Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN UTAMA DALAM FILSAFAT DAN TOKOH-TOKOHNYA

1. ALIRAN IDEALISME

Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian
dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu sekaliannya terletak di
luarnya.

Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme
merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah
gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita)
dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap
bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan
serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.

Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan
untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi
setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah,
dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki
urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan
serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat
menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.

Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato
mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah
kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman.
Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu
yang dialami sehari-hari.

Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea,
dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti
yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang
paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang
disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami
perubahan.

Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga
dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya
dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai
penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran
yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi
gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia.
Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya
hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila
kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-
cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani
sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian
yang dalam idealisme disebut dengan idea.

Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa
diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam
nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini
disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu
daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena
itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir.
Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan
tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.

Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada
pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran
modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-
1753), Immanuel Kant (1724-1804) dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis
dalam pemikiran pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris
(1835-1909) yang menggagas Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut idealis
abad XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang pendidikan modern, antara
lain: J. Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan
agama, karena keduanya sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain
dari realitas.

Tokoh-tokoh Idealisme :
1). Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya
sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami
sehari-hari.
2). Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya
sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat
idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal
murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.

3). Pascal (1623-1662)


Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
a) Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua
menggunakan hati.
b) Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah
makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika,
pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia.
Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang
bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan
filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan
memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih
mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran,
walaupun bersifat abstrak.
c) Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna.
Kesempurnaan itu terletak pada iman. Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak
bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali
filsafat.

4). J. G. Fichte (1762-1914 M.)


Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-
1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre”
(ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek
benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha
mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan
mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk
memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang
dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang
disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya
yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan
objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan
objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak
perbuatan sang Aku.
5). F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun
1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf
Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme
Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni
atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang
obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek)
dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak
menjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan
tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang
obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau
indiferensi mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai
identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada
perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya saling
berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa
saja, melainkan antara keduanya.

6). G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)


Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor.
Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak
itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu
dalam intinya ide (berpikir).
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang
pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama
Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel
muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas
Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena.
Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur
sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar
di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin
(1830).
Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi
antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).

William E. Hocking, seorang penganut idealisme modern, mengungkapkan bahwa,


sebutan ”ide-isme” kiranya lebih baik dibandingkan dengan idealisme. Hal itu benar, karena
idealisme lebih berkaitan dengan konsep-konsep “abadi” (ideas), seperti kebenaran, keindahan,
& kemuliaan daripada berkaitan dengan usaha serius dengan orientasi keunggulan yang bisa
dimaksudkan ketika kita berucap, “Dia sangat idealistik”.
Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi
sebagaimana gagasan-gagasan atau ide-ide. Alam fisik ini tergantung dari jiwa universal atau
Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari jiwa tersebut.
Inti dari Idealisme adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran, akal-pikir
atau kedirian daripada sebagai suatu penekanan pada objek-objek & daya-daya material.
Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi, &
bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah
akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa (mind). Hal itu sangat berlawanan dengan
materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata ada, sedangkan akal-pikir (mind)
adalah sebuah fenomena pengiring.

Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah :


a) Metafisika-idealisme: secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan
rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah,
tetapi kenyataan rohaniah yang lebih berperan.
b) Humanologi-idealisme: jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan
adanya kemampuan memilih.
c) Epistimologi-idealisme: pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan
pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh
beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang.
d) Aksiologi-idealisme: kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang
diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
Prinsip-prisip Idealisme :
a) Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan
atau ide (spirit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagianya harus
dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan. Dunia
adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.
b) Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki,
melainkan hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
c) Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan
lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai
suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan
dari roh atau sukma. Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
d) Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada
jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang
mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idealisme bercorak spiritual, maka
kebanyaakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima
Causa dari kejadian alam semesta ini.
2. ALIRAN REALISME
 Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran ada
sebagai suatu yang nyata dan penting untuk kita kenal dengan mempergunakan intelegensi.
 Objek indra adalah real, yaitu benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa
benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita.
 Menurut realisme hakikat kebenaran itu barada pada kenyataan alam ini, bukan pada ide
atau jiwa.
 Zat merupakan dasar segala benda, yang disebut aristoteles asas potensial karena zat itu
bisa menjadi apa saja. Zat dan bentuk harus dipisahkan. Akan tetapi dalam dunia ini
keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurtunya dunia bukanlah yang samar tetapi nyata dan
kita alami.

Konsep dasar realisme


a. Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme);
kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari
berbagai kenyataan (pluralisme)
b. Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa
merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir.
c. Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada
pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan
dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan
dengan memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
d. Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh
melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-
istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

Realisme adalah suatu bentuk yang dapat merepresentasikan kenyataan. Realisme


terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan
disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Inti realisme dapat dipahami sebagai kajian
tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi. Hal ini berarti bahwa kita
harus mempelajari asal-usul tekstual dari makna. Hal ini juga menuntut kita untuk meneliti
cara-cara tentang bagaimana makna diproduksi dalam beragam konteks.
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas
pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan
empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah
bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran
baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa
kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi
secara langsung.
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas
pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan
empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah
bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran
baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa
kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi
secara langsung.

Aliran Filsafat Realisme


Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal.
Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu contoh (paradigma) bagi benda konkret.
Pembagian dunia ini pada inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah
berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru
sebaliknya memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan
yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan)
dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum
sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap
dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini
juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-
nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia
inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi.
Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa
dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi.
Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia
memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa
pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang
telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut
penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa
dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi
jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi
nama “Akademia” yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama

Aliran Realisme adalah aliran filsafat yang memandang realitas sebagai dualitas. Aliran
realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas yang terdiri dari dunia fisik dan
dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat aliran idealisme yang bersifat monistis yang
memandang hakikat dunia pada dunia spiritual semata. Dan juga berbeda dari aliran
materialisme yang memandang hakikat kenyataan adalah kenyatan yang bersifat fisik semata.
Realisme membagi realistas menjadi dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui
di satu pihak dan yang kedua adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek
pengetahuan manusia.
Aliran realisme mempunyai berbagai macam bentuk yaitu realisme rasional, realisme
naturalis dan realisme kritis. Realisme rasional juga masih terbagi dua yaitu realisme klasik
dan realisme religius. Realisme klasik pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles. Berikut ini
kita bahas pendidikan menurut aliran realisme.

Tokoh-tokoh dalam Aliran Realisme

1. Aristoteles

Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun
384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Dari kecil,
Aristoteles mendapat asuhan dari ayahnya sendiri. Ia mendapat pelajaran dalam hal teknik
membedah. Oleh karena itu, perhatiannya banyaj tertumpah pada ilmu-ilmu alam, terutama
ilmu biologi.
Dengan kecerdasannya yang luar biasa, ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang
pada masanya. Tatkala ia berumur 18 tahun, ia dikirim di Athena ke akademia Plato. Di kota
itu, ia belajar pada Plato. Kecenderungan berfikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan
filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Pandangan filsafat
Aristoteles berorientasi pada hal-hal yang konkret.
Aristoteles memang filosof luar biasa. Didikan yang diperolehnya pada waktu kecil,
ketika ia mempelajari teknik pembedahan dalam dunia kedokteran dari ayahnya, memengaruhi
pandangan ilmiah dan pandangan filosofinya. Pengalaman bukanlah pengetahuan yang berupa
bayangan belaka. Menurut Aristoteles, alam idea bukan sekedar bayangan, seperti yang
diajarkan oleh Plato. Ia mengakui bahwa hakikat segala sesuatu tidak terletak pada keadaan
bendanya, melainkan pada pengertian keberadaannya, yakni pada idea. Akan tetapi, idea itu
tidak terlepas sama sekali dari keadaan yang nyata. Aristoteles adalah murid Plato yang sangat
kritis. Kepada gurunya, Plato, ia menunjukkan bahwa ia sangat mencintai kebenaran. Oleh
karena itu, ia melakukan kritik yang tajam terhadap Plato yang berpandangan bahwa hakikat
segala sesuatu adalah idea yang terlepas dari pengetahuan hasil indera. Selain idea hanya
gambaran yang membatasi idea. Bagi Aristoteles, idea dan pandangan manusia merupakan
sumber segala yang ada.
Pandangan Plato bagi Aristoteles merupakan filosofi tentang adanya yang ada dan
adanya yang tidak ada. Aristoteles melengkapinya dengan pandangan bahwa manusia
berpotensi mengembangkan idea dan pengembangan tersebut dipengaruhi oleh penglihatan,
pengalaman, dan pengertian-pengertian, sehingga idea dan realitas segala yang ada menyatu
dalam suat terminologi filosofis.
Pandangannya lebih realis daripada pandangan Plato, yang didasarkan pada yang
abstrak. Ini akibat dari didikan pada waktu kecil, yang menghadapkannya senantiasa pada
kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang kepada yang konkret, yang nyata. Ia bermula dengan
mengumpulkan fakta-fakta. Fakta-fakta itu disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya
dalam suat sistem. Kemudian, ditinjaunya persangkutpautan satu sama lain. Ia ingin
menyelidiki sebab-sebab yang bekerja dalam keadaan yang nyata dan menjadi keterangannya.
Pendapat ahli-ahli filosofi yang terdahulu dari dia diperhatikannya dengan kritis dan
diperbandingkannya. Dan barulah dikemukakan pendaptnya sendiri dengan alasan dan
pertimbangan rasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan, kalau Aristoteles mempelajari
lebih dahulu ilmu terapan dan ilmu pasti, bahkan ia menguasai ilmu yang sifatnya khas bagi
kaum ilmuwan spesialis. Baru setelah itu, ia meningkat ke bidang filsafat, untuk memperoleh
kesimpulan tentang yang umum.
Menurut Aristoteles, realitas yang objektif tidak saj tertangkap dengan pengertian,
tetapi juga bertepatan dengan dasar-dasar metafisika dan logika yang tertinggi. Dasar itu ada
tiga, yaitu : Pertama, semua yang benar harus sesuai dengan adanya sendiri. Tidak mungkin
ada kebenaran kalau di dalamnya ada pertentangan. Ini terkenal sebagai hukum identika;
Kedua, dari dua pertanyaan tentang sesuatu,jika yang satu membenarkan dan yang lain
menyalahkan, hanya satu yang benar. Ini disebut hukum penyangkalan (kontradikta). Inilah
menurut Aristoteles yang terpenting dari segala prinsip; Ketiga, antara dua pernyataan yang
bertentangan mengiyakan dan meniadakan, tidak mungkin ada pernyataan yang ketiga. Dasar
ini disebut hukum penyingkiran yang ketiga.
Aristoteles berpendapat bahwa ketiga hukum itu tidak saja berlaku bagi jalan pikiran,
tetapi juga seluruh alam takluk kepadanya. Ini menunjukkan bahwa dalam hal membanding
dan menarik kesimpulan harus mengutamakan yang umum.

2. Francis Bacon (1210-1292 M)


Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber
pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya
bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil
kesimpulan. Menurut Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran
dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan inderawi.

3. John Locke (1632-1704 M)


Ia adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat
dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes,
tetapi ia menolak intuisi yang digunakan. Ia juga menolak metode deduktif Descarte dan
menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau disebut dengan induksi.
Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajarannya. Bagi
Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh
isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke, pengalaman ada dua, yaitu : pengalaman lahiriah
dan pengalaman batiniah.
Ada dua hal dalam filsafat pengetahuan Locke yang mempunyai implikasi bagi
perkembangan kebudayaan modern. Pertama, anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita
berasal dari pengalaman. Kedua, bahwa apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah
objek atau benda yang mau kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesannya pada
pancaindera kita.
Locke menolak bahwa manusia mempunyai pengetahuan apriori. Apa saja yang kita
ketahui berasal dari pengalaman. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau
mendengar bunyi sangkakala, melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang
disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon. Dan kita mendengar reaksi selaput kuping
terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala. Implikasinya suat
penciutan kemungkinan manusia untuk memahami realitas objektif pada dirinya sendiri.
Manusia seakan-akan sibuk dengan kesan-kesanya sendiri. Dengan demikian paham realitas
objektif yang kita alami dan kita diami bersama, semakin menjadi tipis dan kurus.

Sumber Bacaan:
1. Jujun S. Suriasumantri, 2000. Filsafat Ilmu, Sebuah pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta
2. Prof. DR. Ahmad Tafsir. 2003. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
Capra. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
3. Ali Maksum. 2008. Pengantar Filsafat, Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Ar-
Ruzz Media. Yogyakarta
4. Alex Rosenberg. 2005. Philosophy of Science, A contemporary introduction, second
edition. Routledge. New York.

Anda mungkin juga menyukai