Anda di halaman 1dari 43

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang 1) Konsep dasar ROM, 2) Konsep

dasar Diabetes Melitus, 3) Konsep dasar penyembuhan Ulkus diabetik, 4)

Kerangka konsep, 5) Hipotesis penelitian.

2.1 Konsep ROM

2.1.1 Pengertian ROM

Menurut Potter & Perry (2005), ROM adalah latihan yang dilakukan

untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa

otot dan tonus otot. ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan

terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-

masing persendianya sesuai gerakan normal baik secara aktif maupun pasif

(Yusiko, 2010).

2.1.2 Jenis ROM

1) ROM aktif: Menurut Yusiko (2010), ROM aktif adalah dimana perawat

memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan

sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif),

kekuatan otot 75%. ROM merupakan latihan gerak isotonik (terjadi kontraksi dan

pergerakan otot) yang dilakukan kien dengan menggerakan masing-masing

persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal (Kusyati, 2006).


8

2) ROM Pasif: Menurut Yusiko (2010), ROM pasif adalah dimana perawat

melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal

(klien pasif), kekuatan otot 50%. ROM merupakan latihan pergerakan perawat

atau petugas lain yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang

geraknya (Kusyati, 2006).

2.1.3 Tujuan ROM

Menurut Kusyati (2006), tujuan ROM adalah:

1) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot

2) Mempertahankan fungsi kardiorespirasi

3) Mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian

2.1.4 Prosedur Pelaksanaan

Menurut Kusyati (2006), tujuan ROM adalah:

1. Prosedur umum

1) Cuci tangan

2) Jaga prifasi klien dengan menutup pintu atau sketsel

3) Beri penjelasan pada klien mengenai apa yang akan anda kerjakan dan

minta klien untuk dapat bekerja sama.

4) Atur ketinggian tempat tidur yang sesuai agar memudahkan perawat dalam

bekerja sama.

5) Posisikan klien dengan posisi supinasi dekat dengan perawat dan buka

bagian tubuh yang akan digerakkan.

6) Rapatkan kedua kaki dan letakkan kedua lengan pada masing-masing sisi

tubuh.
9

7) Kembalikan pada posisi awal setelah masing-masing gerakan diulangi

tiga kali.

8) Selama latihan pergerakan kaji:

1) Kemampuan untuk menoleransi gerakan

2) Rentang gerak (ROM) dari masing-masing persendian yang

bersangkutan.

9) Setelah latihan pergerakan kaji denyut nadi dan ketahanan tubuh terhadap

latihan.

10) Catat dan laporkan setiap masalah yang tidak diharapakan atau perubahan

pada pergerakan klien.

2. Prosedur Khusus

1). Gerakan Bahu

(1) Mulai masing-masing gerakan dari lengan disisi klien, pegang lengan

di bawah siku dengan tangan kiri perawat dan pegang pergelangan

tangan klien dengan tangan kanan perawat.

(2) Fleksi dan ekstensikan bahu, gerakkan lengan keatas menuju kepala

tempat tidur kembalikan keposisi sebelumnya.

(3) Abduksikan bahu, gerakkan lengan menjahui tubuh dan menuju

kepala klien sampai tangan diatas kepala.


10

(4) Adduksikan bahu, gerakkan lengan klien keatas tubuhnya sampai

tangan yang bersangkutan menyentuh tangan pada sisi yang

disebelahnya.

(5) Rotasikan bahu internal dan eksternal, dengan cara letakkan lengan

disamping tubuh klien sejajar dengan bahu ,siku membentuk sudut 900

dengan kasur kemudian gerakkan lengan kebawah hingga telapak

tangan menyentuh kasur, kemudian gerakkan keatas hingga punggung

tangan menyentuh tempat tidur.

2). Gerakan Siku

(1) Fleksi dan ekstensikan siku dengan cara, bengkokkan siku hingga jari-

jari tangan menyentuh dagu kemudian luruskan kembali ketempat

semula.

(2) Pronasi dan supinasikan siku dengan cara, genggam tangan klien

seperti orang yang sedang berjabat tangan kemudian putar telapak

tangan klien kebawah dan keatas,pastikan hanya terjadi pergerakan

siku, bukan bahu.


11

3). Gerakan Pergelangan Tangan

(1) Fleksi pergelangan tangan dengan cara, genggam telapak dengan satu

tangan, tangan yang lainya menyangga lengan bawah kemudian

bengkokkan pergelangan tangan ke depan.

(2) Ekstensi pergelangan tangan, dari posisi fleksi, tegakkan kembali

pergelangan tangan keposisi semula.

(3) Fleksi radial/ radial deviation (abduksi), bengkokkan pergelangan

tangan secara lateral menuju ibu jari.

(4) Fleksi ulnar, bengkokkan pergelangan tangan secara lateral kearah jari

kelima.

4). Gerakan jari-jari tangan

1) Fleksi, bengkokkan jari-jari tangan dan ibu jari kearah telapak tangan

(tangan menggenggam).
12

2) Ekstensi dari posisi fleksi, kembalikan ke posisi semula (buka

genggaman tangan).

3) Hiperektensi, bengkokkan jari-jari tangan kebelakang sejauh mungkin.

4) Abduksi, buka dan pisahkan jari-jari tangan

5) Adduksi,dari posisi abduksi kembalikan keposisi semula.

6) Oposisi, sentuhkan masing-masing jari tangan dengan ibu jari.

5). Gerakan pinggul dan lutut

1) Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul dengan cara, angkat kaki dan

bengkokkan lutut ,gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin

kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki sampai

pada kasur.
13

2) Abduksikan dan adduksikan kaki dengan cara menggerakkan kaki ke

samping klien kemudian kembalikan melintas di atas kaki yang lainya.

3) Rotasikan pinggul internal dan eksternal, putar kaki kedalam,

kemudian kaki yang lainya.

6). Gerakan telapak kaki dan pergelangan kaki.

1) Dorsofleksikan telapak kaki dengan cara letakkan satu tangan dibawah

tumit kemudian tekan kaki klien dengan lengan anda untuk

menggerakkanya kearah kaki.

2) Fleksi plantar telapak kaki dengan cara letakkan satu tangan pada

punggung dan tangan yang lainya berada pada tumit kemudian dorong

telapak kaki menjauh dari kaki.


14

3) Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki.

4) Inversi dan eversi telapak kaki kemudian letakkan satu tangan di

bawah tumit, dan tangan yang lainya di atas dagu klien kemudian putar

telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.

7). Gerakan leher

1) Fleksi dan ekstensi leher dengan cara letakkan satu tangan di bawah

kepala klien, dan tangan yang lainya diatas dagu klien kemudian

gerakkan kepala ke posisi semula tanpa disangga oleh bantal

2) Fleksi lateral leher dengan cara, letakkan kedua tangan pada pipi klien

kemudian gerakkan kepala klien kearah kanan dan kiri.

8). Gerakan hiperekstensi

1) Hiperekstensi leher kemudian letakan satu tangan diatas dahi, tangan

yang lainya pada kepala bagian belakang kemudian gerakan kepala ke

belakang

2) Hiperektensi bahu dengan cara, letakan satu tangan diatas bahu klien

dan tangan yang lainya dibawah siku klien kemudian tarik lengan atas

ke atas dan ke belakang.


15

Hiperektensi pinggul dengan cara, letakan satu tangan diatas pinggul,

tangan yang lainya menyangga kaki bagian bawah kemudian gerakan kaki ke

belakang dari persendian pinggul.


2.1.5 Sasaran
Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang, dasar berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang telah dewasa akan lebih dipercaya dari orang

yang belum cukup kedewasaannya. Dengan bertambahnya umur tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan

bekerja. Makin tua umur seseorang makin konstruktif dalam menggunakan

koping terhadap masalah yang dihadapi (Pariani, 2001). Orang tua akan lebih

termotivasi untuk melakukan senam kaki, karena pada umumnya orang tua

memiliki pemikiran yang lebih efektif kerena ingin cepat sembuh.


Pendidikan juga berpengaruh terhadap pelaksanaan ROM. (Morison ,

2004) menyatakan bahwa buruknya pemahaman dan penerimaan terhadap

program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan perubahan pada

pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image.

2.1.6 Hal yang di Evaluasi Setelah Tindakan


16

Setelah malakukan ROM pasif evaluasi pasien apakah pasien dapat

menyebutkan kembali pengertian ROM, dapat menyebutkan kembali 2 dari 3

tujuan ROM, sehingga penyembuhan luka dapat segera cepat teratasi.


2.1.7 Dokumentasi Tindakan
Perhatikan respon pasien setelah melakukan ROM pasif. Lihat

tindakan yang dilakukan klien apakah sesuai atau tidak dengan prosedur, dan

perhatika tingkat kemampuan klien melakukan ROM pasif (Akhtyo, 2004).


2.1.8 Sirkulasi darah pada kaki pasien Diabetes Melitus

Sirkulasi darah adalah aliran darah yang dipompakan jantung ke

pembuluh darah dan dialirkan oleh arteri ke seluruh organ-organ tubuh

(Hayens, 2003) salah satunya pada organ kaki. Normal sirkulasi darah pada

kaki menurut (Vowden, 2001) adalah 1,0 yang diperoleh dari rumus ABPI(An

ankle Brachial Pressure Index). Sedangkan keadaan yang tidak normal dapat

diperoleh bila nilai APBI < 0,9 diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki,

APBI > 0,5 dan < 0,9 pasien perlu perawatan tindak lanjut, dan APBI < 0,5

diindikasikan kaki sudah mengalami kaki nekrotik, gangren, ulkus, borok

yang perlu penanganan dokter ahli bedah Vaskular.

Dasar terjadinya luka atau kelainan pada kaki pasien penderita

diabetes adalah adanya suatu kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah

dan kemudian adanya infeksi. Dari ketiga hal tersebut, yang paling berperan

adalah kelainan pada saraf, sedangkan kelainan pembuluh darah lebih

berperan nyata pada penyembuhan luka sehingga menentukan nasib kaki.

Keadaan kelainan saraf dapat mengenai saraf sensorik, saraf motorik, dan

saraf otonom (Prabowo, 2007).


17

Bila mengenai saraf sensoris akan terjadi hilang rasa yang

menyebabkan penderita tidak dapat merasakan rangsang nyeri sehingga

kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsang dari luar.

Akibatnya, kaki lebih rentan terhadap luka meskipun terhadap benturan kecil.

Bila sudah terjadi luka, akan memudahkan kuman masuk yang menyebabkan

infeksi. Bila infeksi ini tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut

menjadi pembusukan (gangren) bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).

Gangguan pada serabut saraf motorik (serabut saraf yang menuju otot)

dapat mengakibatkan pengecilan atrofi otot interosseus pada kaki. Akibat

lanjut dari keadaan ini terjadi ketidakseimbangan otot kaki, terjadi perubahan

bentuk deformitas pada kaki seperti jari menekuk cock up toes, bergesernya

sendi luksasi pada sendi kaki depan metatarsofalangeal dan terjadi penipisan

bantalan lemak di bawah daerah pangkal jari kaki kaput metatarsal. Hal ini

menyebabkan adanya perluasan daerah yang mengalami penekanan, terutama

di bawah kaput metatarsal (Prabowo, 2007).

Selain itu, terjadi perubahan daya membesar-mengecil pembuluh

darah vasodilatasi-vasokonstriksi di daerah tungkai bawah, akibatnya sendi

menjadi kaku. Keadaan lebih lanjut terjadi perubahan bentuk kaki Charchot,

yang menyebabkan perubahan daerah tekanan kaki yang baru dan berisiko

terjadinya luka (Prabowo, 2007).

Kelainan pembuluh darah berakibat tersumbatnya pembuluh darah

sehingga menghambat aliran darah, mengganggu suplai oksigen, bahan

makanan atau obat antibiotika yang dapat menggagu proses penyembuhan


18

luka. Bila pengobatan infeksi ini tidak sempurna dapat menyebabkan

pembusukan gangren. Gangren yang luas dapat pula terjadi akibat sumbatan

pembuluh darah yang luas sehingga kemungkinannya dilakukan amputasi

kaki di atas lutut(Prabowo, 2007).

Dari beberapa kasus di atas pasien Diabetes Melitus perlu melakukan

senam ini untuk membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki,

memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah

terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha,

dan mengatasi keterbatasan gerak sendi.

Peran kita sebagai perawat adalah membimbing pasien untuk

melakukan ROM agar pasien dapat melakukan ROM secara mandiri.


2.2 Konsep Dasar Diabetes Mellitus (DM)
2.2.1 Pengertian

Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang berarti “mengalir

terus” dan mellitus yang berarti “manis”. Disebut diabetes karena selalu

minum dan dalam jumlah yang banyak (polidipsia) yang kemudian mengalir

terus berupa urine. Disebut DM karena urine penderita mengandung

glukosa/manis ( Askandar, 2004).

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya

toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka

ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan

penyakit vascular mikroangiopati, dan neuropati (Sylvia Anderson, 2005).


19

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kronis metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein. Insufisiensi relatif atau absolut dalam respon

sekretorik insulin, yang diterjemahkan menjadi gangguan pamakaian

karbohidrat (Robbins, 2007).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan

terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan

oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensivitas jaringan terhadap

insulin (Guyton, 2007).

2.2.2 Etiologi
Menurut Smeltzer (2001), faktor-faktor predisposisi terjadinya antara

lain:
1. Faktor genetik:

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi

suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes.

Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe

antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan

gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun

lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien berkulit putih (caucasian) dengan

diabetes memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Risiko

terjadi diabetes meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang

memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat

sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memilki tipe HLA DR3

maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).

1) Faktor imunologi
20

Pada penderita diabetes terdapat bukti adanya suatu respon autoimun.

Respon ini merupkan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-

sel pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat

diagnosis dan bahakan beberapa tahun sebelum tmbulnya tanda-tanda klinis.

2) Faktor lingkungan

Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor

eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagi contoh, hasil

penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat

memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

3) Usia

Dengan bertambahnya umur, resistensi insulin cenderung meningkat.

Timbulnya resistensi insulin disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:

1. Penurunan jumlah masa otot dari 19% menjadi 12 % dan peningkatan jumlah

jaringan lemak dari 14% menjadi 30%, mengakibatkan menurunnya jumlah

serta sensitivitas reseptor insulin.


2. Turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor

insulin yang siap berikatan dengan insulin.


3. Perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya

gigi geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat.


4. Perubahan neuro-hormonal, khususnya insulin-like growth factor (IGF-1) dan

dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Perubahan hormon ini akan

mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivitas

reseptor insulin serta aksi insulin.


21

4) Obesitas

Pada kegemukan dan kehamilan sensitivitas insulin jaringan sasaran

yaitu lemak dan otot menurun (walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar

insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi resistensi insulin

tersebut. Obesitas maupun kegemukan dapat menyebabkan meningkatnya

resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak dapat dikompensasi dengan

meningkatkan produksi insulin. Karena itu obesitas adalah salah satu factor

risiko yang penting dalam pathogenesis diabetes tipe II. (Robbins, 2007)

5) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga berpengaruh pada terjadinya Diabetes Melitus.

Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga mengidap (apalagi kalau kedua

orang tuanya mengidap jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap

daripada orang normal). (Sidartawan, 2004)

6) Kelompok etnis

Kelompok etnis di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta

penduduk asli Amerika tetentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

terjadinya diabetes tipe II dibandinakan dengan golongan Afro-Amerika

2.2.3 Manifestasi Klinis

Menurut Sidartawan Soeganda (2004), beberapa tanda dan gejala yang

perlu mendapat perhatian adalah :

1. Keluhan Klasik
1) Banyak kencing (poliuri)
22

Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak

kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat

mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.

2) Banyak minum (polidipsi)

Rasa haus amat sering dialami penderita karena banyaknya cairan yang

keluar melalui kencing.

3) Banyak makan (polifagi)

Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa

dalam darah tidak seluruhnya dimanfaatkan, sehingga penderita selalu merasa

lapar.

4) Penurunan berat badan dan merasa lemah

Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus

menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah disebabkan karena glukosa dalam

darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar

untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga

diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita

kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

2. Keluhan Lain
1) Gangguan saraf tepi / kesemutan
Penderita mengeluh kesemutan terutama pada kaki di waktu malam
2) Gangguan penglihatan
Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang

mendoronng penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar

dapat tetap melihat dengan baik.


3) Gatal /bisul
23

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah

lipatan kulit seperti ketiak dan payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya

bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang

sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.


4) Gangguan ereksi
Gangguan ereksi ini manjadi masalah yang tersembunyi karena tidak

dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang

masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut

kemampuan atau kejantanan seseorang.


5) Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan

dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gajala yang dirasakan.


2.2.4 Patofisiologi

Menurut smeltzer (2001), Pada diabetes tipe I terdapat

ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pancreas

telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat

produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang

berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam

darah yang menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa

tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di

ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan

elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai

akibatnya, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuri) dan

rasa haus (polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme


24

protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat

mengalami peningkatan nafsu makan (polifagi) akibat menurunnya simpanan

kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan

glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada

penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih

lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi

pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatkan produksi badan keton

yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan

asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila jumlahnya

berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan

tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi,

napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan

kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan

elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan

metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis.

Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang sering

merupakan komponen terapi yang penting.

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berpengaruh

dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu


25

rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin

pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan

demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan

glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resitensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi

insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat

yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak

mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar

glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat

untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang

menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes

tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat

menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindroma hiperglikemik

hiperosmoler nonketotik (HHNK).

2.2.5 Klasifikasi

Menurut Guyton (2007), terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus,

yaitu :

1) DM Tipe I
26

Kerusakan sel beta pancreas atau penyakit-penyakit yang mengganggu

produksi insulin dapat menyebabkan timbulnya Diabetes Melitus tipe I.

Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta

pancreas pada banyak pasien Diabetes Melitus tipe I, meskipun faktor

herediter juga berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta

terhadap gangguan tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor

herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya

infeksi virus atau kelainan autoimun.

Onset Diabetes Melitus tipe I biasanya dimulai pada umur sekitar 14

tahun, oleh sebab itu diabetes ini sering disebut Diabetes Melitus juvenils.

Diabetes Melitus tipe I dapat timbul tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau

minggu, dengan tiga gejala sisa yang utama: naiknya kadar glukosa darah,

peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi dan untuk

pembentukan kolesterol oleh hati, dan berkurangnya protein dalam jaringan

tubuh.

2) DM Tipe II

Diabetes melitus tipe II lebih sering dijumpai dari Diabetes Melitus

tipe I, dan kira-kira ditemukan sebanyak 90 persen dari seluruh kasus . Pada

kebanyakan kasus, onset Diabetes Melitus tipe II terjadi di atas umur 30

tahun, sering kali di antara umur 50 dan 60 tahun, dan penyakit ini timbul

secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, sindrom ini sering disebut sebagai

diabetes onset dewasa. Akan tetapi, akhir-akhir ini dijumpai peningkatan

kasus yang terjadi pada individu yang lebih muda, sebagian berusia kurang
27

dari 20 tahun dengan Diabetes Melitus tipe II. Trend tersebut agaknya

berkaitan terutama dengan peningkatan prevalensi obesitas, yaitu faktor

resiko terpenting untuk Diabetes Melitus tipe II.

Diabetes Melitus tipe II berbeda dengan Diabetes Melitus tipe I,

dikaitkan dengan peningkatan insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini

terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pancreas terhadap penurunan

sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi

yang dikenal sebagai resistensi nsulin. Penurunan sensitivitas insulin

mengganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat, yang akan

meningkatkan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi.

2.2.6 Diagnosis

Menurut Guyton (2007). diagnosis harus didasarkan atas pemeriksaan

kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar glukosuria

saja. Dalam menentukan diagnosis harus diperhatikan asal bahan darah yang

diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Pemeriksaan yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah

plasma vena. Pemeriksaan gukosa darah seyogyanya dilakukan di

laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan

kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi

setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun

kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda


28

sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pemantauan dapat

diperiksa glukosa darah kapiler.

Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan diagnosis
Diabetes Melitus Menurut WHO

Bukan Belum pasti


Diabetes
diabetes diabetes
melitus
melitus mellitus

Plasma vena < 110 110-199 ≥ 200


Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-125 ≥126


spuasa (mg/dl) Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Diagnosis klinis umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas

berupa poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk

patokan diagnosis, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja

abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan

pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik

kadar glukosa darah puasa maupun kadar glukosa darah sewaktu pada hari

yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar

glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl.

Cara Pelaksanaan TTGO :


29

1) Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup).

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan


2) Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum

air putih diperbolehkan


3) Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
5) Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
6) Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok

Kriteria diagnostik dan gangguan toleransi glukosa

1) Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau


2) Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl
3) Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75

gram pada TTGO

Keluhan klinis
diabetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)


(-)

GDP ≥ 126 < 126 GDP ≥ 126 110-125


<110
GDS ≥ 200 < 200 GDS ≥ 200 110-199

Ulang GDS atau GDP

GDP ≥126 < 126 TTGO

GDS ≥ 200 < 200 GD 2 jam


30

≥ 200 140-199 <140

Diabetes Melitus TGT GDPT Normal

Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnosis diabetes melitus dan gangguan


toleransi glukosa

GDP = Glukosa Darah Puasa

GDS = Glukosa Darah Sewaktu

GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

2.2.7 Terapi

Menurut Smeltzer, (2001), tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes

adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi

hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima

komponen dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu:

1) Penatalaksanaan diet

Diet dan pengaturan berat badan merupakan dasar dari

penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes

diarahkan untuk mencapai tujuan berikut:

1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)


2. Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal
3. Memenuhi kebutuhan energi
31

4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang

aman dan praktis


5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.

2) Latihan jasmani

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena

efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko

kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh lukosa darah dengan meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan

juga akan merubah kadar lemak darah, yaitu meningkatkan kadar HDL-

kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida.

Meskipun demikian, penderita diabetes dengan kadar glukosa darah

lebih dari 250 mg/dl dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh

melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urin memperlihatkan hasil

negative dan kadar glukosa darah telah mendekati normal. Latihan dengan

kadar glukosa darah tinggi akan meningkatkan sekresi glucagon, growth

hormone, dan katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas

lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

3) Pemantauan kadar glukosa darah

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri

(SMBG: self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat

mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal.


32

Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia dan

hipergikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal

yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.

4) Pemakaian obat hipoglikemi

Kegagalan pengendalian glikemia pada setelah melakukan perubahan

gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah

terjadinya komplikasi diabetes atau paling tidak dapat menghambatnya.

Menurut Sudoyo (2006), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

memilih obat hipoglikemi oral antara lain:

1. Dosis harus selalu dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan

secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping

obat-obatan tersebut.
3. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya

interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemi oral, usahakan

menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.
5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
5) Edukasi atau penyuluhan

Pada dasarnya tujuan penyuluhan pada diabetes adalah perawatan

mandiri sehingga seakan-akan pasien menjadi dokternya sendiri dan juga

mengetahui kapan dia harus pergi ke dokter untuk mendapatkan pengarahan

yang lebih lanjut. Dengan demikian dapat dikatakan penyuluhan diabetes

adalah suatu proses pemberian pengetahuan dan ketrampilan bagi penderita


33

diabetes, yang diperlukan untuk dapat merawat diri sendiri, mengatasi krisis,

serta mengubah gaya hidupnya agar dapat menangani penyakit diabetes

dengan sukses (Sidartawan, 2004).

2.2.8 Komplikasi
1. Komplikasi Akut

Menurut Smeltzer (2001), ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang

penting dan berpengaruh dengan gangguan keseimbangan glukosa darah.

Ketiga komplikasi tersebut adalah:

1) Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun di bawah 60

hingga 50 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau

preparat oral yang berlebih, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau

karena aktivitas fisik yang berat.


2) Ketoasidosis diabetik
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya atau tidak

cukupnya jumlah insulin yang nyata. Akibat defisiensi insulin adalah

pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.

Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada

ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai

akibat dari kekurangan insulin. Badan keton bersifat asam, dan bila

menumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis

metabolik.

3) HHNK (hiperglikemik hiperosmoler nonketotik)


Sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik merupakan keadaan

yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai


34

perubahan tingkat kesadaran (sense of awareness). Pada saat yang sama tidak

ada atau terjadi ketoasidosis ringan. Keadaan hiperglikemia persisten

menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan

elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan

berpindah dari ruang intrasel ke dalam ekstrasel. Dengan adanya glukosuria

dan dehidrasi, akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan

osmolaritas.
2. Komplikasi Jangka Panjang

Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem

organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis yang lazim digunakan adalah:

1) Komplikasi makrovaskuler
Berbagai tipe komplikasi makrovaskuler dapat terjadi, tergantung

pada lokasi lesi aterosklerotik


a) Penyakit arteri koroner
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh arteri koroner

menyebabkan peningkatan insiden infark miokard pada penderita diabetes.

Salah satu ciri unik pada penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien

diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Pasien mungkin

tidak memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah koroner dan

dapat mengalami infark miokard asimtomatik, dimana keluhan sakit dada

tidak dialaminya. Infark miokard asimtomatik ini hanya dijumpai melalui

pemeriksaan elektrokardiogram. Kurangnya gejala iskemik ini disebabkan

oleh neuropati otonom.


b) Penyakit serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau

pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang


35

kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah

serebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = transient

ischemic attack) dan stroke.


c) Penyakit vaskuler perifer
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada

ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden (dua atau tiga

kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien-pasien nondiabetes) penyakit

oklusif arteri perifer pada pasien diabetes. Tanda dan gejala penyakit vaskuler

perifer dapat berupa berkurangnya denyut nadi dan klaudikasio intermiten

(nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri

yang parah pada ekstrimitas bawah ini merupakan penyebab utama

meningkatnya insiden gangren.


2) Komplikasi mikrovaskuler
a) Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan

oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata.

Retina merupakan bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan

informasi tentang bayangan tersebut ke otak. Retina mengandung banyak

sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena

yang kecil, arteriol, venula, dan kapiler.


b) Komplikasi oftalmologi yang lain
a. Katarak
Opasitas lensa mata, katarak terjadi di usia yang lebih muda pada

pasien-pasien diabetes.
b. Perubahan lensa
Lensa mata dapat membengkak ketika kadar glukosa darah naik.

Pengendalaian kadar glukosa darah memerlukan waktu sampai 2 bulan


36

sampai pembengkakan hiperglikemia mereda dan penglihatan menjadi stabil

kembali.
c. Kelumpuhan otot ekstraokuler
Kelumpuhan ini dapat terjadi akibat neuropati diabetik. Kelainan yang

mengenai berbagai nervus kranialis untuk gerakan bola mata dapat

menimbulkan diplopia. Biasanya keadaan ini sembuh spontan.


d. Glaukoma
Glaukoma dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada

populasi diabetik.
c) Nefropati
Bukti menunjukkan bahwa setelah terjadi diabetes, khususnya bila

kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan

mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin.

Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat.

Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk

terjadinya nefropati.
3) Neuropati diabetes

Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang

menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom,

dan spinal. Penebalan membran basalis kapiler dan penutupan kapiler dapat

dijumpai. Disamping itu terdapat demielinisasi saraf yang diperkirakan

berpengaruh dengan hiperglikemia. Hantaran saraf akan terganggu apabila

terdapat kelainan pada selubung mielin.

2.3 Konsep Dasar Penyembuhan Ulkus diabetik


2.3.1 Pengertian
Gangren adalah matinya sel dan jaringan tubuh. Ini dapat terjadi di

bagian tubuh manapun, tetapi biasanya berefek pada kuku kaki dan jari-jari

(Fox, 2010).
37

2.3.2 Etiologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ulkus diabetik Pada

penderita Diabetes Mellitus Menurut Smeltzer (2001):

1) Genetik

Genetik seperti tipe HLA tertentu pada penderita diabetes, walaupun

dengan kadar gula darah rendah, sudah cukup untuk menimbulkan mikro

angiopathy diabetik yang luas serta memacu timbulnya mikro trombus yang

akhirnya menyumbat pembuluh darah (Smiltzer, 2001).

2) Kepatuhan Diet

Kepatuhan diet DM merupakan upayah yang sangat penting dalam

pengendalian gula darah, kolestrol, dan trigliserida mendekati normal

sehingga dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus diabetik.

Kepatuhan diet DM mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu

mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan

diastolik,menurunkan kadar gula darah, memperbaiki profil lipid,

meningkatkan sensitivitas respon insulin dan memperbaiki sistem koagulasi

darah, (Hastuti, 2008).

3) Angiopati

Adanya angiopati tersebut tersebut akan menyebabkan terjadinya

penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik sehingga menyebabkan

terjadinya luka yang sukar sembuh, (Levin, 1993).

4) Neuropati
38

Kelainan saraf akibat DM karena tinggi kadar dalam darah yang dapat

merusak urat saraf penderita dan menurunya rasa nyeri pada kaki, sehingga

apabila penderita mengalami trauma kadang tidak dirasakan (Sudoyo, 2006).

5) Trauma

Rangkaian yang paling khas dalam proses terjadinya ulkus diabetik

pada kaki dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki atau didaerah kulit

kering, atau pembentukan sebuah kalus (Smiltzer, 2001).

6) Infeksi

Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus diabetic

akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan

infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus diabetik (Askandar, 2001).

7) Obat

Penggunaan obat anti diabetik (OAD) salah satu cara untuk

mencegah terjadinya koplikasi dari DM, seperti ulkus diabetik (Smiltzzer,

2001).

2.3.3 Manifestasi Klinis

Kaki diabetik disebut juga gangren panas. Karena walaupun

nekrosis, daerah akral tampak merah dan terasa hangat akibat peradangan.

Biasanya pulsasi arteri di bagian distal masih tetap teraba. Pada iskhemik

ringan, akan terlihat gejala klaudikasio intermiten sewaktu berjalan atau


39

apabila di bagian distal dari kelainan vaskuler tersebut luka maka proses

penyembuhannya berlangsung lama (Jusi, 2003).

Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung

secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine di

bagi menjadi stadium sebagai berikut (Wijoseno, 2004).

1) Asimtomatis atau gejala tidak khas dengan hanya berupa kesemutan ringan.

2) Klaudikadio intermiten (Jarak tempuh jadi lebih pendek), nyeri saat

istirahat.

Secara praktis gambaran klinik kaki diabetik dapat digolongkan

sebagai berikut :

1) Kaki neuropati

Pada keadaan ini terjadi kerusakan saraf somatik, baik sensoris

maupun motorik serta saraf otonom, tetapi sirkulasi masih utuh. Neuropati

menghambat impul rangsangan dan memutus jaringan komunikasi dalam

tubuh. Neuropati sensoris memberikan gejala berupa keluhan kaki

kesemutan dan kurang rasa terutama di daerah ujung kaki. Neuropati

motorik ditandai dengan kelemahan otot, atropi otot, mudah lelah,

deformitas ibu jari dan sulit mengatur keseimbangan tubuh. Pada kaki

neuropati kaki masih teraba hangat, denyut nadi teraba, reflek fisiologi

menurun dan kulit jadi kering. Bila terjadi luka, sembuhnya lama ( Soetjahjo,

2004)

2) Kaki iskhemia
40

Ditandai dengan berkurangnya suplai darah. Namun pada keadaan

ini sudah ada kelainan neuropati pada berbagai stadium. Pasien mengeluh

nyeri tungkai bila berdiri, berjalan atau saat melaksanakan aktivitas fisik

lain. Kesakitan juga dapat terjadi pada arkus pedis saat istirahat atau malam

hari. Pada pemeriksaan terlihat perobahan warna kulit jadi pucat, tipis dan

berkilat atau warna kebiruan. Kaki teraba dingin dan nadi poplitea atau

tibialis posterior sulit di raba. Dapat ditemukan ulkus akibat tekanan lokal.

Ulkusnya sukar sembuh dan akhirnya menjadi ganggren (Soetjahjo, 2004).

Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik menurut

Wagner di bagi atas 6 derajat, yaitu (Soetjahjo, 2004)

1) Derajat 0 (kulit utuh tapi kelainan bentuk kaki akibat neuropati)

2) Derajat I (ulkus superfisial terbatas pada kulit)

3) Derajat II (ulkus dalam menembus tendon /tulang)

4) Derajat III (ulkus dengan atau tanpa osteomielitis)

5) Derajat IV (gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan / tanpa selulitis.

6) Derajat V (gangren seluruh kaki atau bagian tungkai bawah)

Berdasarkan pembagian di atas, maka tindakan pengobatan atau

pembedahan dapat di tentukan sebagai berikut (Astrawinata , 2004):

1) Derajat 0 (perawatan lokal secara khusus tidak ada)

2) Derajat I – IV (pengelolaan medik dan tindakan bedah minor)

3) Derajat V (tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan

bedah mayor).
41

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan

derajat lesinya. Osteomielitis dapat dilihat dengan foto metatarsal,

sedangkan dengan arteriografi dapat dilihat dengan jelas lokasi serta

kolateral dari sistim arteri yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi

dan prognosis yang biasanya berbeda untuk setiap penderita (Yadi , 2005).

2.3.4 Patofisiologi
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki

yang disebabkan oleh DM. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya

kaki diabetik adalah neuropati, penyakit vaskuler perifer serta penurunan

daya imunitas. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya

disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan oleh penderita. Banyak

sekali faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara

umum faktor-faktor tersebut dapat di bagi menjadi (Soebijanto, 2002).

1) Faktor predisposisi

0 Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma

seperti kelainan makro vaskuler dan mikro vaskuler, jenis kelamin, merokok

dan neuropati otonom. Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena

trauma seperti neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility

dan komplikasi Diabetus Mellitus (DM) yang lain (seperti mata kabur).

2) Faktor presipitasi

1 Faktor presipitasinya antara lain perlukaan di kulit (jamur), trauma,

tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.

2 Usia anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat dari pada

orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi
42

hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Rachmat,

2011).

3) Faktor yang memperlambat penyembuhan luka.

3 Adapun faktor yang dapat memperlambat penyembuhan luka

antara lain derajat luka, perawatan luka, pengendalian kadar gula darah.

Pada pembuluh darah, akibat komplikasi Diabetes Melitus terjadi

ketidak rataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar

berubah menjadi turbulen yang berakibat pada mudahnya terbentuk

trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan mana

kala aliran kolateral tidak cukup, akan terjadi ganggren yang luas (Jusi,

2003).

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita Diabetes

Melitus antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah

perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita

muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah arteri

tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal

dari arteri femoralis, profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri

digitalis pedis.

Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai jadi kurang baik dan

timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/ganggren

yang sangat sulit di atasi dan tidak jarang memerlukan amputasi (Yadi,

2001).
43

Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan

membrana basalis serta penurunan produksi prutasiklin (vasodilator dan anti

platelet aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikro trombus dan

penyumbatan mikro vaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya

iskhemia organ atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf

perifernya (Jusi, 2003).

Infeksi di mulai dari kulit celah jari kaki dan dengan cepat

menyebar melalui jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang

kapsul / sarung tendon dan otot, baik pada kaki maupun pada tungkai hingga

terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput

metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya di atas lokasi tersebut,

terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar lebih dalam dan dapat

mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis sekunder (Wijoseno,

2002). Sedangkan kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya

multi bakterial yaitu gram negatif, gram positif dan anaerob yang bekerja

secara sinergik (Jusi, 2003).

Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah

terbentuk ganggren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki.

Di samping itu, 50% dari kasus ulkus / gangren diabetes akan mengalami

infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk

berkembangnya bakteri pathogen (Soetjahjo, 2004)

Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih

serius. Hal ini disebabkan pada infeksi akan disekresi hormon kontra
44

insulin (seperti katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan dan glukagen)

yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar

gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi netrofil dan gangguan sistem

imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis, sel

PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan

aktifitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel PMN,

glukosa ekstrasel dapat di pakai sebagai sumber energi. Sumber energi ini

akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin

(Astrawinata, 2004).

Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi

pada kaki diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang

menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang

jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur

untuk perkembangan bakteri patogen dan faktor ketiga ialah karena adanya

pintas arterio venosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak

sampai ke tempat infeksi (Yadi, 2005).

Selain faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh

dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji (2004) menyatakan bahwa

faktor pendidikan, sosio ekonomi dan gizi juga punya andil cukup besar.

Pendidikan dan sosio ekonomi yang rendah terkait dengan pengetahuan

yang kurang mengenai Diabetes Melitus dan pencegahan komplikasinya,

kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan Diabetes Melitus

yang dideritanya dan status gizi yang rendah punya keterkaitan dengan
45

rendahnya respon imun hingga mempermudah terjadi infeksi (Wijoseno,

2004).

Diabetes dapat menyebabkan kerusakan saraf yang ada di kaki,

menurunkan indra perasa pada kaki, serta meningkatkan resiko luka dan

penyakit borok (gangren diabetik). Jika gula darah terkontrol dengan baik,

penderita tidak akan kehilangan rasa pada kaki dan sirkulasi darah akan

baik. Penderita diabetes harus menjaga dan memelihara kaki dengan

melakukan tindakan pencegahan sebagai berikut:

1) Selalu periksa kaki setiap hari


2) Potong kuku kaki secara teratur
3) Hindari memakai sepatu yang tidak pas atau terlalu ketat
Sebagai penderita diabetes, sebaiknya selalu berkonsultasi dengan

ahli pengobatan dan pemeliharaan kaki atau podiatri (Fox, 2010)


2.3.5 Diagnosis
Diabetes dapat mempengaruhi kaki dengan dua cara. Pertama,

disebabkan penurunan suplai darah dari pembuluh darah arteri yang

membengkak, kadang-kadang disebut hardening of the arteries atau

atherosklerosis. Sirkulasi yang buruk menyebabkan kaki terasa dingin,

walaupun cuaca sangat panas, dan dapat menyebabkan kram atau kejang

pada betis pada saat sedang berjalan. Sirkulasi darah yang buruk tidak hanya

disebabkan diabetes, tetapi juga karena bertambahnya usia dan kebiasaan

merokok. Perpaduan antara diabetes dan merokok sangat berbahaya karena

dapat menyebabkan gangren.


Kedua, diabetes dapat mempengaruhi kaki karena kerusakan saraf

sehingga rasa peka terhadap rasa sakit dan suhu udara yang sangat tinggi
46

berkurang. Jika kaki tidak sensitif, kaki sangat mudah terluka tanpa terasa,

misalnya karena memakai alas kaki yang tidak pas atau terlalu ketat.

Neuropati sulit dideteksi kecuali jika kaki diperiksa oleh seorang ahli.

Setahun sekali, ahli kesehatan yang menangani diabetes sebaiknya

memeriksakan kaki untuk mengetahui ada atau tidaknya penurunan suplai

darah atau kerusakan saraf. Hal ini sangat penting, terutama bagi penderita

yang sudah mengalami kerusakan saraf. Adanya luka kecil pada kaki dapat

menjadi bahaya besar. Luka akan mudah meluas dan terinfeksi karena

penderita tidak merasa sakit (Fox, 2010).


2.3.6 Terapi
Menurut Fox (2010), perawatan kaki secara khusus ditujukan bagi

mereka yang mempunyai suplai darah yang buruk atau kerusakan saraf. Cara

perawatan kaki tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:


1) Luka kecil atau lecet dapat ditutup dengan kasa seteril setelah penggunaan

krim antiseptik ringan.


2) Hindari menggunakan plester karena mengandung asam mengandung asam

yang dapat menimbulkan masalah.


3) Jangan menusuk / memecahkan lepuh, tetapi perlakukan seperti luka lecet

ringan.
4) Kutil, kapalan, atau kuku yang tumbuh kedalam harus selalu dirawat.
5) Ketika kuku anda perlu dipotong, lakukan setelah mandi.
6) Potong ujung kuku mengikuti ujung jari.
7) Jangan memotong kuku hingga menjadi sudut jari kaki.
8) Hindari menggunakan alat yang tajam untuk membersihkan atau alur kuku.
9) Jika kulit terlalu kerting, gunakan sedikit krim pelembap.
10) Periksa dan cuci kaki setiap hari, kemudian keringkan dengan lembut,

terutama diantara jari kaki.


11) Jika kulit lembab, oleskan kapas alkohol dengan lenmbut, kemudian

keringkan dengan bedak.


12) Jangan gunakan penghangat kaki saat tidur.
13) Longgarkan kaus kaki tebal berbahan wol jika anda memakainya.
47

14) Berhati-hatilah untuk tidak duduk terlalu dekat dengan radiator atau api.
15) Hindari mandi dengan air yang sangat panas.
16) Selalu keringkan kaki dengan hati-hati setelah mandi.
17) Pilih sepatu yang baik. Sepatu harus nyaman, luas, panjang, dan cukup dalam.

Periksa bahwa Anda dapat menggerakkan semua jarak kaki anda.


18) Sepatu harus dikencangkan.
19) Periksa sepatu setiap hari dari benda kecil yang mungkin terselip didalamnya,

seperti jepit rambut, batu, atau, kancing.


20) Jika menggunakan kaoskaki yang beralur, pakai secara terbalik. Kaos kaki

yang longgar lebih baik..


2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (Nursalam, 2008).

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti

gambar berikut ini :

Diabetes Melitus

Yang
Mempengaruhi
penyembuhan
Ulkus Diabetik:
- Genetik
- Trauma
- Infeksi
- Obat
48

ROM

Penyembuhan
Senam Kaki Derajat Ulkus
Diebetik

Diet

Keterangan
: Diteliti

: Tidak ditelit

Gambar 2.9 Kerangka konsep Pengaruh ROM pasif terhadap penyembuhan


Derajat Ulkus Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus di Ruang
Bougenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan.

Diabetes Melitus menyebabkan Komplikasi Ulkus diabetikum.

Penurunan derajat Ulkus diabetik di pengaruhi oleh Genetik, Trauma, Infeksi

dan obat, kemudian dapat dilakukan intervensi ROM, Senam Kaki dan Diet.

sehingga penyembuhan derajat ulkus diadetik dapat turun.

2.5 Hipotesis Penelitian


49

Hipotesis dalam suatu penelitian merupakan jawaban dari rumusan

masalah atau pernyataan penelitian (Nursalam, 2008). Berdasarkan konsep

dapat dirumuskan. Hipotesis dalam penelitian ini ada pengaruh pemberian

ROM pasif terhadap penyembuhan Derajat Ulkus diabetik pada pasien

Diabetes Melitus di Ruang Bougenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan.

Anda mungkin juga menyukai