Guru memberikan peluang kepada peserta didik untuk memberikan usulan peraturan tentang
peraturan dididalam kelas, sedangkan guru mengorganisir dari semua usulan-usulan tersebut.
Guru memberikan pengarahan tentang peraturan yang sehat, peraturan yang baik untuk
dijalankan. Dengan begitu peserta didik merasa lebih mempunyai tangungjawab untuk
menegakan peraturan yang dibuat bersam tersebut.
Kewajiban Siswa
Kewajiban guru
1. Guru harus mengabsensi siswa tiap kali masuk kelas
2. Guru memberikan pelajaran sesuai dengan jadwal, jika pengubahan jadwal pelajaran harus
berdasarkan persetujuan semua pesera didik.
3. Guru memberikan penilaian akhir kepada peserta didik dengan ketentuan sebagai berikut :
Kehadiran : 20 %
Tugas-tugas : 20 %
UTS : 15 %
UAS : 45 %
4. Guru jika tidak bisa hadir selama 3 kali berturut dilaporkan kepada wali kelas dan kepala
sekolah oleh perwakilan siswa.
Menjadi guru memang tidak mudah, perlu pengalaman dan kepribadian yang mendukung untuk
menjadi guru yang matang selain juga penguasaan berbagai ilmu psikologi pendidikan praktis untuk
mengelola kelas yang baik dan tenang. Ada tips atau saran yang perlu diperhatikan bagi seorang
guru, yang kesulitan dalam menguasai kelas, mengatasi anak-anak murid yang selalu ribut, bermain,
tidak perhatian dalam belajar dan sebagainya. Hal-hal tersebut disebabkan oleh beberapa kesalahan
yang baik sengaja ataupun tidak, dilakukan oleh seorang guru di depan kelas.
1. Kondisi kelas yang tidak mendukung
2. Kelas yang lepas kendali
3. Perbuatan jelek tanpa konsekwensi
Kondisi kelas yang tidak mendukung, meja berantakan, murid yang belum siap untuk belajar,
keasyikan bermain atau bawa mainan atau bermain dalam kelas dan sebagainya yang semua itu
akan mengganggu atau bahkan menggagalkan proses belajar dikelas.
Pada dasarnya setiap kelas tidak siap untuk belajar. Gurulah yang seharusnya mempersiapkan,
mengkondisikan kelas agar siap untuk belajar. Saya mengenal seorang guru SD teman sesama
mengajar, ia masuk kelas 3, sudah siap untuk materi yang akan diajarkan yaitu bahasa Indonesia
untuk kelas 3 SD. Tetapi murid tidak siap, mereka asyik bermain karena baru selesai istirahat tetapi
bel tanda masuk sudah berbunyi, anak-anak tersebut masih merasa jam istirahat. Ia segera
memerintahkan agar anak-anak tenang, mereka tidak mau tenang. Perintahnya ia ulang sampai tiga
kali tidak juga tenang. Ia ambil spidol menulis di papan tulis besar-besar "HARAP TENANG" dengan
harapan murid-murid mengerti bahwa ia sedang marah dan murid segera tenang memulai pelajaran.
Sampai akhirnya ia putus asa anak-anak tidak juga tenang ia memulai pelajaran dengan keadaan
kelas yang ribut, anak-anak asyik cerita sana-sini tidak memperhatikan guru yang sedang
menerangkan pelajaran. Sampai waktu pelajaran hampir habis anak tidak juga tenang ia pun
melepaskan tanggung jawabnya dengan duduk menenangkan diri di kantor majelis guru. Akhirnya
anak-anak kelasnya timbul perkelahian ketahuan oleh kepala sekolah yang disalahkan adalah guru
yang mengajar jam berikutnya. Ada juga teman saya yang tegas pada anak. Ia guru Bahasa Inggris.
Setiap kali ia masuk kelas ia tidak langsung duduk di meja guru, tetapi berkeliling kelas menegur
setiap anak yang asyik cerita, bermain, mengingatkan bahwa jam pelajaran sudah masuk dan tidak
boleh ada yang bermain atau bercerita sesama teman. Bahkan ia mengambil permainan yang
dimainkan anak-anak di dalam kelas. Anak-anak untuk sementara ketakutan permainannya diambil
segera menyimpan mainannya kedalam tas. Ketika itu pula guru tersebut memerintahkan untuk
mengeluarkan buku pelajaran bahasa inggris, dan anak-anak segera mematuhinya. Guru bahasa
Inggris ini menguasai kelas dengan baik. Ia dapat dengan tenang mengajar dan konsentrasi
muridpun dapat terkondisikan lebih baik untuk belajar. Demikianlah pentingnya mengkondisikan
kelas. Gurulah yang mengkondisikan kelas agar tenang dan siap untuk belajar. Bukan guru
menunggu agar murid tenang dan siap untuk belajar.
Kelas perlu kendali dari guru. Gurulah yang pegang kendali agar kelas senantiasa tetap tenang dan
kondisi terfokus untuk belajar. Setiap murid selalu mencari celah kelonggaran dari seorang guru agar
ia dapat bermain dan bebas berbuat sekehendak hatinya. Bahkan murid sekarang kreatif
menciptakan celah kelonggaran kendali guru di kelas. Jangan salahkan murid tetapi gurulah yang
senantiasa memegang kendali. Contoh guru bahasa Indonesia teman saya diatas adalah contoh guru
yang tidak pernah memegang kendali kelas. Ia biarkan saja murid-murid ribut di kelas.
Mengendalikan kelas dengan cara marah-marah, membentak murid, Berteriak-teriak menimbulkan
ketegangan dan ketakutan yang tidak baik untuk suasana belajar. Inilah yang perlu di tanamkan dan
diajarkan pada murid-murid bahwa setiap perbuatan ada konsekwensinya jadi ia akan mengerti dan
berbuat yang lebih baik dan selalu memilih perbuatan yang baik untuk mendapatkan konsekwensi
yang baik dari perbuatannya.
Konsekwensi adalah akibat dari perbuatan yang ia perbuat. Bisa hukuman bagi yang melakukan
pelanggaran peraturan kelas, seperti berdiri di salah satu tempat dikelas yang terpisah dari kawan-
kawanya dan sebagainya. Ada banyak konsekwensi yang perlu diterapkan pada anak didik agar
mereka mengerti perbuatan baik dan mengerti jika ia melakukan perbuatan salah dapat konsekwensi
hukuman dari guru. Konsekwensi ada konsekwensi logis, konsekwensi alam, kosekwensi substitusi
dan lain sebagainya. Dapat seorang guru memilih atau membuat konsekwensi substitusi dari
perbuatan yang dilakukan anak didik. Jika anak didik tidak diberikan atau tidak dikenalkan pada
konsekwensi seperti itu maka anak tidak akan pernah tahu atau mengerti mana perbuatan baik dan
benar dilakukan dan mana perbuatan yang salah yang seharusnya tidak dilakukan. Kalau keadaan
tanpa konsekwensi ini berulang-ulang terjadi bukan saja anak didik tidak disiplin tetapi akan sulit
mendidiknya untuk mengerti nilai-nilai dan norma yang ada dilingkungan kehidupannya.
Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa akan
lebih semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih
banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut
konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri
tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak
diikuti kedisiplinan pendidik , bagaikan halilintar di waktu mareng , banyak yang menyepelekan.
Hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik. Maksudnya dengan adanya hukuman siswa
menjadi tahu / faham tentang kesalahan yang dilakukannya, tanpa merampas “ batas
kemanusiaannya.” Dengan kata lain hukuman dari pendidik kepada peserta didik harus bersifat
mendidik. Jadi hukuman harus ada relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin, sifat
kemanusiaan, kemandirian dan ketidakragu-raguan. Misalnya hukuman menghafalkan pembukaan UUD
1945, membuat puisi, menambah jumlah soal PR, membuat cerpen tentang siswa terhukum dan lain-
lain. Pendeknya hukuman itu ada gunanya bagi pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa
yang terhukum. Bukan sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan,
menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci siswa terhadap
pendidiknya ( pemberi hukuman itu )
Tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara ( Majalah Wasito Edisi 08 Jilid I 1929 ) mengemukakan
pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus
memperhatikan 3 macam aturan. Pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahan. Misalnya,
kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada
tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka
pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya
mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn
penyiksaan.
Kedua, hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan
membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok ada siswa
yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka
hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama
dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari
kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan
harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal
memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai pedoman dan pertimbangan para guru
/ kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi,
kemudian jaksa dan sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala sekolah memang
mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak heran akhirnya bak raja di atas
tahta,segala perintah, siswa dipaksa menerima dan menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan
tidak merugikan anak didik. Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak , sehingga hukuman tak boleh
semena-mena terhadap anak didik.
Psikologis anak perlu sentuhan yang halus , lentur dan manis sehingga bisa membuat sensivitas
perasaannya terasah normal. Hukuman terhadap siswa harus berlandaskan keseimbangan. Misalnya dari
strata paling rendah, siswa yang nakal dibina dulu oleh wali kelas . Apabila masih belum bisa ditolerir
dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti kegiatan sekolah. Sedangkan hukuman di strata
puncak jika memang sekolah tidak mampu membina lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
Kenyataan yang sering dialami oleh saya saat mendisiplinkan siswa sebagai contoh ada siswa yang rambutnya
di-mohawk, gondrong atau tidak sesuai aturan. Pertama hanya diberi peringatan lisan agar besok rambutnya
dicukur tetapi biasanya siswa tidak langsung menurut perintah gurunya. Besoknya siswa masih tetap membandel
tidak mencukur rambutnya. Akhirnya saya mengambil gunting dan merapikan rambut siswa yang tidak teratur
tersebut di hadapan teman-temannya. Cara ini dianggap efektif karena dia merasa malu dilihat oleh teman-
temannya, dan temannya yang mempunyai rambut gondrong atau tidak sesuai aturan akan segera mencukur
dengan keinginan sendiri bukan karena terpaksa. Cara mencukur rambutnya pun tidak asal-asalan yang
membuat mereka malu tetapi menjadi rapi sehingga jika tidak dicukur lagi di salon pun terlihat bagus. Selain
rambut, hampir setiap hari ada saja siswa yang datang terlambat. Memang di daerah kami sarana transportasi
tidak seperti di kota besar tetapi siswa yang disiplin biasanya akan berangkat ke sekolah lebih awal agar tidak
terlambat. Mereka yang terlambat akan dicatat di buku kendali siswa dan dihukum dengan cara membersihkan
teras sekolah dengan menyapu dan mengepel. Selain itu mereka juga disuruh membersihkan sampah yang
belum dibuang oleh petugas piket hari itu. Kenakalan remaja sekarang tidak hanya di perkotaan tetapi juga di
pedesaan pun sama. Beberapa siswa sudah mulai merokok, minum-minuman keras dan mengonsumsi obat-
obatan terlarang walaupun jenisnya masih dikategorikan obat biasa tetapi karena mengkonsumsinya banyak
sehingga mereka menjadi seperti orang mabuk. Kalau kasusnya agak berat, anak dipanggil ke ruang
Bimbingan dan Konseling kemudian diminta orang tuanya datang ke sekolah, sehingga orang tua mengetahui
bahwa anaknya melakukan hal tersebut. Karena selama ini banyak orang tua yang tidak mengetahui bahwa
anaknya melakukan hal-hal terlarang tersebut. Setelah orang tua dipanggil maka akan diberi penjelasan dan
pengarahan kepada siswa dan orang tuanya. Jika anaknya masih seperti ini maka pihak sekolah akan
mengembalikan anak tersebut kepada orang tua tetapi tidak dikeluarkan dari sekolah. Terkadang penanganan
yang agak sulit tentu saat berada di kelas atau di waktu-waktu tertentu saat suasana hati seorang guru sedang
ada masalah. Sehingga saat melihat siswa melanggar gejolak emosinya semakin meningkat apalagi siswa
tersebut selalu ngeyel saat diberi pengertian atau melakukan hal-hal yang tidak sopan kepada guru. Tentu ada
guru yang bisa menahan emosi ada juga guru yang tidak bisa menahan emosi. Guru yang tidak bisa menahan
emosi tentu akan melakukan tindakan pemukulan, mencubit, atau menampar. Karena guru juga manusia biasa
yang terkadang lepas kontrol. Tetapi orang tua juga harus memahami bahwa tindakan guru tersebut dalam hal
kebaikan untuk mendisiplinkan siswanya. Walaupun demikian memang tidak dibenarkan melakukan tindakan
kekerasan kepada siswa. Tetapi jika sampai terjadi alangkah bijaknya semua dimusyawarahkan. Karena saat ini
sepertinya orang sudah jauh dari yang namanya musyawarah untuk mufakat. Semua merasa dirinya yang paling
benar tidak peduli dengan orang lain. Padahal kalau ditilik lebih jauh, apabila guru bermasalah dan harus
berurusan dengan kepolisian berapa siswa yang terbengkalai karena tidak mengajar muridnya. Apalagi guru
yang sudah berkeluarga tentu mereka akan terganggu psikologisnya apabila guru tersebut harus mendekam di
penjara. Oleh karena itu harusnya diupayakan bersama antara guru, kepala sekolah, komite sekolah, orang tua,
dan instansi yang berhubungan dengan pendidikan. Kira-kira hukuman apa yang tepat untuk siswa yang
melanggar aturan agar jelas. Agar guru tidak selalu menjadi orang yang paling disalahkan, murid juga bisa
disiplin dan orang tua tidak keberatan jika anaknya dihukum, dan tentunya tidak melanggar HAM
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/didno76/hukuman-apa-yang-tepat-untuk-siswa-yang-
melanggar_57523dee6723bdaf049d1527
Memberikan Hukuman yang Mendidik Kepada Siswa 27 Agustus 2013 02:17:45 Diperbarui: 24 Juni 2015
01:46:06 Dibaca : 9823 Komentar : 5 Nilai : 1 Durasi Baca : 2 menit Sebagai seorang guru, saya sering sekali
mendapatkan pertanyaan dari teman-teman guru yang lain. Pertanyaan tersebut salah satunya adalah tentang
bagaimana caranya memberikan hukuman kepada siswa yang sudah melakukan kesalahan. Bagi teman-teman
guru yang sudah banyak makan asam garam di dunia pendidikan mungkin ini adalah masalah biasa atau sepele.
Tapi bagi mereka para guru muda yang masih sedikit pengalaman, jelas ini bukan masalah sepele. Murid
melakukan kesalahan dan sudah sewajarnya guru akan memberikan konsekwensi atau hukuman. Dan tentu
bukan sembarang hukuman. Kita para guru harus memperhatikan beberapa point penting ketika akan
memberikan hukuman kepada siswa. Point-point tersebut antara lain adalah: 1. Hukuman harus bisa
memberikan efek jera kepada siswa 2. Hukuman harus bersifat mendidik atau edukatif 3. Hukuman tidak
digunakan untuk mempermalukan siswa Itu adalah 3 point penting yang selalu saya perhatikan ketika mau
memberikan hukuman kepada siswa. Sebagai contoh adalah pengalaman saya sendiri. Di hari rabu minggu
kemarin, ada 4 siswa saya yang pulang sekolah tanpa izin sebelum kegiatan belajar mengajar selesai. Lalu
keesokan harinya saya panggil keempat siswa tersebut, dan saya tanya satu persatu alasan mereka pulang
sekolah tanpa izin. Dan ternyata jawabanya macam-macam. Langsung pada saat itu juga saya memikirkan
hukuman apa yang tepat untuk mereka. Dan akhirnya saya dapatkan hukuman yang pantas dan cukup edukatif
untuk mereka. Ada 2 buah hukuman yang saya berikan kepada mereka. Yang pertama saya keluarkan mereka
dari kelas pada saat jam pelajaran. Dan yang kedua saya suruh mereka untuk membuat cerita atau narasi
tentang apa saja yang mereka lakukan ketika kemarin pulang sekolah tanpa izin sebelum kegiatan belajar
mengajar berakhir. Mereka mengerjakan tugas tersebut di luar kelas. Dan jika sudah selesai, saya persilahkan
mereka untuk masuk kelas kembali, lalu mereka bacakan satu persatu narasi mereka di depan kelas. Dari narasi
yang mereka buat, kita semua jadi tahu apa sebenarnya alasan mereka kemarin pulang sekolah tanpa izin. Dan
setelah keempat siswa selesai membacakan narasi, saya suruh siswa-siswa yang lain untuk memberikan
penilaian. Kira-kira terpuji tidak tindakan yang sudah dilakukan oleh keempat teman kalian? Dan tindakan seperti
itu pantaskah kita tiru? Lalu pada tahap akhir, saya sebagai guru memberikan penjelasan dan nasehat kepada
mereka yang sudah melakukan kesalahan. Sekaligus memberikan peringatan untuk tidak melakukan tindakan
seperti itu lagi di lain kesempatan. Setelah saya amati, ternyata mereka cukup puas dengan hukuman yang
sudah saya berikan. Mereka tidak merasa dipermalukan. Dan mereka juga sangat senang ketika membacakan
cerita atau narasi di depan kelas. Hukuman ini saya rasa cukup mendidik. Selain sudah memberikan efek jera,
hukuman ini juga membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berbahasa mereka. Khususnya
kemampuan menulis dan berbicara. Pengalaman yang sudah saya alami ini cuma salah satu contoh. Bagi
teman-teman guru yang lain saya rasa bisa mengembangkan atau menciptakan hukuman lain yang lebih kreatif
dan edukatif. Sekian dulu tulisan dari saya. Semoga bermanfaat bagi teman-teman semua. Selam
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rahmanmourinho/memberikan-hukuman-yang-mendidik-kepada-
siswa_55295c0a6ea8347b728b459a
Hajr (Mendiamkan)
Seorang pendidik bisa mendiamkan anak atau muridnya jika mereka meninggalkan shalat,
menonton film, atau melakukan perbuatan yang menyelisihi adab belajar. Hajr ini paling lama
tiga hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (Sahih, lihat Shahihul
Jami’ no. 753)
Tindakan hajr ini mengandung pendidikan adab, baik bagi anak maupun murid. Seorang penyair
pernah mengatakan,
Wahai kalbu, bersabarlah dengan hajr dari orang yang kau cinta
jangan kau putus asa karenanya, karena pendidikan kesantunan ada padanya
Teguran Keras
Jika nasihat dan arahan tidak memberikan hasil, pendidik boleh menegur anak atau muridnya
dengan keras ketika melakukan suatu kesalahan besar.
Duduk Qurfusha’
Apabila seorang guru kewalahan mengatasi murid yang malas, tebal muka, atau yang
semisalnya, sang guru bisa memerintahnya untuk bangkit dari tempat duduknya dan
menyuruhnya duduk qurfusha’ di depan kelas, di atas kedua telapak kakinya sambil mengangkat
kedua tangannya ke atas. Ini bisa membuat lelah si murid dan menjadi hukuman baginya. Di
samping itu, lebih utama daripada menghukumnya dengan tangan atau tongkat.
Menggantungkan Tongkat
Disenangi apabila seorang pendidik—baik guru maupun ayah— menggantungkan cambuk yang
bisa digunakan untuk memukul dinding agar anak-anak bisa menyaksikannya dan merasa takut
terhadap hukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga kalian, karena hal itu
merupakan pendidikan adab bagi mereka.” (Dinyatakan hasan oleh al-Imam al-
Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 4022)
Ucapan beliau, “bisa dilihat oleh anggota keluarga”, maksudnya agar menjadi rintangan bagi
mereka melakukan berbagai kejelekan, karena takut tertimpa hukuman sebagai akibatnya.
Ucapan beliau, “karena hal itu merupakan pendidikan adab bagi mereka”, maksudnya bisa
membuat mereka bersikap santun, berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menyandang
berbagai keutamaan yang sempurna. (Faidhul Qadir, al-Munawi, 4/325)
Pukulan Ringan
Seorang pendidik boleh memukul dengan ringan, jika segala cara di atas tidak memberi manfaat.
Lebih-lebih lagi dalam hal penunaian shalat bagi seorang anak yang telah berusia sepuluh
tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ajari anak-anak kalian shalat ketika telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena
meninggalkan shalat ketika telah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur
mereka.” (Sahih, HR. al-Bazzar dan yang lainnya)
Tentu amat indah pengajaran apabila disertai metode yang sesuai syariat. Karena itu, bekal
berharga seperti ini sudah semestinya dimiliki oleh seorang pendidik sejati.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyyin wal
Murabbiyyat karya asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah oleh Ummu
‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Jaman sudah berubah demikian pula dalam dunia pendidikan. Ketika kita bersekolah dulu apabila kita tidak
mengerjakan PR maka kita akan dihukum bapak/ibu guru dengan berdiri didepan kelas atau hukuman yang lain.
Sekarang ini kita tidak bisa menghukum siswa dengan hukuman fisik karena selain melanggar HAM juga dapat
berpengaruh dalam perkembangan jiwa anak, tetapi bukan berarti apabila ada siswa yang melanggar kita tidak
bisa menghukum. Efek jera perlu kita berikan kepada siswa dengan harapan siswa sadar dan tahu tugasnya
sebagai seorang pelajar yaitu belajar. Ketika kita melakukan kegiatan belajar mengajar dalam suatu kelas siswa
yang malas itu pasti ada, dan ketika diberikan PR alasan lupa atau tertinggal pasti akan keluar dari mulut sang
siswa untuk melindungi diri dari amarah bapak/ibu guru. Ketakutan akan terkena HAM akibat menghukum anak
terkadang membuat seorang guru yang mengajar dengan tidak menggunakan hati akan mengatakan dalam hati,
“Ah biar aja dia (siswa) itu malas......, wong dia bukan anak saya ngapain dihukum bodoh amat, lebih baik cari
selamatnya aja biar alam yang menyeleksi biar nanti dirasakan. Nanti kalau saya menghukum, orang tuanya
akan melaporkan saya ke polisi, mau jadi apa nantinya biarlah nasib yang menentukannya yang penting saya
menjalankan tugas biar tidak dikatakan memakan gaji buta.” Jika semua guru berpikir seperti tersebut,
bagaimana nasib generasi Indonesia kedepannya akan sangat menyedihkan karena guru yang seharusnya
mendidik beralih tanggung jawab hanya sebagai pengajar yang hanya memberikan ilmu dengan sistem yang
penting materi selesai, nilai diberi sesuai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Siswa yang melalaikan tanggung
jawabnya dengan tidak mengerjakan PR atau tugas sekolah harus tetap mendapat hukuman tetapi hukuman itu
harus bersifat mendidik. Hukuman yang bersifat mendidik itu apa yaaaaa............? Sayapun mencoba
menghukum siswa yang melalikan tugasnya dengan memberikan tugas mengarang dengan waktu 5 menit. Saya
memberikan selembar kertas kecil dan menyuruh siswa menulis dengan jujur mengapa lupa mengerjakan PR
dan hasilnya bagi saya siswa akan lebih jujur lagi karena mereka mengungkapkan perasaannya mengapa lupa
mengerjakan RP. Ada siswa yang bercerita lupa mengerjakan karena semalam pergi ke rumah saudaranya, ada
yang mengatakan tidak memasukkan ke dalam tas karena tergesa-gesa berangkat dan masih banyak lagi
ceriata yang berbeda dan alasan yang bermacam-macam. Dengan menghukum siswa untuk menulis mengapa
sampai tidak mengerjakan PR walau hanya 5 menit, bagi saya ternyata banyak manfaatnya. Pertama kita telah
mengajari siswa untuk belajar mengarang walaupun terkadang bahasa mereka lucu sekali dengan sering
mengulang-ulang kata. Kedua mengajari siswa untuk mengungkapkan isi hatinya/alasan mengapa lupa
mengerjakan PR, karena siswa tanpa malu mengungkapkan semua alasannya dengan tulisan itu saya rasa guru
bisa melihat bagaimana siswa tersebut. Dengan menulis cerita tersebut ternyata dapat mengurangi siswa yang
lalai dari mengerjakan tugas dan mereka lebih sadar dengan apa yang telah dilakukannya itu salah. Banyak
sekali hukuman mendidik yang ternyata efek jeranya lebih baik dari pada kita menghukum siswa secara fisik.
Seorang guru juga dituntut untuk lebih kreatif lagi dalam melakukan hukuman apabila ada siswa yang melalaikan
tugasnya, tanpa harus memberikan hukuman fisik. Hukumanpun juga harus yang kreatif tergantung pada
kesalahan siswa tersebut karena siswa bandel dan malas pasti ada sehingga lebih sering lupa tugas. Jika kita
menghadapi siswa tersebut kita harus melibatkan BK dan orang tua. Semoga pengalaman ini bermanfaat
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/nurdianasmpn2/ketika-siswa-melalaikan-tanggung-jawabnya-tidak-
mengerjakan-tugas-atau-pekerjaan-rumah-pr_552852d6f17e61023d8b45c6