Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut GINA 2017 Asma merupakan suatu penyakit heterogen, biasanya


ditandai oleh inflamasi kronis pada saluran nafas. Kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan (hiperaktivitas) saluran napas
sehingga memicu episode yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan atau berat
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi
dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(GINA, 2017).
Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan
inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh
22 juta warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi
komplek dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin.1 Asma memiliki
manifestasi klinis berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan
yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat
penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat
(Alsagaff, dkk. 2002).
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini
jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan
diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun
2025 (Partridge, 2007). Meskipun dengan pengobatan efektif, angka morbiditas
dan mortalitas asma masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal
adalah penderita asma (Ratnawati J, 2011). Angka mortalitas penyakit asma di
dunia mencapai 17,4% dan penyakit ini menduduki peringkat 5 besar sebagai
penyebab kematian (Widjaja, 2003).
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik
dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.2
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan akan tetapi penderita dapat sembuh
dalam arti asmanya terkontrol. Bila tidak, akan mengganggu kualitas hidup
penderita. Disamping itu penderita harus mampu meminimalkan faktor-faktor
pemicu penyakit tersebut seperti keadaan lingkungan dimana kita berada dan
perilaku (Danususanto, 2000).
Asma bronkial merupakan salah satu daftar diagnosis yang harus dikuasai
oleh dokter umum, mulai dari proses penegakan diagnosis hingga melalukan
tatalaksana secara tuntas pada pasien yang menderita asma bronkial. Penegakan
diagnosis dan tatalaksana pun harus dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga
mencegah perburukan dari pasien yang sedang mengalami serangan asma
bronkial.

BAB II
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS
Nama : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Status : Menikah
Alamat : Jln. Bali RT/RW.029/009 Kelurahan Dusun II
Kecamatan Sekip, Palembang
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 18 Mei 2019
1.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Keluhan Utama :
Batuk dan sesak sejak 1 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


± 1 hari SMRS pasien mengeluh batuk bertambah berat dan merasakan
sesak. Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dipengaruhi cuaca dingin
terutama malam dan dini hari. Sesak muncul hilang timbul 3-4 kali,
mengganggu saat aktivitas dan tidur malam hari sampai terbangun 3-4 kali.
Pasien lebih suka duduk daripada berbaring. Batuk (+) tidak berdahak, pilek
(-), demam (-), nyeri dada (-), mual(-), muntah (-), sakit saat menelan (-),
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat asma sejak usia 15 tahun. Dalam satu bulan terakhir serangan
asma muncul hampir setiap hari. Gejala malam terjadi 3-4x seminggu, asma
sering kambuh dan terkadang mengganggu aktivitas. Keluhan biasa muncul
setelah melakukan aktivitas bahkan saat istirahat. Pasien sering kambuh saat
emosi. Pasien menggunakan inhaler pada saat serangan.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan yang sama pada ayah Os dan Saudara Laki-laki Os
.
Riwayat Alergi :
Pasien memiliki alergi terhadap debu dan cuaca dingin. Alergi terhadap
makanan, dan obat-obatan, disangkal.

Riwayat Pengobatan :
Riwayat Fenoterol inhaler setiap kali serangan asma dan Salbutamol tab
2 x 1.

Riwayat Kebiasaan :
Merokok sejak remaja sampai sekarang 1-2 bungkus perhari. Pasien
bekerja sebagai kuli bangunan dan sering terpapar debu di tempat kerja.
Tempat tinggal pasien juga banyak barang bertumpuk yang menyebabkan
banyaknya debu dilingkungan rumah. Pasien juga lebih senang tidur
beralaskan tikar sehingga menyebabkan suasana tidur malam yang dingin.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIKUS
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : frekuensi 85x/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Frekuensi pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,6C
Berat Badan : 17 kg
Tinggi : 105 cm
Keadaan gizi : Baik

KEADAAN SPESIFIK
Kepala :
 Mata : konjungtiva palpebrae pucat tidak ada, sklerajikterik tidak
ada, pupil
bulat, isokor, 3mm, refleks cahaya (+/+)
 Telinga : Liang telinga luas, sekret (-)
 Hidung : Cavum nasi luas (+/+), perdarahan (-/-), secret (-/-), nyeri
tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi(-), tidak terdapat
pembengkakan pada daerah muka
 Mulut : Mukosa bibir dan mulut hiperemis (-),
Leher : pembesaran KGB tidak ada
Dada : bentuk simetris
 Paru : vesikuler (+) normal,rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)
 Jantung : bunyi jantung I dan II(+)normal, HR= 85x/mnt, murmur
(-), gallop (-)
Perut : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising nusus (+)
normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas : bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada
Ekstremitas bawah: bentuk simetris, akral hangat, edema tidak ada.
Genitalia eksterna : tidak diperiksa
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

1.4 RESUME
Tn. P, usia 46 tahun, mengeluh batuk bertambah berat dan merasakan
sesak sejak ± 1 hari SMRS. Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak
dipengaruhi cuaca dingin terutama malam dan dini hari. Sesak muncul hilang
timbul 3-4 kali, mengganggu saat aktivitas dan tidur malam hari sampai
terbangun 3-4 kali. Pasien lebih suka duduk daripada berbaring. Batuk ada dan
tidak berdahak, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Keluhan yang dialami os
sering hilang dan timbul sebelumnya, namun tidak pernah lebih dari 4 hari.
Dari anamnesis didapatkan keluarga Os, yaitu ayahnya dan saudara laki-
lakinya, menderita keluhan yang sama. Os bekerja sebagai kuli bangunan dan
sering terpapar debu di tempat kerja. Tempat tinggal pasien juga banyak
barang bertumpuk yang menyebabkan banyaknya debu dilingkungan rumah.
Pasien juga lebih senang tidur beralaskan tikar sehingga menyebabkan suasana
tidur malam yang dingin. Merokok sejak remaja sampai sekarang 1-2 bungkus
perhari. Riwayat Fenoterol inhaler setiap kali serangan asma dan Salbutamol
tab 2 x 1.

1.5 DIAGNOSIS BANDING


 Bronkitis Kronik
 Bronkopneumonia
 PPOK

1.6 DIAGNOSIS KERJA


 Asma Bronchial

1.7 PENATALAKSANAAN
 Non- Medikamentosa
Edukasi mengenai kebersihan rumah dari debu untuk menghindari dari
alergen penyebab. Menganjurkan agar menutup pintu dan jendela yang
menghadap ke jalan yang berdebu. Menganjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan tempat tidur dan tempat bermain serta mainan seperti boneka
agar tidak berdebu. Menganjurkan untuk selalu menggunakan selimut
ketika tidur di udara dingin.

 Medikamentosa
Antihistamin H2 : Cetirizine 1 x 10 mg
Bronkodilator : Salbutamol 2x2 mg
Mukolitik :Ambroxol 3x30 mg

1.8 KOMPLIKASI
 Gangguan Tidur
 Status asmatikus

1.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi
kronis pada saluran nafas. Kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan
peningkatan kepekaan (hiperaktivitas) saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.
Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi
dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
(GINA, 2017).

Gambar 1. Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisiologi Asma


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (Keputusan menteri
kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).

B. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi meningkat di banyak negara,
terutama lebih banyak terjadi pada anak-anak. Asma merupakan penyebab utama
seseorang tidak masuk atau tidak hadir di sekolah dan tempat kerja (GINA, 2017).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu
pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per
1.000 penduduk (PDPI,2006).
Hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah
sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi
asma bronkial sebesar 5–15%.

Gambar 2. Prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun

C. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Asma


Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma
kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007).
Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan
kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu
umur 5 – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian
asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of
America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian
Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok
umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun
menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan
menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan
tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih
sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa
tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis
kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak,
binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada
lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di
perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA
(2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing
dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara
bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam
bentuk partikel – partikel besar.
Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga
telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan
dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan
derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap
pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk
(1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih
tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama
kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang
adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk,
2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah
dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif
oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan
riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan
terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik
pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi
derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

D. Patogenesis Asma Bronkial


Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara
satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen,
polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat
atau ekspresi emosi yang berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis,
menstruasi, refluks gastroesofageal dan kehamilan (Riyanto BS dan Hisyam
B,2007).
Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan
IgE dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk
diantaranya histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi
otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga
terjadi oleh karena saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif
terhadap bermacam-macam jenis serangan. Akibatnya keterbatasan aliran udara
timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran nafas dengan atau
tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot
polos saluran pernafasan (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).

Gambar 3. Bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma bronkial

Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif yang disebabkan


oleh inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonos otot polos
bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap
peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana (Riyanto BS dan
Hisyam B, 2007).
 Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan
berkontraksi/ memendek/ mengkerut
 Produksi kelenjar lendir yangberlebihan
 Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam
saluran napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suaranapas
yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang
sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas (Riyanto BS dan Hisyam B, 2007).

Gambar 4. Patofisiologi asma bronkial


Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi
dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory
Flow Rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi
aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran
aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap
tekanan atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi dinamik. Besarnya hiper inflasi
dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume
cadangan.
Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks yang memperlihatkan
gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar (Riyanto
BS dan Hisyam B, 2007).
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas
otot pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular.
Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena
peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru (Riyanto BS
dan Hisyam B, 2007).
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan bernapas
pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas
(Manurung P,dkk,2006).
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar,
sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi (Manurung P, dkk, 2006).

E. Klasifikasi Asma Bronkial


Berdasarkan derajatnya, asma dapat dibagi menjadi (GINA, 2017):
1. Intermiten
a. Gejala klinis < 1kali/minggu
b. Gejala malam < 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luarserangan
d. Serangan berlangsung singkat
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilaiterbaik
f. Variabilitas APE <20%
2. Persisten ringan
a. Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1kali/hari
b. Gejala malam > 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dantidur
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang
a. Gejala setiap hari
b. Gejala malam > 2 kali/minggu
c. Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e. Variabilitas APE >30%
4. Persisten berat
a. Gejala terus menerus
b. Gejala malam sering
c. Sering kambuh
d. Aktivitas fisik terbatas
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) < 60% nilaiterbaik
f.Variabilitas APE >30%

Sedangkan berdasarkan derajat beratnya serangan asma, dibagi menjadi (GINA,


2017):
Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat Lebih suka duduk Duduk
berbaring dari pada berbaring membungkuk
kedepan
Bicara Beberapa Kalimat terbatas Kata demi kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya terganggu Biasanya
terganggu terganggu
Frekuensi nafas Meningkat Meningkat > 30x/menit

Retraksi otot Kadang kala Kadang kala ada Ada


bantu nafas ada
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi 100-120 100-120 >120
Pulsus Tidak ada Mungkin ada Sering ada
paradoksus (<10mmHg) (10-25mmHg) (>25mmHg)
PEF sebelum >50% >50% ≤50%
bronkodilator
APE setelah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SpO2 >95% 90-95% <90%

F. Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala tergantung dari berat ringannya pada waktu serangan.
Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan
dan gejala tak ada yang khas (Mangunnegoro, dkk, 2004).
Kemungkinan besar gejala yang sering pada asma (keluhan yang khas) (GINA,
2017): Lebih dari satu gejala (sesak nafas, nafas berbunyi, batuk, dada rasa
tertekan,dispneu)
 Gejala sering lebih buruk pada malam dan dinihari
 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya juga bervariasi
 Gejala dicetuskan/dipicu oleh infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga
yang berlebihan, terpapar alergen, iritan (asap, knalpot mobil, bau
yangkuat)

Kemungkinan kecil gejala yang dapat dijumpai pada asma (GINA, 2017):
 Batuk terisolasi dengan tidak ada gejala pada salurannafas
 Terdapat sputum yang produktif
 Sesak nafas lebih yang terkait dengan pusing, pusing, kesemutan pada
bagian perifer
 Nyeri dada
 Dispneu karena aktivitas dengan stridor.

Tanda-tanda fisik (Mansjoer A, 2001):
 Cemas/gelisah/panik/berkeringat
 Tekanan darah meningkat
 Nadi meningkat
 Pulsus paradoksus: penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10
mmHg pada waktu inspirasi
 Frekuensi pernafasan meningkat
 Sianosis
 Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi paru
 Didapatkan ekspirasi yang memanjang
 Wheezing

G. Diagnosis
a. Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap
asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi (GINA, 2017). Ada beberapa
hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
1. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
2. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
3. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan
sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
4. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktifitas atau olah raga?
5. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
6. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
7. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis
alergi)?
8. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?

b. Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran
nafas. Tekanan darah biasanya meningkat, sesak nafas, nafas berbunyi, batuk,
dada rasa tertekan, dispneu, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga meningkat,
ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing) dapat dijumpai pada
pasien asma, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar
serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar
(silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Gejala sering lebih buruk pada malam dan dini hari. Umumnya gejala dipicu oleh
infeksi virus, perubahan cuaca, olahraga yang berlebihan, terpapar alergen, iritan
(asap, knalpot mobil, bau yang kuat) (GINA, 2017). Secara umum pasien yang
sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai
derajat serangan:
1. Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2. Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus
3. Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi, suara lendir

c. Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal
Charcot Leyden) (PDPI, 2006).

d. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran nafas yang merupakan ciri khas asma
dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah
pemberian bronkodilator (GINA, 2017).
2. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
4. Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
5. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
6. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokais bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran nafas pada orang yang
diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu Uji provokasi
dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamine (PDPI, 2006).
Gambar 5. Gambaran tes spirometri

H. Tatalaksana
Terapi non farmakologi (GINA, 2017)
 Berhenti merokok
Tiap visit, berikan rekomendasi pada pasien untuk berhenti merokok
dan menjauhi ruangan/mobil yang terdapat asap rokok
 Aktivitas fisik
Berikan rekomendasi agar pasien melakukan aktivitas fisik yang teratur
dan informasi terkait mengatasi Exercise-Induced bronchoconstriction
 Asma okupasi
Identifikasi dan sarankan untuk menghilangkan allergen okupasi
secepat mungkin
 NSAID termasuk aspirin
Selalu tanyakan riwayat asma pada pasien sebelum memberikan obat
tersebut.
Terapi Farmakologi (GINA, 2017)

Gambar 6. Tatalaksana asma diluar serangan

Terapi asma pada pasien yang bukan serangan atau terkontrol Asma
ringan: terkontrol baik dengan Step 1 atau2 (pemberian dosis rendah short acting
beta agonist (SABA).
 Asma sedang : terkontrol baik dengan Step 3 (pemberian dosis sedang
ICS/LABA + SABA) Asma berat : terkontrol baik dengan Step 4 atau 5
(pemberian dosis tinggi ICS/LABA + SABA)

Berikut adalah penatalaksanaan asma dengan eksaserbasi, penatalaksanaan ini


sendiri biasanya dilakukan pada pasien dengan serangan yang berulang:

Gambar 7. Tatalaksana asma saat serangan

Berikut adalah penatalaksanaan asma dengan eksaserbasi, penatalaksanaan


ini sendiri biasanya dilakukan pada pasien dengan serangan yang berulang:
 Pada pasien datang dengan sesak ada 3 hal yang kita harus evaluasi yaitu
airway, breathing, dan circulasi dan jika ditemukan kelainan berupa drownsines,
confusion, dan silentchest maka langkah selanjutnya adalah segera konsul ke ICU,

21
mulai pemberian SABA dan O2. Persiapan untuk dilakukan tindakan intubasi.
 Jika tidak ditemukan salah satu manifestasi klinik dari 3 hal yang kita nilai
maka tindakan yang kita lakukan adalah menentukan apakah klinis yang kita
temukan tersebut termasuk derajat ringan,sedang, dan berat. Pada derajat ringan
sedang akan ditemukan gejelaberupa:
-berbicara dengan frase
-lebih memilih duduk dibanding berbaring
-tidak teragitasi
-laju pernafasan meningkat
-otot-otot aksesoris tidak terpakai
-nadi 100-120x
-saturasi oksigen 90-95 %
-PEF <50%

 Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral kortikosteroid.
Derajat berat akan dtemukan manifestasi klinis berupa:
-berbicara dengan kata-kata
-duduk dengan membungkuk/condong kedepan
-teragitasi
-otot aksesoris pernafasan terpakai
-saturasi oksigen <90%
-PEF <50%
 Jika ditemukan klinis diatas segera lakukan pemberian short acting beta 2
agonis, ipratroporium bromide, pemberian oksigen dengan target saturasi
mencapai 93-95% pada anak-anak 94-98%, dan pemberian oral atau intravena
kortikosteroid. Tambahan pemberian IV magnesium dan dosis tinggi ICS.
 Jika manifestasi klinis ditemukan berat atau tidak ada pebaikan maka
tindakan selanjutnya adalah segera konsulkan ke ICU atau dirawat diICU.
 Kondisi membaik, selanjutnya kita lakukan penilaian ulang FEV, PEP jika

22
60% - 80% maka termasuk derajat ringan sedang dan lanjutkan terapi, jika
didapatkan nilai FEV, PEP >80% termasuk derajat berat selanjutnya lakukan
terapi sesuai sesuai dengan derajatberat.

Berikut adalah obat-obatan yang berperan sebagai kontroler


 Inhaled & systemic Glucocorticosteroid
 Prednisolone,betamethasone
 Beclomethasone,budesonide
 Fluticasone
 Xanthines
 Theophylline slowreleased
 Long actingβ2-agonist
 Salmeterol
 Formoterol
 Anti-leukotrienes
 Montelukast,Zafirlukast
 Mast cellstabiliser
 Sodium cromoglycates
 Combinations
 Salmeterol/Fluticasone
 Formoterol/Budesonide
 Salbutamol/Beclomethasone

23
Bagan 1. Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

24
Bagan 2. Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

Tujuan dari penatalaksanaan asma (GINA,2017)


25
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi penyakit,
meningkatkan faal paru mendekati normal, mempertahankan faal paru,
meningkatan kualiti hidup, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
obstruksi yang ireversibel, dan mencegah kematian karena asma.

Penilaian apakah asma terkontrol atau tidak (GINA,2017)

Gambar 8. Kuesioner penilaian asma

Gmabar 9. Pelangi Asma Monitoring Asma Secara Mandiri

26
I. Peran Primary Health

Gambar 10. Pengendalian Asma

J. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah (PDPI, 2006):
1. Status asmatikus
2. Atelektasis Hipoksemia
3. Pneumothoraks
4. Emfisema

K. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka

27
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak- kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan
commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan (PDPI, 2006).Pada
penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9% (PDPI, 2006

BAB IV
PENCEGAHAN DAN PEMBINAAN

Genogram Keluarga Tn. P

Tuan Purwadi Ny.Jart

28
Bisnomo Abdul
Asmoro
Keterangan:

Penderita

Orang yang tinggal


Bersama penderita

29
Home Visit
1. Fungsi holistik.
Fungsi holistik merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologis, dan fungsi sosial ekonomis.
a. Fungsi biologis: Ayah dan saudara laki-laki Os memiliki riwayat alergi.
Keluarga Os menyangkal jika dikeluarganya terdapat yang menderita
hipertensi, kencing manis, dan penyakit menular lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa fungsi biologis keluarga Os cukup baik.
b. Fungsi psikologis: Hubungan antar keluarga harmonis dan sangat akrab,
walaupun anak pertama Os sering keluar kota untuk bekerja. Berdasarkan
uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa fungsi psikologis keluarga ini
berjalan baik.
c. Fungsi sosial ekonomi: Kondisi ekonomi keluarga Os menengah ke
bawah. Os bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan + 900.000
sebulan dan istri Os adalah ibu rumah tangga. Keluarga Os bersosialisasi
dengan baik. Keluarga Os ikut kerja bakti dan berkumpul dengan anggota
masyarakat lain pada saat pulang ke rumah. Os dan istri Os selalu
menghadiri acara-acara kemasyarakatan yang diadakan di lingkungan
sekitar.

2. Fungsi fisiologis
Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain. APGAR score meliputi:
a. Adaptation
Keluarga ini mampu beradaptasi antar sesama anggota keluarga, saling
mendukung, saling menerima, dan memberikan saran satu sama yang
lainnya.
b. Partnership
Komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling berbagi
informasi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth

30
Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota keluarga
akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut.
d. Affection
Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini sudah
terjalin dengan cukup baik.
e. Resolve
Anak tuan Tn. P yang pertama sering bekerja di luar kota dan jarang
menghabiskan waktu bersama-sama dengan anggota keluarganya. Adapun
skor APGAR keluarga ini adalah 9 dengan interpretasi Baik. (Data
terlampir).

3. Fungsi patologis
Fungsi patologis dinilai dengan SCREEM score, dengan rincian sebagai
berikut.
a. Social, interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup baik.
b. Culture, keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang baik
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
c. Religious, keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic, status ekonomi keluarga ini kurang, yaitu menengah kebawah.
e. Educational, tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang. Tn. P dan
Ny. S adalah tamatan SLTP. Kedua anaknya hanya lulusan SLTA.
f. Medical, Keluarga telah menjadi anggota BPJS. Keluarga berobat ke
fasilitas kesehatan terdekat di Puskesmas Sekip

4. Fungsi hubungan antarmanusia


Hubungan interaksi antar anggota keluarga maupun antar keluarga dengan
masyarakat sekitar sudah terjalin dengan baik.

5. Fungsi Keturunan (genogram)


Fungsi genogram dalam keadaan baik

6. Fungsi perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) – health literacy


Health literacy merupakan kapasitas seseorang untuk memperoleh,
mengolah, dan memahami informasi dan pelayanan kesehatan sehingga ia
dapat membuat keputusan kesehatan terbaik secara mandiri bagi dirinya
sendiri.
31
Keluarga ini sering mendapatkan informasi mengenai kesehatan
melalui program-program promosi kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas.
Namun masih kurang dalam mengaplikasikan ilmu dan informasi yang
didapatkan, seperti mengenai kondisi rumah yang sehat dan tidak adanya
inisiatif keluarga untuk mengobati keluhan yang sudah sering dialami Os.

7. Fungsi nonperilaku (Lingkungan, pelayanan kesehatan, keturunan)


Lingkungan kurang sehat karena lingkungan padat. Tempat pembuangan
sampah juga kurang dikelola dengan baik. Penyimpanan barang-barang
dirumah juga kurang baik dan kebersihan dirumah juga kurang baik yang
menyebabkan bertumpuknya debu di lingkungan dalam rumah. Keluarga ini
kurang aktif memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan, jarak rumah
dengan puskesmas/rumah sakit cukup dekat. Keluarga ini memiliki riwayat
atopi.

8. Fungsi indoor
Lingkungan dalam rumah tergolong tidak sehat. Rumah penderita
terbuat dari beton dan beratap seng. Rumah keluarga ini juga selalu terbuka
saat siang hari sehingga debu dari jalan bisa langsung masuk ke rumah.
Pakaian dan barang ditumpuk dan kondisi lantai rumah kotor dan berdebu. Di
dapur banyak tersimpan barang yang berdebu dan diletakkan di dekat tempat
makan. Tidak terdapat wastafel di dapur. Terdapat 1 kamar mandi. Kamar
mandi tersebut menggunakan air PDAM.

9. Fungsi outdoor
Gambaran lingkungan di luar rumah kurang baik, jarak antar rumah
cukup padat, di depan rumah terdapat sampah sampah yang tidak dibersihkan
akibat kurangnya pengolahan sampah dikawasan ini. Tempat pembuangan
sampah yang dekat dengan rumah dan kebiasaan warga membakar sampah
pada malam hari membuat lingkungan luar rumah warga sekitar ini kurang
baik.

Upaya Pencegahan dan Pembinaan

32
Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku pembina
kesehatan keluarga Tn. P adalah untuk meningkatkan kualitas hidup semua
anggota keluarga dan mencegah terjadinya kekambuhan penyakit.
Penatalaksanaan yang saya ajukan berupa non-farmakologis dan farmakologis.
Penatalaksanaan non-farmakologis lebih cenderung kepada penyuluhan tentang
penyakit asma serta pentingnya mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
Penyuluhan tersebut tentang penyebab timbulnhya keluhan, pentingnya menjaga
kebersihan dalam rumah, pentingnya memiliki rumah yang layak huni, serta
pentingnya memeriksakan diri ke Puskesmas apabila keluhan muncul.
Terapi farmakologis berupa obat sistemik yaitu obat anti histamin
(cetirizine) dan Mukolitik (Ambroxol) menjadi pilihan karena obat tersebut yang
tersedia di puskesmas dan cukup ampuh untuk mengatasi penyakit asma.
Dijelaskan juga kepada pasien untuk meminum obat anti histamin ditujukan untuk
mengurangi keluhan asma dan diminum cukup 1 tablet dalam sehari.

33
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Simpulan
1. Os mengalami asma, pasien memiliki masalah ekonomi, namun tidak
memiliki masalah sosial dan psikologi
2. Penyakit yang dialami Os dapat disebabkan oleh kebersihan di dalam
rumah dan lingkungan Os
3. Fungsi patologi yang dinilai dengan skor SCREEM menunjukkan adanya
masalah ekonomi pada keluarga Os.

5.2 Saran
1. Pelayanan kedokteran keluarga hendaknya dapat diterapkan dengan lebih
baik di Indonesia karena dapat memberikan penanganan secara
menyeluruh terhadap pasien serta dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat Indonesia.
2. Keluarga Os hendaknya memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan
di sekitar karena merupakan faktor yang mempengaruhi kekambuhan
penyakit asma yang dialami Os.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2.


Surabaya : Airlangga University Press. 2002. h 263 –300.
2. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma.
Eur Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72
3. Ratnawati J. 2011. Epidemiologi Asma. J Respir Indones31(4):172-5.
4. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyakit Asma Pada Usia ≥10 Tahun di Indonesia (Analisis Data
Riskesdas 2007). J Respir Indones,30(2):85-91.
5. Widjaja A. Patogenesis Asma. 2003. Makalah Ilmiah Respirologi. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.p.27.
6. Danususanto H. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates, 2000.196-224.
7. Dezateux, C., Stocks, J., Dundas, I., Fletcher, M.E. Impaired airway function
and wheezing in infancy: the influence of maternal smoking and a genetic
predisposition to asthma. Am J Respir Crit Care Merd 1999; 159(2):403-10.
8. Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma
Management andPrevention.
9. Global Initiative for Asthma (GINA). 2017. Global Strategy for Asthma
Management andPrevention.
10. Mangunnegorodkk. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2004.3-79.
11. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2001. 477-82.
12. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara
Eosinofil Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten
Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia 2006;1.45
13. Maryono, 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dengan
KekambuhanAsmaBronkhialepadaKlienRawatJalandiPoliklinikParu

LAMPIRAN 1
DENAH RUMAH

35
36
LAMPIRAN 2
KONDISI RUMAH DAN LINGKUNGAN

Dapur yang kotor dengan tumpukan barang yang berdebu

Kamar anak Tn. P yang sempit dan berdebu

37
Kamar Tn. P sekaligus ruang tamu yang berdebu dan beralaskan tikar

Keadaan di luar rumah Os yang padat

38
Kamar mandi yang berlumut dan langsung berhubungan dengan kamar
yang di sebelahnya

Suasana Komunikasi dengan Keluarga Os


LAMPIRAN 3
APGAR SCORE

Skor untuk masing-masing kategori adalah :


0 = Jarang/tidak sama sekali

39
1 = Kadang-kadang
2 = Sering/selalu
Tiga kategori penilaian yaitu :
≤ 5 = Kurang
Variabel APGAR APGAR APGAR APGAR
Penilaian Ayah Ibu Anak I Anak II
Adaptation 2 2 2 2
Partnership 2 2 2 2
Growth 1 1 2 2
Affection 2 2 2 2
Resolve 1 2 1 2
Total 8 9 9 10
6-7 = Cukup
8-10 = Baik

Rata-rata APGAR score pada keluarga ini = 9 (Baik)

LAMPIRAN 4
SCREEM SCORE

Variabel Penilaian Penilaian


Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup
baik.
Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan
yang baik terhadap budaya, tata karma, dan perhatian
terhadap sopan santun.
Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini kurang
Educational Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong kurang.
Tn. A dan Ny. W adalah tamatan SLTP

40
Medical Keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai.

41

Anda mungkin juga menyukai