Anda di halaman 1dari 19

BAB II.

HUKUM PERBURUHAN &


KETENAGAKERJAAN

TUJUAN

Tujuan dari bab iniadalah agar pembaca diharapkan mengerti dan memahami
tentang hukum perburuhan yang ber!aku di Indonesia.
Setelah membaca bab mi pembaca diharapkan mampu untuk :
o Mcnjelaskan kedudukan hukum perburuhan dalam KUH Perdata.
o Menjelaskan hakekat, arti, dan sifat hukum perburuhan.
o Menguraikan angkatan kerja dan kesempatan kerja yang ada di Indonesia pada
masa sekarang dan sebelumnya.
o Menguraikan pertumbuhan kesempatan kerja dan penggangguran.
o Memaparkan beberapa masalah yantg sangat mendasar dari peningkatan
kesempatan kerja?

2.1. ARTI KATA, HAKEKAT, DAN SIFAT HUKUM PERBURUHAN

2.1.1. Arti Kata Hukum Perburuhan

Ada beberapa pendapat tentang arti kata dari Hukum Perburuhan, pendapat
tersebut antara lain adalah :
 Molenaar, mengatakan bahwa arbeidsrecht adalah bagian dari hukum yang
berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan,
antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.
 Mr.M.G. Levenbach merumuskan arbeidsrecht adalah sesuatu yang meliputi
hokum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan tersebut

14
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang
langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja .
 Mr. N.E.H. van Esveld tidak membatasi lapangan arbeidsrecht pada hubungan
kerja, dimana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, arbeidsrecht adalah
juga meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang melakukan
pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
 Mok berpendapat bahwa arbeidsrecht adalah hukum yang berkenan dengan
pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.
Untuk memudahkan pemahaman, maka dari berbagai pendapat tersebut kita dapat
merumuskan bahwa hukum perburuhan (arbeidsrecht) adalah himpunan peraturan
baik tertulis maupun tidak yang berkenan dengan kejadian di mana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah .

2.1.2. Hakekat Hukum Perburuhan

Dibandingkan dengan hubungan antara pembeli dan penjual barang, antara mereka
yang tukar menukar barang, maka hubungan antara buruh dengan majikan adalah
berbeda dalam dua hal, yaitu :
 Pembeli, penjual dan mereka yang tukar menukar barang. Baik yuridis maupun
sosiologis adalah merdeka, bebas untuk melakukan atau tidak melakukan jual
beli atau tukar menukar.
 Hubungan antara pembeli-penjual dan hubungan antara penukar timbul dan
lenyap segera setelah masing-masing melakukan pembayaran, penyerahan dan
penukaran.

Yuridis buruh memang bebas, prinsip negara kita, tidak seorang pun boleh di
perbudak, diperulur atau diperhamba, perbudakan, perdagangan budak dan
perhambaan dan segala perbuatan serupa apapun bertujuan kepada atau ke arah itu
dilarang.
Secara sosiologis buruh tidak bebas, sebagai orang yang tidak mempunyai bekal
hidup lain selain tenaga yang mereka miliki, ia terpaksa untuk bekerja pada orang
lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja yang ada.

15
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
Tenaga buruh terutama menjadi kepentingan majikan, merupakan sesuatu yang
demikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh itu selalu harus
mengikuti tenaganya ketempat dan pada saat majikan memerlukan serta
mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu. Dengan demikian pada buruh,
jasmaniah maupun rohaniah juga tidak bebas.
Segala sesuatu mengenai hubungan antara buruh dan majikan itu diserahkan
kepada kebijaksanaan kedua belah pihak yang langsung berkepentingan itu, maka
masih sukar tercapainya suatu keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak
yang sedikit banyak memenuhi rasa keadilan sosial yang merupakan tujuan pokok
juga diperburuhan. Karena itu penguasa baik dengan maupun tidak dengan bantuan
organisasi buruh, mengadakan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang
bertujuan melindungi pihak yang lemah (menempatkan pada kedudukan yang
layak sebagai kemanusiaan)

2.1.3. Sifat Hukum Perburuhan

Walaupun kepada buruh dan majikan diberi kebebasan untuk mengadakan


peraturan-peraturan yang tertentu (hukum perburuhan otonom), namun peratu-ran-
peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari pemerintah
yang bermaksud mengadakan perlindungan.
Peraturan-peraturan ini pada umumnya merupakan perintah atau larangan dengan
menggunakan kata-kata harus, wajib, dan tidak boleh atau dilarang. Sanksi
terhadap pelanggaran atas peraturan ini biasanya ialah tidak sahnya atau batalnya
tindakan yang melanggar itu, bahkan sering kali juga tindakan melanggar itu
diancam pula dengan pidana kurungan atau denda.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / (KUH) Perdata pasal 1605s menetap- kan
bahwa dalam hal upah buruh seluruhnya atau sebagian ditetapkan berupa
pemondokan, makan atau keperluan hidup lainnya, majikan wajib memenuhinya
menurut kebiasaan setempat.
Suatu perjanjian yang bermaksud menghapus atau mengurangi kewajiban itu maka
perjanjian yang dibuat sendiri itu adalah batal. Aanvullende Plantersrege ling
(Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menentukan bahwa perjanjian
kerja dengan buruh harus diselenggarakan dengan tertulis. Sanksi terhadap
pelanggaran atas ketentuan itu bukanlah batalnya tindakan itu melain kan pidana
16
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyak nya lima ratus
rupiah. Syarat batal disini tidak dimintakan, hal ini tepat sekali sanksi semacam ini
dapat merugikan buruh.
Arbeidsregeling-Nijverheidsbedrijven (Peraturan Perburuhan di Perusahaan
Perindustrian) menetapkan bahwa jumlah semua potongan upah tidak boleh
melebihi seperempat upah berupa uang yang terakhir. Sanksi terhadap pelang-
garan ketentuan ini ialah pidana kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda
sebanyak-banyaknya seratus rupiah. Walaupun disini tidak ditetapkan dengan tegas
bahwa pemotongan yang melebihi seperempat upah itu adalah batal, namun harus
diartikan demikian juga. Buruh tetap berhak menerima tidak kurang dari tiga
perempat gajinya.
Mengenai ketentuan yang sifatnya tidak tegas-tegas memaksa, tetapi mengatur
(regelend), biasanya dimintakan bahwa penyimpangan hanya dibolehkan jika
dilakukan dalam perjanjian yang tertulis atau dalam suatu peraturan majikan
(reglement) atau dengan ijin yang berwajib.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa jika upah yang berupa
uang baru dapat ditetapkan sesudah mendapat keterangan dari pembu-kuan
perusahaan pembayarannya dapat dilakukan menunggu penetapan itu. Pembayaran
ini sedikit-dikitnya harus dilakukan setahun sekali. Jika ketera-ngan yang
diperlukan tadi mengenai keuntungan perusahaan dan untuk penetapan keuntungan
menurut sifat perusahaan atau kebiasaan diperlukan waktu yang lebih dari satu
tahun maka dalam perjanjian tertulis atau peraturan majikan dapat ditetapkan
bahwa pembayaran upah itu akan dilakukan sesudah jumlah keuntungan itu dapat
ditetapkan, jika tidak maka setahun sekali.
Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian melarang majikan menetap-kan
upah lain dari pada uang. Penyimpangan hanya dapat dilakukan dengan ijin dari
Menteri Tenaga Kerja. Berhubungan dengan segala sesuatu itu maka setengah
orang mengatakan bahwa hukum perburuhan sifatnya bukanlah lagi
privaatrechtelijk (soal perdata), melainkan publiekrechtelijk.
Campur tangan negara dengan hubungan perorangan, yaitu antara buruh dengan
majikan, didunia ekonomi liberal dengan laisser faire yang seluas-luasnya dan
sebebas-bebasnya, memang merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan itu,
setidak-tidaknya suatu keistimewaan.

17
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
Sudah tidak asing lagi, bahwa dijaman sekarang ini, laisser faire sudah lama
ditinggalkan. Hak-hak mutlak perorangan yang tidak dapat diatur dan dibatasi,
sudah tidak diakui. Kebebasan dalam masyarakat tidak dapat ditafsirkan seba-gai
kebebasan sesuka hati, tetapi suatu kebebasan yang diatur dan karena itu dengan
sendirinya harus dibatasi.
Pembatasan-pembatasan terutama bagi pihak yang ekonominya kuat sebagai akibat
dari perlindungan pihak yang ekonomi nya lemah terhadap mereka yang
ekonominya kuat, adalah soal biasa dan bukan aneh, lebih-lebih dalam suasana
cita-cita keadilan sosial.
Ada orang mengatakan bahwa perlindungan bagi buruh merupakan pelangga-ran
atas pengekangan hak setiap orang untuk mendapat perlakuan dan perlindu ngan
yang sama oleh undang-undang. Tetapi sebaliknya tiada perlindungan yang sama
bagi pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat, berarti pula tiada perlindungan
yang sama oleh undang-undang. Dalam hal ini Commons dan Andrews mengatakan
: ”where the parties are unequal (and a public purpose is shown) then the state
which refuses to address the unequality is actually denying to the weaker party the
equal protection of the law”.

2.2. KEDUDUKAN HUKUM PERBURUHAN DALAM KUH PERDATA

Hukum perburuhan dalam KUH Perdata berada dalam bab VII A, yaitu tentang
perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari
buku ketiga tentang perikatan. Dalam bab VII A ini diuraikan ten-tang persetujuan-
persetujuan untuk melakukan pekerjaan yang terdiri dari :
 Bagian kesatu, yang berisikan tentang ketentuan-ketentuan umum, yang
diuraikan dalam bentuk pasal dimulai dari pasal 1601 yang terdiri dari pasal
1601a sampai dengan pasal 1601c. Pada pokoknya bagian ini berisikan tentang
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam persetu-juan untuk melakukan
pekerjaan seperti penjelasan tentang persetujuan perburuhan, penjelasan
tentang pemborong pekerjaan dan penjelasan tentang persetujuan yang
mengandung tanda-tanda suatu persetujuan per-buruhan.
 Bagian kedua, yang berisikan tentang persetujuan perburuhan umumnya, yang
diuraikan dalam pasal 1601d sampai pasal 1601y (pasal yang terakhir ini sudah
18
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
dicabut). Bagian kedua ini menguraikan secara rinci bagaimana persetujuan
perburuhan dilakukan, yang berhak melakukan perjanjian, per-setujuan
perburuhan yang dilakukan dengan pihak-pihak tertentu, menge-nai batalnya
perjanjian perburuhan, masalah upah buruh dan kedudukan upah tersebut, hak-
hak majikan dalam perjanjian perburuhan dan juga menguraikan resiko
masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian.
 Bagian ketiga, menjelaskan tentang kewajiban majikan, yang diuraikan dalam
pasal 1602 terdiri dari 1602a sampai dengan pasal 1602z. Pasal-pasal ini
menjelaskan secara rinci tentang kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
oleh seorang majikan dalam mempekerjakan tenaga kerja, mulai dari masalah
upah sampai kepada masalah jika hubungan kerja berakhir apa yang harus
dipenuhi oleh seorang majikan.
 Bagian ke empat, menjelaskan tentang kewajiban buruh yang diuraikan dalam
pasal 1603 meliputi pasal 1603a sampai dengan pasal 1603d. Bagian ini
memberikan penjelasan bagaimana kewajiban seorang buruh yang meliputi
kewajiban melaksanakan pekerjaan, kewajiban mentaati aturan-aturan yang ada
dalam pekerjaan tersebut, jika buruh tinggal di rumah majikan, dan hal-hal lain
yang seharusnya dilakukan oleh seorang buruh.

KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA

BAB VIIA

PERJANJIAN PERJANJIAN PERBURUHAN

Melaksanakan pekerjaan secara Hubungan antara buruh dan


mandiri majikan

Gambar 2.1. Kedudukan Hukum Perburuhan dalam KUH Perdata

19
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
 Bagian ke lima, menjelaskan tentang bermacam-macam cara berakhirnya
perjanjian (hubungan) kerja yang diterbitkan dari persetujuan. Hal ini
dijelaskan mulai dari pasal 1603e sampai dengan pasal 1603w. Pasal-pasal ini
pada prinsipnya menjelaskan bagaimana sebuah perjanjian kerja berakhir atau
tidak berakhir, dan bagaimana hak dan kewajiban majikan dan buruh jika
perjanjian kerja berakhir, hak masing-masing pihak dalam memutuskan
hubungan kerja, dan faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan sebuah
perjanjian kerja berakhir. Bagian ke lima ini ditutup yang juga sekaligus
menutup pasal-pasal tentang hukum perburuhan dengan pasal 1603x sampai
dengan 1603z yang menjelaskan tentang bagaimana jika salah satu pihak tidak
tunduk pada pihak lain yang sudah menyepakati perjanjian kerja tersebut, dan
pada akhirnya disampaikan bahwa diperlukan undang-undang yang merinci
dan mengatur masalah perbu-ruhan ini.

2.3. ANGKATAN KERJA DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA

Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh


program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan GBHN
1999-2004) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi
kerakyatan. Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran itu Propenas
menggunakan sejumlah indikator yang mencakup antara lain pertumbuhan
ekonomi yang meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi
terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar
5,1 persen, dan menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen
pada tahun 2004. Semua sasaran kuantitatif itu tampaknya masih jauh dari yang
diharapkan. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB)
pada tahun 2002 masih sekitar 3,7 persen, sementara angka pengangguran menurut
Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2002 masih sekitar 9,1 persen dari
total angkatan kerja yang berjumlah hampir mencapai 100 juta jiwa.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sangat besar dan komplek : besar, karena
menyangkut jutaan jiwa, dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi
sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola
20
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
yang tidak selalu mudah untuk difahami. Faktor demografis mempengaruhi jumlah
dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup berhasil dalam menurunkan angka
kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal ini justru berdampak pada
pertumbuhan penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan
penduduk secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan tekanan kuat dalam sisi
penyediaan tenaga kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional masih
terlalu rendah, yaitu hanya 3,7 persen pada tahun 2002, suatu angka yang terlalu
rendah untuk dapat menyediakan lapangan kerja baru secara memadai. Akibatnya,
angka pengangguran terus meningkat mencapai 9,13 juta jiwa pada tahun yang
sama.
Tekanan demografis terhadap sisi penawaran (supply side) tenaga kerja dapat
digambarkan sebagai berikut : Pertumbuhan penduduk usia kerja selama kurun
2000-2005 diperkirakan akan mencapai 1,7 persen per tahun. Angka tersebut jauh
lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk secara keseluruhan yang dalam
kurun waktu 2000-2005 dan 2005-2009 diperkirakan masing-masing hanya 1,3
persen dan 1,1 persen per tahun. Kecenderungan tersebut adalah sebagai akibat
penurunan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal tersebut
mempunyai konsekuensi kebijakan yang jelas. Strategi pengurangan penawaran
tenaga kerja melalui penurunan laju pertumbuhan penduduk tidak akan efektif lagi.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yang penting adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku
proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara
berkermbang, iklim investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi
yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di
tengah dunia usaha yang masih lesu. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya
adalah pelaksanaan otonomi daerah yang dalam banyak hal seringkali tidak
mendukung penciptaan lapangan kerja atau "tidak ramah" terhadap tenaga kerja.
Masalah ketenagakerjaan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan
dengan masalah-masalah lainnya termasuk kemiskinan, ketidakmerataan
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan stabilitas politik. Semua ini
secara intuitif tampaknya telah dipahami oleh kebanyakan pengambil kebijakan.
Yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa masalah ketenagakerjaan di
Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang
multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya.
21
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau
berusaha dalam jangka panjang. Cara pertama adalah dengan memperlambat laju
pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi
penawaran tenaga kerja. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak
memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan
dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka
pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas pekerja dalam
menghasilkan output (labour intensity of output). Tetapi dalam jangka panjang,
cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif bagi pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan. Cara ketiga adalah melalui pertumbuhan
ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis
atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak
otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk
merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga "ramah"
terhadap ketenagakerjaan (employment - friendly - growth).
Bagi Indonesia, strategi pemulihan dan rekonstruksi ekonomi yang bertumpu pada
penciptaan lapangan kerja bukan pilihan, tetapi sesuai dengan amanat GBHN
merupakan keharusan untuk dapat segera keluar sepenuhnya dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan yang telah terjadi semenjak pertengahan 1997. Walaupun
dari sisi ekonomi sudah tampak ada gejala pemulihan namun dari sisi
ketenagakerjaan gejala pemulihan belum menyakinkan. Angka penganggur
terbuka, misalnya sangat relevan untuk diperhatikan secara serius dua elemen
strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1999:5) : (i) strategi dan kebijakan
yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan aspek
ketenagakerjaan, dan (ii) tindakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan
kerja tambahan melalui program-program penciptaan lapangan kerja secara
langsung.
Di luar gambaran "buram" profil ketenagakerjaan itu, sebenarnya masih ada aspek
positif yang dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk perumusan kebijakan
ketenagakerjaan di masa mendatang. Aspek itu adalah perhatian positif terhadap
hak-hak dasar pekerja yang dalam rumusan Misi ILO (1995:5) dinyatakan sebagai
berikut: Krisis ekonomi ternyata tidak menutup munculnya hal-hal positif dari
Indonesia, justru pada masa krisis ekonomi di Indonesia terjadi pemulihan hak-hak
22
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
mendasar pekerja secara besar-besaran. Sesungguhnya Indonesia telah menoreh
suatu rekor sejarah dengan menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang
telah meratifikasikan seluruh konsep dasar ILO yang berkenaan dengan
perlindungan hak-hak asasi mendasar manusia. Dan hal ini justru terjadi ketika
perekonomian Indonesia sedang jatuh ke titik terendah, yaitu ketika perekonomian
Indonesia mengalami penyusutan (kontraksi) besar-besaran pada tahun 1998, yaitu
minus 13,1 persen.

2.3.1. Pengangguran Tenaga Kerja di Indonesia.

Selain masalah upah, persoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini


menyangkut tingkat pengangguran. Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja
baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat
diciptakan setiap tahun. Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak
tajam. Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen. Angka ini
sebenarnya masih di sekitar tingkat pengangguran natural (Natural Rate of
Unemployment), suatu tingkat yang secara alamiah mustahil dihindarkan. Ini
mencakup pengangguran yang muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga
kerja. Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta, pengangguran 5,7 persen berarti
terdapat 4,5 juta orang penganggur.
Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran
di beberapa negara industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai
dua digit. Namun tingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah
angka pengangguran terbuka (open unemployment), yakni penduduk angkatan
kerja yang benar-benar menganggur. Di luar pengertian tersebut, terdapat
sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam
kualifikasi pengangguran terselubung (disguised unemployment), yakni tenaga
kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja. Konsep
lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya
tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997, sekitar 45 persen
tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen
pengangguran penuh. Jika ditambah angka pengangguran terbuka 2.67 persen dan
23
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan, total pengangguran nyata bisa
mencapai 35-40 persen. Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan
dalam pembangunan nasional.
Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan
adalah pengangguran tenaga terdidik, yaitu angkatan kerja berpendidikan
menengah ke atas dan tidak bekerja. Fenomena ini patut diantisipasi sebab
cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta
kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.

a) Pola Pengangguran
Tabel di bawah ini mengungkapkan beberapa hal menarik.

Tabel 2.1. : Struktur Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan (%)


Pendidikan
1982 1995 1998
SD ke bawah 61.74 40.68 23.09
SLTP 11.79 16.33 19.44
SLTA Umum 12.30 24.90 32.13
SLTA Kejuruan 12.69 11.61 16.86
Diploma 0.91 2.61 3.47
- Diploma I 0.74 0.94
- Diploma II 1.87 2.53
Universitas 0.57 3.86 5.02
Sumber : Statistik Tahunan Indonesia 1985, 1995, 1998

1. Tahun 1998, hampir separuh (49 persen) penganggur ternyata berpendidikan


menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan).
2. Tahun periode 1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpen-didikan
menengah ke atas (SMTA, Akademi dan Sarjana) secara signifi-kan dari 26
persen menjadi 57 persen, atau meningkat hampir 120 persen.
3. Laju peningkatan pengangguran di sekolah menengah kejuruan lebih rendah
daripada sekolah menengah umum, baik pada menengah pertama maupun
pada menengah atas.
4. Persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah
paling tinggi, yang melonjak dari 0,57 persen pada 1982 menjadi 5,02 persen
pada 1998.

24
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
b) Beberapa Sebab

Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal.
1. Pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan
pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai
pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu
kualitas tenaga kerja.
2. Berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatan pada
kualitas pendidikan formal angkatan kerja. Akan tetapi, pada saat angkatan
kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih didominasi
sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan.
Ini menimbulkan gejala supply induce di mana tenaga kerja terdidik yang
jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor
formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja
terdidik yang tidak optimal. Secara makro ini juga disebabkan transformasi
struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier
(industri dan jasa) tidak diikuti transformasi penyerapan tenaga kerja. Periode
1980-98, penyerapan tenaga kerja sektor primer turun 9 persen menjadi 47 persen,
sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen.
Di lain pihak kontribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen
menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14
persen menjadi 27 persen.
Tampaknya gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri saat ini yang
kurang berbasis pada permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus
padahal karena permintaan yang kecil. Dengan demikian, di samping membangun
industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi, perhatian juga sudah
seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih berorientasi pada
penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tetapi juga
tumbuh dengan sangat cepat.
Perlu juga penanganan serius terhadap tingginya persentase lulusan SMTA Umum
yang menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan). Hal ini karena pada
dasarnya SMTA Umum dipersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi, pada hal
untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas, mahalnya biaya
juga menjadi kendala utama.
25
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
Berbagai perubahan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya
tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan
pendidikan ini. Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang mendapat proporsi
keterampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu melanjutkan
ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memiliki bekal keterampilan yang
dibutuhkan untuk masuk dunia kerja. Apa yang terjadi sekarang adalah, mayoritas
angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan
sektor informal yang produktivitasnya relatif rendah.
Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja
yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja
relatif besar. Menurut data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja, Depnaker April
1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja
yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja
berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan
diploma satu (D1) sekitar 10 persen.
Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum
terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja
(dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga kerja (dunia usaha).
Kesenjangan ini memang sudah sering diangkat ke permukaan sampai lahirnya
konsep link and match.
Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih
operasional. Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah
menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi dosen-dosen PTS, yang
secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum. Akan tetapi, bila tidak
diimbangi dengan penjembatanan secara struktural, misalnya dengan berbagai
proyek kerjasama penelitian antara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang
melibatkan mahasiswa, dosen, peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk
mempersempit gap tersebut.
Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini
didasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang
untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga menguatkan adanya
kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.

2.3.2. Peningkatan Kesempatan Kerja


26
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
Berbagai masalah dihadapi dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja, terutama
berkaitan erat dengan permasalahan struktural dan konjungtural perekonomian
Indonesia. Masalah struktural mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dari
sisi penawaran, karena berkaitan dengan kuantitas dan kualitas tenaga kerja.
Adanya fluktuasi di sekitar pertumbuhan ekonomi karena situasi perekonomian
secara makro mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan.
Tiap tahapan Pelita pada masa Orde Baru, masalah struktural kependudukan dan
perekonomian tetap menjadi kendala utama dalam usaha peningkatan kesempatan
kerja. Karena itu penanganan masalah ini kiranya tetap menjadi perhatian sentral.
Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung mempengaruhi
peningkatan kesempatan kerja.
Pertama, menyangkut kebijaksanaan kependudukan. Di satu sisi program Keluarga
Berencana dan berbagai program yang ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk terbukti telah berhasil. Pada periode 1971-90, pertumbuhan penduduk di
Indonesia mencapai 2,3 persen per tahun. Pada periode 1990-95, angka tersebut
menurun menjadi 1,7 persen per tahun.
Keberhasilan menekan laju pertumbuhan tersebut membawa peningkatan dalam
jumlah penduduk usia produktif. Jika tahun 1985 jumlah penduduk yang berusia
antara 15-60 tahun berjumlah 90 juta, tahun 1998 menjadi 102 juta orang (naik
13,33 persen), dan pada akhir PELITA VI, 1998, berjumlah lebih dari 124 juta
orang (naik 21,56 persen).
Meningkatnya tenaga kerja golongan usia muda dan tenaga kerja wanita dalam
pasar kerja turut pula menekan usaha peningkatan kesempatan kerja. Kelompok
tenaga kerja ini muncul sebagai akibat rendahnya tingkat pendapatan.
Kedua, berkaitan dengan penyebaran penduduk antara Pulau Jawa dan di luar
Jawa. Meskipun terdapat tanda-tanda berkurangnya proporsi jumlah penduduk
yang berdiam di Pulau Jawa dibanding dengan luar Jawa, laju pengurangan relatif
sangat kecil sehingga ketimpangan penyebaran penduduk ini masih tetap
merupakan masalah utama. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Jawa-Madura
mencapai 65 persen dari jumlah penduduk Indonesia, turun 63 persen pada tahun
1971, tahun 1990 sebesar 60 persen dan tahun 1998 menjadi 59 persen.
Timpangnya penyebaran jumlah penduduk ini mengakibatkan terjadinya
penyebaran tenaga kerja yang tidak merata. Sementara Pulau Jawa-Madura
27
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
kelebihan tenagakerja, wilayah lain masih memerlukan tenagakerja, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.
Ketiga, menyangkut kualitas tenaga kerja. Jika kualitas dilihat dari tingkat
pendidikan yang dicapai, faktor ini sungguh memprihatinkan. Pada tahun 1985,
berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, hampir 83 persen angkatan kerja
berpendidikan SD ke bawah, sekitar 15,8 berpendidikan menengah dan 1,2 persen
berpendidikan diploma/universitas. Angka ini menjadi 78.4 persen SD pada tahun
1990, berpendidikan menengah 19.7 persen dan 1.9 persen diploma/universitas.
Pada tahun 1998, angkatan kerja Indonesia mencapai 93 juta orang. Sekitar 63
persen berpendidikan SD ke bawah, sekitar 33 persen menengah dan 4 persen
perguruan tinggi. Sebagai perbandingan, angkatan kerja Malaysia pada tahun 1990
sekitar 48 persen berpendidikan SD ke bawah, 48 persen menengah serta 5 persen
diploma/universitas. Dibanding Amerika Serikat, kita masih tertinggal cukup jauh.
Sebanyak 13 persen angkatan kerja pada tahun 1990 berpendidikan SLTA ke
bawah, 39 persen SLTA, 21 persen diploma/akademi dan 27 persen
sarjana/universitas (Tabel 2.2.).
Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Indonesia memang terus meningkat,
tetapi secara persentase masih sekitar 10 persen, lebih kecil dibanding dengan
negara industri baru seperti Malaysia dan Korea Selatan yang alokasi anggaran
pendidikannya rata-rata mencapai 20 persen. Demikian pula dari sudut GNP,
periode 1968-1993, pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan ternyata
secara rata-rata di bawah 2.5 persen, dibandingkan Malaysia dan Singapura
masing-masing 10 persen dan 5 persen.
Keempat, berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan
arah pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya pendidikan
semakin kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran SLTA
umum sekitar 18 persen, pada tahun 1985, disusul SLTA kejuruan 10 persen dan
sarjana 9 persen. Pada tahun 1990, tingkat pengangguran sarjana paling tinggi 10
persen setelah SLTA umum 14 persen. Menjelang milenium baru tahun 1998,
tingkat pengangguran angkatan kerja berpendidikan diploma dan universitas
mencapai 12 persen.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa di satu pihak kebutuhan tenaga kerja terampil
golongan menengah dan keahlian sarjana masih belum teratasi sementara
penawaran kelas tenaga kerja tersebut justru berlebih. Besar kemungkinan ini
28
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
disebabkan adanya gap yang serius antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Karena itu sangat mendesak perencaana tenaga kerja yang mengaitkan dunia
pendidikan dan pasar kerja.
Kelima, kurang berkembangnya informasi pasar tenaga kerja sehingga
menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja. Berdasarkan
data Sub Direktorat Informasi Pasar Kerja Departemen Tenaga Kerja, tahun 1985
sebanyak 23.35 persen lowongan kerja tidak terisi. Tahun 1990, angka ini
membengkak sampai 27.14 persen dan tahun 1997 mencapai 17 persen.
Masih adanya lowongan kerja yang tidak terisi ini besar kemungkinan disebabkan
dua hal. Pertama, kualitas penawaran tenagakerja tidak sesuai dengan spesifikasi
yang dibutuhkan. Kedua, kurang rapinya lalu lintas informasi permintaan dan
penawaran tenagakerja.
Keenam, menyangkut perkembangan di sektor formal dan informal.
Bagaimanapun juga eksistensi sektor informal tidak dapat diabaikan, bahkan dalam
kelesuan ekonomi sektor informal berfungsi sebagai "katup pengaman"
menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor informal telah
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi
nasional.
Pada tahun 1985, sektor informal memberi kontribusi terhadap kesempatan kerja
74 persen, pada 1990 berkurang menjadi 71 persen dan pada 1998 sekitar 62
persen. Pengurangan ini relatif sangat kecil. Artinya sektor informal tetap menjadi
penampung angkatan kerja dominan.
Ada beberapa permasalahan utama dalam sektor informal ini. Pertama menyangkut
kualitas sumberdaya manusia. Pada tahun 1990, 87 persen pekerja di sektor
informal berpendidikan SD ke bawah menengah 12,8 persen dan diploma/
universitas 0.2 persen. Lebih baik sedikit pada 1997, berpendidikan SD ke bawah
76,6 persen, menengah sebesar 22,7 persen dan diploma/ universitas dan 0,7
persen.
Hal lain adalah tingkat produktivitas di sektor informal lebih rendah daripada
sektor formal, sehingga pertambahan kesempatan kerja baru di sektor informal
tidak dapat meningkatkan produktivitas. Sebaliknya justru dapat menurunkan
tingkat produktivitas.
Di samping itu, kurangnya dukungan baik dari segi penataan aturan-aturan yang
seringkali merugikan sektor ini, maupun dukungan finansial dalam membuka
29
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
peluang perluasan di sektor informal menyebabkan sektor ini kurang berkembang.
Melihat masalah di atas kiranya perlu diupayakan keserasian pengembangan
kerjasama sektor formal dengan informal. Strategi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada peningkatan kualitas SDM akan banyak membantu pekerja di
sektor informal dalam memperluas pilihan usahanya.

a) Perencanaan Tenaga Kerja


Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan
instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya
perencanaan ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral antara struktur pasar
kerja, peningkatan pendidikan dan pelatihan serta instrumen kebijakan di sektor
ekonomi dan keuangan.
Pada dasarnya perencanaan tenaga kerja mengandung dua penekanan. Di satu
pihak, memuat perkiraan kebutuhan tenaga kerja untuk berbagai sektor, waktu
dan keahlian tertentu. Di pihak lain, memuat strategi, cara dan langkah-langkah
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, baik melalui sistim pendidikan maupun
melalui program-program latihan.

Tabel 2.2. :Persentase Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Indonesia Malaysia AS


1985 1990 1998 1990 1990
SD ke 82,9 78,4 63,2 70,0
SLTP 8,0 9,6 14,2 11,2
SLTA 7,8 10,2 18,4 48,3 39,4
Akademi 0,8 1,1 2,0
Universitas 0,5 0,7 2,2 5,2 26,5
Sumber: Biro Pusat Statistik, berbagai terbitan.

Manakala kita amati secara cermat kondisi ketenagakerjaan Indonesia, maka


memasuki abad ke-21, masalah-masalah struktural yang menjadi kendala utama
dalam upaya peningkatan kesempatan kerja berkisar pada kuantitas dan kualitas
angkatan kerja. Khususnya dimensi kualitas, tampaknya perlu mendapat
pembenahan serius.
Penguasaan dan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan adalah tidak terelakkan
bila Indonesia berkeinginan sejajar dengan negara-negara maju. Ini hanya

30
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
mungkin terwujud jika tenaga memiliki basis kognitif dan skill di bidang teknologi
yang memadai. Karenanya, perencanaan tenaga kerja yang didukung dengan
strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya
manusia menjadi pilihan tepat yang harus dikembangkan.

RANGKUMAN

Hukum perburuhan merupakan bagian dari KUH Perdata yang mengatur hak-hak
dan kewajiban dari perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Oleh sebab itu
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perburuhan seharus nya
merujuk pada pasal-pasal yang ada dalam KUH Perdata terutama pasal pada pasal
1601a sampai dengan pasal 1603.
Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh
program pembangunan nasional (Propenas 2000-2004 dan sejalan dengan GBHN
1999-2004) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperluas landasan
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi
kerakyatan. Indikator berhasilnya program pembangunan nasional tersebut antara
lain : pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5
persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5,1 persen, dan
menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain adalah masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah
negara-negara maju dalam menerima ekspor negara-negara berkermbang, iklim
investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang
kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia
usaha yang masih lesu .
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi, sehingga juga
memerlukan cara pemecahan yang multi-dimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan
sederhana untuk mengatasinya.

31
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN
LATIHAN

1. Jelaskan kedudukan hukum perburuhan dalam KUH Perdata ?


2. Jelaskan hakekat, arti dan sifat hukum perburuhan ?
3. Bagaimana kesempatan kerja yang ada di Indonesia periode 1970-an, dan
1980-an, serta kondisi yang terjadi pada tahun 2000-an ini ?
4. Bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja dan pengangguran ?
5. Bagaimana cara mengatasi pengangguran yang ada di Indonesia saat ini ?
6. Sebutkan dan jelaskan beberapa masalah mendasar struktural yang secara
langsung mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja ?

32
PROGRAM SP-4 JURUSAN TEKNIK SIPIL
K3&HUKUM PERBURUHAN

Anda mungkin juga menyukai