PENDAHULUAN
1
1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Referat ini disusun memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Paru RSUD Solok dan
diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para
pembaca, khususnya kalangan medis tentang PPOK, emfisema, gagal nafas tipe I, II, III< lung
akut cardigenik dan non cardiogenik.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun /
berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.1
Berdasarkan The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi
kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons
inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas ataupartikel iritan tertentu.2
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang
bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok
dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai
petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya. Dampak ppok pada setiap individu tergantung
derajat keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala
komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara.1
3
2.1.2 Etiologi PPOK
1. Merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi
dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna
dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis
rokok yang dihisap dan usia mulai merokok. 3
Hal yang dapat membantu penilaian faktor resiko merokok pada PPOK antara lain :
2. Riwayat Pekerjaan
Pada pekerja tambang, misalnya tambang batu bara, PPOK dapat terjadi
disebabkan adanya inhalasi debu dari bahan tambang yang terakumulasi didalam paru
dan dapat merusak jaringan paru. Respon inflamasi terhadap bahan asing ini pun
mengakibatkan terjadinya PPOK1.
3. Stres oksidatif
Ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang menyebabkan
terjadinya PPOK.1
4
5. Defisiensi Antitripsin Alfa – 1
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin
sebagai inhibitor dari protease serin1,3
6. Polusi udara
Polusi udara terbagi menjadi :
5
Gambar 2. Patofisiologi PPOK3
4 3
Tc1
7
6
yang mensekresikan interferon gamma, merupakan sel sitotoksik untuk sel-
sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan alveolar.
Limfosit B meningkat dalam saluran nafas perifer dan folikel limfoid sebagai
respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran nafas. Eosinofil
meningkat di dalam sputum dan dinding saluran nafas selama eksaserbasi.
6. Neutrofil meningkat dalam dahak perokok. Neutrofil ditemukan sedikit pada
jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir dan
pelepasan protease.
7. Protease menyebakan destruksi dining alveolar dan hipersekresi mukus.
(Gambar 3.)
b. Stress oksidatif
7
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Alfa-1-antitripsin merupakan
inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil
elastase di paru. Jika konsentrasi plasma alfa-1-antitripsin dibawah dari 1g/liter maka
resiko berkembangnya emfisema akan meningkat drastis dan menjadi PPOK. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan
kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat.3,4
Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan alfa 1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di
dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan
yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko
genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK. Risiko obstruksi aliran udara yang
di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang mempunyai keluarga
dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik
mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK.), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.5
1. Darah rutin
2. Elektrokardiografi
Untuk mengetahui adanya komplikasi pada jantung.
8
Gambar 5. Gambaran EKG PPOK8
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal
atau menurun.1
4. Faal paru
a. Spirometri
9
Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar yang diperoleh
dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar, nilai KVP dan nilai VEP1
dalam tiga kurva harus bervariasi dengan perbedaan tidak lebih dari 5%
atau 100 ml.
Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis dapat
diterima dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP1.
Evaluasi:
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%(VEP1/KVP) <
75%
VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.1,
b. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20 % nilaiawal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
VEP1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator. Bronkodilator harus
diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui perangkat spacer atau nebulizer
untuk meyakinkan telah dihirup. Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk
mendapatkan kurva tertinggi pada dosis tertentu. Protokol dosis yang
memungkinkan adalah 400 µg β2-agonis, hingga 160 µg antikolinergik, atau
gabungan keduanya. VEP1 harus diukur lagi 10-15 menit setelah diberikan
bronkodilator kerja singkat tau 30-45 menit setelah diberikan bronkodilator
kombinasi. Peningkatan VEP1 yang baik dan dianggap bermakna bila lebih besar
dari 200 ml atau 12% di atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini
sangat membantu untuk melihat perubahan serta perbaikan klinis. 1
10
5. Radiologi
Rontgen toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada pasien PPOK tampak kedua lapangan paru terlihat lebih hitam dan lebih besar secara
volume dibandingkan dengan gambaran normal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada bagian
tengah. Lebih sedikit pembuluh darah yang terlihat secara peripheral terutama di bagian atas dan
tengah, tetapi arteri pulmonari terlihat besar di pertengahan, menandakan adanya perkembangan
hipertensi arterial pulmonari lanjutan.
6. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.1
11
2.1.5 Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan:
Tabel 1. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK2
Gejala Keterangan
Sesak -Progresif ( sesak bertambah berat seiring
perjalanan waktu)
-Bertambah berat dengan aktifitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
-Dijelaskan oleh bahasa pasien “perlu usaha untuk
bernafas,” Berat, sukar bernafas, terengah-engah
a) Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi1
a) Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru termasuk iga
tampak mendatar
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
12
Gambar 8. Normal chest dan Barrel Chest6
13
g) Hipertofi otot bantu nafas
h) Pelebaran sela iga
i) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dileher dan
edema tungkai.
j) Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
a) Irama jantung diapeks mungkin sulit ditemukan karena hiperinflasi paru
b) Hiperinflasi menyebabkaan hati letak rendah dan mudah dipalpasi
c) Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar1
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah. 1
14
4. Auskultasi
a) Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi
paksa
c) Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, lebih keras pada processus xypoideus.1
Diagnosis Gejala
Asma Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari.
Gejala pada malam / menjelang pagi.
Disertai alergi, rinitis atau eksim .
Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal jantung kongestif Auskultasi,terdengar ronki halus di bagian basal.
Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru.
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.
Bronkiekstasis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri.
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus.
Tuberculosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru.
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
15
2.1.7 Komplikasi PPOK
1) Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal
2) Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini
imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.3
3) Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.3
a) Mengurangi gejala:
a. Menghilangkan gejala
16
b. Meningkatkan toleransi latihan
c. Meningkatkan status kesehatan
b) Menurunkan resiko:
a. Mencegah perkembangan penyakit
b. Mencegah dan mengobati eksaserbasi
c. Menurunkan angka kematian
17
Terapi Non Farmakologis1
1. Edukasi
- Berhenti merokok
- Penggunaan obat-obatan
- Penggunaan oksigen
- Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
- Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Terapi Farmakologis
Tabel 4 Pilihan terapi PPOK7
Beta2 – agonis
Antikolinergik
Methylxanthines
Phosphodiesterase-4 inhibitors
18
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau
mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan
nafas.22
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan nafas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting
β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
• Antikolinergik
B. Methylxanthine
Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini
tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan
FEV1 < 65 % prediksi.
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping
seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit
kepala.
19
Tabel obat-obatan PPOK
20
Terapi Farmakologis Lainnya1
• Vaksin
: Vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia >65 tahun.
• Alpha-1 Augmentation therapy
: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter
berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi
alpha-1 antitripsin.
• Antibiotik
: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi.
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta2 agonist kerja lama lebih efektif
daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan
21
mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan
jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan keseimbangan cairan
dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik, antikoagulan, pengobatan komorbiditas, dan
aspek nutrisional harus diperhatikan.
Grup C Grup D
Pertimbangkan antibiotic
LAMA + LABA LABA + ICS Pertimbangkan Roflumilast gol. makrolida (pada
jika FEV1 < 50% pred. dan pasien sebelumnya
pasien bronkitis kronis perokok)
Eksaserbasi Eksaserbasi
lebih lanjut lebih lanjut
Gejala
LAMA persisten/
+ LABA eksaserbasi
+ ICS lebih lanjut
LAMA
Eksaserbasi
lebih lanjut
Grup A Grup B
Gejala persisten
Evaluasi hasil
22
Pengelolaan PPOK Eksaserbasi
Eksaserbasi dari PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut dengan karakteristik
perburukan gejala respirasi yang biasanya lebih parah dari gejala normal dan biasanya akan
merubah pengobatan.
Menilai keparahan eksaserbasi secara garis besar ada 3 yang perlu dinilai yaitu
pengukuran gas darah arterial, foto torak berguna untuk mengeleminasi diagnosis lain, dan pada
elektrokardiograpi bisa membantu diagnosis masalah jantung pada eksaserbasi. Tes spirometrik
tidak direkomendasikan selama eksaserbasi karena sulit dilakukan dan pengukurannya bisa tidak
akurat.
Manajemen eksaserbasi pada PPOK diberikan oksigen dengan target saturasi 88-92%.23
Terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki
hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat
darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2 > 8,0 kPa, 60 mmHg
atau SaO2 >90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi
CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu
evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,
tergantung kadar PaCO2 dan PaO2.
Beta 2 -agonist kerja cepat dengan atau tanpa antikolinergik kerja cepat lebih dipilih
untuk pengobatan eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik dapat meningkatkan fungsi paru FEV1
dan menurunkan resiko kekambuhan awal, kegagalan terapi dan lama dirumah sakit. Dosis
sebesar 30-40 mg prednisolone setiap hari selama 10-14 hari direkomendasikan. Pemberian
antibiotik harus diberikan kepada pasien dengan tiga gejala jantung: peningkatan dyspnea,
peningkatan volume sputum, peningkatan purulence dari sputum, peningkatan purulence dari
sputum dan gejala kardinal lain, dan membutuhkan ventilasi mekanikal.
Terapi tambahan bergantung pada kondisi klinis dari pasien dan keseimbangan cairan
dengan perhatian spesial pada pelaksanaan diuretik, antikoagulan, pengobatan komorbiditas, dan
aspek nutrisional harus diperhatikan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Juli 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Diakses dari
klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf. Pada tanggal 30 maret 2018.
2. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global strategy for
the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease:
GOLD executive summary. Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
3. Prendergast, Thomas J. dan Stephen J. Rouss. 2010. Penyakit Paru. Dalam : McPhee,
Stephen J. Dan William F. Ganong. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedoteran
Klinis edisi ke-5. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
4. Antonio et all 2007. Global Srategy For The Diagnosis, Management And Prevention Of
chronic Pulmonary Disease. USA, P 16-19. Didapat dari
http://www.gold.copd.com/guidlineitem.asp
5. Suryadinata, Hendarsyah dan Arto Yuwono Soeroto. 2014. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. Ina J Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2 : Divisi Respirologi dan Kritis
Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin – FK Unpad.
6. Macnee W. Chronic Bronchitis and Emphysema. In Seaton A, Seaton D, Leitch AG
editors. Crofton and Douglas’s Respiratory Disease. Vol 1. 5th ed. London. Blackwell
Science; 2000: Hal : 617-695.
7. Hasleton, P.S. Spencer’s Pathology of The Lung Fifth Edition. McGraw Hill.1996. pg :
598-599.
8. Soeroto, Arto Yuwono, Hendrasyah Suryadinata. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Divisi Respirologi dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan
Sadikin – FK Unpad
9. IGN Paramartha Wijaya Putra, I Dewa Made Artika. Diagnosis Dan Tata Laksana
Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14457&val=970
24
2.2 Emfisema
2.2.1 Definisi
Emfisema paru adalah suatu keadaan dimana paru lebih banyak berisi udara, sehingga
ukuran paru bertambah, baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertikal ke arah
diafragma. Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak termasuk emfisema jika ditemukan kelainan berupa
pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan.1,2,3
2.2.2 Etiologi
a) Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor
genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya peningkatan eosinifili
atau kadar serum imonoglobulin E (IgE), adanya hiperresponsif bronkus, riwayat
penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa-1 anti tripsin.1,3
b) Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.1,3
c) Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan
metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.1,3
d) Infeksi
infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan
asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik
selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru
25
bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pneumoniae.1,3
e) Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi,
polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia
menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak
begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.1,3
2.2.3 klasifikasi
Secara patologi, emfisema didefinisikan sebagai pelebaran permanen rongga udara
bronkiolus distal hingga terminal, emfisema menurunkan luas permukaan alveolar yang tersedia
untuk pertukaran gas. Hilangnya alveoli disertai kerusakan dinding septum menyebabkan aliran
udara terbatas melalui dua mekanisme. Pertama, hilangnya dinding alveolar akibat penurunan
elastisitas, yang kemudian membatasi aliran udara. Kedua, hilangnya struktur pendukung
alveolar secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap penyempitan saluran napas yang juga
membatasi aliran udara.3
1. Menurut Morfologi
Meskipun paradigma klasifikasi terus berkembang, secara morfologi emfisema
tetap terdiri dari tiga jenis:
a. Centrilobular (Centriacinar)
Emfisema centrilobular adalah tipe emfisema paru yang paling umum, terutama
terlokalisir pada bronkiolus proksimal disertai adanya destruksi fokal dan terutama
ditemukan pada zona paru bagian atas. Di sekitar parenkim paru biasanya normal
dengan kantung dan ductus alveolar distal tidak tersentuh. Emfisema ini juga dikenal
sebagai emfisema centriacinar, tipe ini berkaitan erat dengan lamanya merokok dan
terpapar debu. Seringkali terjadi ketidakseimbangan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri),
polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada
sianosis, edema perifer, dan gagal napas.3,4
26
Gambar 1. Emfisema tipe centrilobular3
b. Panlobular (Panacinar)
Pada emfisema panlobular, terjadi penghancuran seluruh alveolus secara bersamaan
dan dominan di bagian bawah paru-paru. Emfisema ini umumnya terdapat pada
pasien dengan homozigot (Pi ZZ) dan defisiensi alpha 1-antitrypsin (AAT). Pada
orang yang merokok, fokal emfisema panlobular di basis paru dapat disertai dengan
emfisema centrilobular. Emfisema ini ditandai dengan pembesaran rongga udara yang
relatif seragam di seluruh acinus dan merupakan bentuk yang jarang. Gambaran
khasnya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal
cenderung lebih parah. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan
ditandai dengan dispnea saat aktivitas serta penurunan berat badan.3,4
27
c. Paraseptal
Emfisema paraseptal juga dikenal sebagai distal acinar emfisema karena melibatkan
struktur distal saluran napas, duktus dan kantung alveolar. Prosesnya hanya di sekitar
septum paru-paru atau pleura. Meskipun aliran udara sering dipertahankan, bula di
apikal dapat menyebabkan pneumotoraks spontan. Bula yang besar terkadang
menyebabkan kompresi berat di jaringan paru-paru yang berdekatan.3,4
28
3. Menurut Luas Sumbatan
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif:
a. Emfisema kompensatorik
Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak
atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.3,7
b. Emfisema obstruktif
Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh,
hingga terjadi mekanisme ventil.3,7
29
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Pemeriksaan radiologi dapat menyatakan
hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal
dan penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema).14,15
1) Rontgen Thoraks
Tanda radiologis yang pokok pada emfisema yaitu penurunan vaskularisasi
pulmonal perifer, hiperinflasi paru-paru dan perubahan bayangan jantung dan
arteri pulmonal sentralis. Pola vaskuler daerah paru-paru yang terkena tidak jelas.
Keterlibatan paru-paru mungkin bersifat lokal atau menyeluruh. Bila
menyeluruh biasanya akan tampak tidak rata. Daerah yang terkena mempunyai
gambaran pembuluh darah yang lebih sedikit daripada yang normal,
dan pembuluh darah yang masih ada tampak mengecil. Tingkat penyempitan
vaskuler ringan sulit dilihat, sehingga kita perlu membandingkannya dengan
ukuran pembuluh pada bagian yang lain. Bila tampak pembuluh darah mengecil
diameternya dan jumlahnya berkurang pada suatu daerah tertentu, maka pada
daerah tersebut mungkin mengalami emfisema. Barrel chest disebabkan oleh
melengkungnya sternum dan bertambahnya kiposis toraksik. Ruang retrosternal
mungkin bertambah dalam, mengembang ke bawah antara permukaan anterior
jantung dan sternum.14,15
30
hiperinflasi (diafragma datar, peningkatan ruang retrosternal, bula, cavum toraks
besar), dan kriteria vaskular (pembuluh perifer menurun, penyempitan pembuluh
garis tengah, area avascular lokal, pembesaran arteri pulmonalis).14
31
Gambar 7. Gambaran emfisema pada lobus superior kedua pulmo
dengan perselubungan radioopaque (bullae) pada lobus superior pulmo sinistra.14
2. CT-Scan
CT-scan lebih sensitif daripada Ro toraks polos dalam mendeteksi keberadaan dan
distribusi emfisema. Penurunan vaskuler bisa dideteksi lebih awal dan bula dapat
diidentifikasi lebih dini. Hal ini tidak akan tampak pada Ro toraks.15,16
Gambar 8. Potongan tipis CT-scan pada pasien dengan emfisema. Kedua bagian
menunjukkan gambaran khas dari penyakit: a) menunjukkan lesi emfisema
subpleura, b) menunjukkan bula besar di paru-paru kanan bawah.15
32
Gambar 9. CT scan thoraks mengkonfirmasi adanya bula yang besar. Bula yang
lebih kecil juga diidentifikasi, kompatibel dengan emfisema bulosa.15
c. Sputum
Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.10,11
e. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada Lead II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasioR/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang
dari 1.10,11
33
2.2.7 Penatalaksanaan
a. Bronkodilator
1) Bronkodilator short-acting
Bronkodilator short-acting antara lain beta2-agonis dan agen antikolinergik.
Beta2-agonis merangsang reseptor beta2-adrenergik sehingga meningkatkan
siklik adenosin monofosfat (cAMP) dan mengakibatkan terjadinya
bronkodilatasi.3,17
2) Bronkodilator long-acting
b. Penghambat phosphodiesterase
Penghambat phosphodiesterase (PDE) berkerja dengan meningkatkan cAMP
intraseluler dan memberikan efek bronkodilatasi. Teofilin adalah penghambat
phosphodiesterase spesifik dan penggunaannya sekarang hanya terbatas sebagai agen
ajuvan. Teofilin memiliki spectrum terapeutik yang sempit, dengan efek samping
terhadap jantung yang cukup signifikan. 3,18
Roflumilast dan cilomilast merupakan penghambat PDE-4 selektif generasi
kedua. Generasi ini memiliki aksi pengurangan proses inflamasi (makrofag dan
limfosit CD8+) pada pasien dengan PPOK. Dosis pemberian dua kali sehari telah
memberikan hasil efektif secara klinis3,18
c. Terapi anti-inflamasi
Kortikosteroid oral dan inhalasi berusaha untuk mengatasi peradangan ini dan
secara positif mengubah perjalanan penyakit.
d. Antibiotik
Penggunaan antibiotik untuk pengobatan eksaserbasi akut didukung sepenuhnya.
Pasien yang mendapatkan manfaat terbaik terapi antibiotik adalah pasien dengan
eksaserbasi yang ditandai minimal 2 hal berikut: dyspnea yang berat, produksi
sputum, dan dahak purulen (Kriteria Winnipeg). 3,18
e. Agen mukolitik
Sekresi paru yang kental pada pasien PPOK terdiri dari mucus glikoprotein dan
leukosit. Agen mukolitik mengurangi viskositas sputum dan meningkatkan
pengeluaran atau sekresi mukus. Meskipun agen mukolitik telah terbukti mengurangi
34
batuk, namun belum ada bukti dapat mengurangi dyspnea atau memperbaiki fungsi
paru-paru.3,18
Terapi Pembedahan3,19
a. Bulektomi
Pengangkatan bula yang besar telah menjadi standar pembedahan yang dilakukan
pada pasien tertentu selama bertahun-tahun. Bula memiliki ukurang yang bervariasi
dari sentimeter hingga dapat mengisi sepertiga hemithorax. Bula yang besar mungkin
menyebabkan kompresi pada jaringan paru sekitar, mengurangi aliran darah dan
ventilasi ke paru-paru yang masih sehat. Pengangkatan bula ini memberekan hasil
berupa ekspansi paru yang mengalami kompresi dan memperbaiki fungsi paru-paru.
Bulektomi pada bula yang besar memberikan perbaikan yang bersifat subjektif dan
objektif pada pasien tertentu, seperti pasien yang memiliki bula yang mengisi
setidaknya 30% (lebih sering 50%) dari hemithoraks yang mengkompresi paru
sebelahnya, dengan FEV1 kurang dari 50%.3,19
35
National Emphysema Treatment Trial (NETT) membandingkan LVRS dengan
tatalaksana medis selama 4 tahun.3,19
c. Implantasi katup endobronkial
Implantasi katup endobronkial melalui bronkoskopi sedang diteliti sebagai alternatif
LVRS. Katup ini hanya satu arah sehingga memungkinkan ekhalasi tetapi tidak untuk
inhalasi. Hal ini akan menyebabkan pengempisan pada paru-paru distal hingga katup.
Bronkus merupakan segmen paru yang menjadi lokasi emfisema terbesar dan
hiperinflasi. Manfaatnya hampir sama dengan LVRS yaitu untuk mengurangi volume
bagian paru-paru yang mengalami kelainan.3,5
d. Transplantasi paru
Transplantasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan kapasitas fungsional
paru tetapi tidak meningkatkan survival rate. Rendahnya survival rate mempersulit
penentuan waktu untuk transplantasi. Pasien yang dipilih untuk transplantasi harus
memiliki survival rate 2 tahun atau kurang. Pedoman saat ini yang dikeluarkan oleh
oleh International Society of Heart and Lung Transplantation merekomendasikan
dilakukan transplantasi ketika indeks BODE (BMI, Obstruksi, Dyspnea, and Exercise
capacity) lebih besar dari 5.3,19
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Oemiati R. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. 2013 Jul 30;23(2 Jun):82-8.
2. Lanzetti M, Da Costa CA, Nesi RT, Barroso MV, Martins V, Victoni T, Lagente V, Pires
KM, e Silva PM, Resende AC, Porto LC. Oxidative stress and nitrosative stress are involved
in different stages of proteolytic pulmonary emphysema. Free Radical Biology and Medicine.
2012 Dec 1;53(11):1993-2001.
3. Boka K, Mosenifar Z. Emphysema. Medscape: Drugs & Diseases. 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/298283-overview
4. Araki T, Nishino M, Zazueta OE, Gao W, Dupuis J, Okajima Y, Latourelle JC, Rosas IO,
Murakami T, O’Connor GT, Washko GR. Paraseptal emphysema: Prevalence and
distribution on CT and association with interstitial lung abnormalities. European journal of
radiology. 2015 Mar 18.
5. Eberhardt R, Gompelmann D, Schuhmann M, Reinhardt H, Ernst A, Heussel CP, Herth FJ.
Complete unilateral vs partial bilateral endoscopic lung volume reduction in patients with
bilateral lung emphysema. CHEST Journal. 2012 Oct 1;142(4):900-8.
6. Washko GR, Hunninghake GM, Fernandez IE, Nishino M, Okajima Y, Yamashiro T, Ross
JC, Estépar RS, Lynch DA, Brehm JM, Andriole KP. Lung volumes and emphysema in
smokers with interstitial lung abnormalities. New England Journal of Medicine. 2011 Mar
10;364(10):897-906.
7. Murakami J, Ueda K, Sano F, Hayashi M, Nishimoto A, Hamano K. Pulmonary emphysema
and tumor microenvironment in primary lung cancer. Journal of Surgical Research. 2016 Feb
29;200(2):690-7.
8. Sharafkhaneh A, Hanania NA, Kim V. Pathogenesis of emphysema: from the bench to the
bedside. Proceedings of the American Thoracic Society. 2008 May 1;5(4):475-7.
9. Guyton AC, Hall JE. Insufisiensi Pernapasan. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
9. Jakarta: EGC. 2007.
10. Indonesia PD. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia. 2003.
37
11. Wijaya Putra IG, Made Artika ID. CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE,
DIAGNOSIS AND TREATMENT. E-Jurnal Medika Udayana. 2013;2(1):53-69.
12. Koyama K, Ohshima N, Suzuki J, Kawashima M, Okuda K, Sato R, Suzukawa M, Nagai H,
Matsui H, Ohta K. Evaluation of clinical characteristics and prognosis of chronic pulmonary
aspergillosis depending on the underlying lung diseases: Emphysema vs prior tuberculosis.
Journal of Infection and Chemotherapy. 2015 Nov 30;21(11):795-801.
13. Schols AM, Ferreira IM, Franssen FM, Gosker HR, Janssens W, Muscaritoli M, Pison C,
Rutten-van Mölken M, Slinde F, Steiner MC, Tkacova R. Nutritional assessment and therapy
in COPD: a European Respiratory Society statement. European Respiratory Journal. 2014
Dec 1;44(6):1504-20.
14. Takahashi M, Fukuoka J, Nitta N, Takazakura R, Nagatani Y, Murakami Y, et al. Imaging of
pulmonary emphysema: a pictorial review. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2008;3(2):193-
204.
15. Bankier AA, Gevenois PA. CT and MRI of pulmonary emphysema: assessment of lung
structure and function. InFunctional Imaging of the Chest 2004 Jan 1 (pp. 83-99). Springer
Berlin Heidelberg.
16. Yasunaga K, Chérot-Kornobis N, Edmé JL, Sobaszek A, Boulenguez C, Duhamel A, Faivre
JB, Remy J, Remy-Jardin M. Emphysema in asymptomatic smokers: Quantitative CT
evaluation in correlation with pulmonary function tests. Diagnostic and interventional
imaging. 2013 Jun 30;94(6):609-17.
17. Faris S, Kim S. Understanding Emphysema Treatments. Healthline. 2015. Available at:
http://www.healthline.com/health/copd/emphysema-treatment-options#1
18. Montuschi P. Pharmacological treatment of chronic obstructive pulmonary disease.
International journal of chronic obstructive pulmonary disease. 2006 Dec;1(4):409.
19. Meyers BF, Patterson GA. Chronic obstructive pulmonary disease• 10: Bullectomy, lung
volume reduction surgery, and transplantation for patients with chronic obstructive
pulmonary disease. Thorax. 2003 Jul 1;58(7):634-8.
20. Venuta F. Giant Bullous Emphysema. The Cardiothoracic Surgery Network. 2008. Available
at: http://www.ctsnet.org/article/giant-bullous-emphysema
38
2.3 Gagal nafas
2.3.1 Definisi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan suatu
keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal. Adanya kegagalan pernapasan dinyatakan apabila paru-paru tidak dapat lagi memenuhi
fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan
karbondioksida.1
2.3.2 Etiologi2.3
1. Depresi sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin menyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada
gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
39
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat
asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa
kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
40
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. . Pneumothorax
8. Emboli Paru
Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada
respon ventilasi. Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme
ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan.
Gagal nafas tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central
respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system),
atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan
dinding dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2
arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan
turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak
berubah.
41
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
1. Myasthenia Gravis
3. Gullain-Barrè syndrome
5. . Multiple sclerosis
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest)
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan
gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2,
venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal
nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa, 2003).
42
2. Asthma
Diagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul. Gejala klinis pada
gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu, penggunaan otot
pernapasan tambahan, restriksi intrakostal, suprasternal dan supraklavikular. Gejala peningkatan
tonus simpatis seperti takikardi, hipertensi dan berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan
status mental misalnya bingung atau koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala desaturasi
hemoglobin yaitu sianosis.
Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas ditandai dengan perubahan pola
pernafasan dari normal antara lain sebagai berikut
Hipoksemia Hiperkapnia
Ansietas Somnolen
Takikardia Letargi
43
Takipneu Koma
Bingung Agitasi
Sianosis Tremor
Asidosis Laktat
Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri, pengukuran saturasi oksigen
menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat
menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
2.3.6 Peatalaksanaan5,6,7,8
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya
tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan
dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk
menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
44
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala
mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), Terapi oksigen
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi.
Alat Oksigen Kateter Nasal 1-6 L/menit
Arus Rendah Konsentrasi : 24-44%
Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu tepat
indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada
terhadap efek samping.
b. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui
mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali
45
pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan
menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang
diatur.
c. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan
obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak
berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
d. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos bronkus
sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki efek
samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia.
Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar
dan efek kerjanya lebih lama.
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrisik..
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan agonis beta
adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine.
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia,
mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung,
hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
46
- Kortikosteroid
e. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS,
Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing;
2009. p. 218-26.
2. 2. Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2102;40(6):293–7.
3. 3. Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory failure. Trends in
Anaesthesia and Critical Care. 2013;3(5):265-9.
4. 4. Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute respiratory failure.
Critical care. 2003 Aug;7(4):288-90. PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central
PMCID: 270706.
5. 5. Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery. 2009;27(11):475-9.
6. 6. Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery. 2012;30(10):518-24.
7. 7. West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed. Baltimore: Lippincott,
Williams and Wilkins; 2012.
8. 8. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and pathophysiologic
aspects of respiratory failure. Principles of pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia:
Elsevier; 2014. p. 344-50.
48
2.4 Edema paru akut
2.4.1 Definisi
Edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru
kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan
pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.1
2.4.2 Etiologi2
Menurut Ingram dan Braunwald (2005), bahwa klasifikasi edema paru berdasarkan
mekanisme pencetus yaitu sebagai berikut.
49
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome).
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
50
Edema paru secara umum dibagi kedalam dua kelompok, secara etiologi yaitu :
1. Edema paru karena penyakit diluar jantung (Edema paru non cardiogenik)
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ
jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau
jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh
darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang
disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti
arhythmia dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung,
atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari jumlah darah yang
biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Pada akhirnya, menyebabkan cairan dari
pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
Secara patofisiologis edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan
kandungan protein yang rendah ke paru. Akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri
dan sebagian kapiler paru. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar di atrium
kiri, peningkatan volume berlebihan di ventrikel kiri atau obstruksi jalur keluar dari ventrikel
(2)
kiri. Dampak akhir yang ditimbulkan adlah hipoksia berat.
2. Edema paru karena sebagai komplikasi penyakit jantung (Edema paru cardiogenik)
Ada beberapa keadaan klinik yang berhubungan dengan edema paru yang disebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma, misal apa penyakit hati (sirosis) dan sindrom nefrotik.
Tekanan intersisial yang menurun dengan cepat akibat pengosongan udara dalam rongga pleaura
akan menimbulkan edema pleura. Demikian pula tekanan intrapleura yang terlalu negatif akan
menimbulkan edema intertsisial. Pembendungan limfe akibat fibrosis peradangan atau keganasan
dapat pula menimbulkan edema paru. Beberapa penyebab lain misalnya infeksi, aspirasi dan
syok, menimbulkan edema paru difus berhubungan dengan hemodinamika. Beberapa penyebab
edema pulmo non kardiogenik adalah sebagai berikut :
51
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS), adalah sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar yang difus sebagai akibat dari respon peradangan
yang mendasarinya, pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari
pembuluh-pembuluh darah. ditandai dengan distress pernafasan, hipoksemia berat,
infiltrat difus pada kedua paru. Patofisiologi ARDS adalah jejas paru difus akut yang
dipicu secara langsung oleh saluran nafas (aspirasi isi lambung atau inhalasi bahan
(7)
toksik) atau secara tidak langsung yaitu melalui sirkulasi sistemi seperti sepsis.
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma,
luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi
pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada
pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat
ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang
parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada
pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
g. Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.
Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada
aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary
edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-
52
paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute
lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita
hamil.
Tabel 1. Perbedaan Klinis Edema Paru Kardiak dan Edema Paru Non Kardiak
Edema Paru Kardiogenik Edema Paru Non Kardgeniki
Tes Laboratorium
EKG : Iskemia/infark Biasanya norma
Foto thoraks : Distribusi edema perihiler Distribusi edeme perifer
Enzim kardiak : Mungkin meningkat Biasanya normal
Keterangan:
JVP : Jugularis Venous Pressure
PCWP :Pulmonary Capilory Wedge Pressure
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB XXVI
IlmuPenyakitDalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
2. Mukty, dkk. Sembab paru (Edema paru). Dalam : Alsagaff,H.,Mukty a, editors. Dasar-
dasar Ilmu penyakit paru, surabaya: Airlangga University Press;2009.p.323-8
54