Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi
Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran,
sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata
tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu
pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya.
Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan
psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial,
juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007).
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola
pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta
adanya gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).

2.1.2. Epidemiologi
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia dalam hidup mereka (Amir, 2013). Di
Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen, yang berarti
bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa
hidupnya. Studi Epidemologic Catchment Area (ECA) yang disponsori National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6
sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar
antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik (cth: insidens
lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah perkotaan di negara maju). Skizofrenia
ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens dan
prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Di A.S., kurang lebih 0,05 persen

Universitas Sumatera Utara


populasi totalnya menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya
sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia mendapat pengobatan, meskipun
penyakit ini termasuk berat. Prevalensi penderita skizofrenik di Indonesia tercatat
sebesar 1,7 per 1000 penduduk (Riskesdas, 2013).

2.1.3. Etiologi
Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi berbagai pendekatan seperti
pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan atau stress-
vulnerability model.
1. Pendekatan Biologis
Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan
proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin dkk., 2010).
a) Teori genetik
Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan gangguan
mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik sangat
berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan hasil bahwa
skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dengan penelitian
yang dilakukan National Institute of Mental Health (NIMH) pada keluarga penderita
skizofrenia yang menyatakan bahwa skizofrenia muncul pada 10% populasi yang
memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia seperti orang tua dan saudara kandung.
Berdasarkan American Journal of Medical Genetics, menyatakan bahwa apabila
kedua orang tuanya mengidap skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami
skizofrenia adalah sebesar 40%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat
hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka semakin besar juga
kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (Semiun, 2006).
b) Teori neurostruktural
Berdasarkan pemeriksaan MRI dan CT scan otak pada orang-orang dengan
skizofrenia menunjukkan ada tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu pembesaran pada

Universitas Sumatera Utara


ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral
asimetry) (Semiun, 2006).
(1) Pembesaran pada ventrikel otak
Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal
mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenik terjadinya pembesaran pada
daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan
dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif (Semiun, 2006). Struktur otak
yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan
tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid
dkk., 2005). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel–
sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibandingkan otak yang
normal.

Gambar 2.1. Pembesaran ventrikel otak pada pasien skizofrenik


(Stefan dkk., 2002)

(2) Atrofi kortikal


Pendapat lain menyatakan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada seseorang
yang kehilangan jaringan otak yang bersifat degeneratif atau progresif,
kegagalan otak untuk berkembang normal, dan juga karena infeksi virus pada
otak ketika masa kandungan (Nevid dkk., 2005). Atrofi juga menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


kerusakan sulci yang menutupi selaput otak atau pembesaran celah antara
bagian-bagian otak. Sebanyak 20 hingga 35% orang dengan skizofrenia
mengalami kelainan ini (Semiun, 2006).
(3) Asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry)
Pada orang normal, sisi kiri otak lebih besar daripada sisi kanan, tetapi
kondisi yang terbalik terjadi pada orang-orang dengan skizofrenia. Padahal
otak kiri bertanggung jawab dalam kemampuan bahasa, sedangkan otak kanan
bertanggung jawab dalam kemampuan spasial. Hal ini menyebabkan
perbedaan dalam memahami masalah-masalah kognitif pada pasien
skizofrenia. Abnormalitas pada struktur otak pada pasien skizofrenik, seperti
pengurangan massa otak karena pembesaran ventrikel otak mungkin dapat
mempengaruhi dalam produksi neurotransmitter yang terlibat dalam
skizofrenia dan menentukan simptom-simptom yang nantinya akan muncul.
Selain itu, kemungkinan lain yang diungkapkan adalah pengurangan massa
otak ini dapat menyebabkan pegurangan ukuran dari daerah-daerah otak yang
penting untuk fungsi normal (Semiun, 2006). Namun, masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepastian teori-teori ini.
c) Teori biokimia
Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat. Pada
teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar glutamat akan menyebabkan
penurunan regulasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan menyebabkan
gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif. Aktivitas berlebih reseptor dopamin saraf
pada jalur mesolimbik bisa menyebabkan timbulnya gejala positif, sedangkan
penurunan aktivitas dopamin neuron pada jalur mesokortek di dalam kortek
prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif (Dawe, 2009).
Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin
(Semiun, 2006).
(1) Konsentrasi dopamin yang tinggi
(2) Sensitivitas yang tinggi dari reseptor dopamin

Universitas Sumatera Utara


(3) Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis
Pada orang dengan skizofrenia ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin yang
lebih banyak daripada orang normal. Penurunan drastis jumlah reseptor dopamin pada
laki-laki terjadi pada umur antara 30-50 tahun, sedangkan pada perempuan penurunan
jumlah reseptor terjadi perlahan-perlahan (Wong dkk., 1986). Teori ini dapat menjadi
penjelasan mengenai perbedaan awitan yang terjadi pada laki-laki dan perempuan.

2. Teori Psikogenik
Teori psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional dan
penyebab utama adalah konflik, stress psikologik dan hubungan antar manusia
yang mengecewakan.

3. Stress-Vulnerability Model
Pendekatan ini meyakini bahwa orang – orang tertentu yang memiliki
kerentanan genetik terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia
jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stress (Semiun, 2006).
Peristiwa dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan
skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini.

2.1.4. Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun
1993, yaitu :
1) Skizofrenia paranoid
a) Memenuhi kriteria skizofrenia
b) Halusinasi dan / waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi
perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa atau bersifat seksual; waham dikendalikan, dipengaruhi,
pasif atau keyakinan dikejar-kejar.

Universitas Sumatera Utara


c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala
katatonik relatif tidak ada.
2) Skizofrenia hebefrenik
a) Memenuhi kriteria skizofrenia
b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun)
c) Kepribadian premorbid : pemalu dan senang menyendiri
d) Gejala bertahan 2-3 minggu tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-
buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak
f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa
perasaan
g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas
diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli
secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang
h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik
a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia
b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau
aktivitas spontan) atau mutisme
c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli
eksternal)
d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta
mempertahankan posisi tersebut
e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang
berlawanan dari perintah)
f) Rigiditas (kaku)
g) Fleksibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar

Universitas Sumatera Utara


h) Command automatisme (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan
kata-kata serta kalimat
i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak
karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated


a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia
b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik
c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia
a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya)
c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6) Skizofrenia residual
a) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non verbal yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;

Universitas Sumatera Utara


c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.

7) Skizofrenia simpleks
a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
(1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik
(2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya
Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak
nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform
YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik


Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah
disebutkan.

Universitas Sumatera Utara


2.1.5. Patogenesis
1) Peran dopamin
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan
bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan
mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik
bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas
dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif.
Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang mempunyai mekanisme kerja dan
fungsi masing-masing, yaitu :
a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal ganglia.
b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke sistem limbik
c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke frontal cortex
d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari.
Hipotesis dopamin inilah yang menyebabkan sebelum tahun 1990an, pengembangan
obat antipsikotik difokuskan secara eksklusif pada agen dengan aktivitas utama yang
berlokasi pada reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat antipsikotik tipikal, yang
merupakan antagonis reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat
mengurangi gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga
berkaitan dengan efek samping neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala
ekstrapiramidal. Selain itu agen ini memiliki keterbatasan untuk gejala negatif dan
kognitif (Crismon dkk., 2008).
2) Peran serotonin
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas
serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung
peran potensial serotonin dalam memperantarai efek antipsikotik obat datang dari
interaksi anatomi dan fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan
elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari dorsal dan median raphe
nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel dopaminergik dalam Ventral Tegmental

Universitas Sumatera Utara


Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik
dilaporkan berujung langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh
penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui
reseptor 5-HT2A. Secara umum, penurunan aktivitas serotonin terkait dengan
peningkatan aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dan dopamin, khususnya
reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme obat psikotik atipikal dan rendahnya
potensi untuk menyebabkan efek samping ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5-
HT1A juga meningkatkan fungsi dopaminergik (Ereshefsky., 1999).
3) Peranan glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat
dalam patofisiologi skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis
reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada
orang sehat menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan
kognitif yang terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai
baik gejala negatif dan positif serta defisit kognitif skizofrenia (Ikawati, 2011).

2.1.6. Diagnosis
Menurut Saddock (2007), diagnosis skizofrenia yang biasa digunakan adalah
berdasarkan DSM-IV. Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV :
1) Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam
jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu :
a) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak
nyata).
b) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada).
c) Cara bicara tak teratur.
d) Tingkah laku yang tak terkontrol.
e) Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition).

Universitas Sumatera Utara


Catatan : Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari
suara-suara yang mengomentari orang itu atau suara-suara yang berbicara satu
sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa
skizofrenia.
2) Disfungsi sosial/pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau
pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.
3) Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama enam bulan, yang
merupakan gejala karakteristik seperti pada poin 1.
4) Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar.
5) Gejala psikotik bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik
tertentu.
Selain itu, ada juga kr iteria diagnostik menurut PPDGJ III :

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda, atau -
Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umumnya mengetahuinya.
b. - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

Universitas Sumatera Utara


terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas, merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan
khusus). - Delusion
perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
c. Halusinasi Auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap prilaku
pasien . -
Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara atau - Jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
makhluk asing atau dunia lain).

2. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:

e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.

Universitas Sumatera Utara


g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neureptika.

*Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
*Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.

2.1.7. Penatalaksanaan
Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) :
1) Terapi fase akut
Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya
pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan
pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak
membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah
dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan
antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik
dalam waktu enam minggu.
2) Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas yang
lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar untuk

Universitas Sumatera Utara


kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap
pemulihan yang lebih stabil.
3) Terapi fase pemeliharaan
Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat
mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan untuk
hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif, pendidikan
keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
Ada terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat dilakukan :
a. Terapi Non Farmakologi
Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan
skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang
komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan
terapi farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan
dukungan emosional pada pasien. Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial
didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan keparahan penyakitnya.
1) Program for Assertive Community Treatment (PACT)
PACT merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus
dan Intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat
terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya
buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan
fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci dalam PACT adalah
menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan kehidupan
masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan konsultasi untuk pasien,
memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan. Laporan dari
bebarapa penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk memperbaiki
gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan memperbaiki kondisi
kehidupan secara umum.
2) Intervensi keluarga

Universitas Sumatera Utara


Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien harus dilibatkan dan terlibat
dalam penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi
untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan, bimbingan dan
dukungan serta pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran mereka.
3) Terapi perilaku kognitif
Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap keyakinan
(delusi), fokus terhadap halusinasi pendengaran dan menormalkan
pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa tampil secara normal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku efektif dalam
mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif. Namun ada risiko
penolakan yang mungkin disebabkan oleh pertemuan mingguan yang
mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan gejala negatif yang berat.
4) Terapi pelatihan keterampilan sosial
Terapi ini didefinisikan sebagai penggunaan teknik perilaku atau kegiatan
pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan
interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan masyarakat. Tujuannya
adalah memperbaiki kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien. Terapi
ini tidak efektif untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala.
5) Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan ECT dan
kombinasi dengan obat-obat antipsikotik dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan bagi penderita skizofrenia terutama jika menginginkan perbaikan
umum dan pengurangan gejala yang cepat (American Psychiatric Assosiated,
2013).

b. Terapi Farmakologi
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni
terapi akut, terapi stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi akut dilakukan pada
tujuh hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi, agresi, ansietas, dll.

Universitas Sumatera Utara


Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan benzodiazepin
akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik. Terapi stabilisasi dimulai
pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan untuk meningkatkan
sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan. Pengobatan pada tahap ini
dilakukan dengan obat-obat antipsikotik. Terapi pemeliharaan bertujuan untuk
mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah
dosis akut. Klozapin merupakan antipsikotik yang hanya digunakan apabila
pasien mengalami resistensi terhadap antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Algoritma terapi skizofrenia (Crismon dkk., 2008)

Universitas Sumatera Utara


2.2. Obat Antipsikotik
Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada
dasarnya semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen.
Perbedaan utama pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala
negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosik atipikal
(golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol
dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).
Antipsikotik tidak bersifat kuratif (karena tidak mengeliminasi gangguan berpikir
mendasar), tetapi biasanya membantu pasien berfungsi normal. Obat-obat ini hanya
memperbaiki ketidakseimbangan untuk sementara dan tidak dapat memecahkan
masalah fisiologis yang mendasar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pasien
yang kambuh setelah menghentikan penggunaan obat-obat ini.
Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai
aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif
untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal
banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul
antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam
antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin, flufenazin,
haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011).
b. Antipsikotik atipikal (SGA)
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun
1990an. Aksi obat ini yaitu menghambat reseptor 5-HT2 dan memiliki efek
blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan
pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung
lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal
menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat

Universitas Sumatera Utara


dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan
(Shen, 1999). Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun
negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin,
risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin.

2.3. Hubungan Penggunaan Obat Antipsikotik dengan Sindrom Metabolik


Banyak teori yang mengemukakan tentang mekanisme yang mungkin
memperantarai terjadinya perubahan metabolisme yang terjadi pada pasien yang
menggunakan antipsikotik.
1. Teori yang pertama menyatakan jika penggunaan antipsikotik pada pasien
skizofrenik menyebabkan peningkatan berat badan. Bertambahnya berat badan
pada pasien yang diobati dengan antipsikotik disebabkan oleh peningkatan nafsu
makan yang tidak diseimbangi dengan peningkatan penggunaan energi.
Akibatnya terjadi peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang
mengakibatkan penambahan berat badan. Keadaan yang berlanjut menyebabkan
terjadinya obesitas yang dilihat dari Body Mass Index (BMI). Obesitas
dihubungkan dengan resistansi insulin dan merupakan faktor utama penyebab
diabetes tipe 2 (Castagna, 2011).
2. Penggunaan antipsikotik banyak dikaitkan dengan kelainan dalam regulasi
glukosa. Penggunaan antipsikotik dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan
lemak dalam jaringan adiposa yang kemudian memicu penurunan sensitivitas
insulin (Newcomer dkk., 2002). Antipsikotik generasi kedua seperti clozapin dan
olanzapin berhubungan dengan efek samping terhadap regulasi glukosa dalam
berbagai tingkatan keparahan yang berbeda tergantung dari potensinya dalam
peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Clozapin dan olanzapin menyebabkan peningkatan berat
badan dan meningkatkan massa lemak tubuh secara signifikan, dengan resistensi
insulin dan risiko diabetes mellitus (Newcomer dkk., 2002).

Universitas Sumatera Utara


3. Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai sistem
neurotransmiter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik
dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmiter ini
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur
metabolisme dan juga regulasi asupan makanan. Reseptor yang mungkin
berpengaruh terhadap timbulnya diabetes adalah dopamin, 5-HT1A , 5-HT2c,
histamin-1 (Gianfrancesco dkk., 2003).

a. Reseptor muskarinik dan histaminergik


Suatu hipotesis yang menyimpulkan jika reseptor muskarinik dan
histaminrgik memiliki peranan penting dalam kasus gangguan metabolisme yang
berkaitan dengan penggunaan antipsikotik. Histamin dan muskarinik dikatakan
sebagai mediator pada peningkatan berat badan dan abnormalitas dalam
metabolisme glukosa. Ikatan pada reseptor histamin H-1 dapat memicu
peningkatan nafsu makan dan berat badan, sedangkan ikatan pada muskarinik M3
menyebabkan kelainan pada regulasi insulin (Teff & Kim, 2011). Perbedaan
kemampuan pengikatan reseptor mungkin menjadi penyebab tingkat perubahan
metabolisme, berat badan, dan peningkatan asupan makanan untuk setiap
antipsikotik berbeda. Clozapin dan olanzapin adalah antagonis reseptor asetilkolin
muskarinik kuat dan dikaitkan dengan kenaikan berat badan. Risperidon tidak
diketahui afinitas terhadap reseptor asetilkolin muskarinik namun menyebabkan
beberapa kasus awitan baru diabetes bila diberikan bersamaan dengan antagonis
muskarinik yang biasa diresepkan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal
(Lean & Pajonk, 2003). Ini merupakan bukti peran reseptor asetilkolin muskarinik
dalam sindrom metabolik yang terjadi pada pasien skizofrenia yang menggunakan
antipsikotik.

b. Dopamin

Universitas Sumatera Utara


Jalur dopamin di otak tengah berperan dalam kontrol asupan makanan.
Regulasi glukosa darah berpusat di hipotalamus. Antipsikotik yang berperan
sebagai antagonis dopamin menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol
(Gianfrancesco dkk., 2003). Sebuah bukti mengenai peran dopamin ini
berdasarkan studi yang menunjukkan penggunaan agonis dopamine sentral dapat
meningkatkan kontrol glukosa (Lipscombe, 2009).

c. Aktivitas reseptor serotonin 5-HT1A dan 5-HT2


Reseptor tersebut juga dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap kontrol
glukosa. Walaupun mekanisme yang menghubungkan kedua reseptor ini sangat
kompleks (Haupt & Newcomer, 2001). Reseptor 5-HT2c mungkin terlibat dalam
kontrol asupan makanan. Jika reseptor ini diblok dapat menimbulkan kenaikan
berat badan kecuali ziprasidon dan quetiapin (Lean & Pajonk, 2003).

Saat terjadi resistensi insulin, tubuh berusaha untuk mengatasinya dengan


mensekresi lebih banyak lagi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia.
Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan resistensi insulin dan keadaan yang lebih
parah dapat menyebabkan kegagalan dalam regulasi reseptor insulin (Lean & Pajonk,
2003). Kelainan yang berhubungan dengan resistensi insulin termasuk intoleransi
glukosa, hipertensi, dan dislipidemia (Henderson dkk., 2005). Resistensi insulin yang
terjadi akibat penggunaan antipsikotik kemungkinan diakibatkan karena efek
langsung dari peningkatan massa lemak di abdominal dan fungsi transport glukosa
(Haupt & Newcomer, 2001).
Di Amerika Serikat, risiko diabetes tipe 2 berkembang pada populasi. Para
peneliti menyadari bahwa penyakit seperti bipolar dan skizofrenia berasosiasi dengan
meningkatnya risiko diabetes. Perubahan metabolik ini dimungkinkan merupakan
risiko pada penggunaan obat-obat antipsikotik. Perubahan fisik seperti penambahan
berat badan juga mungkin merupakan indikasi perubahan metabolisme pada pasien
yang diterapi dengan antipsikotik (Lieberman, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan antipsikotik berasosiasi dengan efek samping metabolisme
termasuk penambahan berat badan, dislipidemia dan diabetes tipe 2. Walaupun sangat
sulit untuk membedakan perubahan metabolisme yang terjadi karena pengobatannya
ataupun karena pola hidup pasien (Chon dkk., 2006).
Abnormalitas regulasi glukosa merupakan hal yang pertama kali dilaporkan
pada pasien skizofrenia pada penggunaan/pengobatan antipsikotik yaitu resistensi
insulin yang tidak terobati. Namun penggunaan antipsikotik juga terkait dengan
peningkatan berat badan, metabolisme glukosa, awitan baru DM tipe 2 dan diabetes
ketoasidosis. Terjadinya satu atau semua metabolik sindrom ini akibat dari sindrom
metabolik (Liberman, 2004).
Mengkonsumsi obat antipsikotik menyebabkan meningkatnya nafsu makan.
Peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan penggunaan energi
menyebabkan meningkatnya berat badan menuju pada taraf obesitas (BMI >30) dan
peningkatan kadar glukosa, lemak dan asam amino dalam darah. Peningkatan glukosa
darah memacu penghasilan insulin oleh pankreas. Keadaan yang berlanjut dalam
waktu yang panjang menyebabkan rusaknya sel beta pankreas dan penurunan
pengaturan reseptor insulin yang berlanjut pada resistensi dari insulin itu sendiri.
Pada umumnya, penyimpanan adiposa tubuh memiliki korelasi positif dengan
resistensi insulin. Pengobatan jangka pendek (4 minggu) dengan Olanzapine (OLZ)
menyebabkan peningkatan penyimpanan dalam jaringan adiposa, yang mana
berhubungan dengan menurunnya sensitifitas dari insulin. OLZ sebagaimana atypical
antipsychotic lainnya bertindak sebagai antagonis terhadap beberapa reseptor
neurotransmiter, mencakup dopamin, serotonin, histamin, dan asetilkolin (Martins,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai