Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan batuan sebagai
penyusunnya serta sejarah dan fenomena - fenomena yang membentuknya baik
secara endogen maupun eksogen. Untuk mempelajari fenomena - fenomena
tersebut perlu dilakukan suatu penelitian, salah satu caranya adalah pemetaan
geologi. Seorang mahasiswa geologi dituntut dapat melakukan pemetaan geologi
sebab hal itu merupakan identitas seorang ahli geologi.

Pemetaan geologi secara umum mengangkat permasalahan geomorfologi


mengenai pembagian satuan geomorfik serta pola pengaliran dan stadia
geomorfologi daerah penelitian. Keseluruhan kegiatan pemetaan ini nantinya akan
dapat menghasilkan peta geologi, peta sebaran bauan, peta kerangka, peta pola
aliran dan peta-peta lainnya.

Dalam pemetaan geologi, seorang ahli geologi harus mengetahui susunan dan
komposisi batuan serta struktur geologi, baik yang tersingkap di permukaan bumi
maupun yang berada di bawah permukaan melalui pengukuran kedudukan batuan
dan unsur struktur geologi dengan menggunakan kompas geologi serta
melakukan penafsiran geologi, baik secara induksi dan deduksi yang disajikan
diatas peta dengan menggunakan simbol atau warna.

Pemetaan geologi merupakan suatu pekerjaan dalam merekonstruksi kondisi


geologi suatu daerah, yang akan menghasilkan peta geologi dan peta tematik
pendukung lainnya (Zakaria, 2005).

Daerah Desa Santur dan Sekitarnya, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto,


Provinsi Sumatra Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
1
keanekaragaman proses geologi sehingga pemataan geologi pun dapat dilakukan
untuk memperoleh informasi mencakup geomorfologi, litologi, stratigrafi dan
struktur geologi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan di ungkap pada


penelitian ini adalah :
1. Bagaimana permasalahan geomorfologi pada daerah penelitian?
Yaitu permasalahan yang timbul mengenai pembagian satuan geomorfik
serta pola pengaliran dan stadia geomorfologi daerah penelitian.
2. Bagaimana permasalahan litologi daerah penelitian?
Yaitu sebaran dan jenis batuan apa saja yang terdapat didaerah penelitian
berdasarkan karakteristiknya.
3. Bagaimana permasalahan stratigrafi daerah penelitian?
Yaitu seperti kontak antar dua satuan batuan yang dapat berupa batas tegas
maupun berangsur.
4. Bagaimana permasalahan struktur geologi daerah penelitian?
Yaitu permasalahan yang timbul ialah mengenai struktur geologi apa saja
yang mengontrol daerah penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Pemetaan Geologi Pendahuluan ini dilakukan bertujuan untuk memperluas


dan meningkatkan pemahaman peneliti dalam ilmu geologi, mengetahui fenomena
dan kondisi geologi daerah penelitian dengan membuat peta geomorfologi, peta
kerangka geologi, peta pola jurus perlapisan batuan dan yang kemudian
dirangkum dalam suatu peta geologi. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian di Daerah Desa Santur dan sekitarnya adalah untuk mengetahui
berbagai aspek geologi yang ada berupa:
1. Mengetahui geomorfologi, meliputi unsur-unsur geomorfologi seperti pola
2
aliran sungai, perbukitan, patahan, dan penarikan batas-batas satuan
geomorfologi berdasarkan klasifikasi yang ada.
2. Mengetahu litologi, mendeskripsikan batuan pada singkapan berdasarkan
karakteristiknya.
3. Mengetahu stratigrafi, meliputi urut-urutan perlapisan batuan penyusun di
lokasi penelitian yang dihubungkan dengan penamaan satuan batuan dan
mengkorelasikannya dengan satuan batuan resmi yang ada untuk
menentukan lingkungan pengendapan.
4. Mengetahui struktur geologi, mengukur dan menganalis indikasi yang ada
serta menentukan jenis dan pola strukturnya.
5. Mengetahui sejarah geologi, meliputi kronologis peristiwa perkembangan
pembentukan batuan di lokasi penelitian yang dihubungkan dengan
tektonik serta skala waktu geologi berdasarkan analisis data yang ada.
6. Mengetahui potensi bahan galian pada daerah setempat.

1.4 Geografi Umum dan Kesampaian Daerah Penilitian

Geografi umum daaerah penelitian menjelaskan tentang geografi secara


umum daerah penelitian.

1.4.1 Geografi Umum

Barat daya Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi
yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat. Blok tersebut
sebelumnya bernama Blok Singkarak pada saat dikelola oleh PT. CPI dan Apache
Oil Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah
empat kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar, Sijunjung, Solok dan Lima Puluh
Kota dan dua kotamadya yaitu Kotamadya Sawah Lunto dan Kota Solok. Daerah
ini merupakan daerah terbuka dengan luas sekitar 3.895 kilometer persegi
(Koning, 1985). Menurut Tobler (1922) dalam Van Bemmelen (1949), secara
fisiografis daerah Sumatera Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu
3
Dataran Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi
Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan atau
Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran Aluvial Pantai
Barat. Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), Van
Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona
Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar Semangko, Zona Pegunungan Bukit Barisan,
Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran Bergelombang.

1.4.2 Lokasi Daerah Penelitian

Secara administratif, daerah penelitian termasuk ke dalam Daerah Desa Santur


dan sekitarnya, Kecamatan Berangin Kota Sawahlunto Provinsi Sumatra Barat.
Batasan wilayah Kota Sawahlunto dilihat dari letak administrasi berbatasan
dengan :
- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar
- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Solok
- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Sijunjung
- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Solok

Kota Sawahlunto terletak sekitar 100 Km sebelah timur Kota Padang dan
Dalam lingkup Provinsi Sumatera Barat berlokasi pada bagian tengah provinsi ini.
Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah 0o 34’ 39” – 0o 46’20” Lintang
Selatan dan 100o 41’ – 100o 49’ Bujur Timur. Wilayah daerah penelitian terletak
pada koordinat 100o 40’ 26” BT – 100o 42’ 18” dan 0o 36’ 16” LS – 0o 37’ 24” LS
(Gambar 1.1).

4
Gambar 1.1 Peta administrasi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
(Sumber: Zulfikar Basmoesa, 2008)

1.4.3 Kondisi Topografi

Kondisi topografi wilayah Kota Sawahlunto merupakan daerah perbukitan


dengan ketinggian antara 250 – 650 meter di atas permukaan laut. Pada bagian
Timur dan Selatan mempunyai topografi yang relatif curam (>40%) yang luasnya
28,52% dari luas wilayah keseluruhan. Sedangkan bagian Utara mempunyai
keadaan topografi bergelombang dan relatif datar.

Kemiringan dan keterjalan bentang alam ini menjadi kendala atau faktor pembatas
pengembangan wilayah Kota Sawahlunto. Bentang alam yang landai terletak
hampir di tengah daerah Kota Sawahlunto, tetapi umumnya merupakan jalur-jalur
sempit sehingga dirasa sulit untuk dikembangkan menjadi permukiman perkotaan.
Posisi daerah kegiatan penelitian memanjang sepanjang Sesar Sawahlunto,
memisahkan perbukitan terjal yang terletak dikedua sisinya.

5
1.5 Manfaat Penelitian

Adapun penelitian Pemetaan Geologi Pendahuluan yang dilakukan agar


dapat diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut :
1. Bagi keilmuan
a) Mengetahui sejarah geologi daerah penelitian.
b) Mengetahui dan memahami geomorfologi, litologi, stratigrafi dan
struktur geologi pada daerah tersebut.
2. Bagi pemerintah
a) Mengetahui lokasi keberadaan daerah daerah yang berpotensi.
b) Sebagai acuan pengembangan lokasi penambangan.
c) Sebagai tata guna lahan.

1.6 Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja

Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2018 sampai bulan


Januari 2019 yang terdiri atas tahap persiapan, kajian pustaka, pengambilan data
lapangan, pengolahan data, dan penyusunan laporan. Pengambilan data lapangan
dilakukan pada bulan Januari 2019 selama ±10 hari, yaitu dari tanggal 09 Januari
2019 – 19 Januari 2019.

Demi kelancaran kerja lapangan, peneliti telah mempersiapkan segala kebutuhan


saat dilapangan maupun di basecamp. Kebutuhan lapangan seperti peta perencaan
lintasan, peta topografi, dan peta geomorfologi serta alat-alat lapangan dan
kebutuhan yang diperlukan saat kelapangan. Untuk kebutuhan di basecamp
peneliti geologi menjadikan rumah warga Desa Kolok Mudik sebagai basecamp
dengan pertimbangan akomodasi dan pencapaian lokasi yang mendukung
kelancaran kerja.

Adapun kendala yang dihadapi saat melakukan pengambilan data di lapangan


adalah vegetasi yang lebat, kontur yang berbukit-bukit terjal serta kesampaian
6
lokasi yang jauh dari pemukiman dan tidak dapat dilalui oleh kendaraan dan
terdapat juga hal – hal yang diperkirakan akan menjadi hambatan yang
mengganggu kelancaran saat penelitian seperti jaringan ponsel yang tidak baik
saat di lapangan, jauh dari permukiman dan lokasi penelitian yang sedikit curam.

Tabel 1.2 Jadwal Kegiatan Pemetaan Secara Khusus


JANUARI 2019
KEGIATAN
8 9 9 – 20 19-20 21 21 22

Berangkat ke lokasi

Kegiatan lapangan
bersama pembimbing

Kegiatan lapangan
bersama kelompok

Bimbingan dan
pembuatan laporan

Kolokium

Checking

Pulang

Tabel 1.3 Pelaksanaan waktu kegiatan Pemetaan Geologi Pendahuluan


Agustus September Oktober November Desember Januari
Kegiatan
III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV II III

1.Pra-Pemetaan Geologi

a. Pendaftaran Peserta

b. Pengarahan Umum dan


Pembagian Kelompok

c. Survei Lokasi dan Perizinan

d. Kuliah Pra Pemetaan

e. Studi Literatur dan


Pembuatan Proposal
f. Bimbingan kepada Dosen
Pembimbing

2. Tahap Pengerjaan Lapangan

a. Berangkat

b. Kegiatan Lapangan

c. Checking

d. Pulang

3. Tahap Pembuatan Laporan

4. Kolokium

7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional

Secara geologi kota Sawahlunto terletak pada Formasi Sawahlunto, yang


terbentuk pada Kala Eochen sekitar 40-60 juta tahun yang lalu. Para ahli geologi
berpendapat bahwa kepulauan nusantara yang kita kenal sekarang ini terbentuk
sekitar 4 juta tahun yang lalu. Para peneliti menduga ketika Formasi Sawahlunto
terbentuk, pulau Sumatera belum ada seperti yang kita kenal saat ini. Batuan dari
Zaman Pra- Tersier yang terangkat ke permukaan dengan cara struktur graben
lalu diendapkan dengan batuan-batuan sedimen yang berumur Tersier pada
cekungan dan menghasilkan batuan intrusi tersier. Hasil erosi dari batuan intrusi
terbawa dan mengendap di sekitar aliran sungai lalu menghasilkan endapan
alluvial. Satuan batuan tersebut terdiri dari :
1. Batugamping – Argit
2. Granit
3. Konglomerat
4. Batulempung – Batupasir
5. Batulempung – Batulanau
6. Batupasir
7. Tufa
Berdasarkan bentuk topografi seperti perbukitan agak curam sampai perbukitan
curam yang berkembang pada daerah ini dipengaruhi oleh aktifitas tektonik baik
lipatan maupun sesar, yang umumnya daerah ini telah mengalami pengangkatan
dan kemudian terbentuk lipatan.

2.1.1. Fisiografi Regional


Secara fisiografis, Cekungan Ombilin termasuk ke dalam Zona
Pegunungan Barisan bagian muka dengan massa yang naik (van Bemmelen,
1949). Morfologi cekungan Ombilin terdiri dari perbukitan sedang dengan
8
lembah-lembah sempit yang dibentuk oleh sedimen Tersier sedangkan batuan Pra-
Tersier membentuk perbukitan terjal dengan bukit yang curam dan lembah yang
sempit.

Gambar 2.1 Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949)

2.1.2. Stratigrafi Regional


Secara stratigrafi, berdasarkan para peneliti terdahulu (PH. Silitonga dan
Kastowo, 1995) Cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier
(Perm dan Trias) hingga Kuarter (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan PH. Silitonga & Kastowo
(1995)
9
Berikut urutan stratigrafi Cekungan Ombilin dari tua ke muda dengan umur Pra-
Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter :
A. Batuan Pra- Tersier
Batuan Pra-Tersier merupakan batuan yang mendasari Cekungan Ombilin
Kelompok ini mencakup masa Paleozoikum - Mesozoikum, dipisahkan
menjadi kelompok batuan ultrabasa, kelompok batuan mélange, kelompok
batuan malihan, kelompok batuan gunung api, dan kelompok batuan
terobosan. Cekungan Ombilin terdiri atas 3 formasi batuan yaitu:
1. Formasi Silungkang
2. Formasi Tuhur
3. Formasi Kuantan
B. Batuan Tersier
Batuan Tersier Cekungan Ombilin terbagi menjadi enam formasi, yaitu:
1. Formasi Brani
2. Formasi Sangkarewang
3. Formasi Sawahlunto
4. Formasi Sawahtambang
5. Formasi Ombilin
6. Formasi Ranau

2.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Daerah penelitian berada pada empat formasi. Formasi tersebut yaitu


Formasi Silungkang, Formasi Brani, Formasi Sangkarewang dan Anggota Bawah
Formasi Ombilin.
1) Anggota Batugamping Formasi Silungkang
Anggota Batugamping Formasi Silungkang terdiri dari batugamping
mengandung sisipan tipis serpih, batupasir dan tuf (Peta Geologi Lembar Solok,
Sumatera, PH. Silitonga dan Kastowo, 1995, edisi 2). Terdiri dari litologi batuan
vulkanik batugamping koral. Batuan vulkanik ini terdiri dari lava andesitik,
basaltik dan tufa. Formasi ini berumur Perm-Karbon berdasarkan kandungan fosil
10
Fusulinida yang ditemukan pada batugamping. Juga terdapat batuan
metagamping.
2) Formasi Brani
Formasi Brani terdiri dari konglomerat dengan sisipan batupasir (Peta
Geologi Lembar Solok, Sumatera, PH. Silitonga dan Kastowo, 1995, edisi 2).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi ini terdapat pada bagian
tepi cekungan yang terdiri dari konglomerat bewarna coklat sampai keunguan,
berukuran kerakal hingga berakal, terpilah sangat buruk, bentuk butirnya
menyudut tanggung sampai membundar tanggung dan umumnya perlapisan
batuannya tidak berkembang dengan baik. Pada bagian Barat cekungan fragmen
terdiri dari andesit, breksi, batugamping, batusabak, dan argilit. Namun pada
bagian Timur cekungan fragmen terdiri dari granit, kuarsit dan kuarsa.
3) Formasi Sangkarewang
Formasi ini dikenal karena ditemukannya fosil ikan air tawar yang
berumur tersier awal. Formasi ini terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu
gelap kecoklatan sampai hitam plastis gampingan mengandung materail karbon,
mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan-
lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen
kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam matriks lempung
terpilah buruk mengandung mika dan material karbon, dan terdapatnya struktur
nendatan (slump).Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas.
Hubungan antara Formasi Sangkarewang yang menjemari dengan endapan kipas
aluvial dengan Formasi Brani, terdapatnya struktur sedimen laminasi halus dan
hadirnya fosil ikan air tawar menunjukan lingkungan pengendapan danau. Sisipan
lapisan batupasir merupakan endapan turbidit yang diendapkan di danau dan
struktur slump menunjukan lereng yang curam di tepi danau.
4) Anggota Bawah Formasi Ombilin
Anggota Bawah Formasi Ombilin terdiri dari batupasir kuarsa
mengandung mika sisipan arkose, serpih lempungan, konglomerat kuarsa dan
batubara (Peta Geologi Lembar Solok, Sumatera, PH. Silitonga dan Kastowo,
1995, edisi 2). Terdapat juga shale abu-abu muda sampai medium, dimana sering
11
mangandung batugamping, sisa-sisa tumbuhan dan sel - sel Moluska. Ketebalan
batugamping pada Formasi Ombilin terlihat sampai ketebalan 200 ft (60 m). Akan
tetapi, ketebalan Formasi Ombilin berkisar antara 146 meter sampai 2740 meter
ketebalan sesungguhnya dari formasi ini sukar ditentukan karena adanya erosi
pasca endapan. Anggota Bawah Formasi Ombilin berumur Oligo-Miosen (PH.
Silitonga dan Kastowo, 1995)

2.3. Tatanan Teknonik dan Struktur Geologi Regional

Menurut Situmorang, dkk (1991) perkembangan struktur pada Cekungan


Ombilin dikontrol oleh pergerakan sistem Sesar Sumatera yang membuat sesar tua
yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda dengan sistem sesar yang
sama. Keseluruhan geometri Cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum
Baratlaut-Tenggara, dibatasi oleh 2 sesar yang berarah Baratlaut-Tenggara. Sesar
Sitangkai di Utara dan Sesar Silungkang di Selatan yang keduanya kurang lebih
paralel terhadap sistem Sesar Sumatra dapat dilihat pada (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pola struktur regional Cekungan Ombilin, Sumatera Barat


(modifikasi dari Situmorang, dkk., 1991).

Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen,
dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah Utara-Selatan. Secara lokal ada tiga
bagian struktur yang bisa dikenal pada Cekungan Ombilin, yaitu :
Sesar dengan jurus berarah Baratlaut-Tenggara yang membentuk bagian dari
sistem Sesar Sumatera. Bagian Utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai
dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah
12
a) Tenggara menjadi Sesar Takung. Bagian Selatan dari cekungan dibatasi
oleh Sesar Silungkang.
b) Sistem sesar dengan arah umum Utara-Selatan dengan jelas terlihat pada
Timurlaut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga
(step-like fault), dari Utara ke Selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk,
dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan
dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan cekungan dan
terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
c) Jurus sesar dengan arah Timur-Barat membentuk sesar antitetik mengiri
dengan komponen dominan dip-slip.
Menurut Situmorang, dkk (1991) pola struktur keseluruhan dari Cekungan
Ombilin menunjukan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk diantara
offset lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah Baratlaut-
Tenggara yang mana sistem sesar yang berarah Utara-Selatan dapat berbaur
dengan sistem sesar yang berarah Baratlaut-Tenggara. Adanya fase ekstensional
dan kompresional yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan
fenomena umum untuk Cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip.
Cekungan ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti
oleh pemendekan pada sisi yang lain.

Pola struktur keseluruhan dari Cekungan Ombilin menunjukan sistem


transtensional atau pull-apart yang terbentuk diantara offset lepasan dari Sesar
Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem
sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah
Baratlaut-Tenggara. Adanya fase ekstensional dan kompresional yang ditemukan
pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk Cekungan
Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami
pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh pemendekan pada sisi
yang lain.

13
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Pada pemetaan geologi ini, yang menjadi objek penelitian sebagai berikut:
a) Unsur-unsur geomorfologi, seperti pola kontur, bentuk bukit, elevasi,
sudut lereng, pola pengaliran, dan lain-lain.
b) Singkapan batuan, termasuk di dalamnya ciri-ciri litologi, struktur batuan
dari seluruh singkapan batuan yang ada di daerah pemetaan.
c) Stratigrafi daerah penelitian, untuk mempermudah penjelasan, penulis
merujuk kepada satu tatanama satuan litostratigrafi, yaitu yang dibuat
oleh PH. Silitonga & Kastowo (1995)
d) Struktur geologi regional, yang dapat digunakan untuk menentukan jenis
dan pola struktur yang berkembang di daerah pemetaan, seperti data
kekar dan cermin sesar untuk melukiskan karakteristik hubungan antara
unsur-unsur struktur hasil pengukuran di lapangan penelitian dengan
struktur geologi regional daerah penelitian.
e) Lingkungan pengendapan, bertujuan menentukan di lingkungan mana
litologi yang didapat terendapkan.
f) Potensi geologi yang ada pada daerah penelitian, berupa potensi bahan
galian atau potensi geowisata.

3.2.1 Peralatan yang Digunakan

Peralatan standar lapangan geologi merupakan peralatan geologi yang


umum digunakan di lapangan, antara lain terdiri dari:
1. Kompas geologi
2. Palu geologi (beku dan sedimen)
3. Peta dasar (peta topografi
14
4. Lensa lup tangan (perbesaran 10x atau 20x atau lainnya)
5. Buku catatan lapangan (termasuk lembar deskripsibatuan)
6. Alat tulis (pensil 2B, spidol, dan lain-lain)
7. Larutan HCl 0,1 N
8. Komparator batuan dan Stereonet Saku
9. Meteran ukur atau pita ukur (measuring tape)
10. Papan clip
11. Kantong contoh batuan
12. Kamera
13. Tas lapangan

3.3 Tahap Persiapan

a) Perizinan
Perizinan dilakukan baik dari pihak Universitas Islam Riau maupun
pemerintah daerah di lokasi pemetaan.
b) Studi Pustaka
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh gambaran umum keadaan
geologi daerah penelitian secara regional.Hasil dari sejumlah pustaka
peneliti terdahulu, didapatkan data–data geologi regional yang
berhubungan dengan daerah penelitian.
c) Pembuatan Peta Dasar Kerangka, Peta Geologi, Peta Geomorfologi, Peta
Lintasan dan Peta Pola Pengaliran.

3.4 Tahap Penelitian Lapangan

Dalam melakukan penelitian lapangan, tahap-tahap yang dilakukan


dimulai dari menentukan lintasan, pengamatan singkapan dan pengambilan
sampel.

15
3.4.1 Menentukan lintasan
Pada metode lapangan ini, lintasan sebelumnya telah ditentukan dan
dijalani dengan kontrol arah kompas sesuai rencana lintasan.
 Kelebihan:
- Pekerjaan relatif cepat.
- Baik dilakukan pada daerah berbukit dan gundul.
- Lintasan lebih kaya data dan banyak memiliki titik patokan.
- Cukup teliti dalam memperoleh hasil plotting data lapangan pada peta
kerangka.
- Data mudah dipercaya, mudah dilakukan pengecekan kembali di lapangan
- Lebih memungkinkan pada medan datar dan bervegetasi rapat.
 Kekurangan:
- Masih tergantung pada peta dasar, masih ada kemungkinan salah orientasi.
Lintasan terikat oleh azimut yang telah ditetapkan sehingga sering
terbentur oleh medan yang sulit ditembus.

3.4.2 Pengamatan Singkapan


Pada pengamatan singkapan dilakukan plotting lokasi stasiun pengamatan
di peta kerangka serta pendeskripsian singkapan batuan secara megaskopis. Data
singkapan batuan terdiri dari deskripsi lengkap, data strike/dip lapisan batuan,
sampel batuan, foto, sketsa, data singkapan struktur (sesar, kekar) deskripsi
lengkap.

3.4.3 Pengambilan Sampel


Saat pengambilan sampel yang dilakukan yaitu mencari batuan yang masih
segar dan juga tidak terdeformasi atau masif. Selanjutnya singkapan dipukul
menggunakan palu geologi sesuai dengan jenis batuannya, palu batuan beku untuk
batuan beku dan palu batuan sedimen untuk batuan sedimen, ini bertujuan untuk
mendapatkan sampel dengan bener ideal yaitu sebesar kepal tangan orang dewasa.

16
3.5 TahapAnalisis Data

Tahapan dalam analis data mengacu pada analisis geomorfologi yaitu


morfografi, morfogenetik, dan morfometri.

3.5.1 Analisis Geomorfologi


A. Morfografi
Morfografi berasal dari dua kata yaitu morfo yang berarti bentuk dan
graphos yang berarti gambaran, sehingga memiliki arti gambaran bentuk
permukaan bumi. Secara garis besar gambaran bentuk muka bumi dapat
dibedakan menjadi:
 Bentuk lahan pedataran
 Bentuk lahan perbukitan atau pegunungan.
 Bentuk lahan gunungapi dan lembah.
Pemerian bentuk lahan absolute berdasarkan perbedaan ketinggian dapat dilihat
pada (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Pemerian bentuk lahan absolute berdasarkan perbedaan ketinggian


Ketinggian (meter) Keterangan

< 50 Dataran rendah

50 – 100 Dataran rendah pedalaman

100 – 200 Perbukitan rendah

200 – 500 Perbukitan

500 – 1.500 Perbukitan tinggi

1.500 – 3.000 Pegunungan

> 3000 Pegunungan tinggi

17
Selain bentuk – bentuk yang telah disebutkan, terdapat beberapa aspek
pendekatan dalam pemetaan geologi seperti bentuk lereng, pola punggungan dan
pola pengaliran. Howard (1967) telah membagi pola pengaliran menjadi pola
pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi (Gambar 3.1).
Pola pengaliran dasar merupakan suatu pola pengaliran yang mempunyai ciri
khas tertentu yang dapat dibedakan dengan pola pengaliran lainnya. Sedangkan
pola pengaliran modifikasi merupakan pola pengaliran yang agak berbeda dan
berubah dari pola dasarnya, namun pola umumnya tetap tergantung pada pola
dasarnya. Pola dasar pengaliran sungai menurut Zenith (1932) (A) dan pola
modifikasi pengaliran sungai menurut A.D.Howard (1967) (B dan C).

Gambar 3.1 (A) Pola Dasar Pengaliran Sungai (Zenith, 1932) (A) dan (B) (C)
Pola Modifikasi Pengaliran Sungai (A.D.Howard, 196

Penjelasan dari gambar pola pengaliran sungai di atas dapat dilihat pada (Tabel
3.2) di bawah ini:

18
Tabel 3.2 Pola pengaliran dasar sungai dan karakteristiknya (van Zuidam, 1985)

POLA
PENGALIRAN KARAKTERISTIK KETERANGAN
DASAR GAMBAR

DENDRITIK Perlapisan batuan sedimen relatif datar


atau paket batuan kristalin yang tidak
seragam dan memiliki ketahanan
terhadap pelapukan. Secara regional
daerah aliran memiliki kemiringan
landai, jenis pola pengaliran
membentuk percabangan menyebar
seperti pohon rindang. Pola aliran ini di
jumpai pada batuan sedimen dengan
perlapisan yang hampir mendatar atau
dalam batuan beku masif dan juga
batuan yang terlipat kuat atau baruan
termetamorfosa kuat.

PARALEL Pola Aliran Paralel umumnya


menunjukkan daerah yang berlereng
sedang sampai agak curam dan dapat
ditemukan pula pada daerah bentuk
lahan perbukitan yang memanjang.
Sering terjadi pola peralihan antara pola
dendritik dengan pola paralel atau tralis.
Bentuk lahan perbukitan yang
memanjang dengan pola pengaliran
paralel mencerminkan perbukitan
tersebut dipengaruhi oleh perlipatan
TRELLIS Batuan sedimen yang memiliki
kemiringan perlapisan (dip) atau
terlipat, batuan vulkanik atau batuan
metasedimen derajat rendah dengan
perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis
pola pengaliran biasanya berhadapan
pada sisi sepanjang aliran subsekuen.

REKTANGUL Pola aliran rektangulan pada Induk


AR sungai dengan anak sungai
memperlihatkan arah lengkungan
menganan, pengontrol struktur atau
sesar yang memiliki sudut kemiringan,
tidak memiliki perulangan perlapisan
batuan sedimen, dan sering
memperlihatkan pola pengaliran yang
tidak menerus.

RADIAL Bentuk menyebar dari satu pusat,


biasanya terjadi pada kubah intrusi,
kerucut vulkanik serta sisa-sisa erosi.
Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan
arah penyebaran keluar dari pusat
(berbentuk kubah) dan sentripetal
dengan arah penyabaran menuju pusat
(cekungan).

20
ANULAR Bentuk seperti cincin yang disusun oleh
anak-anak sungai, sedangkan induk
sungai memotong anak sungai hampir
tegak lurus. Mencirikan kubah dewasa
yang telah terpotong atau terkikis,
disusun perselingan batuan keras dan
lunak.

MULTIBASIN Endapan berupa gumuk hasil longsoran


AL dengan perbedaan penggerusan atau
perataan batuan dasar, merupakan
daerah gerakan tanah, vulkanisme,
pelarutan gamping dan lelehan salju
(permafrost)

Tabel 3.3 Pola pengaliran modifikasi


Sub-dendritik Umumnya struktural
Pinnate Tekstur batuan halus dan mudah tererosi.

Anastomatik Dataran banjir, delta atau rawa.


Menganyam
(Dikhotomik) Kipas alluvium dan delta.
Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuklahan
Subparalel perbukitan memanjang.
Kelurusan bentuklahan bermaterial halus dan beting
Kolinier pasir.

Subtrellis Bentuklahan memanjang dan sejajar.


Direksional Trellis Homoklin landau seperti beting gisik.

21
Trellis berbelok Perlipatan memanjang
Trellis Sesar Percabangan menyatu atau berpencar, sesar paralel.
Percabangan menyatu atau berpencar, Kekar
Angulate dan/atau sesar pada daerah miring.
Karst Batugamping.

B. Morfogenetik
Suatu proses terbentuknya permukaan bumi sehingga membentuk
dataran, perbukitan, pegunungan, gunungapi, plato, lembah, lereng, pola
pengaliran. Proses geologi yang telah dikenal yaitu proses endogen dan
eksogen.

Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan atau


tenaga dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan
bumi. Proses dari dalam kerak bumi antara lain intrusi, tektonik dan
volkanisme. Proses intrusi akan menghasilkan perbukitan intrusi, proses
tektonik akan menghasilkan perbukitan terlipat, tersesarkan dan
terkekarkan, proses volkanisme akan menghasilkan gunungapi dan
gumuk tephra.

Proses eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh faktor dari luar
bumi seperti iklim, dan vegetasi. Akibat pengaruh iklim dapat disebut
sebagai pengaruh fisika dan kimia. Proses eksogen cenderung merubah
permukaan bumi secara bertahap, yaitu pelapukan batuan.

Tabel 3.4 Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan


geomorfologi berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985).

Kelas Genetik Simbol Warna

Bentuk lahan asal struktural Ungu / violet

Bentuk lahan asal vulkanik Merah

22
Bentuk lahan asal denudasional Coklat

Bentuk lahan asal laut (marine) Hijau

Bentuk lahan asal sungai (fluvial) Biru tua

Bentuk lahan asal es (glacial) Biru muda

Bentuk lahan asal angin (aeolian) Kuning

Bentuk lahan asal gamping (karst) Jingga (Orange)

C. Morfometri
Merupakan penilaian kuantitatif dari bentuklahan sebagai aspek
pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehingga klasifikasi kualitatif akan
semakin tegas dengan angka-angka yang jelas. Variasi nilai kemiringan lereng
yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan
lereng menurut Van Zuidam (1983, dalam Hindartan, 1994) sehingga diperoleh
penamaan kelas lerengnya (Tabel 3.5). Teknik perhitungan kemiringan lerengnya
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik grid cell berukuran 2 x 2 cm pada
peta topografi skala 1:12.500. Kemudian dalam mendapatkan hasil kemiringannya
digunakan rumus:

n − 1 Ic
S= × 100%
dx. sp

Keterangan :
S = Kemiringan lereng
n = nilai jumlah kontur yang terpotong (cm)
Ic = interval kontur
dx = panjang garis potong (cm)
sp = skala peta

23
Tabel 3.5 Klasifikasi Kemiringan Lereng Berdasarkan Van Zuidam (1983,
dalam Hindartan, 1994)

Kemiringan Beda tinggi (m)


Klasifikasi
Persen (%) Derajat (o)
Datar 0–2 0 – 1,15 <5
Agak landai 2–7 1,15 – 4 5 – 25
Landai 7 – 15 4 – 8,5 25 – 75
Agak curam 15 – 30 8,5 – 16,7 75 – 200
Curam 30 – 70 16,7 – 35 200 – 500
Terjal 70 – 140 35 – 54,5 500 – 1000
Sangat terjal >140 >54,5 > 1000

3.5.2 Analisis Litologi

Aspek litologi ini digunakan sebagai pengontrol dalam menentukan


batas – batas satuan geomorfologi. Litologi dapat mempengaruhi morfologi
sungai dan jaringan topologi yang memudahkan terjadinya pelapukan dan
ketahanan batuan terhadap erosi.
A.Batuan Sedimen
1. Pengertian Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari akumulasi material
hasil perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia
maupun organisme, yang diendapkan lapis demi lapis pada permukaan bumi
yang kemudian mengalami pembatuan (Pettijohn, 1975). Sifat – sifat utama
batuan sedimen:
- Adanya bidang perlapisan yaitu struktur sedimen yang menandakan
adanya proses sedimentasi.
- Sifat klastik yang menandakan bahwa butir-butir pernah lepas, terutama
pada golongan detritus.
- Sifat jejak adanya bekas-bekas tanda kehidupan (fosil).

24
- Jika bersifat hablur, selalu monomineralik, misalnya gypsum, kalsit,
dolomite dan rijang.
Berbagai penggolongan dan penamaan batuan sedimen telah dikemukakan oleh
para ahli, baik berdasarkan genetis maupun deskriptif.
2. Batuan Sedimen Klastik
a. Pengertian Batuan Sedimen Klastik
Batuan sedimen yang terbentuk dari pengendapan kembali detritus atau
pecahan batuan asal. Batuan asal dapat berupa batuan beku, metamorf dan
sedimen itu sendiri (Pettijohn, 1975). Batuan sedimen diendapkan dengan
proses mekanis, terbagi dalam dua golongan besar dan pembagian ini
berdasarkan ukuran besar butirnya. Cara terbentuknya batuan tersebut
berdasarkan proses pengendapan baik yang terbentuk dilingkungan darat
maupun di lingkungan laut. Batuan yang ukurannya besar seperti breksi dapat
terjadi pengendapan langsung dari ledakan gunungapi yang diendapkan di
sekitar gunung tersebut dan dapat juga diendapkan di lingkungan sungai dan
batupasir bisa terjadi di lingkungan laut, sungai dan danau. Semua batuan di
atas tersebut termasuk ke dalam golongan detritus kasar.

Sementara itu, golongan detritus halus terdiri dari batuan lanau, serpih,
batulempung dan napal. Batuan yang termasuk golongan ini pada umumnya
diendapkan di lingkungan laut dari laut dangkal sampai laut dalam (Pettijohn,
1975). Fragmentasi batuan asal tersebut dimulai dari pelapukan mekanis
maupun secara kimiawi, kemudian tererosi dan tertransportasi menuju suatu
cekungan pengendapan (Pettijohn, 1975). Setelah pengendapan berlangsung
sedimen mengalami diagenesa yakni, proses-proses yang berlangsung pada
temperatur rendah di dalam suatu sedimen, selama dan sesudah litifikasi. Hal
ini merupakan proses yang mengubah suatu sedimen menjadi batuan keras
(Pettijohn, 1975). Proses diagenesa antara lain:

- Kompaksi Sedimen yaitu termampatnya butiran sedimen satu terhadap


yang lain akibat tekanan dari berat beban diatasnya. Disini volume

25
sedimen berkurang dan hubungan antar butir yang satu dengan yang
lain menjadi rapat.
- Sementasi yaitu turunnya material-material di ruang antar butir sedimen
dan secara kimiawi mengikat butir-butir sedimen satu dengan yang lain.
Sementasi makin efektif bila derajat kelurusan larutan (permeabilitas
relatif) pada ruang antar butir makin besar.
- Rekristalisasi yaitu pengkristalan kembali suatu mineral dalam suatu
larutan kimia yang berasal dari pelarutan material sadimen selama
diagenesa atau jauh sabelumnya. Reksriatalisasi sangat umum terjadi
pada pembentukan batuan karbonat.
- Autigenesis yaitu terbentuknya mineral baru di lingkungan diagenetik,
sehingga adanya mineral tersebut merupakan partikel baru dalam suatu
sedimen. Mineral autigenik ini yang umum diketahui sebagai berikut :
karbonat, silika, klorite, illite, gipsum dan lain-lain. Metasomatisme
yaitu penggantian mineral sedimen oleh berbagai mineral autigenik,
tanpa pengurangan volume asal.

b. Klasifikasi Batuan Sedimen Klastik


Batuan sedimen klastik berdasarkan ukuran besar butirnya dapat dibagi
menjadi 2, yaitu batuan sedimen detritus halus dan batuan sedimen detritus
kasar. Batuan sedimen detritus (klastik) halus, terdiri dari batulempung,
batulanau dan serpih. Batuan sedimen detritus (klastik) kasar, terdiri dari
batupasir, konglomerat dan breksi.
1) Batupasir
Tekstur batupasir, ukuran butiran (pasir 0.125 - 2.00 mm), bentuk
butiran (menyudut, membundar, dll.), sorting, kemas butiran (mencakup
orientasi, grainpacking, grain contact, hubungan butiran dan matriks),
textural maturity, porositas,permeabilitas, struktur sedimen. Tekstur maturity
dibagi menjadi 2, yaitu immature sedimen dan mature sedimen. Immature
sedimen matriks lebih dominan dengan sortasi buruk dan butiran menyudut,
sedangkan mature sedimen memiliki matriks sedikit dengan sortasi sedang –

26
baik dan butiran membundar tanggung – membundar. Komposisi batupasir
terdapat butiran (fragmen batuan/litik, kuarsa, felspar, dan mineral-mineral
lainnya), matrik dan semen.
2) Konglomerat dan Breksi
Kenampakan yang penting untuk mendeskripsi batuan ini adalah jenis
klastik yang hadir dan tekstur batuan tersebut. Berdasarkan asal – usul klastik
penyusun konglomerat dan breksi terbagi 2, yaitu klastik intra- formasi dan
klastik ekstraformasi. Klastik intraformasi, berasal dari dalam cekungan
pengendapan, banyak fragmen mudrock atau batugamping mikritik yang
dilepaskan oleh erosi atau pengawetan sepanjang garis pantai. Klastik
ekstraformasi, berasal dari luar cekungan pengendapan dan lebih tua daripada
sedimen yang melingkupi cekungan tersebut. Berdasarkan macam klastik jenis
konglomerat dibagi menjadi konglomerat polimiktik, terdiri dari bermacam –
macam jenis klastik yang berbeda dan konglomerat monomitik atau oligomiktik
terdiri dari satu jenis klastik.

c. Batuan Sedimen Non-Klastik


Batuan sedimen yang terbentuk dari hasil reaksi kimia atau bisa juga
dari kegiatan organisme. Reaksi kimia yang dimaksud adalah kristalisasi
langsung atau reaksi organik (Pettijohn, 1975). Menurut R.P. Koesoemadinata,
1981 batuan sedimen dibedakan menjadi enam golongan, yaitu:

 Golongan Detritus Kasar, batuan sedimen diendapkan dengan proses


mekanis. Termasuk dalam golongan ini antara lain adalah breksi,
konglomerat dan batupasir. Lingkungan tempat pengendapan batuan ini
di lingkungan sungai dan danau atau laut.
 Golongan Detritus Halus, batuan yang termasuk ke dalam golongan ini
diendapkan di lingkungan laut dangkal sampai laut dalam. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah batulanau, serpih, batu lempung
dan Napal.
 Golongan Karbonat, Batuan ini umumnya terbentuk dari kumpulan
cangkang-cangkang moluska, algae dan foraminifera atau oleh proses

27
pengendapan yang merupakan rombakan dari batuan yang terbentuk
lebih dahulu dan di endapkan disuatu tempat. Proses pertama biasa
terjadi di lingkungan laut litoras sampai neritik, sedangkan proses kedua
diendapkan pada lingkungan laut neritik sampai bahtial. Jenis batuan
karbonat ini banyak sekali macamnya tergantung pada material
penyusunnya.
 Golongan Silika, proses terbentuknya batuan ini adalah gabungan antara
pross organik dan kimiawi untuk lebih menyempurnakannya. Termasuk
golongan ini rijang (chert), radiolaria dan tanah diatom. Batuan golongan
ini tersebarnya hanya sedikit dan terbatas sekali.
 Golongan Evaporit, proses terjadinya batuan sedimen ini harus ada air
yang memiliki larutan kimia yang cukup pekat. Pada umumnya batuan
ini terbentuk di lingkungan danau atau laut yang tertutup, sehingga
sangat memungkinkan terjadi pengayaan unsur-unsur tertentu. Dan faktor
yang penting juga adalah tingginya penguapan maka akan terbentuk
suatu endapan dari larutan tersebut. Batuan-batuan yang termasuk
kedalam batuan ini adalah gip, anhidrit, batu garam.
 Golongan Batubara, batuan sedimen ini terbentuk dari unsur-unsur
organik yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Dimana sewaktu tumbuhan
tersebut mati dengan cepat tertimbun oleh suatu lapisan yang tebal di
atasnya sehingga tidak akan memungkinkan terjadinya pelapukan.
Lingkungan terbentuknya batubara adalah khusus sekali, ia harus
memiliki banyak sekali tumbuhan sehingga kalau timbunan itu mati
tertumpuk menjadi satu di tempat tersebut.

B. Batuan Beku
Batuan beku atau batuan igneous (dari Bahasa Latin ignis “api”) adalah
jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras dengan
atau tanpa proses kristalisasi. Baik di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif
(vulkanik). Batuan beku diklasifikasikan menjadi 2, yaitu berdasarkan genetik
(tempat terjadinya) dan megaskopis IUGS- 1973.

28
Klasifikasi batuan beku berdasarkan genetik (tempat terjadinya) dibagi menjadi
bataun beku intrusif dan ekstrusif. Batuan beku intrusif terbentuk di bawah
permukaan bumi, sering juga disebut batuan beku dalam atau batuan beku
plutonik. Batuan beku ini mempunyai karakteristik diantaranya, pendinginan
sangat lambat (hingga jutaan tahun), memungkinkan tumbuhnya kristal – kristal
yang besar dan sempurna bentuknya dan menjadi tubuh batuan beku intrusif.
Berdasarkan kedudukannya terhadap perlapisan batuan yang diterobosnya,
struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi menjadi 2, yaitu konkordan dan
diskordan. Selanjutnya batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses
pembekuannya berlangsung di permukaan bumi. Lava pada batuan beku ini
memiliki berbagai struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi
pada saat pembekuan lava tersebut. Struktur ini diantaranya sheeting joint,
columnar joint, pillow lava, vesikular, amigdaloidal dan struktur aliran.

Secara megaskopis batuan beku digolongkan menjadi golongan fanerik dana


afaninitik. Golongan Fanerik yaitu batuan bertekstur fanerik yang dapat teramati
secara megaskopik (mata biasa), berbutir sedang-kasar (lebih besar dari 1 mm).
Dasar pembagiannya adalah kandungan mineral kuarsa (Q), atau mineral
felspatoid (F), Alkali Feldspar (AF) serta kandungan mineral plagioklas (P)

Golongan Afanitik yaitu batuan beku bertekstur afanitik (berbutir halus < 1 mm),
mineral-mineralnya tidak dapat dibedakan dengan mata biasa/loupe, sehingga
batuan beku jenis ini tidak dapat ditentukan prosentase mineraloginya secara
megaskopik. Komposisi mineralnya diperkirakan berdasarkan warna batuan
karena umumnya mencerminkan proporsi mineral yang dikandung, proporsi
mineral felsik (berwarna terang) dan mineral mafik (berwarna gelap). Semakin
banyak mineral mafik, semakin gelap warna batuannya.

Penamaan batuan dapat ditentukan dengan menghitung persentase mineral.


Menghitung presentase mineral yang hadir sebagai fenokris, serta didasarkan
pada warna batuan/mineral, maka dapat diperkirakan presentase masing –

29
masing mineral Q/F, A, P. azUntuk penamaan batuan beku afanitik dan batuan
beku faneritik dapat dilihat pada (Gambar 3.2)

Gambar 3.2 Diagram Klasifikasi Penamaan Batuan Beku Afanitik


dan Bauan Beku Faneritik menurut IUGS (1973).

Klasifikasi Dunham (1962) dapat dilihat pada (Gambar 3.3). Berdasarkan


tekstur proporsi dari butiran dan matriks. Grainstone merupakan butiran tanpa
matriks (biosparit/oosparit), mudstone merupakan matriks dengan butiran sedikit,
wackestone merupakan matriks lebih banyak dari butiran dan butiran
mengambang di dalam matriks biomikrit, packstone merupakan butiran lebih
banyak dari matriks dan butiran saling bersinggungan, hadir matriks biomikrit

30
Gambar 3.3 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham, 1962.

3.5.2 Analisis Stratigrafi


Pembagian satuan batuan berdasarkan pada satuan lithostratigrafi tidak
resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang didasarkan pada ciri fisik batuan
serta kenampakan posisi satu sama lainnya yang dapat diamati di
lapangan, meliputi jenis batuan, kumpulan jenis batuan, serta keseragaman
gejala litologi.

3.5.2.1 Batas Satuan Stratigrafi


Bidang sentuh antara dua satuan yang berlainan ciri litologinya. Batas
Satuan Stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri satuan
tersebut sebagaimana didefinisikan. Batas Satuan Stratigrafi jenis tertentu
tidak harus berhimpit dengan batas Satuan Stratigrafi jenis lain, bahkan
dapat memotong satu sama lain.

3.5.2.2 Batas-Batas Daerah dan Hukum Stratigrafi


Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan
litologinya atau perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan
bidang yang diperkirakan kedudukannya.

31
3.5.2.3 Lingkungan Pengendapan
Ini bertujuan untuk mengetahui daerah diendapkannya lapisan yang
akan diteliti. Tempat pengendapan dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan
biologis dimana sedimen tersebut diendapkan.

3.5.3 Analisis Struktur Geologi

Analisis struktur geologi diperlukan untuk memperkirakan gaya atau


deformasi yang telah terjadi pada batuan di suatu singkapan. Untuk menganalisa
struktur geologi diperlukan beberapa metode seperti pola jurus serta Stereonet.
Kemungkinan juga dapat diterapkan pada skala daerah teruji dengan tiga tegasan
utama yang disebut T1 (tegasan maksimal), T2 (tegasan intermediet) dan T3
(tegasan minimal) dimana T1>T2>T3. Kadang – kadang keadaan tegasan
bervariasi sebagai fungsi heterogenetis dan diskontinuitas material serta juga
sebagai fungsi gelinciran sepanjang bidang sesar. Sebuah bidang sesar yang
belum mengalami pergerakan berada di bawah pengaruh tegasan tangensial
hanya dapat menghasilkan rekahan gunting (kekar gerus). Setiap gerakan sesar
dipengaruhi oleh tegasan maksimal (T1) dalam dihedral tekanan dan tegasan
minimal (T3) dalam dihedral tarikan. Dihedral – dihedral memiliki sifat – sifat
yang layak mendapat pertimbangan, jika sesar bergerak mengikuti arah tegasan
tegasan T1, T2, T3 (hipotesa Bott,
1959). Setiap sesar mempunyai dihedral tekanan dimana terdapat T 3. Jika
semua sumbu-sumbu s1 dan s3 adalah sama untuk semua gerak sesar-sesar
teramati, bagian dari irisan dihedral tekanan mempunyai T1 dan irisan dihedral
tarikan mempunyai T3.
3.5.3.1 Lipatan

Di dalam analisa struktur lipatan, hubungan sudut antara garis dan bidang
dapat diselesaikan dengan deskripsi geometri. Cara yang lebih praktis adalah
dengan menggunakan jaring stereografi, terutama bila kita berhadapan dengan
struktur yang kompleks. Suatu hasil pengukuran kedudukan bidang- bidang

32
perlapisan diplot pada jaring stereografi. Hasil perpotongan dari proyeksi-
proyeksi tersebut akan mengumpul pada satu titik yang disebut Diagram Beta
(β), yang menunjukan kedudukan sumbu lipatan (Gambar 3.4). Apabila diplot
kutub-kutub dari bidangnya, akan menghasilkan kelompok titik-titik proyeksi
yang penyebarannya mengikuti garis lingkaran besar. Titik-titik proyeksi ini
disebut Diagram S-Pole.

Gambar 3.4 Proyeksi Stereografi dari Bidang-Bidang pada Suatu


Lipatan (a) Diagram Beta (b) Diagram Phi

3.5.3.2 Strike/Dip
Analisa jurus dan kemiringan diperlukan adanya bantuan dari kompas
geologi, untuk pengukuran komponen arah yang harus diperhatikan adalah bagian
bulls eye, jarum kompas, klinometer, dan lingkaran pembagian derajat dan untuk
pengukuran arah kemiringan lapisan, tempelkan bagian belakang kompas (bagian
bawah engsel cermin) pada bidang lapisan paling atas, dengan posisi kompas
tegak lurus.

3.5.3.3 Kekar

Analisa kekar dapat dipakai untuk membantu menentukan pola tegasan,


dengan anggapan bahwa kekar-kekar tersebut pada keseluruhan daerah terbentuk
sebelum atau pada saat pembentukan sesar. Cara ini sangat lemah dan umumnya
dipakai pada daerah yang lebih luas (regional) dan data yang dipakai tidak hanya
kekar, tetapi juga sesar yang dapat diamati dari peta topografi, foto udara dan citra

33
landsat. Cara pendekatan untuk menganalisa kekar yaitu dengan melihat gejala
yang terdapat pada jalur sesar. Mengingat bahwa akibat gerak dari sesar, struktur
kekar juga dapat terbentuk.

3.6 Analisis Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan adalah suatu tempat pengendapan yang


dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologis dimana sedimen tersebut
diendapkan. Analisa endapan saat ini dilakukan berdasarkan analisa genesanya
(genetic unit) atau proses pembentukan batuan, yaitu rekonstruksi didasarkan
pada sayatan litologi, dgn memperhatikan setiap jengkal perubahan/kelainan
litologi dan selanjutnya rekonstruksi didasarkan pengelompokkan strata dengan
mempunyai ciri-ciri genesa yang sama. Penyebaran satuan yang sama genesanya
ditentukan oleh proses yg terjadi dimana lingkungan sedimen tersebut terbentuk.
Pengamatan sayatan litologis untuk melihat kelainan litologis yang
mencerminkan kapan suatu proses atau rangkaian proses tersebut mempengaruhi
sedimentasi dan kapan rangkaian tersebut berhenti mempengaruhi sedimentasi.
Satuan genetik hampir selalu berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
formasi.

Ciri-ciri beberapa lingkungan pengendapan, ialah endapan alluvial, endapan


sungai yang teranyam (braded river), endapan sungai meander, endapan delta,
endapan front delta, endapan fore set, dan endapan prodelta clay.

a) Endapan alluvial memiliki transportasi berlangsung pada energi yang


tinggi atau energi maksimum, bila dibandingkan dengan energi lain,
maka sortasinya sangat jelek. Materialnya mempunyai pengendapan yang
relatif dekat dengan sumbernya, maka abrasi relatif kecil. Material yang
terbentuk mempunyai sortasi jelek maka porositasnya tinggi. Sebagian
fragmennya masih mempunyai warna asli. Biasanya ikatan antar butir
tidak kuat sehingga sangat porous, maka biasanya kaya kandungan air.
Ketebalannya tidak seragam yaitu menebal ke arah bukit, sebab endapan

34
kipas alluvial ini berada di kaki bukit.

b) Endapan sungai yang teranyam (braded river) termasuk multi channel,


maksudnya banyak dijumpai endapan yang arahnya memanjang sesuai
alur sungai purba. Banyak dijumpai adanya perlapisan silang siur (cross
bedded) dengan komposisi pasir kasar dan sudut inklinasi kecil. Alur –
alurnya tidak begitu dalam, jadi endapan yang dihasilkan tidak begitu
tebal. Kemiringan cukup besar pada waktu terjadinya. Pengendapan
lateral lebih besar.

c) Endapan sungai yang telah bermeander dengan ciri – ciri single channel,
yaitu alurnya biasanya hanya satu. Slope kecil dan erosi yang intensif ke
arah lateral. Adanya desa – desa yang mempunyai pola tertentu, misalnya
melengkung – melengkung (bekas danau tapal kuda atau ex Bow Lake).
Cross bedding dapat dijumpai dalam skala kecil.

d) Endapan delta umumnya memiliki ketebalan beberapa ratus sampai


beberapa ribu meter. Endapan delta banyak mengandung pasir yang
berasal dari darat/terigen. Umumnya mengandung sisipan batubara, yang
terjadi pada deltaic plain nya dan porositas endapan delta relatif tinggi.
Secara umum makin ke atas makin mengkasar, terkecuali kalau
kemudian diikuti dengan shifting (perpindahan delta).

e) Endapan delta front pengendapan kadang-kadang sub-aerial kadang sub-


aqueous. Variasi litologi, pasir, lanau, lempung dan kandungan organik
sehingga dapat terbentuk lignit atau batubara. Biasanya dibagian
permukaan telah mengalami erosi. Jika dijumpai kemiringan yang kecil,
maka arah. kemiringan tersebut ke arah laut. Struktur sedimen yang
mungkin dijumpai ialah silang-siur, current fill, graded bedding, ripple
mark. Akibat pengaruh gelombang, sortasi pada endapan ini tidak baik.
Adanya fauna darat dapat laut.

f) Endapan fore set (bagian dari prodelta) materialnya merupakan campuran


material darat dan laut. Secara umum material ini agak kasar jika
dibandingkan delta front, sebab kedalaman tempat ini 15-20 m dimana

35
pengaruh ombak sangat besar. Material yang diendapkan mempunyai
kemiringan yang lebih besar sesuai dengan initial dip, jika dibanding
dengan delta front. Komposisinya, yaitu lempung, pasir dan lanau,
kadang-kadang bagian prodelta dijumpai batu gamping yang disebabkan
influx sedimen dari darat yang besar, sehingga menghambat pertumbuhan
batugamping. Bagian ini mungkin sekali dijumpai konversi silika
ataupun oksida besi.

g) Endapan Prodelta clay materialnya merupakan campuran material darat-


laut. Lebih banyak “marine clay” dibanding yang asal darat. Sedimen ini
mempunyai kemiringan yang sama dengan dasar pengendapannya.
Komposisi yang dominan lempung dan fauna lautnya sudah melimpah.

3.7 Tahap Interpretasi

Menganalisa data baik data hasil pengolahan dan data analisa


laboratorium. Pada tahap ini mulai dilakukan interpretasi terhadap data yang
telah diolah dengan melakukan rekontruksi dan penarikan kesimpulan
berdasarkan data-data yang diperoleh. Tahap analisa data yang dilakukan yaitu
analisa setelah data lapangan diolah untuk mempermudah penarikan
kesimpulan, terdiri atas analisa geomorfologi, litologi, stratigrafi, struktur
geologi, paleontologi dan lingkungan pengendapan.

3.8 Tahap Penyusunan Laporan

Setelah dilakukan pengolahan data, analisa data, interpretasi data dan


penarikan kesimpulan terhadap aspek geomorfologi, litologi, stratigrafi, struktur
geologi, paleontologi dan lingkungan pengendapan, selanjutnya dilakukan
penulisan laporan penelitian yaitu dimana semua data-data yang telah diolah
dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah.

36
DIAGRAM ALIR PEMETAAN GEOLOGI PENDAHULUAN

Gambar 3.7 Bagan alur tahapan penelitian

Gambar 3.5 Diagram Alir Pemetaan Geologi Pendahuluan.

37

Anda mungkin juga menyukai