Anda di halaman 1dari 6

REFORMASI BIROKRASI DESA MENUJU

PEMERINTAHAN DESA YANG DEMOKRATIS


Kemas Arsyad Somad
Fakultas Hukum Unlversitas Jambi
JI. Jambi-Muara Bulian, Kab. Muaro Jambi, Provinsl Jambi
email:-
Abstract

Eventhough The Village has important and strategic role in the structure of government in Indonesia, but
in the past regime (New Order Era) It is placed as objects rather than subjects of power. In the
governance reforms started in 1998, this paper examines how the reforms sought by the village
government. The results of the research showed, in spite of new structures and functions in the village
administration, among others, demonstrated the existence of village councils, but the reforms that took
place considered did not work well because management has not touched the professional bureaucracy
yet.

Key words : Village, Village Governance, Reform

Abstrak

Meski memiliki peranan yang penting dan startegis dalam struktur pemerintahan di Indonesia, desa
pada rezim pemerintahan yang lalu (Orde Baru) lebih ditempatkan sebagai objek kekuasaan ketimbang
subyek. Seiring dengan reformasi pemerintahan yang dimulai tahun 1998, tulisan ini mengkaji
bagaimana reformasi itu diupayakan pada pemerintahan desa. Hasil penelitian menunjukkan,
sekalipun ada struktur dan fungsi baru dalam pemerintahan desa, antara lain ditunjukkan dengan
keberadaan Badan Perwakilan Desa, tetapi reformasi yang berlangsung dipandang be/um optimal
dikarenakan be/um menyentuh manajemen birokrasi yang profesional.

Kata Kunci: Desa, Pemerintahan Desa, Reformasi

A. Pendahuluan sebutan lainnya (negeri, marga, kampong, dan


Adanya perubahan-perubahan sosial yang besar sebagainya) sebagai komunitas adat maupun
dan fundamental selalu diikuti dengan penyesuaian sebagai unit pemerintahan terendah telah
pada segi kehidupan hukumnya. Namun,jika hukum membuktikan dirinya memiliki peran penting, baik di
sama sekali kurang atau bahkan tidak dapat masa perjuangan maupun sesudah kemerdekaan.
memberikan tanggapan terhadap perubahan- Namun ironisnya, desa yang strategis dan sering
perubahan sosial yang terjadi, maka itu sebagai disebut memiliki otonomi asli tersebut, oleh
pertanda bahwa ia tetap mempertahankan dirinya penguasa lebih ditempatkan sebagai objek
sebagai institusi yang tertutup. Bila ini tetap terjadi kekuasaan ketimbang sebagai subyek, khususnya
maka hukum sulit diharapkan menjadi instrumen oleh rezim Orde Baru melalui UU No. 5 Tahun 1979
menata kehidupan sosial yang semakin besar dan tentang Pemerintahan Oesa. UU ini melakukan
kornpleks.' penyeragaman struktur pemerintahan desa di
Salah satu masalah kompleks yang dihadapi dan seluruh Indonesia yang berakibat pada rusaknya
memerlukan instrumen hukum, ialah lembaga-lembaga tradisional dan adat yang
penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam dihormati warga desa.2
struktur pemerintahan di Indonesia, desa atau Dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, Kepala

1 Esrru Waras1h, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosio/ogis, Semarang, Suryandaru Utama, him. 30-31.
2 Heru Cahyono (edttor), 2005, Konflik Ellie Polit1k Pedesaan di Indonesia, Jakarta, Pusat Penelitian Polit1k Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia, him 1.

487
MMH, Ji/id 41 No. 4 Oktober 2012

Desa dan Dewan Desa dirancang sedemikian rupa desa. Dalam tata cara pembentukan pengurus
oleh pusat sehingga desa lebih bertanggung jawab LKMD, para anggotanya harus mendapat
kepada pemerintah atasan ketimbang warga desa persetujuan dari kepala desa, carnal dan
yang memilihnya secara langsung. Dengan bupati/walikota untuk disahkan.3 Dengan demikian,
demikian desa tidak lebih merupakan kepanjangan LKMD akan cenderung diisi oleh orang-orang yang
tangan kepentingan penguasa (arm of the state). Hal dekat dengan kepentingan kepala desa, sehingga
ini kemudian berdampak pada terhambatnya desa kecil kemungkinan muncul pandangan-pandangan
untuk mewujudkan perannya dalam membangun kritis a tau berbeda dari anggota LKMD.
demokrasi dan mengimplementasikan otonominya. Begitulah pemerintahan desa dikonstruksikan
Hambatan-hambatan tersebut paling tidak dapat pada masa pemerintahan orde baru. Tulisan ini
dilihat dalam bentuk, pertama, hambatan legal dimaksudkan untuk mengkaji bagaimana perbaikan
rasional, di mana desa ditempatkan sebagai sub- pemerintahan desa diupayakan dalam
ordinasi atau bawahan pemerintah kecamatan dan pemerintahan era reformasi. Hal ini penting dikaji
pemerintah kabupaten. Hal ini tampak dari karena lahirnya era reformasi pada dasamya
ketentuan UU yang mengharuskan kepala desa ditujukan untuk memperbaiki pemerintahan yang
bertanggung jawab kepada pejabat yang berlangsung, termasuk di tingkatan bawah (desa).
mengangkat dan memberhentikannya (yakni
bupati/walikota melalui camat), dan bukan kepada B. Pembahasan
masyarakat desa yang memilihnya. 1. Konsep Dasar Birokrasi
Kedua, hambatan subtansif prosedural untuk Secara sederhana birokrasi didefinisikan
mewujudkan pemerintah desa yang demokratis. sebagai tempat pengelolaan pelayanan kepada
Pemerintahan desa semasa orde baru tidak publik dalam wujud administratif. Dengan demikian
mengenal lembaga pengontrol pemerintah desa. otoritas pelayanan melekat kuat karena memiliki
Hal ini menjadikan kekuasaan pemerintahan kepala legitimasi dari masyarakat. Dalam mengukur kinerja
desa hampir absolut. Meski UU No. 5 Tahun 1979 birokrasi publik, ada sejumlah indikator yang dapat
(Pasal 3) mengatur pemerintah desa terdiri atas digunakan, yaitu produktifitas, kualitas layanan,
kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD), responsifitas, responsibilitas, dan akuntabiltas.'
namun LMD bukanlah lembaga kontrol, melainkan Menurut Bintoro Tjokroamidjo, birokrasi itu
sebuah badan permusyawaratan/pemufakatan membicarakan sistem pelayanan kepemerintahan
antar elite pemerintahan desa dengan tokoh-tokoh yang amanah, transparansi, dan keterbukaan,
masyarakat desa. Di dalam struktur tersebut, posisi sehingga partisipasi masyarakat dapat terakomodir.
kepala desa sebagai kepala pemerintahan Birokrasi selalu berpijak pada hukum, memiliki
sekaligus sebagai ketua LMD; hal ini menunjukkan kepastian hukum, terutama dalam pembuatan
sentralisasi kekuasaan berada di tangan kepala kebijakan dan keputusan. Hal ini semata untuk
desa. mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan peran
Ketiga, hambatan berupa penyeragaman birokrasi (mal-administration) dalam proses
struktur dan fungsi organisasi kemasyarakatan di pelaksanaan tugas dan fungsinya.5
desa. Selain LMD, juga dibentuk Lembaga Mill mengemukakan, esensi dari birokrasi adalah
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) melalui pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-
lnstruksi Presiden No. 28/1980. Sesuai instruksi orang yang memerintah secara profesional.
Mendagri No.4/1981, LKMD secara ideal formal Pemerintahan seperti itu mengakumulasi
dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang pengalaman, memerfukan latihan yang baik dan tata
berfungsi mengkoordinasikan dan mengatur krama tradisional yang dipandang baik, dan
pelaksaan proyek-proyek pembangunan di tingkat mensyaratkan pengetahuan praktis yang tepat,
desa. Hampir mirip dengan LMD, LKMD terdiri atas yang dengannya orang memiliki tingkah laku bekerja
kumpulan elite desa yang dekat dengan kepala yang sesungguhnya.6

3 The Liang Gie, 1995, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Ji/IdIll, Yogyakarta, liberty, him. 260.
4 Ahmad Sumargono, 2009, Reformasi Birokrasi Menufu Pemerintahan YangBerslh, Pusat Kajlan Strategl Politik dan Pemenntahan, him. 30.
5 Ibid, him 30-31.
6 MartinAlbrow, 1989, Birokrasi, Yogyakarta. PT. Tiara Wacana.

488
Kemas Arsyad Somad, Reformasi BirokrasiDesa

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa mengubah dinamika desa, dari representasi negara
birokrasi harus bersifat netral, karena bekerja di menjadi kepanjangan tangan masyarakat. Namun
dalamnya tidak lain adalah untuk kepentingan demikian struktur kelembagaan yang dipaksakan
organisasi tempatnya bekeria, Birokrasi juga berarti "seragam" secara nasional melalui UU No. 22 Tahun
harus melayani masyarakat secara keseluruhan dan 1999 juga cenderung meniadakan karakter desa
berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat. Dalam yang amat beragam dan heterogen. Tidak
hal ini, menjalankan birokrasi memiliki tujuan yang mengherankan jika BPD pun akhirnya lebih menjadi
sama dengan melaksanakan demokrasi, yaitu representasi elite desa ketimbang representasi
berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. masyarakat. Konflik Kepala Desa versus BPD yang
Sebab itu netralitas birokrasi pemerintah dari marak beberapa waktu lalu, terutama dipicu oleh
kepentingan kelompok partai atau kekuatan politik realitas seperti ini.
tertentu akan mampu melahirkan tatanan Terlepas dari kelebihan BPD atas LMD dan
kepemerintahan yang demokratis. LKMD, harus diakui bahwa kehadiran BPD yang
juga dipilih rakyat jelas berpotensi menyaingi
2. Pemerintahan Desa Menurut UU No. 22 kewenangan Kepala Desa yang berujung pada
Tahun 1999 delegitimasi Kepala Desa selaku otoritas tertinggi
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa desa. Penciptaan lembaga BPD sebagai lembaga
"reformasi" terjadi perubahan yang cukup subtansial perwakilan desa barangkali didasari niat baik
dalam tata pemerintahan desa. Dalam UU No. 22 membangun demokrasi di tingkat desa.
Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah
disebutkan pemerintah desa terdiri atas kepala desa 3. Pemerintahan Desa Menurut UU No. 32
atau yang disebut dengan nama lain, dan perangkat Tahun2004
desa. Oisebutkan juga di sana (Pasal 104), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
keberadaan Sadan Pewakilan Desa (BPD) Daerah telah berhasil menyempurnakan berbagai
berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat aturan tentang Desa sebelumnya. Namun dalam
peraturan desa, menampung dan menyalurkan pelaksanaan selama beberapa tahun ini ternyata
aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan muncul beberapa permasalahan yang perlu segera
terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. dicermati. Pertama, UU No. 32 Tahun 2004 belum
Dengan demikian ada struktur dan fungsi baru secara jelas mengatur tata kewenangan antara
kelembagaan di desa. Kepala desa tidak lagi dapat Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Desa.
berkuasa secara absolut seperti di masa Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas
sebelumnya, dikarenakan pada masa sekarang yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah
harus menjalankan fungsi administratif, anggaran, hanya menjalankan lima kewenangan, dan di luar
dan pembuatan keputusan desa bersama-sama lima kewenangan itu menjadi kewenangan daerah.
dengan pengawasan BPD. Anggota-anggota BPD Dengan demikian konsepsi dasar yang dianut UU
sebagai wakil rakyat desa memiliki basis legitimasi No. 32 Tahun 2004, otonomi berhenti di
yang cukup kuat karena dipilih dari dan oleh kabupaten/kota. Konsekuensinya, pengaturan lebih
penduduk desa yang memenuhi persyaratan (Pasal jauh tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota,
105 ayat 1). Kepala desa juga harus bertanggung dimana kewenangan Desa adalah kewenangan
jawab kepada rakyat melalui BPD serta kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa.
menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan Semangat UU No. 32 Tahun 2004 yang
tugasnya kepada Bupati (pasal 102). Oleh karena itu meletakkan posisi Desa yang berada di bawah
keberadaan BPD secara normatif menandai Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan
terbentuknya lembaga pengontrol kepala desa nafas lain dalam UU tersebut yang justru mengakui
dengan menjalankan fungsi check and balances dan menghormati kewenangan asli yang berasal
dalam pemerintahan desa. dari hak asal-usul. Pengakuan pada kewenangan
Perubahan struktur perwakilan masyarakat desa asal-usul ini menunjukkan bahwa UU No. 32 Tahun
dari yang bersifat korporatis melalui LMD dan LKMD 2004 menganut prinsip pengakuan (rekognisi).
menjadi BPD yang bersifat partisipatif, memang Konsekuensi dari pengakuan atas otonomi asli

489
MMH, Jilid 41 No. 4 Oktober 2012

adalah Desa memiliki hak mengatur dan mengurus pendekatan sektoral dengan pendekatan spasial
rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan (Desa), bagaimana sebenarnya fungsi Desa bagi
adat-istiadat setempat (self governing community), kesejahteraan rakyat Desa.
dan bukan merupakan kewenangan yang Perdebatan mengenai otonomi, demokrasi dan
diserahkan pemerintahan atasan pada Desa. kesejahteraan itu paralel dengan pertanyaan
Adanya dua prinsip/asas dalam pengaturan fundamental tentang apa esensi (makna, hakekat,
tentang Desa tentu saja menimbulkan ambivalensi fungsi,manfaat) Desa bagi rakyat. Apakah Desa
dalam menempatkan kedudukan dan kewenangan hanya sekadar satuan administrasi pemerintahan,
Desa. Pertanyaan yang paling mendasar adalah atau hanya sebagai wilayah, atau hanya kampung
apakah Desa memiliki otonomi? tempat tinggal atau sebagai organisasi masyarakat
Sejak lahir UU No. 22 Tahun 1999, otonomi lokal.
(kemandirian) Desa selalu menjadi bahan Kedua, disain kelembagaan pemerintahan Desa
perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan rlil di yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 juga
kalangan asosiasi Desa (sebagai representasi belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk
Desa), tetapi sampai sekarang belum terumuskan membangun kemandirian, demokrasi dan
visi bersama apa makna otonomi Desa. Apakah kesejahteraan Desa. lsu keragaman, misalnya,
yang disebut otonomi Desa adalah "otonomi asli" selalu mengundang pertanyaan tentang format dan
sebagaimana yang termuatr dalam UU No. 32 Tahun disaln kelembagaannya. Meskipun UU No. 22 Tahun
2004, atau otonomi yang didesentralisasikan seperti 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 mengedepankan
halnya otonomi daerah? keragaman, tetapi banyak kalangan menilai bahwa
Namun ada banyak pandangan bahwa sekarang disain yang diambil tetap Desa baku (default village),
otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan sehingga kurang memberi ruang bagi optional
pemerintahan sudah menjadi milik negara; tidak ada village yang sesuai dengan keragaman lokal.
satupun urusan pemerintahan yang luput dari Format bakunya adalah Desa administratif (the local
pengaturan negara. Bagi banyak kalangan yang state government) atau disebut orang Bali sebagai
sudah melampui "beyond' cara pandang otonomi Desa Dinas, yang tentu bukan Desa adat yang
asli menyampaikan dan menuntut pemberian mempunyai otonomi asli (selfgoverning community)
(desentralisasi) otonomi kepada Desa dari negara, dan bukan juga Desa otonom (local self
yakni pembagian kewenangan dan keuangan yang government) seperti daerah otonom. Undang-
lebih besar. undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menempatkan
Dari sisi kesejahteraan, Undang-undang Nomor Desa pada posisi yang otonom, dan tidak
32 Tahun 2004 memang telah membawa visi membolehkan terbentuknya Desa adat sendirian
kesejahteraan melalui disain kelembagaan otonomi tanpa kehadiran Desa administratif. Baik UU No. 22
daerah. Semua pihak mengetahui bahwa tujuan Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004
besar desentralisasi dan otonomi daerah adalah menempatkan Desa sebagai bagian (subsistem)
membangun kesejahteraan rakyat. Pemerintah pemerintahan kabupaten/kota.
daerah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab Dengan demikian, sekalipun pengaturan tentang
besar meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui desa telah diwujudkan dalam beberapa perundang-
kewenangan besar dan keuangan yang dimilikinya. undangan, namun konsep ideal penyelenggaraan
Tetapi visi kesejahteraan belum tertuang secara pemerintahan desa yang demokratis masih jauh dari
jelas dalam pengaturan mengenai Desa. Berbagai harapan.
pertanyaan selalu muncul terkait dengan visi
kesejahteraan Desa: apakah UU No. 32 Tahun 2004 4. Reformasl Birokras i Des a u ntu k
sudah memberi amanat pemulihan dan penguatan Mewujudkan Pemerintahan Desa yang
Desa sebagai basis penghidupan berkelanjutan Demokratis
bagi masyarakat Desa, bagaimana hak-hak Desa Dinamika perkembangan demokrasi temyata
untuk mengelola sumberdaya alam lokal, tidak sesederhana yang dibayangkan. Kedaulatan
bagaimana pelayanan publik dan pembangunan rakyat pada aras desa kendati telah dibingkai dalam
daerah yang memungkinkan keseimbangan konstruksi perundangan yang seragam, dalam

490
Kemas Arsyad Samad, Reformasi Birokrasi Desa

praktiknya memiliki beragam corak. Agenda kondisi ini, posisi birokrasi tidak lebih sebagai bentuk
kekuasaan yang berasal dari negara pada inefisensi organisasi.
prinsipnya hendak dikembangkan dengan Ada beberapa faktor dalam birokrasi desa
menekankan peran sentralisasi kekuasaan negara sehingga berpengaruh besar pada pola
melalui kelembagaaan desa. Bahwa logika Trias penyelenggaraan pemerintahan desa. Pertama,
Politica dikembangkan pada aras desa, maka stigma sebagai penguasa desa yang hegemonik.
perguliran logika pembagian kekuasaan ini juga Kedua, trauma oposisi dari lawan politik. Ketiga,
tidak seketika membentuk sebuah relasi yang relatif pemahaman yang kurang memadai tentang sistem
berimbang, melainkan memunculkan ketimpangan pemerintahan yang demokratik. Keempat, stigma
pembagian kekuasaan. Peran elite masih juga tentang sistem kekuasaan formal-struktural yang
menonjolkan melebihi peran parlemen desa dan harus lebih diikuti dan dipatuhi, mengingat walaupun
komunitas civil society desa. Meski demikian, rakyat desa yang memilih kepala desanya, tetapi
sejumlah resistensi pun sempat mencuat dan tidak secara formal, rakyat sangat sulit
bisa ditampik dari ranah realita. memberhentikannya secara langsung, ketimbang
Demokratisasi desa belum berjalan secara kekuasaan formal-struktur di atasnya.
optimal, bukan hanya karena faktor kualitas sumber Para elite dalam birokrasi desa umumnya terlalu
daya manusia BPD-nya yang lemah, akan tetapi berorientasi ke luar desa. Para pemimpin itu
juga berasal dari berbagai faktor, di antaranya menganggap bahwa pertanggungjawaban mereka
adalah: terhadap wewenang di luar desa jauh lebih penting
1) Tidak ada perangkat UU yang mengatur tentang daripada pertanggungjawaban terhadap rakyat di
Desa; desanya sendiri. Sikap elite yang mematikan gairah
2) UU No. 32 Tahun 2004 belum secara jelas dan partisipasi rakyat desa ini berkaitan erat dengan
tegas mengatur tentang kedudukan dan fungsi mekanisme dan proses politik dan pemerintahan
BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat desa yang mendukung program pembangunan dan
yang kedudukannya sejajar dengan Pemerintah pemerintahan desa yang dijalankan.
Desa; Dalam banyak hal, masih nampak fakta bahwa
3) Supra struktur kekuasaan politik yang menopang Kepala Oesa sebagai pemegang komando birokrasi
kedudukan dan fungsi BPD tidak ada. Kekuatan desa masih merepresentasikan dirinya sebagai
BPD secara politis hanya didukung oleh warga 'pangreh' (penguasa), bukan 'pamong' (pelayan)
masyarakat desa yang respek; rakyat. Demokratisasi desa kurang dapat
4) Fungsi sebagai lembaga perwakilan dan berkembang optimal, karena birokrasi desa memiliki
lembaga yang dapat melakukan kemampuan sumberdaya untuk mengkooptasi BPD
kontrol/pengawasan secara efektif terhadap yang sebenarnya memiliki posisi sebagai lembaga
kinerja Pemerintah Daerah belum diatur dengan perwakilan rakyat desa. Dalam banyak fakta,
jelas oleh peraturan perundang-undangan; kerapkali posisi BPD lemah menghadapi kekuasaan
5) Penguasaan atas sumberdaya ekonomi dan birokrat desa yang memiliki keunggulan
politik serta informasi dan aksesibilitas pada sumberdaya dan aksesibiltas kekuasaan di atasnya.
kekuasaan pemerintahan di atasnya yang lemah
dibandingkan dengan posisi birokrasi desa. C. Simpulan
Birokrasi desa masih lebih fokus pada urusan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
pemerintahan dan politik domestik daripada berpikir bahwa reformasi pemerintahan di Indonesia yang
untuk memodernisasi manajemen birokrasinya dimulai tahun 1998 juga melingkupi pemerintahan di
secara profesional. Oleh karena itu, birokrasi desa tingkat desa. Reformasi yang terjadi, setidaknya
kerapkali menjadi faktor penghambat proses dapat ditemui dalam struktur dan fungsi baru pada
akselerasi 'modernisasi' desa, sebab setiap hal-hal kelembagaan di desa. BPD merupakan
atau kebijakan-kebijakan Pemerintah tingkat kelembagaan yang baru itu, yang secara normatif
atasnya yang masuk ke desa, selalu difilter terlebih berfungsi sebagai "kepanjangan tanqan"
dahulu untuk kemudian disesuaikan dengan masyarakat sekaligus juga badan yang mengontrol
kepentingan politik atau kepentingan pribadi. Dalam kepala desa.

491
MMH, J11id 41 No. 4 Oldober 2012

Namun demikian, reformasi yang berlangsung Wasistiono, Sadu dan lrwan Tahir, 2007, Prospek
juga dirasa belum optimal. Birokrasi desa masih Pengembangan Desa, Bandung: Focus
lebih berfokus pada urusan pemerintahan dan politik Media.
domestik daripada berpikir untuk memodemisasi Wiratmoko, Nick T. Dkk (Penyunting), 2004, Yang
manajemen birokrasinya secara profesional. Oleh Pusat dan Yang Lokal, Yogyakarta: Pustaka
karena itu, birokrasi desa kerapkali menjadi faktor Percik.
penghambat proses akselerasi 'modemisasi' desa. Eko, Sutoro "Mempertegas posisi Politik dan
Dalam kondisi seperti ini, posisi birokrasi tidak lebih Kewenangan Desa", makalah Sarasehan
sebagai bentuk in-efisensi organisasi. Nasional Menggagas Desa Masa Depan,
kerjasama Direktorat Jenderal
DAFTAR PUSTAKA Pemberdayaan Masyarakat dan Oesa
(PMD) Departemen Dalam Negeri, Forum
Albrow, Martin, 1989, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Penembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
Wacana. dan Democratic Reform Support Program
Cahyono, Heru (editor), 2005, Konflik Elite Po/itik (DRSP) USAID, Jakarta 3-4 Juli 2006.
Pedesaan di Indonesia, Jakarta: Pusat Haris, Syamsudin "Demokrasi Desa, Perlukah
Penelitian Politik UPI. Diatur?", makalah Sarasehan Nasional
Mas'oed, Mochtar, 2003, Politik, Birokrasi dan Menggagas Desa Masa Depan, kerjasama
Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Pelajar. Masyarakat dan Desa (PMD) Departemen
Sumargono, Ahmad, 2009, Reformasi Birokrasi Dalam Negeri, Forum Penembangan
Menuju Pemerintahan yang Bersih, Pusat Pembaharuan Desa (FPPD) dan
Kajian Strategi Politik dan Pemerintahan. Democratic Reform Support Program
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah (DRSP) USAID, Jakarta 3-4 Juli 2006.
di Negara Republik Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1995.
Warasih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah
Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru
Uta ma.

492

Anda mungkin juga menyukai