Social Inequality Kaum Rohingya Myanmar
Social Inequality Kaum Rohingya Myanmar
Disusun Oleh:
Manusia diciptakan oleh Tuhan berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya, dan lain
sebagainya agar manusia dapat dengan mudah untuk mengenali satu sama lain. Bentuk fisik,
budaya, dan bahasa dapat dikenali dengan mudah dalam pengelompokan etnis. Etnis adalah
suatu populasi yang memiliki identitas kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan
biasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau dianggap sama. Di dunia ini, terdapat 2
kelompok etnis yaitu: etnis mayoritas dan etnis minoritas. Sampai saat ini, definisi tentang
kelompok etnis mayoritas belum dapat diterima secara universal. Sedangkan, definisi etnis
minoritas sering digunakan di berbagai negara adalah kelompok individu yang tidak dominan
dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama atau bahasa tertentu yang berbeda dari
mayoritas penduduk. Selain itu, kelompok etnis minoritas jumlah penduduknya lebih kecil
jika dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya yang berada di suatu negara. Nasib etnis
minoritas ini tidak selalu mendapatkan perlakukan yang baik di wilayah negara yang
didudukinya. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sering dialami oleh etnis minoritas
karena perbedaan etnis, keyakinan, dan warna kulit. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
merupakan setiap tindakan yang salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara
dan menimbulkan pertanggungjawaban internasional kepada negara tersebut. Pelanggaran
HAM sering kali terjadi, salah satunya di negara Myanmar.
Konflik etnis Rohingya merupakan konflik yang didasari atas perlakuan diskriminasi karena
perbedaan etnis dan agama. Etnis rohingya telah tinggal ratusan tahun di sebelah Barat
Myanmar, yaitu di negara bagian Rakhine yang tidak diakui keberadaannya oleh negara
Myanmar dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Etnis Rohingya adalah group etnis yang
sebagian besar beragama Islam yang terkonsentrasi di dua kota utara bagian Rakhine yang
sebelumnya di sebut Arakan. Pemerintah Myanmar atau masyarakat umum Myanmar
menyebut etnis Rohingya sebagai orang Bangali atau Orang Muslim. Meskipun orang
Rohingya sudah ada turun temurun di Rakhine, namun mereka dianggap pendatang gelap dari
Bangladesh. Hal ini dibantah oleh kelompok Rohingya dan beberapa sejarawan bahwa etnis
Rohingya asli bangsa Rakhine atau Arakan. Dirunut dari sejarah ketika Myanmar merdeka
dari Inggris tahun 1948, Undang-Undang kewarganegaraan Myanmar menyebutkan bahwa
etnis Rohingya tidak diakui berkewarganegaraan Myanmar, namun masih diidentifikasi
dibawah ketentuan khusus. Pada tahun 1982, etnis Rohingya benar-benar dihilangkan hak
kewarganegaraanya setelah adanya Undang-Undang kewarganegaraan yang baru.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, etnis Rohingya tidak termasuk 135 kelompok etnis di
Negara Myanmar. Sementara, Bangladesh tidak mau mengakui mereka sebagai warga negara
karena mereka berasal dari Myanmar sehingga etnis Rohingya tidak memiliki status
kewargaanegaraan.
Perlakuan buruk yang terjadi terhadap etnis rohingya sebenarnya sudah dialami sejak tahun
1962 pada saat pemerintahan presiden U Nay Win. Presiden U Nay Win membentuk operasi-
operasi hingga menyebabkan orang Rohingya terusir paksa dari negara Myanmar. Terusir
paksa melalui beberapa tindakan sistematis yang berupa: Extra Judicial Killing, penangkapan
sewenang-wenang, penyitaan property, perkosaan, propaganda anti-rohingya dan anti-
muslim, kerja paksa, pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, serta larangan
berpraktek agama. Sampai saat ini, perlakuan tersebut masih terjadi dan memuncak ketika
bulan Juni 2012, dimana penduduk dari kelompok etnis Rakhine menyerang bis dan
membunuh 10 orang muslim yang diduga oleh etnis Rakhine sebagai Rohingya yang berada
di dalam bis. Kekerasan tersebut dikarenakan berita palsu yang dituduhkan kepada tiga orang
muslim Rohingya telah memperkosa perempuan yang berasal dari kelompok etnis Rakhine.
Namun, beberapa fakta ditemukan bahwa isu tuduhan pemerkosaan itu palsu, hal itu semata-
mata untuk mencetuskan pertengkaran diantara kedua belah pihak dan menjadikan alasan
perijinan pembersihan etnis Rohingya.
Kebencian disemarakkan oleh sentimen yang di sebarkan oleh beberapa oknum di Myanmar.
Seluruh warga Myanmar sedang melakukan pembersihan etnik Rohingya dari negara mereka
dengan membunuh, membakar rumah, merobohkan masjid untuk menghalang perkembangan
etnik Rohingya. Kebencian rakyat Myanmar kepada etnik Rohingya di semarakkan melalui
kuil-kuil di sekitar Myanmar yang diketuai tokoh agama Budha terkenal di Myanmar Ashin
Wirathu. Akibat sentimen dan kebencian yang sangat kuat kepada etnik muslim Rohingya,
dia mendorong para pengikut budha untuk melakukan pembersihan etnik muslim karena dia
percaya bahwa etnik muslim dianggap berbahaya, menjadi pencuri dan perampok, serta
bertindak kriminal. Di setiap kuil, dipasang poster kejahatan-kejahatan yang pernah
dilakukan oleh etnik Rohingya sehingga dapat sebagai tontonan pengikut budha.
Pada akhir Agustus 2017 sebuah kelompok gerilyawan atau Tentara Pembebasan Rohingya
Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) menyerang pos-pos polisi Myanmar
yang menewaskan 12 petugas kepolisian Myanmar dengan dalih sebagai sikap pembelaan
terhadap warga Rohingya. Sebagai respon militer, Myanmar menggelar operasi yang
menyebakan ratusan korban warga Myanmar termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi
yang diakui militer dan pemerintah Myanmar, terdapat 393 orang yang tewas dalam
seminggu yang meliputi: 370 gerilyawan Rohingya, 13 Aparat keamanan, dua pejabat
pemerintah dan 14 warga sipil, Namun, menurut data aktivis Rakhine lebih dari 100 warga
rohingya tewas termasuk wanita dan anak-anak dibunuh dalam aksi militan tersebut.
Banyak kabar simpang siur mengenai etnis Rohingya ini, salah satu berita yang membuat
warga muslim dunia marah adalah kabar menyebutkan bahwa militer dan petinggi Budha
Myanmar ikut serta dalam pembunuhan etnis Rohingya yang menyebabkan puluhan ribu
etnis Rohingya berbondong- bondong pergi ke perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Meskipun banyak yang mengatakan aksi ini terkait dengan isu agama, namun kabar ini
dibantah oleh duta besar Indonesia di Myanmar, Ito Sumardi. Konflik kemanusiaan yang
terjadi bermula dari serangan milisi ARSA yang menyerang polisi di Rakhine State. Ada
dugaan jika kasus ini bermotif politik. Oleh karena itu, milisi ingin menguasai wilayah yang
dihuni oleh kaum Rohingya menjadi Negara sendiri. Akhirnya, etnis Rohingya yang tidak
beraviliasi dengan milisi dan penduduk disana menjadi imbasnya. Mereka harus mengungsi
untuk menyelamatkan diri karena rumah-rumah mereka dibakar untuk menangkap anggota
Arsa. Sementara anggota Arsa juga turut menganiaya penduduk Rakhine yang dianggap
bagian penduduk Myanmar. Hampir semua komunitas Muslim dan Hindu di Rakhine
menjadi korban.
Myanmar merupakan salah satu negara yang kaya minyak bumi dan gas alam, Myanmar
sebagai primadona baru yang mempunyai kekayaan minyak dan gas yang belum tergali
mencapai 10 triliun m3. Semenjak masa pemerintahan diktatir junta militer, keinginan untuk
menambah jumlah produksi minyak dan bumi terus bertambah. Disinilah tanah Rakhine
mulai masuk radar pemerintah. Rakhine yang disebut-sebut merupakan salah satu tanah kaya
mulai menjadi target ekploitasi oleh perusahaan asing. Pembukaan Rakhine sebagai sumber
ekonomi ditandai dengan pembukaan sumur yang dikelola oleh perusahaan asing dan lokal.
Proses pengambangan pipa yang dimulai tahun 2009 ini menimbulkan banyak masalah dan
salah satunya pembangunan ini menggunakan sistem kerja paksa. Konflik ini kemudian
dibungkus dengan isu etnis agama. Ketidakcocokan hubungan muslim Rohingya denhan
Budha Rakhineterus dikuliti. Kisah bentrokan mulai zaman perang dunia II, akar
kewarganegaraan, hingga agama terus disebar dan menjadi bahan bakar kebencian. Ketika isu
sara ini meningkat, ternyata Pemerintahan Myanmar terus mengeksploitasi Rakhine.
Aktivitas eksploitasi mulai tahun 2010-2013 meningkat tajam hingga 170%. Isu ini ditutupi
bahwa konflik ini semata-mata karena agama. Apapun alasannya krisis kemanusiaan ini
seharusnya tidak terjadi pada prinsipnya.
Rohingya merupakan etnis yang telah lama tinggal dan beraktifitas di Myanmar. Akan tetapi,
hal tersebut tidak menjadikan etnis ini diakui sebagai warga negara oleh Pemerintah
Myanmar. Tidak diakuinya etnis Rohingya, maka dalam Hukum Internasional etnis ini
dikategorikan sebagai Stateless Persons atau orang-orang tanpa status kewarganegaraan.
Keadaan Rohingya yang tidak memiliki status kewarganegaraan membuat Majelis Umum
PBB mengeluarkan dua resolusi mengenai kondisi kemanusiaan di Myanmar.
Myanmar merupakan Negara Anggota PBB yang tunduk terhadap segala ketentuan dalam
Piagam PBB khusunya berkaitan dengan penghormatan terhadap Hak dan martabat Manusia.
Myanmar bukanlah negara Pihak dari konvensikonvensi yang berkaitan dengan Perlindungan
terhadap stateless persons. Dalam memberikan status kewarganegaraan, Myanmar
berdasarkan Hukum Nasional nya, Yaitu Citizenship Law 1982, dimana ketentuan dalam
aturan tersebut lebih mengedapankan pemberian status kewarganegaraan berdasarkan pada
garis keturunan.
b. Pemberian Suaka
Semenjak konflik antar etnis di Myanmar terjadi, arus pengungsi oleh etnis Rohingya
semakin bertambah. Negara-negara yang berdekatan dengan Myanmar dijadikan tempat
berlindung etnis Rohingya. Negara-negara tersebut adalah Bangladesh, Thailand, Malaysia,
dan Indonesia. Negara-negara tersebut merupakan Negara Anggota PBB dan ASEAN, akan
tetapi bukanlah pihak dari Konvensi pengungsi dan 2 Konvensi Stateless. Sehingga dalam
mengatur keberadaan etnis Rohingya,negara-negara ini menggunakan Hukum Nasional nya
masing-masing. Seringkali etnis Rohingya mengalami tindakan diskriminasi berupa
kekerasan, bahkan deportase oleh Pemerintah setiap negara, dikarenakan perlakuan yang
diberikan berdasar pada ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
setiap negara.
Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar telah berlangsung pada tahun 1962.
Akan tetapi, kejahatan yang dilakukan pemerintah Myanmar tersebut belum menjadi sebuah
sorotan yang besar seperti sekarang. Kejahatan-kejahatan pada etnis rohingya bukan saja
secara fisik, melainkan dimulai dari penghapusan hak-hak kehidupan kaum Rohingya. Untuk
itu, dikategorikan menjadi dua tindakan kejahatan besar yang dilakukan pemerintahan
Myanmar pada kaum Rohingya, diantaranya;
Rome Statute of The International Criminal Court 1998 (Statuta Roma tahun 1998) Art 5
dijelaskan mengenai definisi dari pelanggaran HAM, bentuk-bentuk dari pelanggaran HAM
yang terdapat pada Statuta Roma ini berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Myanmar terhadap etnis rohingya termasuk dalam pelanggaran HAM yang
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dijelaskan
dalam art. 7 Statuta Roma. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat unsur-unsur yang
dibagi menjadi:
1. Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas
(widespread).
2. Sistematik (systematic) yang ditujukan kepada penduduk sipil.
3. Adanya pengetahuan (with knowledge).
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis rohingya berupa pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa (crimes against humanity of deportation or forcible
transfer of population). Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Crimes Against
Humanity of Deportation or forcible transfer of population) dalam pasal 7 ayat 2 huruf c
Statuta Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa berarti
pemindahan orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya
dari daerah dimana mereka tinggal secara sah tanpa diberikan alasan yang diijinkan oleh
hukum internasional.
Pasal 6 Ayat 1 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik tahun 1966 menekankan
bahwa tidak seorang pun boleh dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang, hal ini
bertolak belakang dngan perlakuan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya yaitu
dengan membunuh dan menyiksa etnis Rohingya. Pembunuhan, pengusiran, dan pemusnahan
Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang sangat dahsyat selama abad ke-20
dan ke-21. Pemusnahan (genosida) Rohingya secara sistematis ini jelas-jelas merupakan
kejahatan dan tragedi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan dunia. Kekerasan terhadap
etnis Rohingya itu adalah "pembersihan etnis" atau genosida.
Beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar terhadap etnis
Rohingya juga merupakan tindakan-tindakan pelanggaran undang-undang dan hukum
internasional. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada etnis Rohingya dapat
diselesaikan melalui bentuk pasal perjanjian-perjanjian Internasional selain Statuta Roma,
seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ICESCR), Convention on the Rights of Child (CRC), Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD). Akan tetapi, pasal-pasal pada
perjanjian tersebut tidak dapat langsung mengenai sasaran penjatuhan hukuman terhadap
Myanmar dikarenakan Myanmar tidak meratifikasi seluruh perjanjian internasional tersebut.
PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri
kekerasan yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah
Myanmar dan hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian. Jika dalam menggunakan
cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri permasalahan yang terjadi,
namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan hal ini kasus yang
terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara
melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
1. Rationae materiae : kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, seperti
yang dijelaskan dalam pasal 5-8 Statuta Roma tahun 1998. Berkaitan dengan kasus
yang terjadi bahwa yang dialami oleh etnis rohingya merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
2. Rationae personae : berdasarkan pasal 25 Statuta Roma tahun 1998, ICC hanya
mengadili individu tanpa memandang apakah ia merupakan seorang pejabat negara
dan sebagainya. Berkaitan dengan kasus yang terjadi di Myanmar maka disini yang
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan adalah individu.
3. Ratione loci : ICC dapat mengadili kasus-kasus yang terjadi di negara peserta dimana
menjadi lokasi tempat terjadinya kejahatan hal ini diatur dalam pasal 12 Statuta
Roma tahun 1998.
4. Ratione temporis : berdasarkan pada pasal 11 statuta roma tahun 1998, bahwa ICC
hanya dapat mengadili kejahatan yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002.
Berkaitan dengan kasus yang terjadi di Myanmar bahwa kejahatan yang terjadi
sesudah tanggal tersebut.
Walaupun negara Myanmar bukan negara peserta yang meratifikasi mahkamah pidana
internasional, tetapi bukan berarti kejahatan yang terjadi terhadap etnis rohingya tidak dapat
diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional. Karena semua warga negara berada dibawah
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam salah satu kondisi antara lain : kesatu,
negara dimana tempat lokasi kejadian ia telah meratifikasi perjanjian mahkamah pidana
internasional; kedua, negara tersebut telah mengakui yurisdiksi mahkamah pidana
internasional dalam dasar ad hoc; ketiga, Dewan Keamanan PBB menyampaikan kasus yang
terjadi ke mahkamah pidana internasional. Jadi, kasus tersebut dapat diadili menggunakan
ICC.
2. Peran ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Rohingya
ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara telah banyak memainkan peran
penting dalam mewujudkan proses demokratisasi bagi negara-negara anggotanya. Hal
tersebut dapat terlihat setidaknya dalam menangani kasus di Myanmar. Rezim militer yang
telah berkembang di Myanmar sejak tahun 1988 telah menimbulkan aksi protes dan menelan
korban ribuan nyawa tidak berdosa. Dunia internasional dengan keras mengutuk pemerintah
Myanmar dengan memberlakukan sederet sanksi untuk menekan pemerintah Myanmar.
Prinsip non-interference yang dijunjung ASEAN lebih menekankan pada pendekatan
diplomatik dan kekeluargaan. Pada pertemuan ASEAN ke 42 di Thailand, PM Thailand
menekankan bahwa pendekatan soft way (ASEAN way) lebih produktif daripada
memberikan sanksi kepada Myanmar. Pendekatan ASEAN way lebih menitikberatkan pada
proses meyakinkan pemerintah berkuasa Myanmar bahwa ASEAN akan terus mendukung
langkah-langkah strategis yang dibutuhkan untuk menekan angka kekerasan yang terjadi di
Myanmar. ASEAN sendiri lebih menempatkan diri sebagai arena/forum untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang terjadi dan bukan sebagai aktor utama yang berhak melakukan
tindakan kepada negara anggotanya. Salah satu upaya ASEAN adalah menggelar The
ASEAN Inter- Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), komisi khusus yang dibentuk
untuk menangani isu Myanmar. Pada pertemuan di Bali, AIPMC menghimbau Presiden
Myanmar Thein Sein untuk melanjutkan tugasnya memajukan proses demokratisasi dan
penegakan Hak Asasi Manusia di Myanmar. “Myanmar harus mengambil langkah-langkah
konkret dan maju menuju perundingan damai dengan kelompok-kelompok etnis yang
bersenjata sebagai prasyarat untuk kemajuan demokrasi" bunyi pers release pertemuan pada
29 November 2011 tersebut. Prinsip non-interference yang diterapkan ASEAN selama ini
telah menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkat stabilitas
dan perdamaian terbaik dibandingkan kawasan negara berkembang lainnya. ASEAN selain
sebagai penggerak utama pertumbuhan politik di kawasan, juga mampu menciptakan
partisipasi yang aktif dan rasa saling memiliki seluruh anggota
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Fatma Arya. 2015. Kebijakan Indonesia dalam membantu Penyelesaian Konflik
Antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar. Journal of International
Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal. 22-28
Fernandes, Inggrit. 2017. Telaah Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Etnis Rohingya
Berdasarkan Hukum Internasional. Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Islam Indragiri.
Susanti, Aviantina. 2014. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis
Rohingya di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional [Thesis]
Triono. 2014. Peran ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs
Vol.10 No.2 Juli-Desember 2014
Wanandi, Gita., dkk. 2013. Perlakuan Diskriminasi Terhadap Etnis Rohingya Oleh Myanmar
Dalam Perspektif Hukum Internasional. Jurnal Program Kekhususan Hukum
Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Wisudawan, Addi. 2017. Berita Harian Kompas; Rohingya Dalam Kacamata Hukum
Internasional.[Online] Tersedia;
https://www.kompasiana.com/i.addi_wisudawan/59c2173db9a42c30e664aac2/rohingr
o-dalam-kacamata-hukum-internasional