Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

LAKI-LAKI 52 TAHUN DENGAN PARAPARESE INFERIOR DAN


HIPERTENSI STAGE II TIDAK TERKONTROLYANG
MERUPAKAN PEROKOK AKTIF YANG KURANG
PENGETAHUAN TENTANG PENYAKITNYA DAN RUMAH
TANGGA TIDAK BER-PHBS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Stase Komprehensif


di Klinik PKU Muhammadiyah Pakem

Disusun oleh:

Dita Putri Hendriyani


20174011074

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I ...................................................................................................................... 4

A. IDENTITAS PASIEN .............................................................................. 4

B. ANAMNESIS ........................................................................................... 4

C. ANAMNESIS PENGALAMAN SAKIT (ILLNESS) .............................. 7

D. PEMERIKSAAN FISIK ........................................................................... 8

E. DIAGNOSIS KLINIS ............................................................................ 13

F. PERANGKAT PENILAIAN KELUARGA .............................................. 13

G. RUMAH DAN LINGKUNGAN SEKITAR .......................................... 17

H. DIAGNOSIS HOLISTIK ....................................................................... 19

I. PENGELOLAAN KOMPREHENSIF ....................................................... 20

BAB II ................................................................................................................... 23

BAB III ................................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45

3
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Pakem

Agama : Islam

Pekerjaan : Tukang parkir

Status Perkawinan : Duda

Pendidikan Terakhir : SMP

Kunjungan Puskesmas: 20 Mei 2019

Kunjungan Rumah : 21 Mei 2019

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama:

Kedua kaki terasa lemah

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik pada tanggal 20 Mei 2019 dengan keluhan


kedua kaki terasa lemah sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan ini timbul secara
perlahan – lahan, awalnya kedua kaki terasa kesemutan kemudian menjadi
lemah. Lemah kedua kaki didahului kecelakaan lalu lintas pada 3 tahun yang
lalu. Pada saat itu pasien sempat dirawat di ruang ICU. Sejak kejadian itu
kedua kaki terasa lemah, akibatnya sebagian aktivitas dari pasien terganggu
seperti pekerjaan pasien. Pasien juga mengeluh kepala terasa berat. Pasien

4
mempunyai riwayat penyakit darah tinggi dan mengonsumsi amlodipine 5
mg namun tidak dikonsumsi secara rutin, hanya saat pasien merasa pusing
saja. Mual dan muntah disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit HT sejak 3 tahun yang lalu

 Riwayat penyakit DM disangkal

 Riwayat penyakit Jantung disangkal

 Riwayat alergi disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

 Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit HT, dan meninggal setelah


mengalami stroke.
 Riwayat Ppnyakit DM disangkal
 Riwayat penyakit Jantung disangkal
 Riwayat alergi disangkal
5. Riwayat Penyakit Sosial dan Lingkungan

 Pendidikan

Pendidikan terakhir pasien SMP.

 Perkawinan dan keluarga

Pasien merupakan seorang ayah dari 1 orang putri. Pasien tinggal sendiri

dirumah. Istri pasien meninggal karena kecelakaa lalu lintas Bersama pasien

3 tahun yang lalu. Anak pasien baru saja menikah 2 tahun yang lalu dan

tinggal bersama suaminya.

 Pekerjaan dan Penghasilan

5
Pasien adalah seorang tukang parker di pasar pakem, namun

karena keadaan pasien yang tidak kuat untuk merapikan sepeda motor

yang telah terparkir sehingga pasien seringkali hanya mengawasi saja.

 Sosial

Pasien mengaku bahwa lingkungan masyarakat sekitarnya

sangat baik. Mereka ramah serta peduli dengan apa yang terjadi pada

tetangganya. Pasien selalu mengikuti pengajian di masjid dekat

rumahnya.

 Gaya Hidup

Pasien merokok sejak usia pasien 15 tahun. Pasien sering

merokok di dalam rumah. Pasien menghabiskan 5-6 batang rokok

dalam sehari. Dalam kesehariannya, pasien selalu menyempatkan

mengonsumi sayur walaupun hanya satu kali dalam sehari, pasien

sering mengonsumsi buah semangga karena menurutnya dapat

menurunkan tekanan darah tanpa mengonsumsi obat.

 Lingkungan

Pasien tinggal dalam lingkungan dengan kepadatan tinggi. Tidak

ada jarak antara satu rumah ke rumah lainnya di sebelahnya. Rumah

memiliki ventilasi dan pencahayaan yang bagus. Sumber air berasal

dari PDAM. Pengelolaan sampah diambil oleh truk sampah.

6. Review Anamnesis Sistem:

6
 Neurologi : Kesadaran menurun (-), pusing (+),

kelemahan anggota gerak atas (-), kelemahan anggota gerak bawah

(+)

 Respirasi : Batuk (-), pilek (-), sesak napas (-),

pernapasan dangkal (-)

 Kardiovaskular : Pucat (-), takikardi (-),

 Gastrointestinal : Muntah (-), nyeri uluhati (-), BAB

cair (-) warna hitam, perut kembung(-), sakit pada anus (-), flatus (+)

 Urogenital : BAK lancar, nyeri BAK (-)

 Muskuloskeletal : Lemas (-), kaku sendi (-), nyeri sendi

(+) lengan kanan

 Integumentum : Gatal (-), nyeri tekan epigastrium(-)

C. ANAMNESIS PENGALAMAN SAKIT (ILLNESS)

Illness merupakan keadaan sakit yang dirasakan oleh manusia yang

didapat dari penyakit tersebut (bersifat subyektif). Illness terdiri dari 4

komponen berupa perasaan, ide atau pemikiran, harapan pasien terhadap

penyakit yang dialami, dan efek penyakit terhadap fungsi atau kehidupan sehari

– hari pasien.

Tabel 1.1. Komponen Illness Ny. I

No Komponen Pasien

Pasien merasa pasrah tentang sakitnya. Menurut


1 Perasaan
pasien sakit yang dialaminya sekarang merupakan

7
akibat dari kecelakaan yang pasien pernah alami,
pasien bersyukur saat itu masih dapat hidup.

Pasien tidak sepenuhnya memahami mengenai


2 Ide/Pemikiran penyakitnya, termasuk penyebab, gejala, faktor
risiko, dan komplikasi yang mungkin terjadi

Sejak 3 tahun yang lalu pasien tidak dapat


menjalankan pekerjaannya sebagai tukang parkir
3 Efek terhadap fungsi
karena tidak kuat memindahkan sepeda motor dari 1
tempat ketempat lain.

Pasien berharap penyakitnya dapat sembuh sehingga


4 Harapan
ia dapat melakukan aktivitas seperti semula.

D. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Compos Mentis

 Tanda-tanda vital

 Tekanan darah : 160/10 mmHg

 Nadi : 82x/menit

 Suhu badan : 36,9 C

 Pernapasan : 20x/menit

 Antropometri

 Tinggi badan : 160 cm

 Berat badan : 55 kg

 Indeks massa tubuh: 19,5 kg/m2

8
 Status gizi : normal

Status Generalis

 Kepala
o Bentuk normal
o Konjungtiva anemis (-)
o Pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
o Bibir sianosis (-)
 Leher
o Pembesaran KGB (-)
o Trakea teraba di tengah
 Thoraks
○ Paru
- Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan simetris,
retraksi ICS (-).
- Palpasi : Pelebaran ICS (-)
- Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
○ Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung atas : ICS III sinistra
Batas jantung kanan : PSL dextra
Batas jantung kiri : MCL sinistra
Batas jantung bawah : ICS V sinistra
- Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler. Murmur (-)

 Abdomen
- Inspeksi : Bentuk flat

9
- Palpasi : Soefel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien
tidak teraba
- Perkusi : Timpani di seluruh abdomen
- Auskultasi : Bising usus normal
 Ekstremitas atas dan bawah
- Akral hangat, Oedem (-).

Status Neurologicus
 Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri
Olfaktorius (I)
 Subjektif Normal Normal
 Objektif (kopi dan teh) Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Optikus (II)
 Tajam penglihatan (Subjektif) Normal Normal
 Lapangan pandang (Subjektif) Normal Normal
 Melihat warna (+) (+)
Okulomotorius (III)
 Sela mata Normal Normal
 Pergerakan mata kearah
superior, medial, inferior, torsi (+) (+)
inferior
 Strabismus (-) (-)
 Nystagmus (-) (-)
 Exoptalmus (-) (-)
 Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
 Melihat kembar (-) (-)
 Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)

10
 Pergerakan mata (ke bawah- (+) (+)
keluar)
Trigeminus (V)
 Membuka mulut (+) (+)
 Mengunyah (+) (+)
 Menggigit (+) (+)
 Sensibilitas muka (+) (+)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (+)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi (+) (+)
 Sudut bibir (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsi pendengaran (+) (+)
(Subjektif)
Glossofaringeus (IX)
 Perasaan lidah (bagian (+) (+)
belakang)
 Refleks muntah (+) (+)
Vagus (X)
 Bicara (+) (+)
 Menelan (+) (+)

Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu (+) (+)
 Memalingkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah (+) (+)

11
 Artikulasi (+) (+)

 Anggota Gerak Atas


Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan Normal Normal
 Kekuatan 5 5
 Tonus Normal Normal
Sensibilitas
 Taktil (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
 Biseps (+) (+)
 Triceps (+) (+)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman (-) (-)

 Anggota Gerak Bawah


Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (+)
 Kekuatan 4 4
 Tonus (+) (+)
Sensibilitas
 Taktil (raba) (+) (+)
 Nyeri (+) (+)
Refleks fisiologis
 Patella (+) (+)

12
meningkat meningkat
 Achilles (+) (+)
Meningkat meningkat
Refleks patologis
 Babinski (+) (+)
 Chaddock (+) (+)
 Schaefer (+) (+)
 Oppenheim (+) (+)
 Rossolimo (+) (+)
 Clonus paha (-) (-)
 Clonus kaki (-) (-)

E. DIAGNOSIS KLINIS

Paraparese inferior, Hipertensi grade II

F. PERANGKAT PENILAIAN KELUARGA

1. Genogram Keluarga (family genogram)

HT S

D
C

S HT HT 56
52

27 31
13
Keterangan :
Laki-laki
Wanita
Meninggal
Satu rumah
C : Care giver
D : Decision Maker
S: Stroke
HT: Hipertensi
J: jantung

2. Family life cycle : Pasien termasuk dalam kategori Middleage Family

3. Family Map

Keterangan

- A : Pasien

- B : anak pasien

4. Family Life Line

Tabel.1.2.Tabel Family Life Line

Tahun Usia Kejadian Severity of Illness

2016 49 Kecelakaan lalu lintas Terjadi


kelemahan
Masuk ICU
anggota gerak
Istri meninggal bawah

14
2017 50 Anak pasien menikah dan
tinggal dengan suaminya
sehingga pasien tinggal sendiri
dirumah.

5. Family APGAR Score

Tabel.1.3. Skoring APGAR Keluarga

Kadang – Hampir
Hampir
APGAR Keluarga kadang tidak
Selalu (2)
(1) pernah (0)

1. Saya merasa puas karena saya dapat


meminta pertolongan kepada

keluarga saya ketika saya
menghadapi permasalahan
2. Saya merasa puas dengan cara

keluarga saya membahas berbagai

15
hal dengan saya dan berbagi masalah
dengan saya
3. Saya merasa puas karena keluarga
saya menerima dan mendukung
keinginan – keinginan saya untuk √

memulai kegiatan atau tujuan baru


dalam hidup saya
4. Saya merasa puas dengan cara
keluarga saya mengungkapkan kasih
sayang dan menanggapi perasaan – √

perasaan saya, seperti kemarahan,


kesedihan dan cinta
5. Saya merasa puas dengan cara
keluarga saya dan saya berbagi √

waktu bersama
Keterangan klasifikasi APGAR:
8 – 10 : sangat fungsional (high functional family)
4 – 7 : disfungsional sedang (moderate dysfunctional family)
0 – 3 : disfungsional berat (severe dysfunctional family)
Total Skor 8Kesimpulan : termasuk keluarga sangat fungsional
5. Family SCREEM

Tabel.1.4. Skoring Family SCREEM

ASPEK SUMBER DAYA PATOLOGI

Sosial Pasien dan keluarga suka berkumpul


bersama tetangga dan dapat
bersosialisasi dengan baik

Cultural Pasien tidak percaya dengan


pengobatan alternatif atau
menggunakan orang pintar. Jika sakit
segera mencari klinik terdekat.

16
Religius Pasien adalah seorang muslim yang
taat dan rajin beribadah wajib sehari –
hari seperti sholat 5 waktu. Rajin
pengajian.

Economy Pasien merasa


penghasilannya cukup
untuk kebutuhan sehari
harinya saja. Untuk
keperluan lain seperti
periksa dokter pasien
meminta bantuan anaknya.

Education Pendidikan terakhir pasien


dalah SMP

Medical - Pasien memiliki jaminan kesehatan


yang dapat mengcover biaya berobat
- Akses ke pelayanan kesehatan
mudah dan dekat

G. RUMAH DAN LINGKUNGAN SEKITAR


1. Kondisi rumah

Lokasi rumah berada di Pakem RT 38, Yogyakarta. Rumah pasien

berdiri di tanah milik pribadi dengan luas sekitar 50 m2 (10x5 meter), yang

ditempati 1 orang. Terletak di kawasan padat penduduk. Bangunan

permanen, tembok sebagai pembatas langsung dengan rumah tetangga dan

tidak berjarak. Atap rumah terbuat dari genteng. Lantai terbuat dari ubin.

Pembatas antar kamar adalah tembok.

17
Pasien tinggal sendiri. Kebersihan rumah kurang, dan terlihat

berantakan. Pembagian ruangan : Terdapat 1 kamar tidur, ruang tamu, ruang

tv sekaligus dapur, dan kamar mandi. Kondisi bak mandi dan jamban bersih.

Sanitasi dasar : Kebutuhan air sehari-hari menggunakan sumur dan

PDAM. selama ini tidak ada masalah dalam penggunaan sumur tersebut.

Pembuangan limbah jamban dialirkan ke dalam septic tank. Limbah air

mengalir ke sungai di sekitar rumah. Air yang digunakan untuk kebutuhan

rumah tangga jernih, tidak berasa, dan tidak berbau.

Pencahayaan dan ventilasi : Pencahayaan dan ventilasi rumah kurang,

jendela hanya di rumah bagian depan. Pintu di tiap kamar hanya ditutupi

kain.

2. Lingkungan sekitar rumah

Rumah pasien tersebut berada di kawasan padat penduduk. Jarak

rumah pasien dengan rumah di depannya 3,5 meter dan rumah – rumah

sangat berhimpitan, jalanan di sekitar rumah cukup dilewati mobil namun

tidak bias bersisipan.

3. Denah rumah

Km mandi

kamar

Ruang tv

Ruang tamu

18
INDIKATOR PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS)

Tabel.1.5. Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

No. Indikator PHBS Jawaban

1 Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan -

2 Pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 – 6 bulan -

3 Menimbang berat badan balita setiap bulan -

4 Menggunakan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan Ya

5 Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun Ya

6 Menggunakan jamban sehat Ya

Melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumah dan


7 Ya
lingkungannya sekali seminggu

8 Mengkonsumsi sayuran dan/atau buah setiap hari Ya

9 Melakukan aktivitas fisik atau olahraga Tidak

10 Tidak merokok Tidak

Kesimpulan : Rumah tangga tidak ber-PHBS

H. DIAGNOSIS HOLISTIK

1. Diagnosis Psiko-Sosial dan Kultural-Spiritual

Kesalahpahaman tentang penyakitnya

Rumah tangga tidak ber-PHBS

2. Diagnosis Holistik

Laki-laki 52 tahun dengan paraparese inferior dan hipertensi stage ii tidak


terkontrolyang merupakan perokok aktif yang kurang pengetahuan tentang
penyakitnya dan rumah tangga tidak ber-PHBS.

19
I. PENGELOLAAN KOMPREHENSIF

1. Upaya Promotif

Edukasi kepada pasien dan minimal ada satu anggota keluarga yang ikut

mendengarkan, terkait:

a) Gambaran tentang HT dan Paraparese inferior yang merupakan penyakit

kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan tergantung

perilaku kesehatan dari pasien

b) Pentingnya modifikasi gaya hidup, terutama dalam hal pola makan,

aktivitas fisik yang teratur, serta istirahat yang adekuat.

c) Pentingnya minum obat secara teratur sesuai anjuran dokter.

d) Pentingnya kontrol penyakitnya ke dokter tiap 1 bulan sekali untuk

memonitor perkembangan kesehatan.

e) Pentingnya menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat dalam

kehidupan sehari-hari.

f) Pentingnya dukungan keluarga pada pasien dalam pengelolaan

penyakitnya

g) Konseling untuk berhenti merokok

h) Konseling dan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk menerapkan

pola hidup sehat. Yaitu untuk pasien berhenti merokok, dan untuk anak-

anaknya untuk tidak merokok di dalam rumah.

i) Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi

dukungan kepada pasien dan mengawasi pengobatan.

20
2. Upaya Preventif

a) Pola makan dengan prinsip 3J (Jadwal, jenis, jumlah)

b) Menerapkan pola makan dengan memperbanyak konsumsi buah dan

sayur, mengurangi asupan garam, mengurangi makanan berminyak dan

bersantan.

c) Melakukan aktivitas fisik secara teratur selama 30 menit, 3-4 x

seminggu.

d) Istirahat cukup minimal 6-8 jam/hari.

e) Melakukan manajeman stress yang baik.

f) Menghindari asap rokok

g) Minum obat secara teratur sesuai anjuran dokter.

h) Melakukan kontrol rutin ke dokter untuk penyakitnya tiap 1 bulan sekali

atau jika ada keluhan.

3. Upaya Kuratif

- Amlodipin 1x 10 mg

- Biocombin 1 x 1

4. Upaya Rehabilitatif

Rehabilitasi ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan toleransi pasien

terhadap aktifitas fisik yaitu:

Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya dengan menggunakan pelatihan-pelatihan gerak tubuh

baik secara aktif maupun secara pasif. Secara umum tujuan terapi latihan

meliputi pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan,

21
perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot,

kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak,

stabilitas, rileksasi, koordinasi keseimbangan dan kemampuan fungsional

5. Upaya Paliatif

Bina Rohani

22
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PPOK

A. Definisi PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang

dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-

perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat

progresif nonreversible atau reversibel parsial dan berhubungan dengan respon

inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya.

PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

B. Faktor Risiko PPOK

1. Usia > 45 tahun

2. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab yang penting. Dalam

pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif - Bekas perokok

- Perokok pasif

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

3. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

23
4. Hipereaktiviti bronkus

5. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

6. Berat badan lahir rendah

7. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

C. Etiologi PPOK

Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi

PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal,

dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan

bahwa setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut

40-50% disebabkan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal.

Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10

sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa

peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK

dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui.

Dalam sebuah studi di Eropa, meningkat dari 50 mg / m 3 di tingkat polutan harian

menunjukkan peningkatan risiko relatif perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk

SO2 (RR 1,02), NO2 (RR 1,02), dan ozon (RR 1,04). Emboli pulmonal juga dapat

menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli

Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi PPOK.

D. Patologi, Patogenesis Dan Patofisiologi PPOK

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,

metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat

fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,

disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

24
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,

terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan

terbanyak pada paru bagian bawah

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,

duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura Obstruksi

saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural

pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan

hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil

bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang

menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan

emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada,

mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang

nyata.

25
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang

disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi

yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami

metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.

Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya

saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang

terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang

kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk

hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,

peningkatan otot polos.

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan

septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular),

emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering

dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang

dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya

pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan

paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi

yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin

dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan

pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar

patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit

akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur

sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi

26
saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun

setelah berhenti merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat

keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator

yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic

factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α,

IL-1ß dan TGFß. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas

antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses

inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti

nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang

sebelumnya telah ada.

Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi

silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi

saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping

pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas

perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial

dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal

dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri

pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri

pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary

bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.

E. Diagnosis PPOK

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan

27
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila

dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK

sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis

ditegakkan apabila :

1. Anamnesis

a. Keluhan

- Batuk Kronik

Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak

hilang dengan pengobatan yang diberikan.

- Berdahak Kronik

Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa

disertai batuk.

- Sesak nafas

Sesak nafas yang progresif, bertambah berat dengan aktifitas, bias juga

persisten.

- Demam

b. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang

c. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

d. Riwayat lingkungan social dan kebiasaan

Riwayat pajanan (asap rokok, asap tungku memasak, polusi udara, polusi tempat

kerja)

2. Pemeriksaan Fisik

28
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas

terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi

alveoli. Sedangkan PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali

terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.

Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :

a. Inspeksi

- Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong)

- Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang meniup)

Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi

yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.

- Pelebaran sela iga.

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan

pernapasan pursed - lipsbreathing

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

b. Palpasi

- Fremitus melemah

- Sela iga melebar

29
c. Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah

d. Auskultasi

- Suara nafas vesikuler melemah atau normal

- Ekspirasi memanjang

- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

- Ronki

- Bunyi jantung terdengar jauh

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Faal Paru - Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %

). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter

walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau

variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

b. Faal Paru - Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE

meter.

30
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau

APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

c. Darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia

kronik)

d. Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila

terjadi eksaserbasi)

e. Radiologi (foto thoraks)

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

Pada bronkitis kronik :

- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

31
Normal Hyperinflation

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada

anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan

berdahak dengan sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang

berusia pertengahan atau yang lebih tua.

F. Diagnosis Banding PPOK

1. Asma

2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita

pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

3. Pneumotoraks

4. Gagal jantung kronik

5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed

lung.

32
33
Klasifikasi Gejala Spirometri

Penyakit

Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau VEP > 80%

bila exercise prediksi

- Tidak ada gejala waktu istirahat VEP/KVP < 75%

tetapi gejala ringan pada latihan

sedang (misal : berjalan cepat, naik

tangga)

Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat VEP 30 - 80%

tetapi mulai terasa pada latihan / prediksi

kerja ringan (misal : berpakaian) VEP/KVP <

- Gejala ringan pada istirahat 75%

Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat VEP1<30%

- Gejala berat pada saat istirahat prediksi

- Tanda-tanda korpulmonal VEP1/KVP <

75%

34
G. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan

dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan

infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya

komplikasi. Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah

mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal

napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah

kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbasi

2. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang

pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan

mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang

gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2

> 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan

sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28%

atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing,

tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat

mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi

mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan

Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil

ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.

35
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal

a. Antibiotik

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat

dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian

antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan

untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan

makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.

Lini I : Ampisilin, Kontrimoksasol, Eritromisin

Lini II : Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, Kombinasi

kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan

eritromisin sebagai makrolid.

b. Bronkodilator

Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus

diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila

digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar

bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser

yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan

oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi

CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan bronkodilator

lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam

perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena

dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat

terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

36
- Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap 1 jam

dan dapat dilanjutkan dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam

- Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati

- Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan

dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam

- Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam

1 botol cairan infusyang dipergunakan adalah Dektrose 5%, Na Cl

0,9% atau Ringer laktat

c. Kortikosteroid

Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi.

Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari

selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena.

Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih

baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

d. Diuretik

Diuretik pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung kanan

atau kelebihan cairan.

4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia

berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas

5. Ventilasi mekanik

Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan

mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom.

37
Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan

ventilasi mekanik dengan intubasi.

6. Kondisi lain yang berkiatan

- Monitor balans cairan elektrolit

- Pengeluaran sputum

- Gagal jantung atau aritmia

7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit

Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi

dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan

segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari

penggunaan ventilasi mekanik.

1. Komplikasi

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut: Komplikasi

yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas kronik, gagal nafas akut,

infeksi berulang, dan kor pulmonal. Gagal nafas kronis ditunjukkan oleh hasil

analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta Ph

dapat normal. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis ditandai oleh sesak nafas

dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan

kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi

berulang. Selain itu, pada kondisi kronis ini imunitas tubuh menjadi lebih

rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonal

ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal

38
jantung kanan.

39
BAB III

ANALISIS KASUS

Kasus ini mengenai seorang laki-laki berusia 52 tahun yang periksa ke

Puskesmas Pembantu Tompeyan dengan keluhan sesak nafas dan batuk. Pasien

merupakan perokok aktif yang sering merokok di dalam rumah. Pasien merupakan

seorang buruh bangunan yang terpapar debu setiap hari. Pemeriksaan fisik pada saat

kunjungan rumah menunjukkan sementara tanda vital (pernafasan) meningkat.

Didapatkan sesak nafas, terdengar suara rhonki dan wheezing saat di auskultasi.

Kemudian dokter mendiagnosis PPOK . Gambaran klinis PPOK menurut pedoman

diagnosis dan penatalaksanaan PPOK di Indonesia, dari Anamnesis:

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan

polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

Pada pasien ini merupakan seorang perokok aktif selama 37 tahun, sering merokok

di dalam rumah, dan bekerja sebagai buruh bangunan yang terpapar debu setiap hari

dianggap sebagai faktor risiko dari PPOK.

Pemeriksaan fisik, PPOK dini umumnya tidak ada kelainan:

40
• Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher

dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi

- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

Pada pasien ini pada pemeriksaan fisik sesak nafas, hipersonor saat diperkusi

dan terdengar suara rhonki saat di auskultasi sebagai tanda dan gejala PPOK.

41
Penatalaksanaan obat yang diberikan dokter pada pasien adalah Salbutamol 2 x

1 tab sebagai pilihan obat bronkodilatornya, MP 3 x 4mg sebagai obat antiinflamasi,

Azitromycin 1 x 250 mg sebagai obat antibiotik, Bronchitin expectorant 2 x 1 cth

sebagai obat mukolitik.

Pada saat kunjungan rumah, keluhan yang masih dirasakan pasien adalah

sesak nafas yang kadang-kadang datang, membaik jika pasien posisi duduk dan

batuk masih tapi membaik. Kemudian pasien menjalani rawat jalan atas keinginan

pasien sendiri. Kini keluhan sudah cukup berkurang walaupun masih batuk dan

sesak nafas. Saat digali pada kegiatan homevisit, pasien ini kurang memiliki

pengetahuan yang baik mengenai penyakitnya. Pasien yang tidak mengetahui

mengenai penyakitnya, faktor risiko, dan komplikasi menyebabkan kurangnya

kesadaran pasien untuk menjaga agar penyakitnya tidak menimbulkan komplikasi

atau kondisinya memburuk. Pengetahuan yang kurang pada pasien ini dapat

disebabkan karena kurangnya tingkat kemampuan pemahaman pasien mengingat

tingkat pendidikan yang kurang.

Akibat kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakitnya, pasien masih

belum melaksanakan pola hidup sehat seperti seharusnya. Pola makan yang dijalani

pasien masih kurang sesuai untuk kondisi pasien, terlihat dari hasil food recall saat

kunjungan rumah. Pola makan yang kurang baik dapat disebabkan kurangnya

pengetahuan mengenai bagaimana menu makan yang baik, maupun sulitnya

mewujudkan menu makanan yang baik. Misalnya pada keluarga pasien, setiap

orang bergantian memasakkan menu makanan sesuai waktunya masing-masing,

termasuk makanan untuk pasien. Makanan dimasak bersamaan dan terkadang

42
kandungannya pun tidak dikhususkan untuk kondisi pasien. Seluruh perangkat

penilaian keluarga hasilnya baik dan keluarga pasien merupakan keluarga sangat

fungsional.

Pasien tidak memiliki hasil pemeriksaan laboratorium, dan rontgen. Hal ini

harus menjadi perhatian, apakah yang melatarbelakangi keputusan pasien tersebut.

Pasien merasa kondisi penyakitnya saat ini sudah parah sehingga tidak

membutuhkan tindakan di rumah sakit dan hanya berpasrah pada tuhan walaupun

tetap berusaha dengan patuh meminum obat yang diberikan oleh dokter.

Keluarga pasien yang belum melaksanakan PHBS akan lebih meningkatkan

risiko terjadinya infeksi pada saluran pernapasan pasien. Sehingga edukasi PHBS

juga perlu dilakukan kepada pasien dan keluarga.

Penerapan Prinsip Kedokteran Keluarga


1. Primary Care: pasien telah datang ke Pustu Tompeyan sebagai tujuan
pengobatan pertamanya ketika pasien mengalami sesak nafas.
2. Personal Care: pasien mengalami kesalahpahaman mengenai penyebab
sakitnya.
3. Holistic Care: pasien telah mendapatkan farmakoterapi untuk mengatasi sesak
nafas dan mendapatkan edukasi mengenai kesalahpahaman penyebab sakit
pasien.
4. Comprehensive care: penatalaksanaan promotif, preventif, kuratif, rehabilitati
dan paliatif telah dilaksanakan pada pasien ini
5. Continuing care: memonitor keadaan pasien dan mencatatnya dalam rekam
medis, sehingga perkembangan pasien dapat selalu dipantau secara
berkelanjutan.
6. Emphasis on Preventive Medicine: pencegahan penyakit pada kasus ini
dilakukan dengan memberikan edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien.

43
7. Patient-centered Care, Family Focused and Community-oriented Care:
eksplorasi mengenai aspek disease dan illness pada pasien dan keluarga serta
dilakukannya penilaian fungsi keluarga.
8. Collaborative Care: kolaborasi antara dokter dan bagian gizi dibutuhkan dalam
pemberian edukasi mengenai diit pasien.

44
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2016, Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease, available from :http://www.goldcopd.org.

PDPI, 2011, PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Indonesia,


PDPI,Jakarta.

Price et al, (2003) Price, Sylvia Anderson. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Ed.6. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2013).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth edisi 8. Alih bahasa Agung Waluyo. Jakarta. EGC.

Vestbo, J. et al. (2013). Global strategi For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.Am J Respir Crit Care
Med vol 187, Iss. 4, pp 347-365, feb 15, 2013

45

Anda mungkin juga menyukai