Anda di halaman 1dari 9

Penyebab Diare Pada Anak dan Derajat Dehidrasi

Ruth Vinssagita Sambo


102017090
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
ruth.2017fk090@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Diare didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar dan konsistensi feses
menjadi cair. Dikatakan diare secara praktis apabila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali
sehari dengan konsistensi cair. Diare juga merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbilitas pada masyarakat di seluruh dunia. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang
dari 14 hari, dinyatakan persisten dan kronik bila berlangsung lebih dari 2 minggu. Cuma
bedanya diare persisten dan kronik adalah diare kronik merupakan diare yang hilang timbul dan
berlangsung lama dengan penyebab non infeksi seperti sensitif terhadap gluten. Sedangkan
dehidrasi adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan cairan dalam tubuh yang dapat
dicetuskan oleh berbagai penyakit. Diare adalah penyebab dehidrasi yang paling umum.

Kata kunci: diare akut, dehidrasi, ketidakseimbangan cairan

Abstract

Diarrhea is defined as an increase in the frequency of bowel movements and the


consistency of the faeces into a liquid. Practically, diarrhea is defined when the frequency of
bowel movements more than three times a day with a consistency of liquid. Diarrhea is also one
of the leading causes of death and illness in communities around the world. Acute diarrhea is
diarrhea that lasting less than 14 days, stated persistent and chronic if lasted more than 2 weeks.
The only difference between persistent diarrhea and chronic is, diarrhae chronic is diarrhea
intermittens with non-infectious causes such as sensitive to gluten. While dehydration is a state
where there is imbalance of fluid in the body that can be triggered by various diseases. Diarrhea
is the most common cause of dehydration.

Keywords: diarrhae, dehydration, imbalance of fluid


Pendahuluan

Penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan berkait rapat dengan kebiasaan
orang yang memiliki gaya hidup yang kurang sehat sehingga daya tahan tubuh mereka menjadi
sangat lemah dan mudah terserang penyakit. Diare merupakan salah satu penyakit yang hampir
semua orang mengalaminya di waktu anak-anak. Diare didefinisikan sebagai peningkatan
frekuensi buang air besar dan konsistensi feses menjadi cair. Dikatakan diare secara praktis
apabila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi cair.1 Diare juga
merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbilitas pada masyarakat di seluruh
dunia.2 Oleh karena itu pentingnya pengetahuan akan proses terjadinya penyakit, gejala yang
ditimbulkan serta komplikasi dan pengobatannya agar prevalensi dari penyakit tersebut dapat
menurun. Tujuan makalah ini adalah untuk membahaskan dengan lebih lanjut tentang diare cair
akut dehidrasi ringan-sedang, penyebab, patogenesisnya, gejala klinik, komplikasi,
penatalaksanaannya, dan prognosisnya.

Diare

Diare adalah buang air besar (defeksi) dengan tinja berbentuk cair lebih dari tiga kali
sehari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat atau
tanpa disertai lendir dan darah. Diare akut yaitu diare yang berangsung kurang dari 15 hari.
Sedangkan menurut World Gastroenterology Orgaization global guidelines 2005, diare akut
didefinisikan sebagai tinja yang cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal,
berlangsung kurang dari 14 hari. Diare persisten merupakan istilah yang digunakan di luar negeri
yang menyatakan diare yang berlangsung 15-0 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut
(peralihan dari diare akut menuju diare kronik, dimana diare kronik yang dimaksud adalah diare
yang berlangsung lebih dari 30 hari). 1

Diare pada anak dapat disebabkan infeksi seperti virus (rotavirus, adenovirus, norwalk
virus), bakteri (Shigella sp, Salmonella sp., E. Coli, Vibrio sp. Campylobacter jejuni,), parasit
(Giardia lamblia, Entamoeba histolytica), infeksi ekstra usus. Selain itu, alergi makanan (alergi
susu sapi, protein kedelai, alergi multiple), malabsorbsi (karbohidrat, lemak, dan protein) dan
keracunan makanan.1
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat
terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik
dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus,
isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
timbul diare. Kedua, akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena
terdapat peningkatan isi rongga usus. Ketiga, gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik
akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul
diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan
yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat
masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam
lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat
toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.1,2

Awalnya anak atau bayi menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat,
nafsu makan berkurang atau tidak ada, timbul diare tinja cair mungkin mengandung darah atau
lendir, warna menjadi kehijau-hijauan tercampur empedu, anus dan sekitarnya macet karena tinja
menjadi asam. Muntah terjadi sebelum atau sesudah diare, bila banyak kehilangan air dan
elektrolit terjadilah dehidrasi, berat badan turun. Pada bayi ubun-ubun besar dan mata cekung,
tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering.1,2

Diare dapat timbul bersamaan dengan gejala sistemik seperti demam, dan nyeri
abdomen.Diare akibat virus memiliki karakteristik diare cair (watery stool), tanpa disertai darah
ataupun lendir. Penyakit diare disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enterotoksin seperti
Vibrio cholerae dan ETEC pada umumnya ditemukan demam ringan. Diare umumnya
melibatkan organ ileum dengan gejala diare cair (watery stool) tanpa adanya darah ataupun
lendir dan biasanya berlangsung selama 3-4 hari dengan frekuensi 4-5 kali buang air cair per
hari.3

Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai
dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang
dari 5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-10% dan dehidrasi berat bila
penurunan lebih dari 10%.9 Untuk lebih jelasnya lihat perbedaan tingkat dehidrasi pada tabel 2
dibawah ini.

Tabel 2. Derajat dehidrasi.1

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mencari penyebab


diare akut, yakni pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin,
hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit. Pasien yang diarenya disebabkan oleh virus, biasanya
memili jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal. Pasien dengan diare akibat bakteri
terutama pada infeksi bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan
darah putih muda. Selain itu, pemeriksaan ureum dan kreatinin untuk memeriksa adanya
kekurangan volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya
leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi bakteri atau adanya telur cacing dan
parasit dewasa.3,4
Komplikasi dapat terjadi pada anak-anak yang menderita diare dikarenakan kehilangan
cairan dan elektrolit secara mendadak saat diare. Komplikasi yang dapat terjadi termasuklah
dehidrasi, syok hipovolemik, hipokalemia, hipoglikemia, intoleransi laktosa sekunder, kejang
dan malnutrisi energi protein.

Disentri

Disentri adalah peradangan usus besar yang ditandai dengan sakit perut, nyeri dan diare
yang bercampur lendir dan darah.Penyebab disentri adalah infeksi bakteri atau amuba. Infeksi
yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler dan merupakan penyebab tersering
disentri pada anak. Shigella dilaporkan sebagai penyebab tersering disentri basiler pada anak.
Sedangkan infeksi yang disebabkan oleh amuba dikenal sebagai disentri amuba. Selain diare
berdarah, anak juga mengalami demam, nyeri perut terutama menjelang buang air besar, pada
pemeriksaan tinja rutin didapatkan jumlah leukosit dan eritrosit yang meningkat, dan pada
pemeriksaan biakan tinja dapat dijumpai kuman penyebab. Nyeri perut saat buang air besar
seringkali tidak terlihat pada anak yang usianya lebih muda karena mereka umumnya belum
dapat menggambarkan keluhan tersebut.1

Infeksi pada disentri dapat menyebar melalui tangan, makanan maupun air yang
terkontaminasi, dan biasanya terjadi pada daerah dengan kebersihan perorangan yang buruk.
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lendir, mikroabses pada dinding usus
besar dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan nekrosis selaput lendir, ulserasi
superfisial, perdarahan, pembentukan “pseudomembran” pada daerah ulkus. Ini terdiri dari
fibrin, lekosit, sisa sel, selaput lendir yang nekrotik, dan kuman. Waktu proses berkurang,
jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk jaringan parut.5

Pencegahan disentri dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, melalui
kebersihan diri dan lingkungan. Kebersihan diri dimulai dengan mencuci tangan. Tak hanya
tangan anak tetapi juga orangtua serta pengasuh. Kuman yang terdapat pada tangan yang sudah
menjamah keberbagai tempat dapat dicegah melalui cuci tangan dengan sabun.1
Anak dengan disentri bisa mengalami dehidrasi, terlebih bila tidak diimbangi dengan
asupan cairan yang cukup. Dehidrasi terjadi karena banyaknya cairan yang keluar melalui diare.
Anak dengan disentri sebaiknya diberi minum yang cukup, terutama bila mereka mengalami
demam. Infus diberikan bila anak mengalami dehidrasi berat atau sulit mendapat asupan makan
karena hilang nafsu makan. Selama anak masih mau minum dan makan dalam jumlah cukup,
infus tidak perlu diberikan. Pememberi makan cukup sulit karena hilangnya nafsu makan.
Makanan yang diberikan hendaknya dalam porsi sedikit namun sering.1,5,

Keracunan Makanan
Keracunan makanan (food poisoning) adalah sindroma yang ditandai dengan seperti pada
gastroenteritis setelah makan atau minum yang terkontaminasi bakteri, virus atau toksin yang
terjadi pada lebih dari 1 orang. Oleh karena itulah pada anamnesis sangat penting mengetahui
riwayat makanan atau minuman yang dikonsumsi anak sebelumnya. Anak-anak beresiko
mengalami keracunan makanan berkaitan dengan kebiasaan jajan tanpa memperhatikan
kebersihan makanan atau minuman yang dibeli. Onset yang mendadak, terdapat suatu sumber
bersama, muntah epidemik dan diare memberi kesan terjadinya keracunan makanan pada
seseorang.5
Gejala utama pada intoksikasi makanan adalah mual, muntah, diare (kadang bercampur
darah), nyeri perut, dehidrasi, demam, terkadang sampai syok. Pasien juga dapat mengalami
dehidrasi, karena banyak kehilangan cairan dan elektrolit lewat diare maupun muntah.7
Jika awitan muncul cepat sekitar 1/2-6 jam, maka diduga penyebabnya adalah zat kimia.
Jika muncul setelah 6-12 jam maka etiologi berasal dari racun atau zat yang toksik, dan jika
disebabkan oleh bakteri, maka biasanya timbul gejala setelah 12-48 jam, tanpa atau diertai
dengan demam.5

Pada kebanyakan kasus, keracunan makanan tidak membutuhkan pengobatan khusus.


Untuk meredakan gejala yang terjadi, Anda bisa beristirahat secukupnya dan minum banyak
cairan karena jika mengalami dehidrasi, maka gejala yang terjadi akan bertambah parah dan
masa pemulihan akan menjadi makin lama.

Orang yang rentan mengalami dehidrasi sebaiknya diberikan cairan rehidrasi oral (oralit).
Oralit berfungsi menggantikan glukosa, garam, dan mineral penting lain yang hilang akibat
muntah dan diare. Untuk sementara waktu, sebaiknya Anda menghindari makanan biasa hingga
merasa lebih baik. Anda bisa mengonsumsi makanan yang mudah dicerna seperti bubur.

Intoleransi Laktosa
Intoleransi laktosa adalah gangguan penyerapan laktosa yang disebabkan oleh karena
defisiensi enzim laktosa dalam brush border usus halus. Intoleransi laktosa adalah kondisi
seseorang yang tidak mampu mencerna laktosa, yaitu suatu bentuk gula yang berasal dari susu.
Ketidakmampuan itu dapat disebabkan kurangnya atau tidak mampunya tubuh memproduksi
lactase, yaitu enzim pencernaan yang diproduksi oleh sel-sel di usus yang bertugas memecah
gula susu menjadi bentuk yang lebih mudah diserap tubuh. Kondisi ini disebut juga dengan
defisiensi lactase (Lactase Deficiency). Intoleransi laktosa berarti bahwa tubuh tidak dapat
dengan mudah mencerna laktosa, sejenis gula alami yang ditemukan dalam susu dan produk susu
karena defisiensi enzim laktase.6
Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida, melainkan harus dihidrolisis dahulu
menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase diusus halus. Jika aktivas laktase
turun dan tidak ada, laktosa tidak diabsorpsi dan akan mencapai usus bagian distal atau kolon;
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik atau “menarik air” dan elektrolit sehingga akan
memperbesar volume didalam lumen usus. Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan menganggu penyerapan.6,7
Laktosa akan difermentasikan di jejenum, lalu diubah oleh bakteri kolon menghasilkan
asam laktat dan asam lemak rantai pendek lain seperti asam asetat, asam butirat dan asam
propionat. Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon juga menghasilkan beberapa gas seperti
hidrogen, methan dan karbondiokosida yang akan mengakibatkan distensi abdomen, nyeri perut,
dan flatus.
Feses yang dihasilkan sering mengapung karena kandungan gasnya tinggi dan juga
berbau busuk. Selanjutnya, 80% gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum dan sisanya akan
berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan melalui sistem pernapasan.6
Intoleransi laktosa dapat bersifat asimtomatis atau memperlihatkan berbagai gejala klinis.
Laktosa yang tidak tercerna akan menumpuk di usus besar dan terfermentasi, menyebabkan
gangguan pada usus. Gejala-gejala ini kadang-kadang disalah artikan sebagai gangguan saluran
pencernaan. Berat atau ringan gejala klinis yang diperlihatkan tergantung dari aktivitas laktase
didalam usus halus, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan lambung,
waktu singgah usus, flora kolon, dan sensitifitas kolon terhadap asidifikasi.
Gejala klinis yang diperlihatkan dapat berupa rasa mual, muntah, sakit perut, kembung
dan sering flatus. Rasa mual dan muntah merupakan salah satu gejala yang paling sering
ditemukan pada anak. Gejala klinis paling sering adalah rasa tidak nyaman diperut atau
abdomen, seperti diare. Pada uji toleransi laktosa rasa penuh di perut dan mual timbul dalam
waktu 30 menit, sedangkan nyeri perut, flatus dan diare timbul dalam waktu 1-2 jam setelah
mengkonsumsi larutan laktosa.6 Intoleransi laktosa bila tidak ditangani akan berakibat dehidrasi
berat karena diare yang terus-menerus, anoreksia, hipokalemia, hipoglikemia, anemia, malnutrisi
mengakibatkan bayi jadi gizi buruk.7

Alergi Susu Sapi

Alergi susu adalah reaksi hipersensitivitas akibat respon imunologis spesifik yang
berulang setiap mengonsumsi protein susu sapi atau makanan yang mengandung protein susu
sapi. Kondisi ini biasanya sering dialami anak-anak saat mulai mengonsumsi susu sapi. Namun,
bukan berarti orang dewasa tidak bisa memiliki alergi terhadap susu. Orang dewasa bisa
menderita alergi ini, yang umumnya dibawa sejak kecil, hanya saja presentase kejadiannya
tergolong rendah.7

Pada umumnya 80% kejadian alergi susu terjadi sebelum usia 16 tahun, dengan gejala
yang bervariasi berdasarkan waktu terjadi dan intensitas kemunculannya. Gejala dapat muncul
dalam hitungan menit, jam, bahkan dapat muncul setelah berhari-hari mengonsumsi susu.
Gejala-gejala alergi susu yang dapat muncul dengan segera setelah mengonsumsi susu, yaitu
gatal-gatal atau rasa seperti disengat di sekitar mulut dan bibir, bengkak pada bibir, lidah, atau
amandel, muntah, diare, dan ruam kulit. 7,8

Alergi susu disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh penderita,
yang menganggap kandungan protein dalam susu sebagai zat yang berbahaya. Peringatan ini
kemudian memicu sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi immunoglobulin E
untuk menetralkan alergen tersebut. Alergan yang terkandung pada protein susu yang menjadi
penyebab alergi adalah kasein dan whey. Proses dari tubuh untuk mempertahankan keadaan
normalnya menghasilkan pelepasan zat kimia tubuh seperti histamin yang kemudian
menyebabkan munculnya gejala-gejala alergi susu tersebut.7,8

Alergi susu biasanya akan menghilang seiring pertambahan usia anak. Namun, ada juga
yang terus memiliki alergi ini hingga mereka dewasa. Penanganan alergi susu dilakukan dengan
menghindari konsumsi susu, dan makanan atau minuman yang mengandung protein susu.

Kesimpulan

Diare yang dialami anak pada kasus diatas adalah diare akut dengan dehidrasi berat.
Terapi yang terpenting adalah pemberian rehidrasi oral sedini mungkin guna mencegah dehidrasi
lebih lanjut. Pemberian zinc dan pemberian ASI juga dapat diberikan untuk mengganti zat-zat
yang sudah banyak keluar. Dengan pelaksanaan yang tepat serta kerja sama yang baik dari orang
tua dalam menangani kasus diare akut yang disertai dehidrasi ini, prognosis dari kasus diatas
baik.

Daftar Pustaka

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Diare Akut. Pedoman Pelayanan medis Kesehatan Anak
Edisi 2011.
2. Lilihata G, Syam AF. Diare. Dalam: Chris T, dkk, editor. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4.
Jilid II. Jakarta: Salemba Raya; 2014.h.58-91.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Diare Akut. Pedoman Pelayanan medis Kesehatan Anak
Edisi 2011.
4. Guandalini S, Acute diarrhea in Essential pediatric gastroenterology, hepatology and
nutrition, The McGraw-Hill comp, 2005, p15-24
5. UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI . Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Ed ke-3.
Jakarta : Badan penerbit IDAI;2012.h.87-116,125.
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri Rudolph. Ed ke-20. Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran;2007.h.1142-4.
7. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung seto; 2005.h. 1-24
8. Markum A H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid 1. Jakarta Balai: Penerbit FKUI ; 1991
.h.448-6

Anda mungkin juga menyukai