Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita ketahui bahwa setiap manusia akan mengalami proses pertumbuhan
tubuh dan perkembangan kognitif, mulai dari usia di dalam rahim ibu sampai
mencapai usia lanjut atau kita sebut sebagai lansia. Dari awal kehidupan, manusia
sudah memiliki sistem imun dalam tubuhnya sebagai daya tahan tubuh untuk
menjaga tubuh dari serangan dan ancaman penyakit namun belum terbentuk
dengan sempurna. Seiring bertambahnya usia menginjak usia masa kanak-kanak,
remaja, kemudian dewasa, sistem pertahanan tubuh manusia semakin kuat dan
sempurna. Akan tetapi menginjak usia lanjut/ lansia, daya tahan tubuh akan
kembali melemah, karena lansia itu sendiri merupakan tahap lanjut dari suatu
kehidupan yang ditandai dengan adanya penurunan fungsi atau kemampuan tubuh
untuk beradaptasi dengan stres atau pengaruh lingkungan.
Dengan pertambahan usia, ditambah dengan adanya faktor-faktor lingkungan
yang lain, terjadilah perubahan anatomik-fisiologik tubuh. Pada tingkat awal
perubahan itu mungkin merupakan homeostasis normal, kemudian bisa timbul
homeostasis abnormal atau reaksi adaptasi yang paling akhir terjadi kematian sel.
Salah satu organ tubuh yang mengalami perubahan anatomik-fisiologik akibat
bertambahnya usia manusia adalah sistem pernapasan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka rumusan
masalah yang kelompok buat adalah:
1. Apakah pengertian secara umum apa itu asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan sistem pernapasan?
2. Sebutkan salah satu insiden penyakit paru pada usia lanjut yang pernah
dilakukan pengumulan data oleh beberapa peneliti!
3. Sebutkan perubahan anatomik-fisiologik sistem paru pada usia lanjut!
4. Sebutkan faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru pada usia lanjut!

1
5. Sebutkan patogenesis penyakit paru dan contoh penyakit paru yang utama
pada usia lanjut!
6. Apasaja pencegahan penyakit paru pada usia lanjut?
7. Bagaimana cara melakukan asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan sistem pernapasan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah diharapkan agar mahasiswa dapat
menjelaskan dan melakukan tentang:
1. Dapat menyebutkan pengertian secara umum apa itu asuhan keperawatan
pada lansia dengan gangguan sistem pernapasan.
2. Dapat menyebutkan salah satu insiden penyakit paru pada usia lanjut yang
pernah dilakukan pengumulan data oleh beberapa peneliti.
3. Dapat menyebutkan perubahan anatomik-fisiologik sistem paru pada usia
lanjut.
4. Dapat menyebutkan faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru pada
usia lanjut.
5. Dapat menyebutkan patogenesis penyakit paru dan contoh penyakit paru
yang utama pada usia lanjut.
6. Dapat menyebutkan pencegahan penyakit paru pada usia lanjut.
7. Dapat melakukan cara asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan
sistem pernapasan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Gerontologi adalah studi mengenai efek penuaan normal dan penyakit yang
berhubungan dengan usia. Geriatrik adalah cabang kedokteran mengenai masalah
dan penyakit pada lansia dan terapinya. Cabang keperawatan yang membantu
orang untuk menua tua dengan cara yang sehat dan meningkatkan serta
mempertahankan kesejahteraan hidup di usia senja disebut keperawatan
gerontologi. Asuhan keperawatan pada lansia yang sakit disebut keperawatan
geriatrik. (Buku ajar keperawatan dasar, EGC, 2017).
Secara umum, seseorang disebut lansia apabila usianya 65 tahun ke atas.
Terdapat batasan-batasan umur orang yang termasuk dalam kategori lansia,
diantaranya adalah 60 tahun (UU No. 13 Tahun 1998), dan 60-74 tahun (WHO).
Sistem pernapasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti “bernapas
lagi”. Mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen (O2) serta
mengeluarkan karbondioksida (CO2) dari tubuh. O2 merupakan sumber tenaga
bagi tubuh yang harus dipasok terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan
toksik yang harus segera dikeluarkan dari tubuh. Bila tertumpuk di dalam darah
akan menurunkan PH sehingga menimbulkan keadaan asidosis yang dapat
mengganggu fungsi tubuh bahkan dapat menyebabkan kematian (Hood Al sagaff
dan Abdul Mukty, 2010).

B. Empat Kriteria Kemunduran Fungsi Tubuh disebabkan Proses Menua


Pada orang-orang sehat, perubahan anatomik-fisiologik tersebut merupakan
bagian dari proses menua. Usia lanjut bukanlah merupakan penyakit, tetapi
merupakan tahap lanjut dari suatu kehidupan yang ditandai dengan menurunnya
kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap stress atau pengaruh lingkungan.
Proses menua melandasi berbagai kondisi yang terjadi pada usia lanjut.

3
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu kemunduran fungsi tubuh adalah
disebabkan oleh proses menua dan bukan disebabkan oleh penyakit yang
menyertai proses menua, ada 4 kriteria yang harus dipenuhi:
1. Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh tadi harus bersifat universal,
artinya umum terjadi pada setiap orang.
2. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, yang berarti perubahan
fungsi sel dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi di
dalam sel dan bukan oleh faktor luar.
3. Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur lambat
dan tidak dapat berbalik lagi.
4. Proses menua bersifat proses kemunduran/ kerusakan (Injury)

C. Perubahan Terkait Usia Pada Fungsi Respirasi


Struktur respirasi atas, yaitu hidung dan semua bagian struktur respirasi atas
dipengaruhi oleh adanya penurunan usia yang dapat menurunkan kenyamanan dan
fungsi dengan cara seperti dibawah ini:
1. Penurunan pada jaringan konektif yang menyebabkan hidung menarik
columella (dibawah tepi septum) dan kurang di dukung, ujung diputar ke
bawah.
2. Aliran darah berkurang ke hidung menyebabkan turbinat hidung menjadi
lebih kecil.
3. Mukus lebih tebal di nasoparing akibat perubahan degeneratif pada
kelenjar submukosa.
4. Pengerasan pada trakea menyebabkan kalsifikasi pada kartilago
5. Batuk tumpul dan refleks laring
6. Atropi pada ujung saraf laring

Perubahan sistem imun juga terjadi pada usia lanjut yang dapat
mempengaruhi fungsi pernapasan, sebagai contoh; penelitian mengkonfirmasi
bahwa perubahan terkait usia pada sel T (komponen sistem imun yang esensial
untuk perlindungan melawan infeksi dan malignan) adalah faktor utama
mengkontribusi peningkatan prevalensi pada penyakit paru usia lanjut.

4
Pada usia lanjut perjadi perubahan-perubahan anatomik yang mengenai hepar
seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ
yang bersangkutan.
1. Perubahan anatomik sistem pernapasan
Yang mengalami perubahan adalah :
a. Dinding dada : tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang
rawan mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan ukuran
dada. Sudut epigastrik relatif mengecil dan volume rongga dada
mengecil.
b. Otot-otot pernapasan : mengalami kelemahan akibat atrofi
c. Saluran napas : akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis
bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil. Cincin-
cincin tulang rawan bronkus mengalami perkapuran.
d. Struktur jaringan parenkim paru : bronkiolus, duktus alveolaris dan
alveolus membesar secara progresip, terjadi emfisema senilis. Struktur
kolagen dan elastin dinding saluran napas perifer kualitasnya
mengurang sehingga menyebabkan elastisitas jaringan parenkim paru
mengurang. Penurunan elastisitas jaringan parenkim paru pada usia
lanjut dapat karena menurunnya tegangan permukaan akibat
pengurangan daerah permukaan alveolus.

2. Perubahan-perubahan fisiologik sistem pernapasan


Perubahan fisiologik (fungsi) pada sistem pernapasan yang terjadi antara
lain :
a. Gerak pernapasan : adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun
volume rongga dada akan berubah mekanika pernapasan, amplitudo
pernapasan menjadi dangkal, timbul keluhan sesak napas. Kelemahan
otot pernapasan menimbulkan penurunan kekuatan gerak napas, lebih-
lebih apabila terdapat deformitas rangka dada akibat penuaan.
b. Distribusi gas : perubahan struktur anatomik saluran napas akan
menimbulkan penumpukan udara dalam alveolus (air trapping)

5
ataupun gangguan pendistribusian udara napas dalam cabang-cabang
bronkus.
c. Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan karena
beberapa faktor : (1) kelemahan otot napas, (2) elastisitas jaringan
parenkim paru menurun, (3) resistensi saluran napas (menurun
sedikit). Secara umum dikatakan bahwa pada usia lanjut terjadi
pengurangan ventilasi paru.
d. Gangguan transfort gas
Pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang
penyebabnya terutama karena adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Selain itu diketahui bahwa pengambilan O2 oleh darah dari
alveoli (difusi gas) dan transport O2 ke jaringan-jaringan berkurang,
terutama terjadi pada saat melakukan olah raga. Penurunan
pengambilan O2 maksimal disebabkan antara lain karena: berbagai
perubahan pada jaringan paru yang menghambat difusi gas, dan
karena berkurangnya aliran darah ke paru akibat turunnya curah
jantung.
e. Gangguan perubahan ventilasi paru
Pada usia lanjut terjadi gangguan pengaturan ventilasi paru, akibat
adanya penurunan kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor
sentar ataupun pusat-pusat pernapasan di medulla oblongata dan pons
terhadap rangsangan berupa penurunan PaO2 peninggian PaO2,
perubahan pH darah arteri dan sebagainya.

D. Faktor-faktor yang Memperburuk Fungsi Paru


Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa faktor
yang dapat memperburuk fungsi paru (Silverman dan Speizer, 1996; Tim
Pneumonia Indonesia, 1994). Faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru antara
lain:
1. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan
saluran napas. Pada tingkat awal, saluran napas akan mengalami obstruksi

6
dan terjadi penurunan nilai VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya
penyakit paru tadi. Pada tingkat lanjut dapat terjadi obstruksi yang
irreversibel, timbul penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada
obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada, dan
dinding perut, akan dapat mengganggu compliance dinding dada,
berakibat penurunan volume paru atau terjadi keterbatasan gerakan
pernapasan (restriksi) dan timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
3. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-
otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan
“relatif” berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernapasan pada
usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor
lain yang menimbulkan imobilitas (paru), misalnya efusi pleura,
pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat
dilakukan dengan menjalankan olah raga secara intensif.
4. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari
pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan pengaruh
faal paru adalah : (1) pembedahan toraks (jantung dan paru); (2)
pembedahan abdomen bagian atas; dan (3) anestesi atau jenis obat
anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler paru.
Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan
komplikasi paru: atelektasis, infeksi atau sepsis dan sejenisnya mudah
terjadi kematian karena timbulnya gagal napas.
5. Infeksi paru
Infeksi paru terutama yang berulang akan memperjelek fungsi paru.

7
E. Konsekwensi Perubahan Sistem Respirasi pada Lansia
Perubahan Konsekwensi
Perubahan degeneratif mempengaruhi Snoring, mouth breathing, menurunkan
struktur hidung dan saluran napas atas efisiensi batuk dan refleks muntah,
persepsi hidung tersumbat
Peningkatan diameter anteroposterior, Meningkatnya penggunaan pada otot
kekakuan dinding dada, kelemahan otot tambahan, meningkatnya energi yang
dan diafragma dikeluarkan untuk efisiensi pernapasan
Pembesaran pada alveoli, penipisan Berkurangnya efisiensi pada pertukaran
pada dinding-dinding alveoli, gas, menurunnya tekanan oksigen
berkurangnya jumlah kapilaris arterial (PaO2)
Menurunnya elastik recoil dan Perubahan dalam volume paru, sedikit
penutupan saluran napas dini penurunan dalam efisiensi keseluruhan

Faktor tambahan yang mempengaruhi kemampuan pada usia lanjut untuk


melawan infeksi pernapasan, diantaranya adalah; kelemahan, dispagia, penyakit
serius, dan berkurangnya status fungsional (Fragoso dan Gill, 2012). Miskinnya
perawatan mulut dalam pasien hospitalisasi dan dalam jangka panjang dalam
beberapa kondisi dapat meningkatkan resiko pneumonia (Tada dan Miura, 2012).

F. Patogenesis Penyakit Paru Pada Usia Lanjut


Mekanisme timbulnya penyakit yang menyertai usia lanjut dapat dijelaskan
atau dapat dikaitkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan-perubahan tersebut adalah :
1. Perubahan anatomik-fisiologik
Dengan adanya perubahan anatomik-fisiologik sistem pernapasan
ditambah adanya faktor-faktor lainnya dapat memudahkan timbulnya
beberapa macam penyakit paru: bronkitis kronis, emfisema paru, PPOK,
TB paru, kanker paru dan sebagainya

8
2. Perubahan daya tahan tubuh
Pada usia lanjut terjadi penurunan daya tahan tubuh, antara lain karena
melemahnya fungsi limfosit B dan T, sehingga penderita rentan terhadap
kuman-kuman patogen, virus, protozoa, bakteri atau jamur.
3. Perubahan metabolik tubuh
Pada orang usia lanjut sering terjadi perubahan metabolik tubuh, dan paru
dapat ikut mengalami perubahan. Penyebab tersering adalah penyakit-
penyakit yang bersifat sistemik: diabetes mellitus, uremi, artitis rematoid
dan sebagainya. Faktor usia peranannya tidak jelas, tetapi lamanya
menderita penyakit sistemik mempunyai andil untuk timbulnya kelainan
paru tadi.
4. Perubahan respon terhadap obat
Pada orang usia lanjut, bisa terjadi bahwa pada penggunaan obat-obat
tertentu akan memberikan respons atau perubahan pada paru dan saluran
napas, yang mungkin perubahan-perubahan tadi tidak terjadi pada usia
muda. Contoh yaitu penyakit paru akibat idiosinkrasi terhadap obat yang
sedang digunakan dalam pengobatan penyakit yang sedang dideritanya,
yang mana proses tadi jarang terjadi pada usia muda.
5. Perubahan degeneratif
Perubahan degeneratif merupakan perubahan yang tidak dapat dielakkan
terjadi pada individu-individu yang mengalami proses penuaan. Penyakit
paru yang timbul akibat proses (perubahan) degeneratif tadi, misalnya
terjadinya bronkitis kronis, empisema paru, penyakit paru obstruktif
menahun, karsinoma paru yang terjadi pada usia lanjut dan sebagainya.
6. Perubahan atau kejadian lainnya
Ada pengaruh-pengaruh lain yang terjadi sebelum atau selama usia lanjut
yang dapat mempengaruhi dirinya sehingga dapat memudahkan
timbulnya penyakit paru tertentu pada usia lanjut, misalnya:
a. Kebiasaan merokok di masa lalu dan sekarang
Merokok yang berlangsung lama dapat menimbulkan perubahan-
perubahan struktur pada saluran napas, juga dapat menurunkan fungsi
sistem pertahanan tubuh yang diperankan oleh paru dan saluran napas,

9
sehingga memudahkan timbulnya infeksi pada paru dan saluran napas.
Merokok selain dapat memberikan perubahan-perubahan pada saluran
napas, dapat pula memudahkan timbulnya keganasan paru, PPOK,
bronkitis kronis dan sebagainya.
b. Pengaruh atau akibat kekurangan gizi
Pada usia lanjut telah diketahui terjadi penurunan daya tahan tubuh,
terutama respons imun seluler. Ini merupakan konsekuensi lanjut atas
terjadinya involusi kelenjar timus pada usia lanjut. Proses involusi
kelenjar timus menyebabkan jumlah hormon timus yang beredar
dalam peredaran darah menurun, berakibat proses pemasakan limfosit
T berkurang dan limfosit T yang beredar dalam peredaran darah juga
berkurang. Imunitas humoral pada usia lanjut juga terdapat perubahan
yang berarti, bahkan terdapat peninggian kada autoantibodi. IgA dan
IgG terdapat peningkatan, sedangkan IgM mengalami penurunan.

G. Aspek Klinik
Ada beberapa penyakit paru yang menyertai orang usia lanjut, yang penting
ada empat macam : penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia,
tuberkulosis paru, dan karsinoma paru.
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
a. Pengertian
PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan
diobati ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara napas saat
inspirasi maupun ekspirasi terutama saat ekspirasi yang tidak
sepenuhnya reversibel dan pada kasus berat disertai beberapa gejala
efek ekstrapulmonal yang ditimbulkan. Ketebatasan aliran udara
napas tadi akibat obstruksi saluran napas kecil difusi biasanya
berlangsung progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap paparan partikel atau gas toksis (GOLD,
2006).
Dalam definisi tersebut sudah tidak disebutkan keterkaitan atau
hubungan penyebab anatara PPOK dengan bronkitis kronis dan/ atau

10
emfisema pulmonum meskipun pada kenyataannya masih tersirat
adanya keterkaitan tersebut.
b. Insiden
Belum ada angka yang pasti mengenai insiden penyakit paru ini,
mengingat keterbatasan laporan para ahli, baik angka insiden nasional
maupun internasional. Data lokal di Semarang, tahun 1990-1991 di
RSUP Dr. Kariadi telah dirawat penderita PPOK usia lanjut sebesar
5,6% diantara penderita usia lanjut yang dirawat (Rahmatullah, 1994).
c. Faktor-faktor resiko
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini terjadi pada suatu
individu sering dikaitkan dengan adanya faktor-faktor resiko yang
terdapat pada penderita. Faktor-faktor resiko tadi misalnya: genetik,
paparan partikel / gas toksis (asap rokok, debu organik/ inorganik
tempat kerja, polutan udara di dalam/ luar ruangan hunian,
pertumbuhan / perkembangan paru, stres oksidatif, gender, umur,
infeksi paru berulang terutama pada anak, kondisi sosial ekonomik,
nutrisi dan penyakit-penyakit komorbid, antara lain asma bronkial
(GOLD, 2006). Pengaruh dari masing-masing faktor resiko terhadap
timbulnya PPOK adalah saling memperkuat, faktor resiko merokok
dianggap paling dominan menimbulkan penyakit ini. Faktor resiko
genetik utamanya defisiensi alfa-1 antitripsin yang sifatnya herediter
diketahui berperan penting dalam timbulnya PPOK terlebih bila
terdapat faktor merokok bersama.
d. Patologi, patogenesis, dan patofisiologi
Paparan bahan berupa partikel atau gas toksis pada seseorang yang
suseptibel berlangsung kronis menimbulkan respon inflamasi pada
paru, saluran napas, dan vaskular. Respons inflamasi yang timbul
bersifat progresif terutama sepanjang paparan bahan toksis
berlangsung.
Perubahan patologi yang timbul mengenai:
(1) Saluran napas proksimal diameter lebih dari 2 mm (timbul
perubahan seperti yang terjadi pada bronkitis kronis)

11
(2) Saluran napas tapi diameter kurang dari 2 mm (timbul kelainan
seperti yang terjadi pada bronkiolitis obstruktif)
(3) Parenkim paru atau bronkiolus respiratorius dan alveoli (seperti
yang terjadi pada empisema paru)
(4) Vaskular paru (terjadi penebalan intim, disfungsi endotel,
penebalan otot polos, menimbulkan hipertensi pulmonal).
Semuanya mengalami perubahan inflamasi. Perubahan lain terjadi di
luar paru dan saluran napas, merupakan efek ekstrapulmonal
(misalnya terjadi kor pulmonal kronik, osteoporosis, anemia, otot-otot
atrofi, depresi mental dan sebagainya terutama terjadi pada kasus-
kasus PPOK berat (GOLD, 2006).
Patogenesis PPOK melibatkan beberapa jenis sel inflamasi antara lain:
netrofil, makrofag, limfosit T (CD4+ dan CD8+), limfosit B, eosinofil
dan epitel bronkus dan sel-sel tersebut mengeluarkan mediator
inflamasi dan growth factor : menimbulkan inflamasi paru dan saluran
napas. Respons inflamasi yang terjadi tadi dapat diperkuat dengan
adanya stres oksidatif dan protease, elastase yang berlebihan dalam
paru (GOLD, 2006).
Adanya inflamasi kronik dan progresif pada paru dan saluran napas
seperti tersebut di atas menimbulkan :
(1) Hipersekresi mukus
(2) Keterbatasan aliran udara napas, air trapping atau hiperinflasi
paru akibat obstruksi (penyempitan saluran napas) difus, dan
(3) Abnormalitas pertukaran gas di alveoli sehingga timbul
hipoksemia dan hiperkarbia.
Hipoksemia lama dapat menimbulkan kelemahan otot-otot, kor
pulmonal kronik, polisitemia sekunder atau meningkatnya resiko
penyakit kardiovaskuler (GOLD, 2006). Keterbatasan aliran udara
napas dapat ditentukan dengan melihat cara napas penderita PPOK
(pursed-lip breathing), kelainan fisik dada dan paru serta pemeriksaan
spirometri, yang mana nilai spirometri (VEP1, rasio VEP1 / KVP)
dapat dipakai untuk menentukan tingkat beratnya PPOK (GOLD,

12
2006). Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas maupun
perfusi darah paru akan terganggu (Brannon, et al, 1993).
e. Gambaran klinik
Gambaran klinik yang dapat diamati pada penderita PPOK tergantung
pada derajat beratnya penyakit (ringan, sedang, berat dan amat berat)
dan kondisi penyakit penderita (PPOK stabil, PPOK mengalami
eksaserbasi akut atau keadaan gagal napas kronik).
Keluhan yang menyolok terutama pada penyakit derajat berat adalah
adanya sesak napas atau sesak napas saat aktivitas, kelemahan umum
(kehilangan tenaga gerak), batuk-batuk kronik produktif, nafsu makan
berkurang, dan sebagainya.
Kelainan fisik yang dapat dijumpai terutama pada penderita PPOK
derajat berat adalah : penderita tampak lemah, sianosis, pursed-lip
breathing (teknik bernapas yang digunakan untuk mengatasi sesak
napas pada mereka yang mengalami kesulitan bernapas, biasanya
berhubungan dengan penyakit paru kronik), hipertropi otot-otot bantu
napas (inspirsi dan ekspirasi), kelainan fisik pada dada dan paru,
mungkin ditemukan tanda-tanda sebagai efek ekstrapulmonal (kor
pulmonal kronik, aritmia, jari tabuh dan sebagainya). Kelainan fisik
pada paru memberikan petunjuk adanya obstruksi bronkus difus, air
trapping (udara terperangkap dalam alveoli) maupun hipertensi paru.
Kelainan dada (berbentuk tong atau Barrel chest) memberikan
petunjuk adanya akibat dari air trapping atau hipertensi paru (GOLD
2006). Bila kelainan fisik penderita PPOK diamati dengan cermat,
mungkin penderita menunjukkan gambaran ke arah dua tipe pokok
PPOK: (1) blue bloater type (mengarah pada bronkitis kronis), atau
(2) pink puffer type (mengarah pada emfisema paru) meskipun
berdasarkan konsep terbaru PPOK tidak lagi dikaitkan penyebabnya
berasal dari bronkitis kronis maupun emfisema paru (GOLD, 2006).

13
f. Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakkan dengan metode yang lazim, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan (GOLD, 2006). Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
akan ditemukan keluhan dan kelainan fisik yang khas seperti
dijelaskan pada gambaran klinik PPOK. Beberapa pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, mengetahui
komplikasi atau efek ekstrapulmonal. Pemeriksaan penunjang yang
sangat penting adalah pemeriksaan spirometri, untuk menegakkan
adanya obstruksi bronkus ataupun untuk mengetahui derajat beratnya
PPOK (GOLD, 2006).
Pada diagnosis harus ditemukan apakah PPOK berada pada keadaan
PPOK stabil, PPOK eksaserbasi akut atau tanda-tanda efek sistemik
apa yang telah terjadi yang ikut menentukan tingkat beratnya PPOK
(GOLD, 2006).
g. Penanganan
Penanganan penderita PPOK usia lanjut sama dengan pada usia
sebelumnya. Tujuan penanganan PPOK adalah:
(1) Membebaskan gejala
(2) Mencegah progresivitas penyakit
(3) Meningkatkan toleransi latihan (olah raga)
(4) Meningkatkan status kesehatan
(5) Mencegah dan mengobati komplikasi
(6) Mencegah dan mengobati eksaserbasi akut
(7) Mengurangi angka kematian
Penanganan PPOK berdasarkan GOLD 2006 dibagi dalam 4
komponen :
(1) Penilaian dan evaluasi penyakit
(2) Pengurangan faktor resiko
(3) Penanganan PPOK stabil
(4) Penanganan PPOK eksaserbasi

14
Komponen 1 : penilaian dan evaluasi penyakit. Dalam hal ini
penegakan diagnosis harus dilakukan secara baik, semestinya adanya
PPOK ditentukannya dengan spirometri, namun alat spirometri belum
tentu tersedia ditempat pelayanan kesehatan. Diagnosis klinik PPOK
harus segera dipikirkan bila menjumpai penderita ada riwayat paparan
asap (misalny asap rokok) mengalami sesak napas, batuk-batuk
produktif , lebih-lebih telah ada sesak napas saat aktivitas. Penderita
dengan curiga terjadi gagal napas harus dilakukan pemeriksaan
analaisis gas darah arteri (AGDA) (GOLD, 2006).
Komponen 2 : pengurangan faktor resiko. Pengenalan adanya faktor
resiko pada penderita PPOK kadang-kadang tidak mudah. Beberapa
faktor resiko timbulnya PPOK telah dikenal. Pengurangan paparan
terhadap asap rokok, bahan kimia tertentu, polusi udara dalam ruang
hunian maupun lingkungan luar merupakan hal yang penting dalam
hal mengurangi gejala ataupun mencegah timbulnya PPOK. Penderita
PPOK yang masih merokok atau terkena asap rokok harus
menghentikan merokok saat itu juga agar fungsi parunya tidak
semakin jelek.
Komponen 3 : penanganan PPOK stabil. Penanganan PPOK stabil
hendaknya dilakukan secara individual dengan menilai gejala yang
ada dan tingkat beratnya kasus-kasus yang dihadapi. Tindakan yang
dilakukan dalam menangani kasus-kasus PPOK stabil meliputi:
pendidikan, pengobatan farmakologik, dan pengobatan non
farmakologik.
Pendidikan ditujukan kepada penderita agar segera menghentikan
adanya paparan partikel/ gas toksis terhadap dirinya, utamanya segera
menghentikan merokok. Lebih-lebih bagi penerita yang diketahui
adanya defisiensi berat alfa-1 antitripsin agar segera menghentikan
merokok karena penderita sangat sensitif terhadap asap rokok dan
mudah terjadi PPOK.
Pengobatan farmakologik (dengan obat-obatan) bertujuan untuk
mengurangi gejala atau komplikasi. Obat-obat yang umum digunakan

15
adalah bronkodilator, baik yang berefek kerja pendek atau panjang.
Bronkodilator efek kerja pendek misalnya: beta-2 agonis,
antikolinergik dan metilsantin digunakan secara tunggal dan
kombinasi. Bronkodlator efek kerja panjang hasilnya lebih efektif dan
nyaman dibanding yang efek kerjanya pendek. Penambahan
glukokortikosteroid pada penderita yang telah mendapatkan
bronkodilator dianjurkan pada penderita PPOK derajat berat atau
mengalami eksaserbasi akut. Bila terdapat infeksi ( misalnya
pneumonia) harus diberikan antibiotika yang sesuai. (GOLD, 2006)
Pengobatan nonfarmakologik juga sangat penting dalam penanganan
penderita PPOK, meliputi:
(1) Rehabilitasi
(2) Pemberian nutrisi yang sesuai
(3) Pengobatan oksigen
(4) Bantuan alat ventilasi mekanik bagi yang memerlukan
(5) Terapi pembedahan bagi kasus-kasus yang memenuhi indikasi
(misalnya dilakukan bedah reduksi volume paru, transplantasi paru
dan sebagainya)
Program rehabilitasi paru merupakan standar perawatan penderita
PPOK yang hasilnya dapat membantu perbaikan fisik penderita
PPOK. Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala,
memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan pengendalian fisik dan
emosional dalam aktivitas sehari-hari sampai pada tingkat aktivitas
tertinggi dan mandiri. Program rehabiltasi paru dilakukan dengan
melibatkan beberapa disiplin ilmu atau beberapa ahli dan merupakan
tim yang terdiri dari dokter rehabilitasi medik, dokter yang merawat,
perawat, fisioterapi, psikolog dan ahli terkait lainnya.
Nutrisi penderita PPOK harus juga diperhatikan, problemnya ialah
adanya gangguan nutrisi dan status gizi buruk yang harus diperbaiki.
Gangguan nutrisi pada penderita PPOK usia lanjut yang dapat
menimbulkan status gizi buruk disebabkan oleh beberap hal, yang
harus diperhatikan dalam supply nutrisi. Ada beberapa alasan maka

16
dianjurkan pemberian diet penderita PPOK adalah cukup atau tinggi
kalori dengan sumber kalori rendah karbohidrat dan tinggi protein.
Terapi oksigen juga sangat penting bagi penderita PPOK untuk
membantu mengambil oksigen untuk kondisi hipoksemia kronik.
Ventilasi mekanik terutama ventilasi noninvasif dibutuhkan oleh
penderita PPOK derajat berat atau amat berat dan dilaksanakan di
ruang intensif rumah sakit. Pengobatan pembedahan hanya tetap
dilakukan pada kasus-kasus tertentu dan atas dasar indikasi tertentu
pula (GOLD, 2006)
Komponen 4 : penanganan PPOK eksaserbasi akut. Beberapa
penderita PPOK stabil dengan adanya penyebab tertentu bisa
mengalami perburukan gejala. Penyebab paling umum adalah infeksi
paru oleh bakteri maupun virus. Dengan adanya perburukan gejala ini
mengharuskan penderita dirawat di rumah sakit, karena kemungkinan
terjadinya gagal napas akut atau acute on chronic respiratory failure
besar sekali dan memerlukan alat bantu napas (ventilator). Perburukan
gejala PPOK meliputi sesak napas bertambah, batuk semakin berat
dan frekuens, sputum bertambah atau berubah warna. Pada keadaan
ini pengobatannya ditingkatkan dari pengobatan PPOK stabil. Dalam
hal ini inhalasi bronkodilator (beta-2 agonist dengan atau tanpa
antikolinergik) dan glukokortikosteroid oral merupakan pengobatan
yang efektif untuk PPOK eksaserbasi akut. Bila penyebab eksaserbasi
akut oleh infeksi bakterial (sputum berubah warna) maka perlu
diberikan antibiotika yang sesuai. Pada keadaan khusus mungkin
memerlukan alat bantu napas misalnya bantuan ventilasi mekanik non
invasif bila ada peralatannya sangat membantu perbaikan penderita
(GOLD, 2006).

17
2. Pneumoni
a. Insiden
Pada usia lanjut resiko terjadinya infeksi saluran napas bagian bawah
(ISPA), khususnya pneumoni cukup tinggi. Kejadian pneumoni pada
usia lanjut tergantung pada tiga hal, ialah :
(1) Kondisi fisik penderita (umumnya daya tahan tubuh rendah atau
immunocompromised conditions)
(2) Lingkungan dimana mereka berada (komunitas atau lingkungan
rumah sakit)
(3) Kuman penyebab atau virulensinya
Secara epidemiologik, pneumoni pada usia lanjut juga dibedakan
menjadi pneumoni komunitas dan pneumoni nosokomial. Insiden
pneumoni komunitas pada usai lanjut sekitar 6,8 – 11,4 %
(Mangunegoro, 1992). Di rumah sakit insiden pneumoni pada usia
lanjut kira-kira tiga kali lebih besar dibandingkan pneumoni pada usia
muda. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang insidens pneumonia (campuran
komunitas dan nosokomial) sebesar 16,2 % (Rahmatullah, 1994)
Pneumoni pada usia lanjut mempunyai angka kematian yang tinggi,
kira-kira 40%. Penyebabnya ada tiga hal, yaitu:
(1) Karena pneumoninya sendiri
(2) Pada penderita sering disertai berbagai kondisi atau penyakit
penyerta
(3) Pada kenyataannya penderita pneumoni usia lanjut lebih sulit
diobati.
Kondisi ataupun penyakit penyerta pada usia lanjut yang sering
menyebabkan kematian, misalnya diabetes mellitus, payah jantung
kronik, penyakit-penyakit vaskuler, PPOK dan sebagainya.
b. Penyebab
Penyebab pneumoni pada usia lanjut dapat bermacam-macam, yang
paling sering penyebabnya adalah kombinasi beberapa kuman. Pada
usia lanjut, pneumoni komunitas sering disebabkan oleh bakteri gram
positif, sebagian besar adalah oleh kuman Strep. Pneumoniae.

18
Pneumoni nosokomial sering terjadi sebagai komplikasi pada
pemasangan alat-alat (misalnya endotracheal tube) mempunyai
insiden sekitar 10-70 %.
Penyebab pneumoni nosokomial pada usia lanjut kebanyakan adalah
bakteri gram negatif. Pada usia lanjut, presentase bakteri gram negatif
sebagai penyebab pneumoni komunitas lebih tinggi dibanding pada
usia muda. Pneumoni aspirasi, juga sering terjadi pada usia lanjut (10
-30% kasus), terjadi pada penderita yang mengalami bed rest atau
penurunan kesadaran. Pada kasus-kasus pneumoni aspirasi, kuman
penyebab infeksi sukar diketahui, tetapi pada 87% kasus-kasus tadi
terdeteksi kuman-kuman anaerob pada aspiratnya.
c. Gejala klinik
Pada pneumoni usia lanjut, kebanyakan berbentuk bronkopneumoni,
sedangkan pneumoni lobaris tercatat pada 10 – 30 % kasus.
Pada usia lanjut, apabila penderita nifeksi akut, onset penyakit
berlangsung pelan-pelan, tidak mendadak seperti pada usia muda.
Keuhan utamanya adalah demam ringan, batuk dengan produksi
sputum pada 60 % kasus. Pada 30 % kasus keluhan permulaannya
hanya berupa kelemahan dan anoreksia, tanpa demam yang nyata.
Permulaan penyakit yang pelan-pelan tadi disebabkan karena
menurunnya aktifitas fisik usia lanjut dan biasanya karena adanya
dehidrasi. Suatu kenyataan, penderita yang masuk rumah sakit
demamnya ringan, sesudah mendapat rehidrasi di rumah sakit dan
tekanan darahnya normal, baru muncul demam. (Harsawa, 1989).
Gambaran klinik penderita pneumoni pada usia lanjut sering tidak
menunjukkan gambaran yang nyata. Dilaporkan terdapat penurunan
kesadaran pada 20 % kasus, distensi abdomen 5 % kasus, tanda
dehidrasi pada 50 % kasus. Penurunan kesadaran tersebut tidak ada
korelasi dengan perubahan tekanan darah, tetapi mempunyai korelasi
dengan kondisi dehidrasi yang mungkin ada pada penderita pneumoni,
misalnya perkusi redup/ peka pada daerah paru yang terkena kelainan,
ronki basah, suara napas bronkhial, whispered pectoriloquy jarang

19
ditemukan. Hal ini mungkin berkenaan dengan adanya pemanjangan
diameter muka-belakang dada pad usia lanjut. Frekuensi pernapasan
24 kali atau lebih permenit merupakan hal yang bermakna bagi
adanya pneumoni pada usia lanjut. Pneumoni pada usia lanjut dapat
disertai syok septik dengan gejala kelelahan, anoreksia dan penurunan
kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar kasus menunjukkan
jumlah leukosit normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang
leukositosis. Pada hitung jenis terdapat tanda “geser ke kiri”dan dapat
dipakai sebagai petunjuk diagnostik adanya infeksi akut yang penting.
Kelainan lain yang ditemukan adalah peningkatan ureum darah (pada
30 % kasus), peningkatan ringan serum transaminase (pada 20 %
kasus), dan peninggian kreatinin dan gula darah dapat terjadi.
Ditemukan pula hiponatremi dan hipofosfatemi.
Pada pneumonia usia lanjut nilai PaO2 rendah, seperti sampai pada
orang sehat. Pada pneumonia usia lanjut, penurunan nilai PaO2 lebih
besar dibanding pada pneumoni usia muda. Hal ini terjadi karena
proses penuaan, yaitu terdapatnya penambahan perfusi darah ke lobus
paru. Hal inilah yang memudahkan terjadinya gagal napas pada
kebanyakan penderita pneumoni usia lanjut.
Gambaran radiologik pneumoni usia lanjut, bila jelas akan tampak
gambaran infiltrat paru. Kadang-kadang sulit menilai gambaran foto
thoraks pada pneumoni usia lanjut, terutama apabila terdapat
dehidrasi, sehingga infiltrat belum terlihat dalam waktu 24 – 48 jam
pertama perawatan. Pada pneumoni yang dini, bakteri oleh gram
negatif, foto thoraks kadang-kadang tampak normal.
d. Diagnosis
Diagnosis pneumoni pada usia lanjut ditegakkan atas dasar anamnesis,
penerimaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis kadang-
kadang sulit dilakukan karena gambaran klinik dan pemeriksaan
penunjang hasilnya memberi gambaran tidak khas.

20
Tidak ada gambaran patognomonik untuk infeksi saluran napas akut
atau pneumoni pada usia lanjut. Adanya frekuensi pernapasan 24 kali
atau lebih, terutama apabila disertai demam, kelemahan atau anoreksia
pada seseorang usia lanjut merupakan petunjuk cukup bermakna
terhadap adanya pneumoni pada usia lanjut.
Diagnosis banding terhadap pneumoni pada usia lanjut, yang perlu
dipikirkan ialah : gagal jantung, emboli paru, sindroma kegawatan
napas orang dewasa, pneumoni aspirasi lambung, keganasan paru,
pneumonitis radiasi dan reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat.
e. Penanganan dan rehabilitasi
Pengobatan ISPA / Pneumoni dilakukan dengan pemberian
kemoterapi dan pengobatan umum (terapi oksigen, terapi hidrasi dan
fisioterapi). Kemoterapi merupakan kunci utama pengobatan
pneumoni.
Tujuan pemberian kemoterapi ialah untuk membasmi kuman
penyebab pneumoni. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan
petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya
(hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibiotik).
Berhubung satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat
serius, dan perlu pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum
dapat diketahui pasti menjelang terapi, sehingga antibiotik
pemberiannya dilakukan secara empirik (pengobatan empirik).
Pengobatan empirik ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi
empirik. Dengan cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat
menunjukkan spektrum kuman penyebabnya, sehingga antibiotik yang
tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Pengobatan
umumnya diberikan selama 7 – 10 hari pada kasus tanpa komplikasi
atau antibiotik diteruskan sampai 3 hari bebas panas. Apabila terdapat
penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat
kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis.

21
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang
ringan rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit
yang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan
larutan elektrolit.
Pada pneumonia usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita
perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk
menghidari timbulnya pneumoni hipostatik, kelemahan dan dekubitus.

3. Tuberkulosis
Tuberkulosis paru pada usia lanjut sering dilupakan, karena beberapa hal
antara lain keluhan, gejala klinik maupun gambaran radiologik tidak khas.
a. Etiologi
Seperti pada lazimnya, penyebab infeksi ialah kuman tahan asam,
M.tuberculosis. Umumnya infeksinya merupakan reaktivitas fokus
dormant yangterjadi berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
b. Insiden
Insiden tuberkulosis pada usia lanjut masih cukup tinggi. Di RSUP
Dr. Kariadi, ditemukan kasus tuberkulosis paru pada usia lanjut
sebesar 25,2 % (Rahmatullah, 1994)
c. Patofisiologi
Pada penderita usia lanjut tanpa penyakit paru saja sudah mengalami
penurunan fungsi paru, apalagi dengan menderita penyakit
tuberkulosis paru, maka akan menambah beratnya gangguan fungsi
pau.
d. Gambaran klinik
Tuberkulosis paru pada usia lanjut sering memberikan gambaran
klinik tidak khas. Penderita mungkin tampak menderita pneumoni
atau bronkitis kronis dengan respons yang kurang baik terhadap
antibiotika.
Gejala tersering yang dikeluhkan oleh penderita tuberkulosis usia
lanjut adalah: sesak napas, penurunan berat badan dan gangguan
mental. Penderita TB paru usia lanjut jarang datang dengan keluhan

22
hemoptisis, ataupun gejala klasik lainnya seperti pada penderita usia
muda, misalnya demam, batuk-batuk produktif, keringat malam, dan
sebagainya.
Bila tuberkulosis paru pada usia lanjut berkembang sebagai reaktivitas
dari fokus infeksi sebelumnya, daerah paru yang sering terserang
adalah daerah apeks paru dengan atau tanpa penyebaran ke daerah-
daerah lain. Pada tuberkulosis paru usia lanjut, cenderung terdengar
ronki (basah) di daerah basal paru, terutama lobus kanan bawah.
e. Diagnosis
Penegakan diagnosis tuberkulosis paru pada usia lanjut sama dengan
pada penderita usia muda. Kesulitan diagnosis sering disebabkan
karena keluhan dan kelainan fisik yang sering tidak jelas (khas).
Selain itu diagnosis pasti yang didasarkan atas ditemukannya kuman
BTA pada sputum, baik dengan pulasan langsung atau kultur, sulit
dipenuhi karena pada usia lanjut sulit mengeluarkan sputum atau
sputumnya sangat sedikit. Maka perlu dilakukan perangsangan dengan
pemberian NaCl fisiologis lewat nebuliser atau cara lainnya.
f. Pengobatan
Pada penderita usia lanjut, penyakit-penyakit yang diderita cenderung
multi organ, oleh karenanya pengelolaan penderita usia lanjut
sebaiknya secara holistik (terpadu). Hal ini diperlukan untuk
menghindari adanya efek samping obat, keracunan obat, karena
adanya interaksi obat yang diberikan bersama-sama. Obat anti
tuberkulosis yang biasa diberikan adalah INH, rimfampisin,
etambutol. Streptomisin hanya dipakai apabila ada halangan
menggunakan obat-obat lainnya, tetapi pemberiannya harus hati-hati
mengingat cepat timbul efek samping ototoksik dan nefrotoksik, kalau
mungkin sebaiknya dihindarkan. Penderita harus mengenal gejala efek
samping obat anti tuberkulosis yang digunakan. Dosis masing-masing
obat disesuaikan dengan berat badannya dan harus mengingat adanya
penurunan fungsi-fungsi organ tubuh seperti hati, ginjal, syaraf,
gangguan pendengaran dan sebagainya. Mengenai cara pemberian

23
obat dan lamanya sama dengan penderita TB paru usia muda.
Penderita diberitahu, kalau timbul efek samping salah satu obat harus
segera dihentikan obat tersebut dan segera menghubungi dokter
secepatnya.
Tindakan rehabilitasi perlu diberikan pada penderita mengingat
gangguan fungsi paru pada penderita ini. Latihan fisik untuk
menguatkan otot-otot pernapasan, latihan pernapasan, melatih cara
batuk yang efektif dan sebagainya perlu dijelaskan pada penderita.

4. Karsinoma paru
a. Insiden
Keganasan paru pada usia lanjut merupakan kelainan yang sering
ditemukan, baik untuk primer maupun sekunder. Jumlah kasus
keganasan paru pada usia lanjut yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi
Semarang 1990-1991, baik karsinoma primer, sekunder maupun
bentuk lainnya (unspecified) sebesar 4,5%. Di Indonesia terdapat
kecendrungan peningkatan frekuensi karsinoma paru. Beberapa faktor
telah diketahui berpengaruh terdapat timbulnya karsinoma paru,
antara lain adalah faktor merokok, polusi udara dan bahan industri
yang bersifat karsinogenik. Penelitian di RS Persahabatan Jakarta,
menemukan 91,4 % penderita kanker paru berumur lebih dari 40
tahun dan pada usia diatas 50 tahun terdapat 75% kasus.
b. Etiologi
Etiologi keganassan paru belum diketahui, seperti juga untuk jenis
keganasan tubuh lainnya. Perkiraan penyebabnya adalah adanya iritasi
bahan-bahan yang bersifat karsinogenik dan berlangsung kronis.
Bahan-bahan iritasi tadi merupakan faktor-faktor resiko untuk
terjadinya karsinoma paru.
c. Gambaran klinik
Sering karsinoma paru tidak memberikan keluhan-keluhan dan
penyakit ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan umum
(general chek up). Karsinoma paru baru akan memberikan gejala

24
klinik biasanya kalau sudah lanjut, menimbulkan komplikasi misalnya
memberikan tekanan pada organ disekitarnya, metastasis jauh dan
sebagainya, sehingga mengganggu fungsi organ lain. Kadang-kadang
gejala yang mencolok yaitu timbul rasa nyeri di daerah dada, sesak
napas, hemoptisis, timbul benjolan di dada dan sebagainya.
d. Diagnosis
Diagnosis karsinoma paru ditegakkan atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang terpenting adalah pemeriksaan histopatologi terhadap
jaringan tumor, untuk mengetahui jenis sel tumor. Pada anamnesis
ditemukan keluhan-keluhan yang sering timbul pada penderita,
misalnya batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada dan kelemahan
badan. Pada pemeriksaan fisik, sering tidak ditemukan kelainan,
kecuali bila keadaan sudah lanjut mungkin terjadi metastasis di luar
dada dan sebagainya.
Pemeriksaan radiologik merupakan pemeriksaan penunjang yang
penting, untuk mengetahui adanya gambaran bayangan tumor atau
letak tumor. Pemeriksaan penunjang lainnya untuk dapat menentukan
jenis tumor dan penentuan stadium adalah sitologi sputum,
pemeriksaan histopatologi dari bahan biopsi (baik lewat bronkoskopi,
transbronkial, transtorakal atau biopsi kelenjar) untuk menentukan
adanya metastasis. Pencarian petanda tumor bisa ditambahkan untuk
membantu menegakkan diagnosis.
e. Pengobatan
Pengobatan karsinoma apru tergantung pada jenis tumor dan
stadiumnya. Tindakan operasi (sesuai indikasinya) dan untuk kasus
stadium dini menghasilkan angka tahan hidup 5 tahun yang lebih
tinggi. Pengobatan lainnya adalah radioterapi, kemoterapi,
imunoterapi sesuai indikasi dan kontra indikasinya atau dalam bentuk
kombinasi.
f. Rehabilitasi

25
Tindakan rehabilitasi diperlukan apabila penyakitnya sudah lanjut,
memberikan gangguan fungsi paru yang hebat. Oleh karena pengaruh
karsinoma ini memberikan kelemahan umum, maka tindakan
rehabilitasi ditujukan terhadap kelainan ini, selain perlu memberikan
psikoterapi atau terapi psikososial lainnya.

H. Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut


Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur
anatomik maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan
terhadap timbulnya penyakit-penyakit paru pada usia lanjut dilakukan pada
prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan memperbaiki
keadaan gizi, menghilangkan hal-hal yang dapat menurunkan daya tahan tubuh,
misalnya menghentikan kebiasaan merokok, menghentikan minuman alkohol dan
sebagainya.
Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan denga
cara yang lazim.
1. Usaha pencegahan infeksi paru/ saluran napas
Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat,
mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya infeksi. hal positif yang dapat dilakukan misalnya dengan
melakukan vaksinasi dengan vaksinasi pneumokok untuk menghindari
timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia lanjut vaksinasi ini
kurang berefek.
2. Usaha mencegah timbulnya TB paru
Yang bisa dilakukan ialah menghindari kontak person dengan penderita
TB paru atau menghindari cara-cara penularan lainnya.
3. Usaha pencegahan timbulnya PPOK atau karsinoma paru
Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap
timbulnya kelainan paru (PPOK dan karsinoma paru), perlu dilakukan
pemantauan secara berkala :
a. Pemeriksaan foto rontgen toraks,
b. Pemeriksaan faal paru, paling tidak setahun sekali

26
Sangat dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok berat
dan laik-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.

I. Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Sistem


Pernapasan
Proses penuaan menyebabkan perubahan struktural dan fungsional pada
thoraks dan paru-paru. Kita ketahui bahwa tujuan pernafasan adalah untuk
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan darah.
pada lansia ditemukan alveoli menjadi kurang elastis dan lebih berserabut serta
berisi kapiler-kapiler yang kurang berfungsi, sehingga kapasitas penggunaan
menurun karena kapasitas difusi paru-paru untuk oksigen tidak dapat memenuhi
permintaan tubuh.

Daya pegas paru berkurang, sehingga secara normal menahan toraks sedikit
pada posisi terkontraksi disertai penurunan otot rangka pada toraks dan diafragma.
Karena dinding toraks lebih kaku dan otot pernafasan menjadi lemah, maka
menyebabkan kemampuan lansia untuk batuk efektif menurun. Dekalsifikasi iga
dan peningkatan klasifikasi dari kartilago kostal juga terjadi. Membran mukosa

27
lebih kering, sehingga menghalangi pembuangan sekret dan menciptakan risiko
tinggi terhadap infeksi pernafasan.

1. Pengkajian
Pengkajian pada lansia dengan gangguan sistem pernafasan adalah
sebagai berikut:
a. Adanya kesulitan bernafas (dispneu). Hal ini dapat terjadi pada klien
dengan kelelahan/aktifitas berlebih, penyempitan atau sumbatan
saluran nafas, dan infeksi saluran nafas.
b. Perubahan frekuensi dan irama pernafasan.
c. Obesitas
d. Anemia
e. Adanya sekret.
f. Adanya bunyi saat bernafas.
g. Adanya batuk.
h. Adanya nyeri dada dan berdebar-debar.
i. Peningkatan suhu (demam).

2. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan
gangguan sistem pernafasan adalah sebagai berikut:
a. Pola nafas tidak efektif
b. Kebersihan jalan nafas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Gangguan pola tidur
e. Keterbatasan aktifitas
f. Kurang pengetahuan
g. Kecemasan

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada lansia dengan
gangguan sistem pernafasan adalah sebagai berikut:

28
a. Kaji tanda-tanda vital, status peranpasan: patensi jalan napas, dan
status respirasi: ventilasi
b. Kaji penyebab kesulitan bernafas.
c. Kaji status imun, pemberian imunisasi, dan kontrol resiko komunitas
d. Kaji tingkat pengetahuan: prilaku kesehatan
e. Kontrol faktor resiko: kebiasaan merokok dan pengetahuan
pengontrolan dalam penggunaan.
f. Beri kesempatan istirahat dan kenyamanan yang cukup.
g. Hindari pakaian yang menekan, mengikat, atau sempit.
h. Tingatkan masukan cairan dan nutrisi yang bergizi.
i. Atasi stres atau tekanan jiwa.
j. Anjurkan latihan nafas dalam.
k. Ubah posisi untuk memperbaiki ventilasi.
l. Tutup hidung dan mulut ketika bersin atau batuk.
m. Kolaborasi pemberian antipiretik dan antibiotik serta obat pengencer
dahak kemudian bantu untuk meminumnya.
n. Lakukan pemeriksaan secara berkala, sekurang-kurangnya enam
bulan sekali atau bila ada keluhan.
o. Upayakan ventilasi udara lancar.
p. Upayakan cahaya matahari masuk ke dalam kamar/rumah.
q. Hindari pencemaran udara.
r. Pendidikan dan konseling.
s. Beri motivasi terkait spiritual, sperti banyak berdoa dan beribadah.

4. Latihan Nafas Dalam


Latihan nafas dalam sangat bermanfaat untuk lansia dengan gangguan
pernafasan. Langkah-langkah dalam melakukan nafas dalam adalah
sebagai berikut.
a. Persiapan
1) Cuci tangan
2) Menjelaskan alasan dan prosedur.
3) Mengatur posisi (duduk dengan posisi fowler, semifowler).

29
b. Pelaksanaan
1) Meletakkan kedua tangan diatas perut bagian atas (di bawah
payudara), dan mempertemukan kedua ujung jari tengah tangan
kanan dan kiri tepat diatas processus xyphideus.
2) Menarik dalam dengan perlahan melalui hidung, tahan 3 detik,
lalu hembuskan melalui bibir yang terbuka sedikit.
Catatan :
1) Sebelum melakukan latihan, demonstrasikan sambil
menjelaskan tahapan.
2) Dapat dilakukan lebih dari satu kali.

5. Implementasi
Implementasi adalah tindakan nyata dalam mengaplikasikan rencana
keperawatan yang dilakukan kepada pasien untuk mencapai tujuan dalam
meningkatkan kesehatan pasien, yang meliputi; promotif, preventif,
protektif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap kesehatan lansia.

6. Evaluasi
Adapun beberapa evaluasi yang harus dicapai pada lansia dengan
gangguan pernapasan, yaitu:
a. Meredakan pernapasan
b. Up-to-date status immunisasi pneumonia
c. Immunisasi influenza setiap tahun
d. Untuk lansia yang merokok: aktif berpartisipasi dalam prilaku
penghentian merokok.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomik-fisiologik paru dalam saluran
napas, antara lain berupa pengurangan : elastic recoil paru, kecepatan arus
ekspirasi, tekanan oksigen arteri serta respons pusat reflek pernapasan terhadap
rangsangan oksigen arteri atau hiperkapnia. Hal-hal tersebut berpengaruh pada
mekanisme pertahanan tubuh terhadap timbulnya penyakit paru.
Penyakit paru yang sering ditemukan pada usia lanjut adalah infeksi saluran
napas akut bagian bawah (khususnya pneumonia), tuberkulosis paru, PPOK, dan
karsinoma paru pada usia lanjut.
Untuk mencegah melajunya penurunan fungsi paru, antara lain dapat diatasi
dengan melakukan olahraga atau latihan fisik yang teratur, selain meningkatkan
taraf kesehatan usia lanjut. Laju penurunan fungsi paru dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal paru secara berkala.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan gangguan
sistem pernafasan adalah sebagai berikut: Pola nafas tidak efektif, Kebersihan
jalan nafas tidak efektif, Gangguan pertukaran gas, Gangguan pola tidur,
Keterbatasan aktifitas, Kurang pengetahuan, dan Kecemasan.
Adapun beberapa evaluasi yang harus dicapai pada lansia dengan gangguan
pernapasan, yaitu: Meredakan pernapasan, Up-to-date status immunisasi
pneumonia, Immunisasi influenza setiap tahun, dan Untuk lansia yang merokok:
aktif berpartisipasi dalam prilaku penghentian merokok.

B. Saran
Sebagai salah satu tim kesehatan di bidang keperawatan, tentunya kita harus
mengenal bagaimana kemampuan dan fungsi tubuh pada usia lanjut/ lansia, agar
dapat menegakkan asuhan keprawatan secara tepat dan sempurna sebagai salah
satu cara untuk mensejahterakan kehidupan lansia.

31

Anda mungkin juga menyukai