kelompok
masyarakat tertentu. Gagasan mengenai potensi terbentuknya komunitas tersangka atau
suspect community yang menjadi sasaran penindakan terorisme hanya karena dia termasuk ke
dalam golongan masyarakat tertentu menjadi perhatian dalam prinsip ini. Prinsip
independensi dilaksanakan untuk tujuan menegakkan ketertiban umum dan melindungi
masyarakat tanpa terpengaruh oleh tekanan negara asing atau kelompok tertentu.10
Dalam penindakan yang dilakukan oleh kepolisian (Densus 88), selalu ada
permasalahan legitimasi dan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran HAM meskipun
kepolisian telah memiliki aturan internal yang mengatur tentang prosedur yang
menginkorporasi prinsip-prinsip HAM. Legitimasi ini menjadi sangat penting karena
merupakan sumber daya yang diperebutkan di antara pemerintah dan kelompok-kelompok
teroris. Untuk mengurangi suara-suara miring terhadap Densus yang berkaitan dengan
penindakan terhadap teroris (misalnya penyerbuan dan penangkapan), polisi harus selalu
mematuhi segala persyaratan internal untuk menangkap atau menyerbu. Selain itu, perlu ada
panduan publik yang disebarkan secara luas kepada masyarakat dalam bahasa yang sederhana
mengenai prosedur penangkapan teroris dan hak-hak mereka yang akan ditangkap.
Transparansi ini akan mempertinggi legitimasi kepolisian itu sendiri dalam menindak
10
Bappenas, loc. cit., h. 5.
6
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
tersangka teroris dan sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran HAM dalam proses
penindakan terorisme.
Selain prinsip-prinsip yang telah diadopsi di atas, pemerintah perlu juga mengadopsi
prinsip-prinsip demokratis dalam penegakkan hukum sebagai berikut:
(1) Pemerintah tidak boleh bereaksi berlebihan dan terpancing oleh terorisme untuk
menerapkan represi terhadap masyarakat secara umum (general repression). Teroris telah
berusaha memancing reaksi berlebihan dari aparat penegak hukum, misalnya dengan
menyerang polres di Hamparan Perak. Jika polisi terpancing dan melanggar prosedur dalam
menangkap teroris, misalnya, atau dengan merepresi masyarakat secara umum, teroris dapat
dikatakan telah menang.
(2) Sebagaimana halnya pemerintah dan penegak hukum tidak boleh bereaksi berlebihan,
reaksi yang berkekurangan (underreaction) juga berbahaya karena berpotensi membiarkan
teroris mengambil kendali teritorial daerah tertentu dan membentuk state shell (lihat
Napoleoni 2004: 85). Dalam hal menghindari underreaction ini, Indonesia dapat
memanfaatkan mekanisme Operasi Militer Selain Perang (OPMS) yang juga telah diterapkan,
misalnya dengan meminta bantuan TNI untuk mengejar anggota kelompok teroris ke hutan-
hutan. Hal ini masuk ke dalam mekanisme Bantuan Militer kepada Kekuasaan Sipil (Military
Aid to Civil Power) yang diperbolehkan dalam demokrasi dalam situasi-situasi tertentu asal
diiringi dengan pemberian mandat dan wewenang yang jelas dan terbatas.
(3) Jika UU Darurat perlu ditegakkan (misalnya dalam bentuk Undang-Undang Keamanan
Nasional atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri), UU tersebut harus bersifat
sementara dan harus dikaji secara periodik oleh Parlemen dan harus mendapatkan persetujuan
parlemen sebelum diperpanjang. Ini yang seringkali disebut sebagai sunset principle.
7
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
melalui jalur hukum di Indonesia sehingga harus diperkuat. Perhatian harus diberikan pada
penempatan terdakwa terorisme dan pengawasannya di lembaga pemasyarakatan. Aturan
yang membatasi interaksi dan komunikasi terdakwa teroris dengan dunia luar (misalnya
pelarangan untuk memiliki dan menggunakan telepon selular) harus benar-benar ditegakkan.
Perlu ada reformasi lembaga penahanan secara umum. Sebagian dana kontraterorisme yang
didapatkan Indonesia dari kerja sama bilateral harus dialokasikan untuk perbaikan sistem
penahanan teroris untuk menurunkan tingkat residivisme. Hanya dengan penerapan
kebijakan-kebijakan inilah tahap pertama dari deradikalisasi yang dicanangkan oleh
pemerintah, yakni disengagement (secara fisik) dapat diwujudkan.
Strategi selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah pengawasan pasca-
penahanan. Indonesia belum memiliki program yang sistematis untuk mengawasi terdakwa
teroris pasca-dibebaskan karena kekurangan sumber daya, padahal hal ini seharusnya menjadi
bagian integral dari penindakan melalui sistem hukum pidana. Ada baiknya jika Indonesia
belajar dari Singapura yang memiliki program rehabilitasi yang terintegrasikan ke dalam
penindakan teroris melalui strategi hukum pidananya. Secara konseptual, BNPT telah
mengenal konsep rehabilitasi dan re-edukasi, namun hingga saat ini penyelenggaraannya
tampak masih bersifat ad hoc, bukan sebuah program yang sistematis dan berkelanjutan.
Untuk itu, perlu dicarikan dana khusus untuk mengatasi masalah residivisme melalui program
parole atau pengawasan pasca-penahanan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
8
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
dan kebijakan di ranah ini, selain payung hukum (baik peraturan pemerintah daerah maupun
dari badan tertentu seperti BNPT), perlu adanya panduan operasional untuk menghindari aksi
premanisme atas nama pencegahan terorisme. Untuk menjalankan strategi ini, tidak
diperlukan lembaga baru, dapat memberdayakan institusi-institusi keamanan lokal yang
sudah ada.
Strategi yang dapat dijalankan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah dengan menggalakkan Siskamswakara
(Sistem Keamanan Swadaya Masyarakat) di seluruh wilayah Indonesia dengan kebijakan-
kebijakan sebagai berikut:12
1 Menertibkan administrasi penduduk, terutama dokumen identitas dan memperbaiki
sistem yang mengeluarkannya
2 Menggalakkan ketentuan wajib lapor di tingkat komunitas
3 Membina sistem pengamanan swakarsa di tingkat komunitas yang memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan mengenai modus operandi teroris dan langkah-
langkah awal penanganannya
4 Menyiagakan perangkat tanggap darurat di tingkat komunitas.
12
Tri Poetranto, loc. cit.
9
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Deradikalisasi
Secara konseptual, deradikalisasi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menjadikan
mereka yang tadinya memiliki paham yang radikal (mendukung terorisme) sehingga tidak
lagi memiliki paham yang radikal tersebut atau setidaknya tidak menindaklanjuti paham
tersebut dalam tataran praktis (tindak teroris itu sendiri). Belum ada konsepsi ajeg mengenai
bagaimana deradikalisasi itu dilakukan secara programatik dan terpadu oleh pemerintah,baik
itu BNPT, Densus 88, maupun lembaga-lembaga lain. Deradikalisasi ini bahkan dikatakan
masih berupa konsep dan penyelenggaraannya masih ad hoc, yang dijalankan melalui
kebijakan mendekati para tersangka atau terdakwa teroris secara personal untuk menggali
informasi mengenai jejaring teror (yang sifatnya transaksional)15, yang kemudian dalam
beberapa kasus mengarah pada berhentinya beberapa tokoh teroris dari tindak terorisme.
13
Bappenas, op. cit., h. 9.
14
Ibid.
15
Presentasi Sarie Febriani dalam topik ‘Deradikalisasi’ pada mata kuliah Terorisme di Indonesia,
Desember 2011.
10
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Secara struktural, ‘proyek’ deradikalisasi ini dipromosikan oleh BNPT sebagai salah satu
strategi lunak dalam menanggulangi terorisme. Secara operasional, kegiatan-kegiatannya
dilakukan secara ad hoc dan berbasis kasus oleh Densus 88.16 Dengan demikian, meskipun
dinyatakan sebagai salah satu strategi Indonesia dalam menanggulangi terorisme,
deradikalisasi belum menjadi program pemerintah yang mandatnya diberikan pada lembaga
tertentu dengan alokasi anggaran dan ‘kurikulum’ tertentu. Deradikalisasi di Indonesia masih
sangat abstrak jika dibandingkan misalnya dengan program deradikalisasi di Singapura yang
memiliki badan tersendiri dengan program yang sangat mendetil. 17 Poin yang dapat
ditambahkan untuk memperkuat proyek deradikalisasi di Indonesia adalah pelibatan lebih
banyak lagi elemen masyarakat sipil, terutama para pemimpin masyarakat, sampai ke
pelosok-pelosok desa, lembaga-lembaga keagamaan di kampus-kampus (terutama kampus-
kampus teknik dan eksakta), dan pengadaan program konseling keluarga serta pemberian
parole officer kepada eks-napi teroris yang telah bebas.
Mengenai konsep deradikalisasi itu sendiri, meskipun di tataran konsep telah ada
konsepsi mengenai deradikalisasi yang secara umum dilandaskan pada prinsip-prinsip
pendekatan jiwa (soul approach), humanis, dan menyentuh akar rumput,18 wacana mengenai
deradikalisasi masih mendapat tentangan di kalangan masyarakat, khususnya komunitas-
komunitas Islam yang menyetarakan deradikalisasi dengan deislamisasi, bahkan pemurtadan
dari Islam.19 Dengan demikian, ada baiknya strategi pemerintah lebih difokuskan pada
bagaimana menangkal radikalisasi di kalangan masyarakat yang belum mengalami
radikalisasi namun berpotensi untuk mengalami hal tersebut. Dengan kata lain, fokus
deradikalisasi dialihkan menjadi kontraradikalisasi atau sering disebut oleh BNPT sebagai
kontra/deideologi.
16
Ibid.
17
Presentasi Heggy Kearens dalam topik ‘Deradikalisasi’ dalam mata kuliah Terorisme di Indonesia,
Desember 2011.
18
Mardanih, “Deradikalisasi Terorisme: Program Pemberantasan Terorisme,” Kompas 20 Agustus 2009,
dikutip dalam
http://edukasi.kompas.com/read/2009/08/20/11080199/Deradikalisasi.Terorisme..Program.Pemberantasan.Teror
isme. Diakses 10 Januari 2012.
19
Lihat misalnya “Ismail Yusanto: Deradikalisasi Mengarah pada Deislamisasi,” dalam
http://arrahmah.com/read/2011/12/23/16989-ismail-yusanto-deradikalisasi-mengarah-deislamisasi.html. Diakses
10 Januari 2011.
11
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Boaz Ganor, “Dilemmas Concerning Media Coverage of Terrorist Attacks.” Dalam Howard et al. 2005.
Terrorism and Counterterrorism: Understanding the New Security
12
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
penggunaan metode terorisme itu sendiri, sebisa mungkin media massa, setidaknya yang
mainstream, tidak mem-frame pemberitaan tentang teroris sedemikian rupa hingga membuat
masyarakat lebih mudah untuk menganggap mereka pahlawan, misalnya dengan menyoroti
pengeluk-elukan Imam Samudera di komunitasnya setelah ia dieksekusi. Media massa
memang memiliki idealisme dan prinsip mereka sendiri, salah satunya adalah pemberitaan
yang berimbang. Tapi, media massa tidak dapat bersikap netral dalam kasus terorisme;
mereka harus membantu pemerintah dan masyarakat untuk mendelegitimasi praktik-praktik
terorisme dan kekerasan secara umum. Dalam hal ini, penegak hukum dan pemerintah mutlak
membina hubungan baik dengan media massa agar perspektif-perspektifnya mendapatkan
porsi pemberitaan yang lebih besar daripada perspektif teroris. Tentu saja hal ini dilakukan
sembari tetap menjaga independensi pers karena pers yang dianggap independen akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya dan di saat yang sama meningkatkan
legitimasi pemerintah di mata masyarakat.
13
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
21
Eric Rosand,” The Role of Civil Society in Counterterrorism: Presentation to the EU’s
Counter‐Terrorism Committee,” 14 Oktober 2009, diunduh dari
http://www.globalct.org/images/content/pdf/Remarks/09Oct14_COTER_CIVILSOCIETY_AM.pdf.
14
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
22
Ibid.
23
Ibid.
15
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Di luar keterlibatan strategis di atas, ada juga keterlibatan kelompok masyarakat sipil
yang sifatnya lebih langsung, lebih praktis, dan lebih “hands-on” dan berkaitan dengan teroris
itu sendiri, misalnya upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Prasasti Perdamaian yang
didirikan oleh Noor Huda Ismail dan bertujuan untuk menjembatani reintegrasi mereka yang
pernah terlibat dalam aksi terorisme ke dalam kehidupan masyarakat yang “normal.” Konsep
yang mereka usung bukanlah deradikalisasi, melainkan “disengagement from violence,”
namun upaya-upaya mereka sering dipandang sebagai bagian dari upaya deradikalisasi yang
juga menjadi tekanan pemerintah Indonesia.24
24
http://www.prasastiperdamaian.com/about/
25
Tri Poetrantro, “Konsepsi Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia dalam Rangka
Menjaga Keutuhan NKRI,” Puslitbang Strahan Balitbang Dephan.
26
Ibid.
27
Bappenas, op. cit., h. 5.
16
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
28
Lihat Analysis_ASEAN Convention on Counter Terrorism, 2006, dikutip dari
http://www.pvtr.org/pdf/Legislative%20Response/ASEAN%20Convention%20on%20Counter%20Terrorism-
Analysis%5B1%5D.pdf. Diakses 30 November 2010.
29
Brian Burgoon, “On Welfare and Terror: Social Welfare Policies and Political-Economic Roots of
Terrorism.” The Journal of Conflict Resolution, Vol. 50, No. 2 (Apr.,2006), h. 176. Sage Publications, Inc.
Dalam http://www.jstor.org/stable/27638483. Diakses 30 November 2010.
17
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
18
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
30
Paul Wilkinson, op.cit., h. 50-51.
31
Ramraj et. al, Global Anti-Terrorism Law and Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005),
h. 29.
19
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
bertujuan mematahkan dominasi dan hegemoni Barat. Dalam konteks demokrasi dan HAM
ini, mendirikan ketatapemerintahan yang baik atau good governance sangat penting untuk
memberantas terorisme. Kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum harus dibersihkan
dulu dari korupsi jika ingin memberantas terorisme secara aktif. Korupsi pun mempengaruhi
tersedianya faktor-faktor yang memfasilitasi terorisme seperti pengawasan dokumen dan
pergerakan senjata yang longgar. Korupsi dan kebrobrokan sistem juga membuat terorisme
dapat mengklaim legitimasi yang lebih tinggi dari masyarakat.
32
Lihat Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010.
20
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
inilah (misalnya Densus 88 sebagai penindak) yang menjadi ujung tombak. Untuk menjamin
transparansi dan akuntabilitas badan ini, semua anggaran yang masuk melalui badan ini harus
dapat dipertanggungjawabkan, termasuk diperiksa oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
33
Dikutip dalam http://smsindah.wordpress.com/2010/03/18/sejarah-densus-88-anti-teror/
34
Ibid.
21
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
sendiri, yakni Undang-Undang Intelijen yang disahkan pada bulan Oketober tahun 201135,
dalam praktiknya, ego sektoral masih menjadi penghalang koordinasi dan kolaborasi di antara
berbagai lembaga intelijen tersebut.36 Hal ini hanya bisa diselesaikan dengan dipercepatnya
reformasi di tubuh TNI dan Polri, termasuk unit-unit intelijen di bawahnya.
3.4 Militer
Secara teoretis, dalam konsep military aid to the civil power atau bantuan militer
kepada kekuasaan sipil (MACP), militer dapat berperan dalam kontraterorisme dengan cara
mendukung kekuatan polisi dan otoritas sipil. Dalam hal ini, militer bertanggung jawab
kepada Kepala Polisi dan hanya berperan dalam pemertahanan hukum dan ketertiban serta
perlindungan masyarakat. Mereka juga harus bisa mempertanggungjawabkan tindakan
mereka dalam kerangka hukum sipil.37 Hal ini dimungkinkan pula dalam konteks Indonesia.
Dalam hal ini, detasemen-detasemen khusus di bawah militer seperti Dengultor, Denbravo,
dan Denjaka dapat dilibatkan sebagai striking force kontrateror dengan bergabung ke dalam
standing joint force yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, hal ini harus diatur
melalui payung hukum hingga ke tataran operasional yang memungkinkan militer untuk
mengejar dan menangkap teroris hidup-hidup untuk selanjutnya diproses secara hukum tanpa
khawatir akan dituding melanggar HAM.
4. Penutup
Dari uraian di atas, terlihat bahwa strategi dan kebijakan pencegahan dan
penanggulangan terorisme yang komprehensif akan mencakup penggunaan pendekatan keras
(hard power) yang termanifestasikan dalam penegakan hukum dan pendekatan lunak (soft
power) yang antara lain termanifestasikan dalam deradikalisasi dan kontraradikalisasi yang
turut mencakup diplomasi dan pendidikan publik. Selain itu, strategi dan kebijakan ini
mencakup pula kerja sama internasional bilateral dan multilateral serta penanggulangan akar
penyebab terorisme seperti peningkatan kesejahteraan, transformasi konflik komunal, dan
penguatan demokrasi dan HAM.
35
“DPR Sahkan UU Intelijen,” dalam http://www.voanews.com/indonesian/news/DPR-Sahkan-UU-
Intelijen--131511353.html. Diakses 10 Januari 2012.
36
Sebagaimana terungkap dalam diskusi mengenai intelijen sebagai aktor keamanan nasional dalam
penanggulangan terorisme dalam mata kuliah Kebijakan Keamanan terhadap Terorisme.
37
Paul Wilkinson, op. cit., h. 70.
22
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
***
23
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
DAFTAR PUSTAKA
Abuza, Zachary. 2010. “Indonesian Counter-Terrorism: The Great Leap Forward.” Terrorism
Monitor ,Volume: 8 Issue: 2 January 14.
Burgoon, Brian. 2006. “On Welfare and Terror: Social Welfare Policies and Political-
Economic Roots of Terrorism.” The Journal of Conflict Resolution, Vol. 50, No. 2
(Apr.,
2006), pp. 176-203. Sage Publications, Inc. Dalam http://www.jstor.org/stable/27638483.
Diakses 30 November 2010.
Chow, Jonathan C. 2005. “Asean Counterterrorism Cooperation since 9/11.” Asian Survey,
Vol. 45, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), pp. 302. Dalam
http://www.jstor.org/stable/4497099. Diakses 30 November 2010.
Ganor, Boaz. 2005. “Dilemmas Concerning Media Coverage of Terrorist Attacks.” Dalam
Howard et al. 2005. Terrorism and Counterterrorism: Understanding the New Security
Environment. New York: McGRaw –Hill Companies Inc.
Rosand, Eric. 2009. ”The Role of Civil Society in Counterterrorism: Presentation to the EU’s
Counter‐Terrorism Committee,” Diunduh dari
http://www.globalct.org/images/content/pdf/Remarks/09Oct14_COTER_CIVILSOCIETY_A
M.pdf. Diakses 29 Mei 2011.
Wilkinson, Paul. 2002. Terrorism and Democracy. London and New York: Routledge
24
Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme.
Presentasi Heggy Kearens dalam topik ‘Deradikalisasi’ dalam mata kuliah Terorisme di
Indonesia, Desember 2011.
Presentasi Sarie Febriani dalam topik ‘Deradikalisasi’ pada mata kuliah Terorisme di
Indonesia, Desember 2011.
25