Teknik pengelasan semakin banyak digunakan untuk penyambungan logam, di industri yang memproduksi mesin dan struktur seperti: industri perkapalan, pesawat terbang, otomotif, perpipaan, bangunan lepas pantai, dan konstruksi teknik lainnya. Menurut Cary (1994) luasnya penggunaan proses penyambungan dengan pengelasan disebabkan oleh biaya murah, pelaksanaan relatif lebih cepat, lebih ringan, kekuatan las dapat menyamai bahkan bisa melebihi logam induk, murah dari segi ekonomi dan bentuk konstruksi lebih variatif. Teknik pengelasan memegang peranan penting dalam proses produksi karena: dapat menurunkan biaya produksi, operasional dioptimalkan, mudah perawatan dan biaya pemeriksaan murah. Produk seperti ini menjadi tantangan para ilmuan dan ahli pengelasan mencari jalan penyelesaiannya (Viswanathan dan Stringer, 2009). Industri perkapalan di Indonesia sangat vital dan prospektif karena merupakan perlintasan pelayaran internasional. Kapasitas galangan di Indonesia masih kurang sebanding dibandingkan jumlah kapal yang membutuhkan reparasi sehingga sering terjadi kapal sandar beberapa hari untuk antrian atau menunggu giliran untuk reparasi. Teknologi perkapalan di Indonesia dijadikan dasar pengembangan teknologi kemaritiman. Mengingat negara Indonesia sebagian besar wilayahnya berada di lautan dan terbagi dalam bentuk kepulauan. Pemerintah terus memacu industri perkapalan agar tahun 2025 sudah bisa menjadi industri strategis. Dengan demikian bisa memproduksi kapal sampai dengan 35000 DWT dan Alat Utama Sistem Senjata (alusista), khususnya untuk angkatan laut. Saat ini ada 250 industri galangan kapal di tanah air yang memproduksi kapal dari segala bentuk, namun perkembangannya belum bisa maksimal. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memerlukan banyak kapal. Karena itu, industri perkapalan harus didukung dan dilindungi dengan aturan yang bisa mendorong menjadi industri strategis (Hidayat, 2010). Pemerintah Indonesia telah menyusun rencana strategis pengembangan industri kelautan dan Jatim adalah salah satu kota yang akan menjadi pusat industri perkapalan. Pemprov Jatim juga mendukung ditetapkannya wilayah Jawa Timur menjadi klaster industri perkapalan. Kapal menjadi alat transportasi yang penting untuk menghubungkan wilayah antar pulau dan digunakan untuk mengangkut orang, barang, pertambangan, minyak, penangkap ikan dan pengelola tambak dilaut. Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang mengandalkan sektor maritim sebagai andalan pendapatan daerah. Salah satu pabrik besar pembuatan kapal di Indonesia adalah PT. Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero). Perusahaan Perkapalan ini didirikan pada tanggal 22 September 1910 oleh Pemerintah kolonial Belanda di Amsterdam bernama N.V. Droogdok Matschappij Soerabaia. Namun sampai sekarang pengembangannya tidak terlalu kelihatan untuk mendorong pengembangan teknologi perkapalan di Indonesia. Permasalahan yang sering muncul pada saat pengelasan pelat yang digunakan untuk kontruksi kapal adalah sering terjadi distorsi dan tekuk pada sambungan struktur baja. Panas induksi penggunaan pengelasan busur dapat menyebabkan bukling, distorsi dan tegangan sisa (residual stress). Pengendalian distorsi dan tegangan sisa sangat penting, akan tetapi memakan waktu operasi yang lama. Distorsi dan tegangan sisa cenderung menurunkan kualitas sambungan las dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar di setiap produksi kapal. Banyak metode telah diujicobakan untuk mengukur residual stress diantaranya secara analitik, numerik maupun eksperimental. Penyebab utama dan metode untuk menghitung residual stress dan distorsi pada sambungan las masih menjadi topik bahasan yang penting untuk dicari solusinya (Feng, 2005). Metode yang sangat bagus untuk menanggulangi distorsi dan tegangan sisa dari plat tipis dapat dilakukan setelah pengelasan (postweld) atau saat pengelasan (in-prcess welding). In-process welding meliputi: preheating (Mochizuki, 2007), thermal tensioning (Huang, dkk., 2008). Thermal tensioning adalah metode stress relieving dengan bantuan panas selama proses pengelasan. Thermal tensioning dibagi menjadi dua yaitu static thermal tensioning (STT) dan transient atau dynamic thermal tensioning. Static thermal tensioning adalah teknik pengendalian tegangan sisa dan distorsi sambungan las dengan memanfaatkan efek tegangan termal tarik (thermal tensioning) pada daerah sekitar las selama proses pengelasan. Tegangan termal tarik tersebut akibat adanya gradient temperature pada kondisi statis. Transient thermal tensioning (TTT) adalah teknik pengendalian tegangan sisa dan distorsi dengan memberikan panas didepan, disamping dan di belakang proses pengelasan. Panas diberikan dan bergerak bersama-sama selama proses pengelasan. Penggunaan TTT pada pengelasan dapat menurunkan laju rambatan retak fatik (Ilman, dkk., 2013) Bahan yang banyak digunakan pada konstruksi panel kapal adalah Baja ASTM A 36 atau JIS SS 400. Bahan ini digunakan dengan pertimbangan kandungan karbonnya rendah. Baja yang memiliki kandungan karbon lebih tinggi semakin sulit dilas, terutama pada suhu kamar (Hinton, 2008). Sementara dengan Baja AISI 1020 (kadar karbon 0,20%) dapat dilas tanpa secondary heating. Sebaliknya, baja AISI 1050 (kadar karbon 0,50%) merupakan baja yang sulit untuk dilas dan membutuhkan suhu relatif tinggi untuk memanaskan seluruh baja untuk mengurangi tingkat pendinginan dan potensi kekerasan didaerah HAZ (heat affected zone) dan logam induk. Suhu pemanasan awal tinggi digunakan untuk mengurangi kekerasan di daerah HAZ dengan mengurangi laju pendinginan dan jumlah keras martensit di HAZ. Salah satu teknik pengelasan yang banyak dipakai untuk penyambungan pada konstruksi baja adalah las busur dengan kawat las yang berintikan fluk atau flux cored arc welding (FCAW) dengan mesin pengoperasian sama dengan las metal inert gas (MIG). Mudahnya proses pengoperasian dan dapat digunakan secara kontinyu maka las FCAW menjadi pilihan. Pada pengelasan dengan las FCAW, kawat pengisi yang juga berfungsi sebagai elektroda diumpankan secara terus menerus. Busur listrik terjadi antara kawat pengisi dan logam induk, dan untuk melindungi busur tersebut digunakan gas Argon (Ar), helium (He) atau campuran dari keduannya. Logam pengisi yang berupa kawat berintikan fluk diumpankan secara terus menerus sehingga pengelasan dapat dilakukan secara semi otomatis. Oleh karena itu penggunaan las FCAW dapat memberi kenyamanan dalam pengoperasiannya dan memiliki keandalan yang tinggi. Permasalahan yang sering muncul dalam sambungan las adalah timbulnya distorsi, tegangan sisa, dan mudah terjadinya retak fatik, sehingga setelah selesai pengelasan diperlukan pekerjaan tambahan yaitu post weld heat treatment dan kegiatan mekanik untuk meluruskan distorsi dan tegangan sisa tersebut. Distorsi umumnya dapat diluruskan dengan pemanasan ulang, namun sangat menurunkan ketahanan korosi bahan terutama baja tahan karat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memecahkan permasalahan distorsi, mengurangi tegangan sisa, dan memiliki kemampuan menahan laju rambatan retak fatik, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang “Pengembangan metode stress relief berbasis efek pemanasan terhadap perilaku perambatan retak fatik pada pengelasan busur inti fluks (FCAW)”.
1.2 Rumusan Masalah
Merujuk pada permasalahan yang diuraikan pada latarbelakang di atas, maka penelitian ini mengembangkan metode stress relief berbasis efek termal yang dirumuskan: 1. Bagaimana pengembangan parameter secondary heating pada proses FCAW yang dapat mereduksi distorsi, meningkatkan sifat mekanis, memiliki struktur mikro yang tangguh, dapat menghambat laju rambatan retak fatik dan mengurangi tegangan sisa. 2. Bagaimana pengembangan parameter cooling rate pada proses FCAW yang dapat mereduksi distorsi, meningkatkan sifat mekanis, memiliki struktur mikro yang tangguh, dapat menghambat laju rambatan retak fatik dan mengurangi tegangan sisa. 3. Bagaimana pengembangan parameter static thermal tensioning (STT) pada proses FCAW yang dapat mereduksi distorsi, meningkatkan sifat mekanis, memiliki struktur mikro yang tangguh, dapat menghambat laju rambatan retak fatik dan mengurangi tegangan sisa. 4. Bagaimana pengembangan parameter transient thermal tensioning (STT) pada proses FCAW yang dapat mereduksi distorsi, meningkatkan sifat mekanis, memiliki struktur mikro yang tangguh, dapat menghambat laju rambatan retak fatik dan mengurangi tegangan sisa.
1.3 Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini adalah belum ditemukannya hasil penelitian yang : (1). Membandingkan karakteristik proses FCAW dengan metode secondary heating,cooling rate, STT dan TTT. (2). Menggunakan metode stress relief berbasis efek termal pada pengelasan material kapal maupun material untuk anjungan. (3). Metode secondary heating, cooling rate, STT dan TTT pada proses FCAW dapat mereduksi distorsi, meningkatkan sifat mekanik, menurunkan tegangan sisa dan meningkatkan kemampuan menahan laju rambatan retak fatik.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan memiliki tujuan untuk mengembangkan metode stress relief pada proses FCAW semi otomatis dengan bahan Baja ASTM A 36 yang meliputi : 1. Mempelajari pengaruh parameter secondary heating pada proses FCAW terhadap terjadinya distorsi, sifat mekanis, terbentuknya struktur mikro, laju rambatan retak fatik dan tegangan sisa. 2. Mempelajari pengaruh parameter cooling rate pada proses FCAW terhadap terjadinya distorsi, sifat mekanis, terbentuknya struktur mikro, laju rambatan retak fatik dan tegangan sisa. 3. Mempelajari pengaruh parameter static thermal tensioning (STT) pada proses FCAW terhadap terjadinya distorsi, sifat mekanis, terbentuknya struktur mikro, laju rambatan retak fatik dan tegangan sisa. 4. Mempelajari pengaruh parameter transien thermal tensioning (TTT) pada proses FCAW terhadap terjadinya distorsi, sifat mekanis, terbentuknya struktur mikro, laju rambatan retak fatik dan tegangan sisa. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar bermanfaat untuk: 1. Meningkatkan penguasaan teknologi pengelasan untuk konstruksi kapal, bangunan lepas pantai, perpipaan, otomotif dan kapal terbang. 2. Meningkatkan kualitas produksi pengelasan khususnya pengelasan kapal.