PENDAHULUAN
Di waktu yang sama, atas proposal yang diajukan Swiss dan Hungaria,
Dewan UNEP memberikan mandat kepada Direktur Eksekutif untuk membuat suatu
working group yang bertugas untuk menghasilkan sebuah konvensi tentang
pengawasan terhadap perpindahan lintas batas limbah berbahaya, dengan
memanfaatkan Cairo Guidelines dan organ nasional, regional, dan internasional
yang terkait. Working Group yang bersifat ad-hoc tersebut memantapkan
langkahnya pada sebuah pertemuan internasional pada Oktober 1987 dan
menyelenggarakan lima sesi negoisasi secara total di antara Februari 1988 dan
Maret 1989.
2
perkembangan lebih lanjut dan implementasi daripada Konvensi Basel. Pengaturan
tentang limbah B3 dimulai sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya Keputusan
Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik.
Selanjutnya diterbitkan keputusan presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi
Konvensi Basel 1989 yang mencerminkan kesadaran pemerintah Indonesia tentang
adanya pencemaran lingkungan akibat masuknya limbah B3 dari luar wilayah
Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Yang penting, Konvensi Basel tidak membangun definisi yang seragam dari
"limbah berbahaya." Sebaliknya, ia mendefinisikan limbah sebagai "zat atau benda
yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh
ketentuan hukum nasional. "Dalam prakteknya, definisi ini termasuk biomedis dan
kesehatan limbah, digunakan baterai asam timbal, gigih limbah pencemar organik,
4
Polychlorinated bifenil (PCB), dan limbah lainnya. Keputusan yang berkaitan dengan
implementasi perjanjian yang dibuat oleh Konferensi Para Pihak (COP), yang terdiri
dari semua pihak untuk konvensi.
6
hazardous waste’ (ESM). ESM sendiri di dalam Pasal 2 ayat 8 Konvensi Basel
didefinisikan sebagai mengambil semua langkah praktis untuk memastikan limbah
berbahaya atau limbah lainnya dikelola dengan cara yang akan melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan dari efek yang akan dihasilkan oleh dari limbah-
limbah tadi. Tadi disebutkan sebelumnya bahwa salah satu faktor atau kondisi
yang melatarbelakangi kehadiran Konvensi ini adalah adanya ketakutan akan
pelimpahan limbah-limbah berbahaya dari negara-negara industry ke negara-
negaraDunia Ketiga atau negara berkembang. Namun, pada awalnya Konvensi
ini tidak melarang pemindahan limbah berbahaya dari negara-negara OECD ke
negara-negara berkembang. Hingga pada tahun 1994, saat pertemuan antar
anggota barulah Konvensi ini diamandemen danmengatur tentang larangan
tersebut, meskipun belum berlaku hukum hingga sekarang.
7
Untuk menghindari benturan pengaturan dengan Konvensi lain, maka dalam
Konvensi ini daitur mengenai ruang lingkup pengaturannya, meskipun tadi sudah
dijelaskan bahwa masih terdapat tumpang tindih antara ketiga Konvensi. Ruang
lingkup pengaturan daripada Basel Convention diatur di dalam Pasal1, yang isinya
adalah:
8
Konvensi Basel merupakan usaha pertama dalam menggunakan mekanisme global
untuk mengatur perdagangan limbah berbahaya. Harus diingat bahwa Konvensi
ini pada esensinya tidak melarang atau membatasi perdagangan tersebut,
melainkan hanya mengatur mengenai lalu lintas perdagangannya. Hal ini namun
disanggah melalui amandemen terhadap Konvensi Basel, dengan adanya
pengaturan mengenai larangan yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.
Pengaturan di dalam Konvensi ini bersifat fleksibel, karena kita dapat melihat bahwa
definisi limbah berbahaya juga dapat diambil dari peraturan perundang-undangan
domestik suatu negara dan juga adanya penyerahan teknis atau system
pembuangan yang memenugi kriteria environmentally sound management (ESM)
kepada negara-negara. Technical Guidelines untuk menerapkan pengaturan dalam
Konvensi ini dibuat pada pertemuan-pertemuan antar negara. Konvensi ini
membuka pintu bagi Negara-negara Pihak untuk melakukan perjanjian bilateral,
multilateral, atau regional dengan Negara Pihak lainnya atau Non-Pihak mengenai
perpindahan lintas batas limbah berbahaya atau limbah lain selama tidak
menderogasi ketentuan Konvensi ini dan dengan memberitahu Sekretariat mengenai
perjanjian yang dibuat.
Di dalam Konvensi ini, juga didirikan sebuah organ, yaitu Sekretariat dan pengaturan
mengenai Conference of The Parties (COP). Konferensi ini diselenggarakan secara
regular oleh Direktur Eksekutif UNEP, atau dapat dilaksanakan di waktu lain atas
permintaan dari setiap Pihak dan disetujui oleh setidaknya 1/3 total Pihak.
Konferensi ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi implementasi daripada
Konvensi Basel, mengadopsi Protokol, dan juga membentuk badan subsider untuk
pelaksanaan Konvensi ini. Salah satu hasil daripada Konferensi (COP) adalah
pembentukan BC – 10/2: Strategic Framework for the implementation of the Basel
Convention for 2012-2021. Di dalam kerangka ini, diatur mengenai tujuan dan
langkah implementasi Konvensi Basel secara lebih lanjut, yang akan menjadi dasar
daripada pengaturan specific technical guidelines.
9
2.3 Kewajiban Negara yang Terikat
1. (a) Pihak yang melaksanakan hak untuk melarang masuknya (import) limbah
berbahaya atau limbah lainnya untuk pembuangan harus memberitahukan
pihak lainnya terkait keputusan mereka sesuai dengan Pasal 13.
(c) Pihak harus melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (export) limbah
berbahaya dan limbah lainnya apabila Negara Penerima (import) tidak
menyatakan persetujuannya terhadap penerimaan (import) tertentu/spesifik
secara tertulis, ini berlaku ketika Negara Penerima belum melarang
penerimaan limbah-limbah tersebut.
(a) Memastikan perkembangan dari limbah berbahaya dan limbah lain yang
termasuk di dalamnya dikurangi hingga jumlah minimum, dengan juga
mempertimbangkan aspek sosial, teknologi, dan ekonomi;
10
untuk meminimalisirkan konsekuensi terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan;
(d) Memastikan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain
dikurangi Hingga ke kondisi minimum sesuai dengan environmentally sound
dan pengelolaan yang efisien terhadap limbah-limbag tersebut, dan dilakukan
dengan cara yang akan memproteksi kesehatan manusia dan lingkungan dari
efek merugikan yang mungkin timbul akibat perpindahan tersebut;
(g) Mencegah penerimaan ( import) limbah berbahaya dan limbah lain apabila
telah ada alasan untuk percaya bahwa limbah tersebut dipertanyakan tidak
akan dikelola dengan cara yang environmentally sound.
11
3. Pihak menganggap lalu lintas atau perdagangan ilegal dalam limbah
berbahaya atau limbah lain sebagai tindak kriminal atau kejahatan.
4. Setiap pihak harus mengambil langkah hukum, administratif, dan lainnya yang
tepat untuk mengimplememtasi dan memberlakukan ketentuan-ketentuan
di dalam Konvensi ini, termasuk langkah untuk menghalangi dan menghukum
tindakan yang bertentangan dengan Konvensi ini.
5. Pihak tidak boleh mengijinkan limbah berbahaya atau limbah lain dikirim (
export) ke non-Pihak atau menerima (import) dari non-Pihak.
Protokol ini bertujuan untuk menyediakan sebuah rezim yang komprehensif untuk
kewajiban dan kompensasi yang cukup dan cepat terhadap kerusakan yang
dihasilkan dari perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dan
pembuangannya termasuk lalu lintas ilegal limbah. Dalam pasal 3 dijelaskan
mengenai ruang lingkup Protokol ini, yakni sebagai berikut.
1. Protokol ini berlaku kepada kerusakan yang diakibatkan oleh insiden yang
terjadi sewaktu perpindahan batas lintas limbah berbahaya atau limbah lain
dan pembuangannya, termasuk lalu lintas ilegal, dari poin dimana limbah
diangkut ke moda transportasi di sebuah kawasan dibawah jurisdiksi
nasional dari negara Pengirim. Setiap Pihak yang Mengadakan Perjanjian
boleh dengan cara memberitahu ke Depositary mengecualikan aplikasi
daripada Protokol, berkaitan dengan semua perpindahan lintas batas yang
mana dia merupakan Negara Pengirim, untuk insiden-insiden tersebut yang
terjadi di sebuah area yang berada di bawa jurisdiksi nasional, dan
menghasilkan kerusakan di area tersebut. Sekretariat harus
menginformasikan semua Pihak Yang Mengadakan Perjanjian tentang
notifikasi yang diterima sesuai dengan Pasal ini.
12
2. Protokol ini harus berlaku:
(a) berhubungan dengan perpindahan yang ditujukan untuk salah satu
operasi yang disebut di Annex IV ke Konvensi kecuali D13, D14, D15, R12
atau R13, hingga waktu notifikasi penyelesaian pembuangan yang diatur di
Pasal 6 paragraf 9.
3. Limbah berbahaya dan limbah lain dikirim dua kali harus sesuai dengan Pasal
8 Konvensi, orang yang memberitahu harus bertanggung jawab atas
kerusakan sejak limbah berbahaya meninggalkan situs pembuangan hingga
limbah diambil alih oleh Pengirim atau oleh alternate disposer.
13
4. Limbah berbahaya dan limbah lain yang akan dikirim dua kali berdasarkan
Pasal 9 subparagraf 2 (a), atau Pasal 9 paragraf 4 Konvensi yang memenuhi
ruang lingkup Pasal 3 Protokol, orang yang melakukan penerimaan ulang
harus bertanggung jawab atas kerusakan hingga limbah diambil alih oleh
Pengirim atau oleh alternate disposer.
5. Tidak ada tanggung jawab sesuai dengan Pasal ini yang harusmelekat
kepada orang yang dirujuk oleh paragraph 1 dan 2 Pasal ini, apabila orang itu
membuktikan bahwa kerusakan merupakan:
(a) hasil dari tindakan konflik bersenjata, pertempuran, perang saudara atau
pemberontakan;
(b) hasil dari fenomena alam yang bersifat luar bisa, tidak dapat dihindarkan,
tidak ditebak, dan tidak dapat dilawan.
(c) keseluruhan hasil dari ketaatan dengan langkah yang wajib dari otoritas
Negara dimana kerusakan terjadi; atau
(d) keseluruhan hasil dari kesengajaan kesalahan tindakan dari pihak ketiga,
termasuk orang yang menderita kerusakan.
6. Apabila dua atau lebih orang bertanggung jawab sesuai Pasal ini, Penggugat
memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi penuh atas kerusakan dari
tanggung jawab setiap atau semua orang. Selain itu, dalam Pasal 5 dituliskan
bahwa setiap orang juga harus bertanggung jawab atas kerusakan yang
dihasilkan atau dikontribusikan oleh kurangnya ketaatan terhadap ketentuan
implementasi Konvensi atau dengan maksud yang salah, ketidakhati-hatian,
atau pembiaran. Dengan adanya pengaturan mengenai tanggung jawab
tersebut, setiap orang khususnya yang bekerja di bagian operasional
pengawasan limbah berbahaya dan limbah lain harus mengambil langkah
yang terbaik ketika ada suatu insiden untuk dapat mengurangi kerusakan
yang timbul karenanya. Ketika ada kerusakan yang disebabkan oleh limbah
yang diatur di dalam Protokol dan yang tidak diatur di dalam Protokol, maka
orang tersebut hanya bertanggung jawab sebesar kontribusi yang dimiliki oleh
limbah yang diatur di dalam Protokol. Proporsi kontribusi kerusakan
sebagaimana dimaksud ditentukan dengan volume dan sifat limbah terkait,
14
dan tipe dari kerusakan yang terjadi. Ketika memang tidak dimungkinkan
untuk dibuat pembedaan kontribusi, maka semua kerusakan dianggap diatur
oleh Protokol. Dalam hal orang yang menderita kerusakan atau orang yang
bertanggung jawab atasnya melalui hukum domestik ternyata mengakibatkan
atau memberi kontribusi terhadap kerusakan tersebut, maka kompensasi
mungkin dikurangi atau dibatalkan. Keberlakuan Protokol ini dikesampingkan
ketika ada perjanjian bilateral, multilateral, regional yang juga mengatur
mengenai tanggung jawab dan kompensasi terhadap insiden yang timbul
akibat perpindahan batas lintas. Untuk mengklaim kompensasi, maka
Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Contracting Parties yang
merupakan tempat kerusakan, atau tempat insidennya terjadi; atau tempat
defendant atau Tergugat berdomisili atau domisili place of business. Setiap
Pihak Yang Mengadakan Perjanjian harus memastikan bahwa Pengadilannya
memiliki kompetensi yang diperlukan untuk menangani klaim untuk
kompensasi tersebut. Setiap prosedur atau substansi mengenai klaim yang
tidak diatur secara spesifik oleh Protokol harus tunduk terhadap ketentuan
hukum Pengadilan tersebut, termasuk hukum yang terkait dengan hukum
antar tata hukum (conflict of laws).
15
kebutuhan mereka). Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam
inilah WCED24 pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian
kita kenal dengan sebutan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) . WCED dalam laporannya yang berjudul Our Common
Future. Kemudian definisi ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi Rio
pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992. Susan Smith25 mengartikan
sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini
dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi mendatang.
Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat (4) hal:
Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai dalam rumn
yang dibuat oleh suatu konferensi internasional di Canberra pada 13-16
November 1994 yang lazim disebut Fenner Coference on the Environment .
Prinsip ini dirumuskan dalam konferensi tersebut:
16
i. Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan generasi
lainnya berada dalam kemitraan (global partnership),
ii. Generasi kini tidak semestinya memberikan beban eksternalitas
pembangunan bagi generasi berikutnya,
iii. Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang
berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi selanjutnya dengan
mana generasi ini memiliki kesempatan yang setara dalam kualitas fisik,
ekologi, ekonomi, dan sosial,
iv. Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-
sumber alam yang tidak dapat dibarui secara pasti (eksak).
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya
lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini
mengandung makna bahwa pencemar wajib bertanggung jawab untuk
menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar
biaya- biayauntuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi
dasar pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan
demikian menggunakan instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran
(pollution charges) terhadap air dan udara serta uang jaminan pengembalian
kaleng atau botol bekas (deposit fees).
17
d. Principle of Preventive Action
Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini
mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan
paling baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada
penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.31 Dalam Deklarasi Rio,
prinsip pencegahan dirumuskan dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:
“States shall enact effective environmental legislation” ….
Prinsip ini juga dipandang sangat berhubungan erat dengan prinsip keberhati-
hatian yang akan diuraikan pada bagian berikut. Kedua prinsip
menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya
masalah-masalah lingkungan.
18
mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat merugikan
negara lainnya.
Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah
yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-
upaya mencegah kerusakan lingkungan. Dalam rumusan Prinsip 15
Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:
20
BAB III
STUDI KASUS PERGERAKAN LINTAS BATAS LIMBAH BERBAHAYA DAN
BERACUN
3.1 Kasus Ekspor Used Lead Batteries oleh Amerika Serikat ke Meksiko
a. Kasus Posisi
Industri daur ulang baterai timbal merupakan sumber signifikan dari paparan
timbal di seluruh negara-negara berkembang. Sebuah artikel yang
merangkum penelitian yang diterbitkan dari 37 negara menemukan paparan
timbal yang tinggi dalam pabrik daur ulang limbah berbahaya inijuga dalam
masyarakat sekitar. Telah dilaporkan rata-ratakandungan timbal dalam
darahpara pekerja di pabrik daur ulang baterai di negara-negara berkembang
21
adalah 64 mikrogram per desiliter (μg/dL) dan konsentrasi udara yang
melebihi batas paparan yang diperbolehkan dalam Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Amerika Serikat. Rata-rata kandungan timbal dalam darah
pada anak-anak yang berada di dekat fasilitas ini adalah 19 μg/dL, atau
sekitar 13 kali lebih tinggi dari kandungan rata-rata pada anak-anak di
Amerika Serikat.
Pada tahun 2010, AS EPA revisi peraturan limbah berbahaya mereka untuk
memasukkan persyaratan 2001 Keputusan OECD. Namun, karena
22
ULABs ditakdirkan untuk pemulihan, mereka tidak ditangani sebagai
ketat di bawah peraturan EPA sebagai limbah berbahaya lainnya ditakdirkan
untuk pembuangan sehubungan dengan manifestasi, kemasan dan
transportasi. Berdasarkan peraturan ini, perusahaan AS mengekspor
baterai timbal digunakan untuk reklamasi dikecualikan dari persyaratan
manifest limbah yang biasanya akan melacak limbah berbahaya ke tujuan
akhirnya. OECD Keputusan mencakup persyaratan untuk pemberitahuan
dan persetujuan, dokumen gerakan (mirip dengan limbah
memanifestasikan), dan sertifikat pemulihan dari fasilitas daur ulang. Namun,
di bawah 2.010 peraturan AS EPA, ada lima negara OECD, termasuk
Meksiko, yang AS eksportir dapat mengirim pengiriman baterai untuk
reklamasi tanpa memberikan dokumen gerakan atau pelacakan informasi.
Seperti tahun 2011, ada dua puluh satu berwenang daur ulang baterai di
Meksiko dengan kapasitas lebih dari 800.000 metrik ton. Industri daur ulang
baterai di Meksiko, bagaimanapun, tidak diatur dengan baik dan penegakan
hukum yang lemah. emisi dilaporkan dari tanaman daur ulang baterai timbal
di Meksiko sekitar 20 kali lebih tinggi dari dari tanaman sebanding dalam
eksposur AS Kerja di tanaman ini tiga kali lebih tinggi daripada di AS. Selain
itu, yang lebih kecil, tanaman tidak sah mengandalkan kerja manual untuk
membongkar baterai dan memiliki lebih sedikit teknologi pengendalian
pencemaran di tempat.
23
b. Analisis Kasus
24
jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.
Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal traffic
memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah yang layak, untuk
perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut Kitt, ketentuan ini
menujukkan adanya tanggung jawab negara secara langsung (direct state
responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh warganya.
3.2 Kasus Impor Besi Bekas Mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya di
Indonesia
a. Kasus Posisi
Impor limbah untuk bahan industri memang diizinkan. Namun, jelas- jelas
ditegaskan, limbah impor itu tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan
(nonbahan beracun dan berbahaya/B3). ”Kalau mengandung B3, ketentuan
hukum sudah jelas tidak mengizinkan,” kata Deputi V Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sudariyono di
Jakarta, Sabtu (28/4/2012).
Menurut Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan Cukai
Tanjung Priok Agus Yulianto, ribuan kontainer itu sebelumnya masuk fasilitas
jalur hijau, yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan fisik. ”Sejak ada nota
hasil intelijen, (kontainer tersebut) masuk jalur yang harus diperiksa,” kata
Agus. Nota muncul setelah tercium adanya kejanggalan. Berawal dari
munculnya nota itu, ribuan kontainer impor berisi besi bekas yang masuk di
semua pelabuhan di Indonesia, sejak awal tahun 2012, masuk jalur merah
yang harus diperiksa ketat. Pemeriksaan melibatkan pengawas dan penyidik
KLH, Bea dan Cukai, kejaksaan, dan kepolisian.
26
Hasil laboratorium
Sejauh ini, hasil pemeriksaan laboratorium Pusat Sarana Pengendalian
Dampak Lingkungan (Pusarpedal) di bawah KLH terhadap 113 kontainer di
Tanjung Priok menunjukkan, mayoritas material sampel uji menunjukkan sifat
korosif dan beracun. Adapun jenis limbah B3 yang terkandung adalah timbal,
arsenik, seng, dan krom yang melampaui ambang batas toleransi. Karena
melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan LH dan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah,
kasus itu dilanjutkan ke proses hukum. Sebanyak 89 kontainer sudah
direekspor ke Inggris, sedangkan 24 kontainer dalam proses reekspor ke
Belanda. Reekspor tidak menutup proses tuntutan hukum. Secara bertahap,
penyidik pegawai negeri sipil juga mengirimkan sampel-sampel yang sudah
diambil dan ditandai ke Pusarpedal. Pemeriksaan juga dilanjutkan dengan
pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) yang, sesuai ketentuan, harus
dihadiri wakil perusahaan. Di Semarang, Giyanto, pemilik 11 kontainer impor,
kooperatif ketika dibuatkan BAP, Jumat.
Menurut Sudariyono, KLH tidak mempersulit industri besi baja yang sedang
tumbuh, tetapi justru melindungi keberlanjutannya dengan penggunaan
bahan baku yang bersih.
27
Adapun serangkaian pemeriksaan dilakukan karena ada laporan yang patut
dibuktikan kebenarannya. Kalau benar-benar bersih, Bea dan Cukai bisa
mengizinkan keluarnya kontainer, bahkan sebagian di antaranya sudah
diizinkan keluar.
b. Analisis Kasus
-dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
-tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,
Dalam hal ini, Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan
tindak pidana. Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal
traffic maka Konvensi Basel menyatakan:
-jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil
limbah, maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk memastikan
28
bahwa limbah diambil kembali oleh eksportir atau penghasil limbah, atau jika
perlu oleh negara pengekspor sendiri;
-jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau pembuang
(disposer) limbah, maka negara pengimpor harus memastikan bahwa limbah
akan dikelola secara ramah lingkungan. Untuk ini, maka negara anggota yang
terlibat harus bekerja sama terkait pembuangan limbah yang ramah
lingkungan;
-jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.
Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal
traffic memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah
yang layak, untuk perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut
Kitt, ketentuan ini menujukkan adanya tanggung jawab negara secara
langsung (direct state responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh
warganya.
29
BAB IV
KESIMPULAN
dengan apa yang dikenal sebagai NIMBY (Not In My Back Yard) sindrom dan untuk
peningkatan biaya pembuangan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan beberapa
operator untuk mencari pilihan pembuangan murah untuk limbah berbahaya di
Eropa Timur dan Negara-negara berkembang, dimana kesadaran lingkungan masih
kurang berkembang danjugaperaturan dan mekanisme penegakan hokum
lingkungan yang kurang. Dengan latar belakang ini lah Konvensi Basel
dinegosiasikan di akhir 1980-an, dan dorongannya pada saat diadopsi adalah untuk
memerangi "perdagangan bahan beracun", seperti yang telah disebutkan. Konvensi
mulai berlaku pada tahun 1992.
30
DAFTAR PUSTAKA
Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell. International Law and The
Environment, 3rd ed.New York: Oxford University Press.2009.
Syarif, Laode M. dan Andri G. Wibisana. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan
Studi Kasus . Jakarta: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation. 2015.
https://www.academia.edu/25576054/Makalah_Basel_Convention_1989
31