Anda di halaman 1dari 3

Alumni Pesantren VS Ustadz Karbitan

(Mengais Hikmah Dari Kasus Evie Effendie)

Oleh : Abu Zein Fardany

*****

Ahad 29 Juli kemaren penulis menghadiri acara “takhtim” (wisuda) Ma’had ‘Aly Darussalam. Penulis
sendiri adalah alumni angkatan pertama lembaga pendidikan tingkat tinggi ala pesantren ini. Beberapa
teman seangkatan penulis berkhidmah menjadi dosen di Ma’had ‘Aly dan dari seorang teman
seangkatanlah penulis mendapat undangan.

Uniknya dibanding acara wisuda pada umumnya, takhtim dilaksanakan secara sederhana, diwarnai
pembacaan beberapa bagian akhir kitab yang menjadi pegangan mahasantri dan kemudian dijadikan
bahan nasehat para dosen kepada para wisudawan. Ustadz Karim Ulya, teman seangkatan yang
mengabdi menjadi dosen mengulas tentang kehebatan kitab “Minhajut Tholibin” susunan al-Imam an-
Nawawi, salah satu kitab fiqh yang menjadi “kiblat” para pengikut madzhab Syafi’i pasca generasi al-
Imam an-Nawawi. Disela ulasan itu Ustadz Karim memberikan motivasi dan nesehat kepada para
wisudawan agar melanjutkan estafet transfer ilmiah yang telah diterima dari para guru, gurunya dari
guru diatasnya, hingga menyambung ke pembawa risalah; Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih
wa sallam.

Secara subyektif, menurut penulis alumni Ma’had ‘Aly adalah bukan orang sembarangan, bekal yang
telah didapat setelah menjalani pendidikan di dunia pesantren dalam waktu yang tidak sebentar,
belasan tahun bergelut kitab kuning, dari tingkat Awwaliyah, Wustho (Tsanawiyah), ‘Ulya (‘Aaliyah),
hingga lulus Ma’had ‘Aly (tingkat tinggi), adalah “amunisi” yang lumayan untuk dibawa ke medan
dakwah.

Nasehat terakhir diberikan oleh mudir (direktur) Ma’had ‘Aly, guru kami KH. Hatim Salman, Lc. Alih-alih
memberikan taushiyah pribadi, beliau malah membacakan kitab susunan al-Imam al-Ghazali;
Khulashatut Tashaanif, sebuah risalah yang sejatinya adalah jawaban al-Imam al-Ghazali atas
permintaan seorang murid yang mengharapkan nasehat terakhir dari sang guru setelah menempuh
pendidikan bertahun-tahun. Diantara nasehat al-Imam al-Ghazali adalah seorang berilmu tidaklah
mendapatkan apa-apa dari ilmunya kecuali apa yang telah ia amalkan, seperti seorang yang sedang sakit
dan sangat mengetahui seluk beluk pengobatan tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmunya tersebut
bila ia tidak mau berobat. Sehingga al-Imam al-Ghazali menyimpulkan “Fa’lam Annahu Laa Yufiiduka
Katsratut Tahshiilil ‘Ilmi Wa Jam’ul Kutubi Maa Lam Ta’mal” (Yakinilah Bahwa Tidak Berfaidah Untukmu
Banyaknya Menghasilkan Ilmu Dan Mengumpulkan Kitab-Kitab Selama Kamu Tidak Mengamalkan).

Risalah susunan al-Imam al-Ghazali yang sebelumnya pernah penulis pelajari dari Sayyidi Abah Guru
Sekumpul dalam dua versi, yaitu versi Ayyuhal Walad dan versi Khulashatut Tashaanif dan sering penulis
baca ulang ini sangat menggugah. Bahwa seorang santri pasca mondok semestinya fokus pada
pengamalan ilmu sebelum menyampaikan, adalah sebuah tradisi di dunia pesantren. Adab ini telah
diwarisi dari para guru-guru mata rantai sanad ilmu yang ada di pesantren. Inilah ciri khas seorang santri
alumni pesantren. Ini adalah identitas kesantrian.
Kecuali itu, mudir juga sedikit menyentil fenomena dunia dakwah saat ini, dimana setiap orang begitu
mudahnya memberanikan diri terjun ke medan dakwah. Mantan preman misalnya, setelah taubat tiba-
tiba tampil menjadi pendakwah. Hal ini tidak masalah selama dia cukup bekal ilmu, demikian kurang
lebih yang diingatkan mudir. Bukan begitu mudah berdakwah menyampaikan ilmu-ilmu keislaman tanpa
pengetahuan yang mendalam tentang apa yang ia sampaikan tersebut.

Sayangnya, menurut penulis, fakta di lapangan tidak demikian. Tidak sedikit orang-orang yang baru
“hijrah” dan semestinya memfokuskan diri pada mengkaji ilmu agar hijrahnya baik dan benar, kemudian
lanjut ke mengamalkan ilmu yang di dapat, baru bila tiba saatnya menyampaikan ilmunya bila
diperlukan, malah ba’da hijrah dan belajar sebentar atau sedikit tiba-tiba menampilkan diri sebagai
seorang ustadz, dengan bekal pengetahuan seadanya. Dari satu sisi ini baik, sebagai penyemarak syiar
agama, namun disisi lain ini sangat riskan, karena bukan tidak mustahil di pendakwah menyampaikan
sesuatu yang ia sendiri tidak paham betul bahkan mungkin sesat paham, dan dampaknya malah
menyesatkan banyak orang. Menimbang sisi risiko dengan sisi kebaikan yang diharapkan, alangkah
baiknya bila kita berpegang pada prinsip fiqh “Daf’ul Mafaasid Muqoddam ‘Alaa Jalbil Mashaalih”
(Menolak Kemudharatan Lebih Diutamakan Ketimbang Mengharap Kebaikan).

Menyikapi fenomena ini kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja, karena dalam prinsip ekonomi
pasar adanya supply karena adanya demand, tanpa demand (permintaan) tak akan ada supply
(penyaluran). Jadi, antusias masyarakat terhadap ustadz-ustadz model ini adalah pemicu maraknya para
“muhajirin” (orang-orang yang “hijrah”) menampilkan diri sebagai ustadz pendakwah. Buktinya, dakwah
ustadz-ustadz “karbitan” ini sangat laku dan diminati awam.

Sangat sedikit orang awam yang berpegang pada nasehat Muhammad bin Sirrin (tabi’in),
“Sesungguhnya Ilmu Agama (Yang Kamu Pelajari) Adalah Agamamu. Maka Telitilah Dari Siapa Kamu
Mengambil (Ilmu) Agamamu.” Orang awam lebih suka mengambil kepada yang sesuai nafsu mereka.
Lihat saja di lapangan, baik di dunia nyata apalagi di dunia maya, orang lebih senang kepada yang sesuai
dengan yang ada padanya tanpa mempertimbangkan sahih tidaknya, apakah yang menyampaikan benar
ahli atau copas belaka. Bahkan, parahnya mereka kadang tanpa disadari menjadikan majlis yang diberi
label “majlis ta’lim” sebagai sebuah “majlis lawak”. Tanpa referensi keilmuan yang jelas dan standar,
hanya bermodal katanya dan dibumbui kelucuan mengocok perut, majlis yang lebih layak disebut “majlis
stand up komedi” sangat laris dihadiri ratusan bahkan ribuan jamaah. Dampaknya, bukannya makin
lama menghadiri majlis makin berilmu, malah makin sesat paham.

Bagaimana kita menyikapi fenomena ini…?

Bila semuanya berada pada koridor masing-masing, insya Allah hal ini bisa kita atasi bersama. Karena
fenomena ini tidak bisa diatasi oleh satu pihak saja. Para alumni pesantren misalnya, mereka terikat
pada adab-adab dan aturan ketat bagaimana semestinya yang dilakukan sebelum terjun ke medan
dakwah. Tentunya, meski tiap tahun pesantren menghasilkan banyak alumni, tidak semuanya berani
terjun ke medan dakwah. Disisi lain medan dakwah dihuni oleh para ustadz-ustadz karbitan yang hadir
karena banyaknya permintaan.

Alangkah indahnya bila orang-orang awam selektif dalam meminati dan memilih ustadz. Teliti alumni
mana dan berapa lama dia belajar/mengkaji disana. Kritis atas apa yang disampaikan seorang
pendakwah, tidak mudah terpengaruh pada banyaknya jamaah. Alangkah baiknya bila para “muhajirin”
sadar diri, tidak berani menyampaikan sesuatu yang tidak ia dalami pemahamannya, lebih baik
mengajak orang lain menghadiri majlis ta’lim seorang ulama yang jelas keilmuannya ketimbang maju
menampilkan diri sebagai ustadz dan pendakwah ilmu agama. Silakan berdakwah, tapi dakwahnya
sebatas mengajak orang menuntut ilmu, memotivasi orang menghadiri majlis ta’lim para ulama, bukan
menjadi ustadz pesaing ulama.

Bagaimana dengan alumni pesantren…?

Kenapa hanya sedikit yang tampil di medan dakwah dibanding yang tidak tampil?

Saya akan menjawabnya dengan ungkapan sebagian ‘arif billah yang dikutip al-Habib ‘Alawi bin Ahmad
bin al-Hasan bin Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad (shahibur ratib) dalam Syarh Ratib al-Haddad hal.38 :

“Hanya Yang Menyebabkan Para Ahli Kebenaran (Ahlul Haqq) Keluar Dari Tengah-Tengah Manusia
Menuju Kesunyian Dan Sahara Karena Mereka Tidak Mampu Memandang Para Ulama Jahat (Suu), Yang
(Menganggap Dirinya) Ulama Disisi Dirinya, Namun (Sejatinya) Sangat Bodoh (Juhhal) Disisi Ahli
Kebenaran…”.

Jadi, andai saja orang-orang awam tidak lagi meminati atau tak ada “demand”, niscaya tidak ada
“supply” para ustadz karbitan. Bila tak muncul para ustadz-ustadz karbitan, niscaya para ulama yang
benar-benar berilmu akan tampil ke permukaan. Atau bisa juga, andai para “muhajirin” tidak tampil
memposisikan diri sebagai ustadz karbitan, niscaya akan muncul ustadz beneran.

Menurut kamu Bro…?

Anda mungkin juga menyukai