Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan setiap tahun di dunia meningkat


dari sekitar lima juta ton pada tahun 1947 hingga melewati angka 300 juta ton pada
tahun 1988,yang manasekitar 265 juta ton dihasilkan oleh Amerika Serikat, dan 35
juta ton lainnya dihasilkan oleh negara-negara di Eropa Barat. Di saat yang sama,
biaya pembuangan limbah berbahaya ini juga meningkat pesat, di beberapa kasus
mencapai harga $2000 setiap ton dan space yang tersedia untuk pembuangan
tersebut juga semakin sedikit sehingga terdapat ketentuan yang sangat ketat,
khususnya di Amerika Serikat. Fakta ini menarik perhatian internasional sehingga
pengaturan mengenai limbah berbahaya telah ada di dalam agenda lingkungan
internasional sejakawal 1980, yang mana ditetapkan sebagai satu dari tiga prioritas
di Program Montevideo tentang Hukum Lingkungan pertama yang diselenggarakan
olehUnited Nations Environmental Programme (UNEP) pada tahun 1981.

Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah


Berbahaya dan Pembuangannya (Basel Convention 1989) diadopsi pada tahun
1989 sebagai respons terhadap teriakan publik atas penemuan sejumlah besar
limbah beracun impor di Afrika dan bagian Dunia Ketiga lainnya pada tahun 1980-
an. Negotiating parties pada Konvensi Basel memercayai bahwa cara paling
efektif untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahaya yang
dihasilkan oleh limbah-limbah tersebut adalah pengurangan produksi limbah
tersebut kepada kuantitas yang terendah dan atau potensi yang berbahaya.Kasus
kecelakaan dari “toxic ships” seperti Katrin B dan Pelicano, yang berlayar dari
pelabuhan ke pelabuhan dengan mengangkut kargo beracun mereka telah menjadi
perhatian utama dunia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, seiring biaya
pembuangan limbah yang meroket, toxic traders mencari solusi yang lebih murah
dengan memulai pengiriman ke Afrika, Eropa Timur, dan kawasan lain. Saat di
pantai, limbah-limbah ini terbuang dimana-mana, baik itu dari kebocoran yang
disengaja atau pengelolaan yang tidak baik, dan hal ini menyebabkan masalah
1
kesehatan yang kronis bahkan hingga kematian dan meracuni tanah, laut, dan udara
dalam waktu yang lama.

Negara-negara berkembang kesusahan untuk menolak transaksi


pengiriminan ini karena pendapatannya cukup signifikan bagi perkembangan bangsa
sedangkan biaya ini dianggap murah oleh negara-negara maju tersebut. Kita melihat
contoh Guinea Bissau yang membuat kontrak-kontrak untuk menerima limbah
Amerika dan Eropa dalam periode lima tahun seharga $600 juta, atau sebesar
pendapatan domestik bruto (PDB) tiap tahunnya. Pengiriman-pengiriman ke negara
berkembang tersebut berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, banyak
eksportir menyesatkan dan menipu Negara Penerima mengenai isi limbah. Kedua,
banyak negara tidak memiliki teknologi atau keahlian untuk membuang limbah
tersebu dengan baik dan ketiga, moda transportasi dan alat pembuangan tersebut
juga memiliki masalah-masalah teknis. Langkah signifikan pertama akhirnya
dilakukan pada Juni 1987, dimana Dewan UNEP menyetujui Cairo Guidelines,
sebuah instrumen yang bersifat tidak mengikat, yang pada dasarnya bertujuan
untuk membantu pemerintah dalam perkembangan dan implementasi daripada
kebijakan pengaturan nasional masing- masing tentang limbah berbahaya.

Di waktu yang sama, atas proposal yang diajukan Swiss dan Hungaria,
Dewan UNEP memberikan mandat kepada Direktur Eksekutif untuk membuat suatu
working group yang bertugas untuk menghasilkan sebuah konvensi tentang
pengawasan terhadap perpindahan lintas batas limbah berbahaya, dengan
memanfaatkan Cairo Guidelines dan organ nasional, regional, dan internasional
yang terkait. Working Group yang bersifat ad-hoc tersebut memantapkan
langkahnya pada sebuah pertemuan internasional pada Oktober 1987 dan
menyelenggarakan lima sesi negoisasi secara total di antara Februari 1988 dan
Maret 1989.

Akhirnya pada tanggal 20-22 Maret 1989, Konferensi Plenipotentiaries


tentang Konvensi Global tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya diselenggarakan atas undangan dari Pemerintah Swiss dan pada tanggal
22 Maret, Konvensi Basel diadopsi, juga beserta delapan resolusi terkait dengan

2
perkembangan lebih lanjut dan implementasi daripada Konvensi Basel. Pengaturan
tentang limbah B3 dimulai sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya Keputusan
Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik.
Selanjutnya diterbitkan keputusan presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi
Konvensi Basel 1989 yang mencerminkan kesadaran pemerintah Indonesia tentang
adanya pencemaran lingkungan akibat masuknya limbah B3 dari luar wilayah
Indonesia.

Dalam perkembangan setelah diundangkan Undang-Undang No.23 Tahun


1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai uapaya untuk mewujudkan
pengelolaan limbah B3, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3), sebagaimana telah dirubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999. Dengan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Limbah B3 diharapkan pengelolaan limbah B3 dapat lebih baik sehingga
tidak lagi terjadi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka makalah


ini didasarkan atas empat rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana tujuan dan ruang lingkup pengaturan daripada Konvensi Basel


1989?
2. Bagaimana pengaturan mengenai kewajiban negara yang terikat dengan
Konvensi Basel 1989?
3. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip hukum lingkungan dalam Konvensi
Basel 1989?
4. Bagaimana penerapan Konvensi Basel 1989 dalam Indonesia dan kasus

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Konvensi Basel 1989

Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah


Berbahaya diadopsi pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1992. Perjanjian
itu berusaha untuk membangun kerangka kerja untuk mengatur transportasi
internasional dan pembuangan limbah berbahaya. Pada 1980-an, negara semakin
menetapkan peraturan lingkungan yang lebih ketat, dan sebagai hasilnya, biaya
pembuangan limbah berbahaya meningkat secara substansial. Tingginya biaya
pembuangan limbah berbahaya menyebabkan terciptanya pasar gelap jaringan
limbah beracun, atau "pedagang beracun," yang diangkut limbah ke negara-negara
berkembang untuk pembuangan murah. pedagang beracun membuang limbah
tanpa kepedulian terhadap lingkungan atau kesehatan masyarakat. wahyu media
pada praktek memicu kemarahan internasional, dan dengan itu, diproduksi
momentum untuk negosiasi Konvensi Basel.

Konvensi Basel mengatur "generasi, manajemen, gerakan lintas batas dan


pembuangan berbahaya dan limbah lainnya. "Pihak pada Konvensi Basel
diharapkan untuk lulus undang-undang domestik yang menghukum transportasi
ilegal limbah berbahaya. Transportasi limbah berbahaya ke dan dari non-partai
adalah ilegal, kecuali izin khusus diberikan. Selain itu, perjanjian membutuhkan
pihak untuk mendorong praktik pembuangan limbah yang aman, khusus untuk
"untuk meminimalkan jumlah yang bergerak melintasi perbatasan, untuk mengobati
dan membuang limbah sedekat mungkin ke tempat mereka generasi dan untuk
mencegah atau meminimalkan timbulnya limbah pada sumbernya."

Yang penting, Konvensi Basel tidak membangun definisi yang seragam dari
"limbah berbahaya." Sebaliknya, ia mendefinisikan limbah sebagai "zat atau benda
yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang atau diperlukan untuk dibuang oleh
ketentuan hukum nasional. "Dalam prakteknya, definisi ini termasuk biomedis dan
kesehatan limbah, digunakan baterai asam timbal, gigih limbah pencemar organik,

4
Polychlorinated bifenil (PCB), dan limbah lainnya. Keputusan yang berkaitan dengan
implementasi perjanjian yang dibuat oleh Konferensi Para Pihak (COP), yang terdiri
dari semua pihak untuk konvensi.

Konvensi Basel memiliki 170 pihak. Amerika Serikat menandatangani


konvensi tersebut pada tahun 1989,dan Senat memberi saran untuk meratifikasi
pada tahun 1992. Meskipun demikian, AS gagal meratifikasi konvensi tersebut, dan
tetap yang paling signifikan non-partai untuk perjanjian.

Sejak tahun 1992, Konvensi Basel terus mengembangkan di antara pihak-


nya. Penting, pada tahun 1995 pada pertemuan ketiga Konferensi Pihak Konvensi
Basel, pihak mengadopsi amandemen disebut "Ban Amandemen." Perubahan
tersebut melarang perpindahan lintas batas limbah berbahaya yang ditunjuk
untuk pembuangan dari setiap OECD (Konvensi Organisasi for Economic Co-
operation) negara, ke negara non-OECD.

Transportasi lintas batas limbah berbahaya merupakan daerah berpotensi


menonjol untuk debat. Setiap tahun, diperkirakan 8,5 juta ton bahan berbahaya
perjalanan internasional. Dari jumlah ini, AS bertanggung jawab untuk sekitar tiga
juta ton, atau 35%. Perkiraan ini, bagaimanapun, adalah sulit untuk memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi di karena sifat yang tidak diatur dari perdagangan limbah
berbahaya ilegal. Pemerintah federal AS mengklaim bahwa AS hanya ekspor
sepersepuluh dari satu persen dari bahan berbahaya yang, sisanya dari yang
dibuang di dalam negeri. Namun, klaim ini mungkin tidak akurat karena tidak
memperhitungkan ekspor limbah terdeteksi, dan mendefinisikan bahan berbahaya
sempit.

Perdagangan limbah berbahaya cenderung meningkat secara substansial di


masa depan karena peningkatan limbah elektronik. F. H. Faleomavaega, Amerika
Samoa Perwakilan Kongres, menjelaskan tren ini, Perhatikan juga bahwa banyak
laptop, monitor layar datar, dan televisi mengandung lampu neon yang mengandung
merkuri, racun saraf yang berbahaya. Juga mencatat bahwa banyak produk
elektronik mengandung bahan kimia beracun seperti timbal, merkuri, berilium,
kadmium, kromium, dan brominated flame. Perhatikan juga bahwa sekitar 2.630.000
5
ton digunakan atau elektronik yang tidak diinginkan dibuang di Amerika Serikat 3
tahun yang lalu, menurut EPA. Perhatikan juga bahwa sekitar 330.000 ton
limbah elektronik dikumpulkan dan dialihkan dari tempat pembuangan sampah
untuk digunakan kembali atau daur ulang 3 tahun yang lalu, lagi menurut EPA.
Perhatikan juga bahwa sekitar 50 persen menjadi 80 persen dari limbah elektronik
dikumpulkan untuk digunakan kembali atau daur ulang diekspor ke negara-negara
seperti China, India, Ghana, Nigeria, Pakistan, dan Thailand, menurut Departemen
Perdagangan. Sebagai konsumen menanggapi teknologi baru, seperti televisi
definisi tinggi, jumlah sampah yang dihasilkan oleh tua, barang elektronik yang tidak
diinginkan kemungkinan akan meningkat. Hal ini mungkin mengakibatkan, lebih
banyak perusahaan ingin memanfaatkan peluang dengan membawa negara e-waste
to-kurang berkembang di masa depan.

Pemerintahan Obama belum mendukung ratifikasi Konvensi Basel. Obama,


sebagai calon presiden, mengumumkan dukungannya untuk meningkatkan regulasi
limbah berbahaya. Namun, pemerintahan Obama baru-baru ini gagal untuk
memperbaharui moratorium EPA mengenai pengiriman kapal AS untuk Asia Selatan
untuk pembongkaran. Larangan itu dimulai karena "neraka lingkungan pekarangan
ship breaking Asia Selatan. Selain itu, Lawrence Summers, Direktur Dewan
Ekonomi Nasional Obama, dikabarkan menulis dalam memo, "Saya pikir logika
ekonomi di balik pembuangan beban limbah beracun di negara upah terendah
sempurna dan kami harus menghadapi itu. Mengingat tren ini dan pernyataan,
tampaknya tidak mungkin bahwa pemerintahan Obama akan mendorong baik Basel
Convention ratifikasi, atau peraturan yang lebih kuat dari transportasi limbah
berbahaya dan dumping.

2.2 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Kerangka Pengaturan

Berdasarkan kesadaran akan ancaman limbah berbahaya kepada kesehatan


manusia dan lingkungan, Konvensi ini menetapkan tiga tujuan, yaitu: Pertama,
pengurangan terhadap jumlah limbah berbahaya yang dihasilkan; Kedua,
pengurangan terhadap jumlah perpindahan lintas wilayah limbah berbahaya; dan
Ketiga, mempromosikan atau mengenalkan ‘environmentally sound management of

6
hazardous waste’ (ESM). ESM sendiri di dalam Pasal 2 ayat 8 Konvensi Basel
didefinisikan sebagai mengambil semua langkah praktis untuk memastikan limbah
berbahaya atau limbah lainnya dikelola dengan cara yang akan melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan dari efek yang akan dihasilkan oleh dari limbah-
limbah tadi. Tadi disebutkan sebelumnya bahwa salah satu faktor atau kondisi
yang melatarbelakangi kehadiran Konvensi ini adalah adanya ketakutan akan
pelimpahan limbah-limbah berbahaya dari negara-negara industry ke negara-
negaraDunia Ketiga atau negara berkembang. Namun, pada awalnya Konvensi
ini tidak melarang pemindahan limbah berbahaya dari negara-negara OECD ke
negara-negara berkembang. Hingga pada tahun 1994, saat pertemuan antar
anggota barulah Konvensi ini diamandemen danmengatur tentang larangan
tersebut, meskipun belum berlaku hukum hingga sekarang.

Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berkaitan atau berhubungan


dengan limbah berbahaya dan pesticides, yang diikuti oleh pembentukan Konvensi
Roterdam mengenai Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous
Chemicals and Pesticides in International Trade dan Konvensi Stockholm tentang
Persistent Organic Pollutants. Ketiga Konvensi ini memiliki tujuan bersama untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahan-bahan kimia dan limbah
yang berbahaya. Kooperasi dan koordinasi dalam implementasi praktis ketiga rezim
tersebut memberikan contoh kepada rezim perjanjian internasional lainnya,
membuktikan bahwa sinergi dapat dilakukan di antara rezim perjanjian internasional
yang fungsi pengaturannya tumpang tindih ( overlapping ). Secara umum, Konvensi
ini melarang pengangkutan limbah berbahaya ke wilayah Antartika, setiap negara
yang bukan anggota, dan negara yang telah melarang masuknya limbah berbahaya
ke wilayahnya. Konvensi ini juga mendirikan sebuah mekanisme pengaturan
terhadap pengangkutan limbah berbahaya ke negara lain ketika hal ini
diperbolehkan menurut Konvensi. Pihak yang berwenang di negara Pengirim harus
memberitahu negara Penerima dan setiap negara transit secara tertulis yang berisi
tentang rencana pengangkutan secara detil. Pengiriman limbah berbahaya hanya
diperbolehkan ketika negara-negara transit dan negara Penerima menyatakan
persetujuannya secara tertulis.

7
Untuk menghindari benturan pengaturan dengan Konvensi lain, maka dalam
Konvensi ini daitur mengenai ruang lingkup pengaturannya, meskipun tadi sudah
dijelaskan bahwa masih terdapat tumpang tindih antara ketiga Konvensi. Ruang
lingkup pengaturan daripada Basel Convention diatur di dalam Pasal1, yang isinya
adalah:

1. Limbah berpindah lintas batas yang digolongkan sebagai limbah berbahaya di


dalam Basel Convention adalah
a) Limbah yang termasuk di dalam Annex I, kecuali mereka tidak
memiliki karakteristik yang diatur di dalam Annex III; dan
b) Limbah yang tidak dimaksud dalam paragraf(a) tetapi didefinisikan
sebagai, atau dipertimbangkan sebagai limbah yang berbahaya oleh
peraturan perundang-undangan domestik dari pihak yang melakukan
ekspor, impor, atau transit.

2. Limbahyang termasuk dalam setiap kategori di dalam Annex II yang juga


dilihat sebagai perwilayah disebut sebagai limbah lain demi kepentingan
Konvensi ini;

3. Limbah, yang merupakan hasil radioaktif, merupakan subjek daripada


sistem pengawasan internasional lainnya, termasuk instrumeninternasional,
berlaku spesifik kepada material radioaktif, yangdikecualikan dari Konvensi
ini; dan

4. Limbah hasil kegiatan sehari-hariatau operasionalkapal, yang diatur oleh


instrumen internasional lainnya, tidak termasuk dalam ruang lingkup Konvensi
ini.

Sedangkan menurut Article 2 Basel Convention, yang dimaksud dengan


transboundary movement adalah setiap perpindahan limbah yang berbahaya atau
limbah lain dari sebuah kawasandi jurisdiksi nasional sebuah negara keatau melalui
sebuah kawasan di jurisdiksi negara lain atau ke atau melalui sebuah wilayah yang
bukan berada di jurisdiksi suatu negara, perpindahannya setidaknya melibatkan dua
negara.

8
Konvensi Basel merupakan usaha pertama dalam menggunakan mekanisme global
untuk mengatur perdagangan limbah berbahaya. Harus diingat bahwa Konvensi
ini pada esensinya tidak melarang atau membatasi perdagangan tersebut,
melainkan hanya mengatur mengenai lalu lintas perdagangannya. Hal ini namun
disanggah melalui amandemen terhadap Konvensi Basel, dengan adanya
pengaturan mengenai larangan yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.
Pengaturan di dalam Konvensi ini bersifat fleksibel, karena kita dapat melihat bahwa
definisi limbah berbahaya juga dapat diambil dari peraturan perundang-undangan
domestik suatu negara dan juga adanya penyerahan teknis atau system
pembuangan yang memenugi kriteria environmentally sound management (ESM)
kepada negara-negara. Technical Guidelines untuk menerapkan pengaturan dalam
Konvensi ini dibuat pada pertemuan-pertemuan antar negara. Konvensi ini
membuka pintu bagi Negara-negara Pihak untuk melakukan perjanjian bilateral,
multilateral, atau regional dengan Negara Pihak lainnya atau Non-Pihak mengenai
perpindahan lintas batas limbah berbahaya atau limbah lain selama tidak
menderogasi ketentuan Konvensi ini dan dengan memberitahu Sekretariat mengenai
perjanjian yang dibuat.

Di dalam Konvensi ini, juga didirikan sebuah organ, yaitu Sekretariat dan pengaturan
mengenai Conference of The Parties (COP). Konferensi ini diselenggarakan secara
regular oleh Direktur Eksekutif UNEP, atau dapat dilaksanakan di waktu lain atas
permintaan dari setiap Pihak dan disetujui oleh setidaknya 1/3 total Pihak.
Konferensi ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi implementasi daripada
Konvensi Basel, mengadopsi Protokol, dan juga membentuk badan subsider untuk
pelaksanaan Konvensi ini. Salah satu hasil daripada Konferensi (COP) adalah
pembentukan BC – 10/2: Strategic Framework for the implementation of the Basel
Convention for 2012-2021. Di dalam kerangka ini, diatur mengenai tujuan dan
langkah implementasi Konvensi Basel secara lebih lanjut, yang akan menjadi dasar
daripada pengaturan specific technical guidelines.

9
2.3 Kewajiban Negara yang Terikat

Negara-negara yang terikat memiliki kewajiban sebagaimana tertulis dalam Pasal 4


Konvensi Basel, yaitu:

1. (a) Pihak yang melaksanakan hak untuk melarang masuknya (import) limbah
berbahaya atau limbah lainnya untuk pembuangan harus memberitahukan
pihak lainnya terkait keputusan mereka sesuai dengan Pasal 13.

(b) Pihak harus melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (export)


limbah berbahaya atau limbah lainnya ke pihak yang telah melarang
masuknya (import) limbah-limbah tersebut melalui notifikasi atau
pemberitahuan yang dijelaskan di sub paragraph (a).

(c) Pihak harus melarang atau tidak mengijinkan pengiriman (export) limbah
berbahaya dan limbah lainnya apabila Negara Penerima (import) tidak
menyatakan persetujuannya terhadap penerimaan (import) tertentu/spesifik
secara tertulis, ini berlaku ketika Negara Penerima belum melarang
penerimaan limbah-limbah tersebut.

2. Setiap pihak harus mengambillangkah yang tepat untuk:

(a) Memastikan perkembangan dari limbah berbahaya dan limbah lain yang
termasuk di dalamnya dikurangi hingga jumlah minimum, dengan juga
mempertimbangkan aspek sosial, teknologi, dan ekonomi;

(b) Memastikan persediaan fasilitas pembuangan yang mumpuni, untuk


pengelolaan dengan cara environmentally sound management (ESM) limbah
berbahaya dan limbah lainnya, yang harus ditempatkan, sedapat mungkin, di
dalamnya, apapun tempat dari pembuangannya;

(c) Memastikan orang-orang yang terlibat di pengelolaan limbah berbahaya


atau limbah lainnya yang termasuk di dalamnya mengambil langkah-langkah
tertentu yang diperlukan untuk mencegah polusi yang dihasilkan dari
pengelolaan limbah berbahaya atau limbah lain dan apabila telah ada polusi,

10
untuk meminimalisirkan konsekuensi terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan;

(d) Memastikan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain
dikurangi Hingga ke kondisi minimum sesuai dengan environmentally sound
dan pengelolaan yang efisien terhadap limbah-limbag tersebut, dan dilakukan
dengan cara yang akan memproteksi kesehatan manusia dan lingkungan dari
efek merugikan yang mungkin timbul akibat perpindahan tersebut;

(e) Tidak memperbolehkan pengiriman (export) limbah berbahaya atau limbah


lain ke sebuah Negara atau sebuah kumpulan Negara yang termasuk dalam
sebuah organisasi integrasi ekonomi dan/atau politik yang merupakan pihak,
khususnya Negara Berkembang, yang telah melarang segala jenis
penerimaan (import) melalui peraturan perundang-undangannya, atau apabila
telah ada alasan untuk memercayai bahwa limbah-limbah tidak akan dikelola
dengan cara yang environmentally sound , sesuai dengan kriteria yang telah
diputuskan oleh Pihak-pihak dalam pertemuan pertama;

(f) Memberiinformasi tentang permintaan perpindahan lintas batas limbah


berbahaya dan limbah lainnya kepada Negara terkait, sesuai dengan Annex V
A, ke Negara yang jelas-jelas terkena efek dari perpindahan tersebut terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan;

(g) Mencegah penerimaan ( import) limbah berbahaya dan limbah lain apabila
telah ada alasan untuk percaya bahwa limbah tersebut dipertanyakan tidak
akan dikelola dengan cara yang environmentally sound.

(h) Bekerjasama dalam kegiatan dengan pihak lain dan organisasi-organisasi


yang tertarik, secara langsung atau melalui Sekretariat, termasuk penyebaran
informasi tentang perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain,
dengan maksud untuk meningkatkan pengelolaan yang berbasis lingkungan
(Environmentally Sound Management) terhadap limbah-limbah tersebut dan
mencegah daripada lalu lintas yang illegal.

11
3. Pihak menganggap lalu lintas atau perdagangan ilegal dalam limbah
berbahaya atau limbah lain sebagai tindak kriminal atau kejahatan.

4. Setiap pihak harus mengambil langkah hukum, administratif, dan lainnya yang
tepat untuk mengimplememtasi dan memberlakukan ketentuan-ketentuan
di dalam Konvensi ini, termasuk langkah untuk menghalangi dan menghukum
tindakan yang bertentangan dengan Konvensi ini.

5. Pihak tidak boleh mengijinkan limbah berbahaya atau limbah lain dikirim (
export) ke non-Pihak atau menerima (import) dari non-Pihak.

6. Pihak-pihak setuju untuk tidak memperbolehkan pengiriman limbah berbahaya


atau limbah lain untuk dibuang di dalam area 60° Lintang Selatan, meskipun
limbah tersebut termasuk dalam perpindahan lintas batas atau tidak.

2.4 Protokol Basel 1999

Protokol ini bertujuan untuk menyediakan sebuah rezim yang komprehensif untuk
kewajiban dan kompensasi yang cukup dan cepat terhadap kerusakan yang
dihasilkan dari perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan limbah lain dan
pembuangannya termasuk lalu lintas ilegal limbah. Dalam pasal 3 dijelaskan
mengenai ruang lingkup Protokol ini, yakni sebagai berikut.

1. Protokol ini berlaku kepada kerusakan yang diakibatkan oleh insiden yang
terjadi sewaktu perpindahan batas lintas limbah berbahaya atau limbah lain
dan pembuangannya, termasuk lalu lintas ilegal, dari poin dimana limbah
diangkut ke moda transportasi di sebuah kawasan dibawah jurisdiksi
nasional dari negara Pengirim. Setiap Pihak yang Mengadakan Perjanjian
boleh dengan cara memberitahu ke Depositary mengecualikan aplikasi
daripada Protokol, berkaitan dengan semua perpindahan lintas batas yang
mana dia merupakan Negara Pengirim, untuk insiden-insiden tersebut yang
terjadi di sebuah area yang berada di bawa jurisdiksi nasional, dan
menghasilkan kerusakan di area tersebut. Sekretariat harus
menginformasikan semua Pihak Yang Mengadakan Perjanjian tentang
notifikasi yang diterima sesuai dengan Pasal ini.
12
2. Protokol ini harus berlaku:
(a) berhubungan dengan perpindahan yang ditujukan untuk salah satu
operasi yang disebut di Annex IV ke Konvensi kecuali D13, D14, D15, R12
atau R13, hingga waktu notifikasi penyelesaian pembuangan yang diatur di
Pasal 6 paragraf 9.

Dalam menentukan pihak yang bertanggung jawab, Protokol ini menerapkan


prinsip Strict Liability (SL). Implementasi Strict Liabilty atau Pertanggung
jawaban Mutlak yang diatur dalam Protokol ini adalah sebagai berikut.

1. Orang yang memberitahu sesuai dengan Pasal 6 Konvensi harus


bertanggung jawab atas kerusakan hingga pembuang mengambil kepemilikan
daripada limbah berbahaya dan limbah lain. Setelah itu pembuang (disposer)
yang bertanggung jawab. Apabila Negara Pengirim yang memberitahu atau
jika tidak ada pemberitahuan, maka Pengirim harus bertanggung jawab atas
kerusakan hingga disposer mengambil kepemilikan limbah berbahaya dan
limbah lain. Mempertimbangkan Pasal 3 subparagraf 6 (b) Protokol, Pasal 6
paragraf 5 Konvensi akan berlaku secara mutatis mutandis. Maka dari itu
disposer yang akan bertanggung jawab atas kerusakan.

2. Tanpa melihat ketentuan paragraph 1, dengan mempertimbangkan limbah


yang diatur Pasal 1, subparagraph 1 (b) Konvensi apabila telah dinotifikasi
sebagai limbah yang berbahaya oleh Negara Penerima sesuai dengan Pasal
3 Konvensi tetapi tidak oleh Negara Pengirim, Penerima harus bertanggung
jawab hingga disposer mengambil kepemilikan dari limbah-limbah, apabila
Negara Penerima yang memberitahu atau apabila tidak ada pemberitahuan,
maka disposer yang harus bertanggung jawab atas kerusakan.

3. Limbah berbahaya dan limbah lain dikirim dua kali harus sesuai dengan Pasal
8 Konvensi, orang yang memberitahu harus bertanggung jawab atas
kerusakan sejak limbah berbahaya meninggalkan situs pembuangan hingga
limbah diambil alih oleh Pengirim atau oleh alternate disposer.

13
4. Limbah berbahaya dan limbah lain yang akan dikirim dua kali berdasarkan
Pasal 9 subparagraf 2 (a), atau Pasal 9 paragraf 4 Konvensi yang memenuhi
ruang lingkup Pasal 3 Protokol, orang yang melakukan penerimaan ulang
harus bertanggung jawab atas kerusakan hingga limbah diambil alih oleh
Pengirim atau oleh alternate disposer.

5. Tidak ada tanggung jawab sesuai dengan Pasal ini yang harusmelekat
kepada orang yang dirujuk oleh paragraph 1 dan 2 Pasal ini, apabila orang itu
membuktikan bahwa kerusakan merupakan:
(a) hasil dari tindakan konflik bersenjata, pertempuran, perang saudara atau
pemberontakan;
(b) hasil dari fenomena alam yang bersifat luar bisa, tidak dapat dihindarkan,
tidak ditebak, dan tidak dapat dilawan.
(c) keseluruhan hasil dari ketaatan dengan langkah yang wajib dari otoritas
Negara dimana kerusakan terjadi; atau
(d) keseluruhan hasil dari kesengajaan kesalahan tindakan dari pihak ketiga,
termasuk orang yang menderita kerusakan.
6. Apabila dua atau lebih orang bertanggung jawab sesuai Pasal ini, Penggugat
memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi penuh atas kerusakan dari
tanggung jawab setiap atau semua orang. Selain itu, dalam Pasal 5 dituliskan
bahwa setiap orang juga harus bertanggung jawab atas kerusakan yang
dihasilkan atau dikontribusikan oleh kurangnya ketaatan terhadap ketentuan
implementasi Konvensi atau dengan maksud yang salah, ketidakhati-hatian,
atau pembiaran. Dengan adanya pengaturan mengenai tanggung jawab
tersebut, setiap orang khususnya yang bekerja di bagian operasional
pengawasan limbah berbahaya dan limbah lain harus mengambil langkah
yang terbaik ketika ada suatu insiden untuk dapat mengurangi kerusakan
yang timbul karenanya. Ketika ada kerusakan yang disebabkan oleh limbah
yang diatur di dalam Protokol dan yang tidak diatur di dalam Protokol, maka
orang tersebut hanya bertanggung jawab sebesar kontribusi yang dimiliki oleh
limbah yang diatur di dalam Protokol. Proporsi kontribusi kerusakan
sebagaimana dimaksud ditentukan dengan volume dan sifat limbah terkait,

14
dan tipe dari kerusakan yang terjadi. Ketika memang tidak dimungkinkan
untuk dibuat pembedaan kontribusi, maka semua kerusakan dianggap diatur
oleh Protokol. Dalam hal orang yang menderita kerusakan atau orang yang
bertanggung jawab atasnya melalui hukum domestik ternyata mengakibatkan
atau memberi kontribusi terhadap kerusakan tersebut, maka kompensasi
mungkin dikurangi atau dibatalkan. Keberlakuan Protokol ini dikesampingkan
ketika ada perjanjian bilateral, multilateral, regional yang juga mengatur
mengenai tanggung jawab dan kompensasi terhadap insiden yang timbul
akibat perpindahan batas lintas. Untuk mengklaim kompensasi, maka
Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Contracting Parties yang
merupakan tempat kerusakan, atau tempat insidennya terjadi; atau tempat
defendant atau Tergugat berdomisili atau domisili place of business. Setiap
Pihak Yang Mengadakan Perjanjian harus memastikan bahwa Pengadilannya
memiliki kompetensi yang diperlukan untuk menangani klaim untuk
kompensasi tersebut. Setiap prosedur atau substansi mengenai klaim yang
tidak diatur secara spesifik oleh Protokol harus tunduk terhadap ketentuan
hukum Pengadilan tersebut, termasuk hukum yang terkait dengan hukum
antar tata hukum (conflict of laws).

2.5 Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan dalam Konvensi Basel 1989

a. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan yang


memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.21 Definisi
diberikan oleh World Commision on Environment and Development
(WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan
sebagaimana tersaji dalam laporan komisi yang terkenal dengan komisi
“Brutland ”yang terumuskan berupa: “if it meets the needs of the present
without compromising the ability of future generation to meet their own
needs” (pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini,
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

15
kebutuhan mereka). Untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam
inilah WCED24 pada tahun 1987 merumuskan konsep yang kemudian
kita kenal dengan sebutan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) . WCED dalam laporannya yang berjudul Our Common
Future. Kemudian definisi ini dijadikan sebagai prinsip pada Deklarasi Rio
pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992. Susan Smith25 mengartikan
sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini
dan mencadangkan modal / sumber alam bagi generasi mendatang.
Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat (4) hal:

i. pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas


sumber daya yang dapat diperbaharui,
ii. melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh
(exhaustible resources),
iii. pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis,
iv. pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.

b. Intergenerational Equity and Intragenerational Equity

Prinsip Keadilan Antargenerasi (The Principle of Intergenerational Equity)


negara dalam hal ini harus melestarikan dan menggunakan lingkungan serta
sumber daya alam bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang.
Prinsip keadilan antargenerasi ini terumuskan dalam Prinsip 3 yang
menyatakan hak untuk melakukan pembangunan dilakukan dengan
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemanpuan
generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. (the right to
development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and
environmental needs of present and future generations).

Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai dalam rumn
yang dibuat oleh suatu konferensi internasional di Canberra pada 13-16
November 1994 yang lazim disebut Fenner Coference on the Environment .
Prinsip ini dirumuskan dalam konferensi tersebut:
16
i. Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan generasi
lainnya berada dalam kemitraan (global partnership),
ii. Generasi kini tidak semestinya memberikan beban eksternalitas
pembangunan bagi generasi berikutnya,
iii. Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang
berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi selanjutnya dengan
mana generasi ini memiliki kesempatan yang setara dalam kualitas fisik,
ekologi, ekonomi, dan sosial,
iv. Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-
sumber alam yang tidak dapat dibarui secara pasti (eksak).

c. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter-Pay Principle)


Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum karena
mengatur mengenai kebijaksanaan atas perhitungan nilai kerusakan dan
pembedaannya. Menurut Simons dalam bukunya Het beginsel ‘de vervuiler
betaalt’ en de Nota Milieuheffingen, prinsip ini semula diajukan oleh ahli
ekonomi E. J. Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada tahun 1960-
an. Dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu
ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar28 semata-mata
merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat
dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam bentuk larangan dan
persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran yang
sebenarnya dielakkan.

Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya
lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini
mengandung makna bahwa pencemar wajib bertanggung jawab untuk
menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar
biaya- biayauntuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi
dasar pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan
demikian menggunakan instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran
(pollution charges) terhadap air dan udara serta uang jaminan pengembalian
kaleng atau botol bekas (deposit fees).
17
d. Principle of Preventive Action

Prinsip ini mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini
mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan
paling baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada
penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.31 Dalam Deklarasi Rio,
prinsip pencegahan dirumuskan dalam Prinsip 11 yang antara lain, berbunyi:
“States shall enact effective environmental legislation” ….

Prinsip ini juga dipandang sangat berhubungan erat dengan prinsip keberhati-
hatian yang akan diuraikan pada bagian berikut. Kedua prinsip
menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya
masalah-masalah lingkungan.

Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban untuk


mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh melakukan
pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal dari kejadian di
dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan.32 Terdapat juga prinsip pengelolaan lingkungan tanpa
merugikan. Deklarasi Rio juga merumuskan prinsip mengenai kedaulatan
negara untuk mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam tanpa
merugikan negara lain (right to exploit resources but responsible do not to
cause damage to the environment of other states) (Prinsip 2). Prinsip ini
diadopsi dari Deklarasi Stockholm (Prinsip 21; “state have, in accordance with
the Chapter of the United nations and Principle of International law, the
sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within
their jurisdiction or control do not course damage to the environment of other
state or of areas beyond the limits ofnational jurisdiction”.), di mana prinsip ini
merupakan asas hukum Romawi yang dikenal dengan Prinsip Sic utere tuo ut
alienum non laedas33 (use your own so as not to injure another),sebuah
prinsip bahwa negara harus menjamin tidak akan menggunakan atau

18
mengelola sumber alam di wilayah yurisdiksinya yang dapat merugikan
negara lainnya.

Deklarasi ini menetapkan pula supaya negara-negara melalui pengembangan


hukum internasional berupaya untuk mengatur hal-hal yang berkenaan
dengan sistem tanggung jawab dan ganti rugi bagi korban pencemaran atau
perkan lingkungan di negara sebagai akibat kegiatan di wilayah yurisdiksinya
(Prinsip 22).

e. Prinsip Pencegahan Dini (The Precautionary Principle)

Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah
yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-
upaya mencegah kerusakan lingkungan. Dalam rumusan Prinsip 15
Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be


widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of
serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used
as a reason for postponing cost-effective measures to prevent
environment degradation”

Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan lingkungan yang


didasarkan kepada satu hal yang perlu dalam melakukan prevensi atau
penanggulangan hanya akan dapat dilakukan jikatelah benar-benar dapat
diketahui dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan sekali jika sesuatu yang
sudah berpotensi atau sudah terjadi kerusakan lingkungan, baru dapat
diambil sebuah keputusan setelah diketahui atau dibuktikan lebih dahulu
secara pasti.

Pendasaran pada pembuktian lebih dahulu menjadi penghalang bagi


pengambilan keputusan yang bersifat segera, sementara dampak dan risiko
(threats) sudah sangat nyata sekali dirasakan. Ada beberapa acuan yang
dipakai untuk mengaplikasikan prinsip pencegahandini. Acuan tersebut
adalah:
19
a. ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat
dipulihkan (irreversible). Misalnya memiliki akibat yang sifatnya
membahayakan yang bersifat antargenerasi, atau keadaan tidak terdapat
subsitusi dari sumber daya yang digunakan,

b. bersifat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty). Terdapat keadaan di


mana akibat yang akan timbul dari suatu aktivitas tidak dapat diperkirakan
secara pasti berhubung karakter dari masalahnya sendiri, penyebab maupun
dampak potensial dari kegiatan tersebut,

c. ikhtiar prevensional mencakup ikhtiar pencegahan hingga biaya-biaya


yang bersifat efektif (cost effectiveness).

20
BAB III
STUDI KASUS PERGERAKAN LINTAS BATAS LIMBAH BERBAHAYA DAN
BERACUN

Untuk memahami lebih lanjut mengenai Basel Convention on The Control of


Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal akan dibahas
dua kasus dan bagaimana konvensi ini berperan dalam masing-masing kasus.

3.1 Kasus Ekspor Used Lead Batteries oleh Amerika Serikat ke Meksiko

a. Kasus Posisi

Lead batteries (baterai timbal)banyak digunakan di kendaraan, penyimpanan


energi untuk sistem surya, tenaga angin, telekomunikasi, dan pusat data.
Karena perluasan saat ini segmen pasar, industri ini berkembang pesat di
seluruh dunia. Misalnya Republik Rakyat Tiongkokmengalami peningkatan
133% dalam produksi baterai timbal antara 2004 dan 2010, sehingga menjadi
produsen terbesar di dunia. Sekitar 80% dari timah yang diproduksi di seluruh
dunia masuk ke dalam baterai. Tidak seperti kebanyakan limbah berbahaya,
baterai timbal bekas hampir selalu didaur ulang karena ini merupakan usaha
yang menguntungkan di seluruh dunia. Sayangnya, banyak dari hal ini
dilakukan secara primitif oleh orang-perorangan dengan cara meleburkan
baterai pada api yangterbuka. Bahkan dalam pabrik daur ulang yang
resmi,efisiensi dan pengendalian pencemaransangat bervariasi dan ada
ribuan pengolah-pengolahyang sangat kecil yang sangat mencemari.

Industri daur ulang baterai timbal merupakan sumber signifikan dari paparan
timbal di seluruh negara-negara berkembang. Sebuah artikel yang
merangkum penelitian yang diterbitkan dari 37 negara menemukan paparan
timbal yang tinggi dalam pabrik daur ulang limbah berbahaya inijuga dalam
masyarakat sekitar. Telah dilaporkan rata-ratakandungan timbal dalam
darahpara pekerja di pabrik daur ulang baterai di negara-negara berkembang

21
adalah 64 mikrogram per desiliter (μg/dL) dan konsentrasi udara yang
melebihi batas paparan yang diperbolehkan dalam Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Amerika Serikat. Rata-rata kandungan timbal dalam darah
pada anak-anak yang berada di dekat fasilitas ini adalah 19 μg/dL, atau
sekitar 13 kali lebih tinggi dari kandungan rata-rata pada anak-anak di
Amerika Serikat.

Konvensi Basel membatasi pengiriman lintas batas timbal baterai yang


digunakan, tapi ada perdagangan legal dan ilegal yang cukup timbal baterai
yang digunakan di seluruh dunia. Digunakan baterai asam timbal (ULABs)
ekspor dari AS ke Meksiko telah meningkat secara dramatis sejak 2008
menyusul perubahan peraturan lebih lanjut membatasi emisi timbal udara di
AS lintas batas pengiriman timah baterai yang digunakan antara negara-
negara ini diatur oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan ( OECD), konvensi Basel dan Perjanjian La Paz.

Berdasarkan semua perjanjian ini, laboratorium dianggap limbah berbahaya


dan negara penerima harus memberikan persetujuan sebelum mereka dapat
diimpor. Konvensi Basel melarang negara dari ekspor limbah berbahaya
dengan beberapa pengecualian. Demikian pula, 1986 OECD Keputusan
Ekspor Limbah Berbahaya membatasi ekspor limbah berbahaya ke non-
OECD negara kecuali ketentuan khusus berada di tempat termasuk
persyaratan bahwa eksportir menunjukkan kecukupan fasilitas pembuangan.

Meskipun AS belum meratifikasi Konvensi Basel, sebagian besar mitra


dagangnya tidak diperbolehkan untuk mengimpor limbah berbahaya dari AS
dalam ketiadaan yang sesuai Pasal 11 Perjanjian di bawah Konvensi 1. Sejak
tahun 2001 Diubah Keputusan OECD 2 memenuhi syarat sebagai Pasal 11
Perjanjian di bawah konvensi Basel, itu menuntun tindakan AS dalam hal
ekspor limbah berbahaya. Perjanjian La Paz juga memenuhi syarat sebagai
langsung Pasal 11 Perjanjian antara AS dan Meksiko.

Pada tahun 2010, AS EPA revisi peraturan limbah berbahaya mereka untuk
memasukkan persyaratan 2001 Keputusan OECD. Namun, karena
22
ULABs ditakdirkan untuk pemulihan, mereka tidak ditangani sebagai
ketat di bawah peraturan EPA sebagai limbah berbahaya lainnya ditakdirkan
untuk pembuangan sehubungan dengan manifestasi, kemasan dan
transportasi. Berdasarkan peraturan ini, perusahaan AS mengekspor
baterai timbal digunakan untuk reklamasi dikecualikan dari persyaratan
manifest limbah yang biasanya akan melacak limbah berbahaya ke tujuan
akhirnya. OECD Keputusan mencakup persyaratan untuk pemberitahuan
dan persetujuan, dokumen gerakan (mirip dengan limbah
memanifestasikan), dan sertifikat pemulihan dari fasilitas daur ulang. Namun,
di bawah 2.010 peraturan AS EPA, ada lima negara OECD, termasuk
Meksiko, yang AS eksportir dapat mengirim pengiriman baterai untuk
reklamasi tanpa memberikan dokumen gerakan atau pelacakan informasi.

Karena kelemahan dalam sistem notifikasi dan lemahnya penegakan, banyak


pengiriman yang tidak sah dari laboratorium yang membuat jalan mereka
ke Meksiko untuk kedua fasilitas daur ulang yang berwenang dan tidak sah.
Misalnya, pada tahun 2011, pihak berwenang Meksiko berhenti truk AS di
Chihuahua yang membawa 1.800 baterai timbal longgar yang bocor asam
sulfat di dalam trailer. Sopir truk memiliki salinan manifest yang mengatakan
baterai akan menjadi pendaur ulang baterai resmi di Puebla, tetapi
menyatakan bahwa ia mengantarkan mereka ke fasilitas industri di
Guanajuato.

Seperti tahun 2011, ada dua puluh satu berwenang daur ulang baterai di
Meksiko dengan kapasitas lebih dari 800.000 metrik ton. Industri daur ulang
baterai di Meksiko, bagaimanapun, tidak diatur dengan baik dan penegakan
hukum yang lemah. emisi dilaporkan dari tanaman daur ulang baterai timbal
di Meksiko sekitar 20 kali lebih tinggi dari dari tanaman sebanding dalam
eksposur AS Kerja di tanaman ini tiga kali lebih tinggi daripada di AS. Selain
itu, yang lebih kecil, tanaman tidak sah mengandalkan kerja manual untuk
membongkar baterai dan memiliki lebih sedikit teknologi pengendalian
pencemaran di tempat.

23
b. Analisis Kasus

Konvensi Basel menyatakan bahwa perpindahan limbah lintas negara


dianggap sebagai perpindahan yang ilegal jika:

 dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan


persyaratan menurut Konvensi Basel,
 tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan
persyaratan menurut Konvensi Basel,
 dengan persetujuan tertulis yang diperoleh melalui cara
pemalsuan, kesalahpahaman, dan penipuan (falcification,
misinterpretation, and fraud ),
 adanya ketidakcocokan antara limbah dan dokumen yang
menyertainya,
 menghasilkan pembuangan limbah yang bertentangan dengan
Konvensi Basel dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.

Konvensi Basel juga meminta agar negara anggota mengadopsi peraturan


nasional yang mampu mencegah perpindahan limbah ilegal (illegal traffic) dan
menyediakan hukuman bagi praktek illegal traffic tersebut. Dalam hal ini,
Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan tindak pidana.
Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal traffic, maka
Konvensi Basel menyatakan:
 jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil
limbah, maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk
memastikan bahwa limbah diambil kembali oleh eksportir atau
penghasil limbah, atau jika perlu oleh negara pengekspor sendiri;
 jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau
pembuang (disposer) limbah, maka negara pengimpor harus
memastikan bahwa limbah akan dikelola secara ramah lingkungan.
Untuk ini, maka negara anggota yang terlibat harus bekerja sama
terkait pembuangan limbah yang ramah lingkungan;

24
 jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.

Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal traffic
memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah yang layak, untuk
perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut Kitt, ketentuan ini
menujukkan adanya tanggung jawab negara secara langsung (direct state
responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh warganya.

3.2 Kasus Impor Besi Bekas Mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya di
Indonesia

a. Kasus Posisi

Ribuan kontainer limbah impor tertahan di sejumlah pelabuhan besar di


Indonesia. Kontainer yang tertahan itu berisi ribuan ton besi bekas untuk
bahan industri logam. Sebagian di antara besi bekas itu terindikasi
terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya.

Impor limbah untuk bahan industri memang diizinkan. Namun, jelas- jelas
ditegaskan, limbah impor itu tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan
(nonbahan beracun dan berbahaya/B3). ”Kalau mengandung B3, ketentuan
hukum sudah jelas tidak mengizinkan,” kata Deputi V Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sudariyono di
Jakarta, Sabtu (28/4/2012).

KLH bersama penyidik dari kejaksaan dan kepolisian membuka 11 kontainer


berisi besi bekas impor dari Afrika Selatan yang masuk melalui Pelabuhan
Tanjung Emas, Semarang. Hari Sabtu, giliran 102 kontainer serupa dibuka di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sisanya menunggu pemeriksaan di
Pelabuhan Belawan, Medan, dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
25
Sebelumnya, awal April lalu, ratusan kontainer dibuka di Tanjung Priok.
Kontainer ternyata tidak hanya berisi bongkahan besi-besi bekas, tetapi juga
tercampur tanah, oli bekas, aspal, dan plastik. Bau bahan kimia menguar
ketika pintu kontainer dibuka.

Semua kontainer tersebut merupakan bagian dari sekitar 7.000 kontainer


berisi besi bekas impor dari sejumlah negara yang masuk Indonesia sejak
Januari 2012. Sebagian di antaranya sudah diizinkan keluar pelabuhan untuk
diolah di pabrik besi karena dinilai memenuhi syarat.

Menurut Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan Cukai
Tanjung Priok Agus Yulianto, ribuan kontainer itu sebelumnya masuk fasilitas
jalur hijau, yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan fisik. ”Sejak ada nota
hasil intelijen, (kontainer tersebut) masuk jalur yang harus diperiksa,” kata
Agus. Nota muncul setelah tercium adanya kejanggalan. Berawal dari
munculnya nota itu, ribuan kontainer impor berisi besi bekas yang masuk di
semua pelabuhan di Indonesia, sejak awal tahun 2012, masuk jalur merah
yang harus diperiksa ketat. Pemeriksaan melibatkan pengawas dan penyidik
KLH, Bea dan Cukai, kejaksaan, dan kepolisian.

Di Tanjung Perak, pada periode Februari-April, ditahan 113 kontainer yang


diduga memuat barang mengandung limbah B3. Sebagian besar impor dari
Inggris dan Belanda. Semua kontainer disimpan di lokasi khusus seluas 500
meter persegi sehingga tidak mencemari kontainer lain.

”Begitu ada indikasi memuat limbah berbahaya, barang langsung kami


amankan,” ujar Kepala Sub-Seksi Penindakan Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak Wahyudhi
Arief.

Di Pelabuhan Belawan, 85 kontainer berisi besi bekas tertahan untuk


penanganan lebih lanjut. Kontainer yang tersebar di beberapa tempat itu
diimpor dari Bahrain, Rusia, Perancis, Irlandia, dan Afrika Selatan.
Kontainer-kontainer itu menunggu pemeriksaan bersama.

26
Hasil laboratorium
Sejauh ini, hasil pemeriksaan laboratorium Pusat Sarana Pengendalian
Dampak Lingkungan (Pusarpedal) di bawah KLH terhadap 113 kontainer di
Tanjung Priok menunjukkan, mayoritas material sampel uji menunjukkan sifat
korosif dan beracun. Adapun jenis limbah B3 yang terkandung adalah timbal,
arsenik, seng, dan krom yang melampaui ambang batas toleransi. Karena
melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan LH dan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah,
kasus itu dilanjutkan ke proses hukum. Sebanyak 89 kontainer sudah
direekspor ke Inggris, sedangkan 24 kontainer dalam proses reekspor ke
Belanda. Reekspor tidak menutup proses tuntutan hukum. Secara bertahap,
penyidik pegawai negeri sipil juga mengirimkan sampel-sampel yang sudah
diambil dan ditandai ke Pusarpedal. Pemeriksaan juga dilanjutkan dengan
pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) yang, sesuai ketentuan, harus
dihadiri wakil perusahaan. Di Semarang, Giyanto, pemilik 11 kontainer impor,
kooperatif ketika dibuatkan BAP, Jumat.

Ia sempat mempertanyakan pemeriksaan yang dinilainya merugikan. Ia


memiliki semua dokumen yang dibutuhkan, termasuk keterangan dari
penyurvei. Sebelumnya, ratusan kontainer serupa miliknya lolos
pemeriksaan.

Penahanan kontainer-kontainer itu sempat memunculkan protes dari Asosiasi


Industri Besi dan Baja. Mereka menyatakan bahwa importasi besi bekas
untuk bahan baku industri sudah berlangsung 30 tahun dengan
pemahaman pentingnya menjaga keselamatan lingkungan. Mereka menilai
penahanan kontainer tersebut hanya akan menghambat pertumbuhan industri
baja, bahkan mengancam keberlanjutannya.

Menurut Sudariyono, KLH tidak mempersulit industri besi baja yang sedang
tumbuh, tetapi justru melindungi keberlanjutannya dengan penggunaan
bahan baku yang bersih.

27
Adapun serangkaian pemeriksaan dilakukan karena ada laporan yang patut
dibuktikan kebenarannya. Kalau benar-benar bersih, Bea dan Cukai bisa
mengizinkan keluarnya kontainer, bahkan sebagian di antaranya sudah
diizinkan keluar.

Di tengah berbagai tarik ulur, termasuk keterbatasan tenaga pemeriksa di


lapangan, pemeriksaan masih akan terus dijalankan. ”Kami serius dengan
pemeriksaan yang kami lakukan. Di mana pun diperlukan,” kata Sudariyono.

b. Analisis Kasus

Konvensi Basel menyatakan bahwa perpindahan limbah lintas negara


dianggap sebagai perpindahan yang ilegal jika:

-dilakukan tanpa adanya notifikasi sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,

-tanpa adanya persetujuan tertulis sesuai dengan tata cara dan persyaratan
menurut Konvensi Basel,

-dengan persetujuan tertulis yang diperoleh melalui cara pemalsuan,


kesalahpahaman, dan penipuan (falcification, misinterpretation, and fraud ),

-adanya ketidakcocokan antara limbah dan dokumen yang menyertainya, -


menghasilkan pembuangan limbah yang bertentangan dengan Konvensi
Basel dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.

Konvensi Basel juga meminta agar negara anggota mengadopsi peraturan


nasional yang mampu mencegah perpindahan limbah ilegal (illegal traffic)
dan menyediakan hukuman bagi praktek illegal traffic tersebut.

Dalam hal ini, Konvensi juga menyatakan bahwa illegal traffic merupakan
tindak pidana. Apabila limbah telah dianggap sebagai hasil dari illegal
traffic maka Konvensi Basel menyatakan:

-jika illegal traffic merupakan hasil dari tindakan eksportir atau penghasil
limbah, maka negara pengekspor memiliki kewajiban untuk memastikan
28
bahwa limbah diambil kembali oleh eksportir atau penghasil limbah, atau jika
perlu oleh negara pengekspor sendiri;

-jika illegal traffic merupakan hasil perbuatan dari importer atau pembuang
(disposer) limbah, maka negara pengimpor harus memastikan bahwa limbah
akan dikelola secara ramah lingkungan. Untuk ini, maka negara anggota yang
terlibat harus bekerja sama terkait pembuangan limbah yang ramah
lingkungan;

-jika pihak yang bertanggung jawab atas illegal traffic tidak dapat
ditentukan, negara anggota yang terlibat harus bekerja sama untuk
memastikan bahwa limbah sesegera mungkin akan dibuang di negara
pengekspor atau negara pengimpor atau tempat lain, sesuai dengan
pembuangan limbah yang ramah lingkungan.

Ketentuan tentang langkah terkait tindak lanjut terhadap limbah hasil illegal
traffic memperlihatkan bahwa negara diwajibkan untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan, termasuk pengembalian dan pembuangan limbah
yang layak, untuk perbuatan ilegal yang dilakukan oleh warganya. Menurut
Kitt, ketentuan ini menujukkan adanya tanggung jawab negara secara
langsung (direct state responsibility) atas perbuatan yang dilakukan oleh
warganya.

29
BAB IV

KESIMPULAN

Bangkitnya kesadaran lingkungan dan sesuai pengetatan peraturan lingkungan di


dunia industri pada 1970-an dan 1980-an telah menyebabkan peningkatan resistensi
publik untuk pembuangan limbah berbahaya - sesuai

dengan apa yang dikenal sebagai NIMBY (Not In My Back Yard) sindrom dan untuk
peningkatan biaya pembuangan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan beberapa
operator untuk mencari pilihan pembuangan murah untuk limbah berbahaya di
Eropa Timur dan Negara-negara berkembang, dimana kesadaran lingkungan masih
kurang berkembang danjugaperaturan dan mekanisme penegakan hokum
lingkungan yang kurang. Dengan latar belakang ini lah Konvensi Basel
dinegosiasikan di akhir 1980-an, dan dorongannya pada saat diadopsi adalah untuk
memerangi "perdagangan bahan beracun", seperti yang telah disebutkan. Konvensi
mulai berlaku pada tahun 1992.

30
DAFTAR PUSTAKA

Basel Convention Secretariat. The Basel Convention At A Glance.

Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgwell. International Law and The
Environment, 3rd ed.New York: Oxford University Press.2009.

Kamil, Imelda. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Prinsip-prinsip Umum


dalam Hukum lingkungan Internasional. Jakarta: Diadit Media.2007.

Koivurova, Timo. Introduction to International Environmental Law. New York:


Routledge. 2014.

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia.Ed.1. Cet.4. Jakarta: Rajawali


Pers. 2014.

Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:


Erlangga.2004.

Syarif, Laode M. dan Andri G. Wibisana. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan
Studi Kasus . Jakarta: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation. 2015.

Organisation for Economic Co-operation and Development. Ratification Convention


on the OECD. 2010.

https://www.academia.edu/25576054/Makalah_Basel_Convention_1989

31

Anda mungkin juga menyukai