Anda di halaman 1dari 118

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota Makassar terletak antara 0°12' -


8° Lintang selatan, dan 116°48' - 122°36' Bujur timur yang berbatasan dengan
Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi
Tenggara di sebelah timur. Batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah
Selat Makassar dan Laut Flores. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah
45.574.48 km² dengan 20 kabupaten dan tiga kota. Jumlah penduduk Provinsi
Sulawesi Selatan berdasarkan hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional
(SUSENAS) tahun 2005 berjumlah 7.379.370 jiwa dengan mayoritas perempuan
dari pada laki-laki (Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 2005)
Sektor pertanian sebagai sektor dominan dalam struktur perekonomian
Sulawesi Selatan memegang peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Selain untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, sektor ini juga
mempunyai peranan yang besar dalam penyerapan tenaga kerja di Sulawesi
Selatan. Menurut hasil Statistik Pertanian Sulawesi Selatan tahun 2000, sebanyak
61,79 persen tenaga kerja di Sulawesi Selatan bekerja di sektor pertanian.
Meskipun sejak tahun 2000 hingga 2004, kontribusi sektor pertanian
cenderung menurun, namun secara keseluruhan sektor ini masih mendominasi
struktur perekonomian Sulawesi Selatan. Pada tahun 2004 kontribusi sektor
pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan
adalah sebesar 33,54 persen. Di sisi lain sektor ini masih belum menunjukkan
kinerja yang menggembirakan. Fenomena ini terlihat dari rendahnya rata-rata
pertumbuhan sektor ini selama lima tahun terakhir yaitu 1,39 persen.
Pertumbuhan tertinggi sektor ini terjadi pada tahun 2002 dengan pertumbuhan
mencapai 4,61 persen yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1,06 persen (Badan Pusat Statistik
Sulawesi Selatan, 2005)
Di Provinsi Sulawesi Selatan jumlah usaha pertanian terhadap total rumah
tangga adalah sebesar 62,24 persen. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan
tanaman hortikultura sebanyak 315 ribu atau 27,65 persen dari total rumah tangga
usaha pertanian. Jumlah rumah tangga kelompok tanaman sayur-sayuran adalah
79

sebesar 11,72 persen atau sekitar 133.519 total rumah tangga yang tersebar pada
20 kabupaten dan tiga kota (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Selatan
2005). Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing.
Berdasarkan data yang ada, diperoleh gambaran bahwa secara keseluruhan
produksi sayuran di Sulawesi Selatan pada tahun 2004 adalah 245.113 ton.
Terdapat beberapa jenis komoditi yang mengalami peningkatan dan juga beberapa
jenis komoditi lainnya mengalami penurunan. Secara rinci produksi sayur-sayuran
di Sulawesi Selatan dapat terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi Sayuran menurut Komoditas


di Sulawesi Selatan Tahun 2004 (Ton)

Luas Penen Produksi Produksi/Ha


Komoditas Sayuran
(Ha) (Ton) (Ton)

1. Bawang Merah ( Shallot) 2.338 11. 056 4,72


2. Bawah Putih (Garlic) 36 56 1,55
3. Bawang Daun (Leek) 2.105 17. 352 8,24
4. Kentang (Potato) 1.208 12. 205 10,10
5. Kubis (Cabbage) 2.727 67.720 24,83
6. Kembang Kol 131 678 5,17
7. Petsai/Sawi (Chinese Cabb) 1.599 12. 087 7,56
8. Wortel (Carrot) 743 7.248 9,76
9. Kacang Merah (Red/Kidn.Bean) 1.785 5.341 2,99
10. Kac.Panjang (Yardlong bean) 5.946 19.280 3,24
11. Cabe Besar (Chili) 6.156 28.129 4,57
12. Cabe Rawit 3.356 8.180 2,44
13. Tomat (Tomato) 4.975 16.214 3,26
14. Terung (Egg Plant/Aubergin) 6.111 10.594 1,73
15. Buncis (Green Bean) 3.299 7.031 2,13
16. Ketimun (Cucumber) 2.314 6.837 2,95
17. Labu Siam (Pumpkin) 2.339 5.746 2,45
18. Kangkung (swamp Cabbage) 2.846 6.263 2,20
19. Bayam (Spinach/Ind.Amaranth) 2.672 3.096 1,15
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004
80

Beberapa komoditas sayuran yang mengalami peningkatan produksi yaitu


bawang putih (72,73%), bawang daun (14,05%), kentang (49,16%), kubis (400%
atau yang tertinggi perkembangannya), kacang panjang (88,57%), tomat (11,90%)
dan terung (0,14%). Komoditi yang mengalami penurunan produksi yaitu bawang
merah yaitu sebesar (-37,16%), petsai (-43,60%), wortel (-1,87%), kacang merah
(39,56%), cabe (-18,25%), buncis (-0,87%), ketimun (-2,33%), labu siam
(0,47%), kangkung (-19,22%), bayam (-42,59%). Secara umum penurunan
produksi disebabkan serangan hama, penyakit dan kekeringan ataupun karena
genangan air serta penggunaan pupuk organik dan anorganik yang belum
maksimal. Selain itu dipengaruhi pula oleh populasi, umur dan jenis kelamin serta
tingkat pendidikan petani ataupun buruh taninya (Analisis Hasil Sensus Pertanian
Provinsi Sulawesi Selatan, 2003).
Walaupun terjadi penurunan pada beberapa jenis produksi, akan tetapi
terdapat sebagian komoditi unggulan yang memiliki pasaran yang cukup baik
seperti bawang merah dan cabe. Beberapa komoditi unggulan yang mengalami
peningkatan seperti kentang, kubis dan dan tomat menunjukkan bahwa komoditi
sayuran di Sulawesi Selatan cukup potensil untuk dikembangkan dalam
meningkatkan pendapatan petani.

Deskripsi Kabupaten Gowa

Kabupaten Gowa merupakan salah satu daerah sentra tanaman sayuran


diantara 23 kabupaten/kotamadya di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Gowa
merupakan kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Selatan
yang secara adminsitrasi terbagi atas 16 kecamatan dengan 154 desa/kelurahan,
dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,33 km² atau sekitar 3,01 persen dari luas
wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Luas lahan tanaman sayuran di kabupaten
Gowa Tahun 2005 seluas 1.387 ha dengan jumlah produksi sebanyak 28.790,3 ton
(Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura,2005).
Sebagian besar wilayah Kabupaten Gowa merupakan dataran tinggi yaitu
sekitar 72,26 persen dari luas total wilayah dan sisanya merupakan dataran rendah
27,74 persen. Wilayah yang termasuk dataran tinggi terdiri dari 8 kecamatan yaitu
81

Kecamatan Parangloe, Manuju,Tinggi moncong, Tombolo Pao, Bungaya,


Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Kecamatan Tinggimoncong dan
Barombong merupakan wilayah yang terpilih dalam penelitian ini. Komoditi
sayuran di wilayah dataran tinggi seperti kentang, kubis dan tomat mengalami
penurunan produksi dari tahun 2003–2005 antara 39,17 – 96 persen. Bahkan
beberapa komoditi seperti kentang dan kubis produksinya di bawah rata-rata
produksi sayuran di Sulawesi Selatan. Gambaran mengenai produksi sayur-
sayuran yang menonjol di Kabupaten Gowa dari tahun 2002 - 2005 terlihat pada
Tabel 7.

Tabel 7. Produksi Sayuran yang Menonjol menurut Jenisnya di Kabupaten


Gowa Tahun 2003-2005 (Dalam Ton)

Jenis Sayuran 2003 2004 2005

Kentang 1.984,86 1.372,26 1.161,01


Bawang Daun 1.978,12 801,90 781,76
Kubis/Kol 1.123,32 1.051,65 683,3
Ketimun 11.321,90 526,40 575,2
Kangkung 7.747,90 300,58 5.089
Tomat 12.256,60 1.027,62 458,92
Wortel 2.825,60 36,97 221,98
Petsai/Sawi 6.883,00 631,23 432,22
Labu Siam - 4.290 8.172
Kacang Panjang 6.902,60 666,40 4.624
Terung 5.143,70 211,75 1.553
Bayam 624,80 3.480 3.854
Jumlah 58.792,40 14..396,76 27..606,39
Sumber : Diolah dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Gowa, 2005

Penurunan produksi tersebut selain karena kurang dan terbatasnya modal


untuk memperoleh bibit, juga karena terbatasnya biaya pemeliharaan yang
dimiliki petani. Serangan hama, penyakit, kekeringan dan genangan air sangat
mempengaruhi produktivitas. Hingga penelitian ini dilakukan diperoleh informasi
bahwa setiap kelompok tani akan mendapat bantuan biaya pengadaan bibit
sayuran khususnya bibit kentang sebesar Rp. 10.530.000/kelompok dari Dinas
82

Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan. Bantuan ini diharapkan akan


meningkatkan motivasi petani dan produksi sayuran yang diusahakan.
Selain di dataran tinggi, produksi sayuran di wilayah dataran rendah pada
delapan kecamatan yaitu Kecamatan Somba Opu, Pallangga, Barombong, Bajeng,
Bontonompo, Bontonompo Selatan, Bontomarannu dan Pattallasang Kabupaten
Gowa juga mengalami penurunan produksi untuk beberapa komoditi antar lain:
ketimun, kangkung, tomat, wortel, petsai/sawi, labu siam, kacang panjang, dan
terong antara 92,1–95 persen. Penurunan tersebut cukup drastis yang memerlukan
upaya-upaya peningkatan kemampuan usaha petani agar produktivitas kerja dan
produksinya dapat meningkat.
Masalah kondisi harga komoditi yang cenderung fluktuatif dan dikeluhkan
petani turut menjadi penyebab menurunnya gairah dan produksi petani. Pada
umumnya pemasaran hasil produksi dilakukan langsung kepedagang pengumpul
kemudian sebagian besar diperdagangkan ke Kalimantan Timur melalui
pelabuhan Mamuju. Khusus di wilayah dataran rendah pemasaran lebih terfokus
ke Kota Makassar dan sekitarnya melalui pagandeng atau pedagang sayur dengan
menggunakan sepeda dan motor hingga ke pasar-pasar tradisionil.
Kabupaten Gowa merupakan kabupaten terbesar ketiga di Sulawesi
Selatan, hingga tahun 2005 penduduknya tercatat 575.295 jiwa yang terdiri dari
288.790 laki-laki dan 286.505 perempuan dengan laju pertumbuhan yang cukup
tinggi yaitu rata-rata sekitar 2,69 persen pertahun. Persentase penduduk usia
produktif 15-64 tahun sekitar 64,71 persen tahun 2005. Kepadatan penduduk
Kabupaten Gowa sekitar 300 jiwa per km². Penduduk miskin di daerah ini sekitar
94,1 ribu atau 16,7 persen pada tahun 2004. Persentase angka penduduk miskin
Kabupaten Gowa ini berada diatas persentase rata-rata penduduk miskin tingkat
propinsi tahun 2004 sekitar 14,9 persen (Bappeda-BPS Kabupaten Gowa, 2005).
Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pembangunan manusia di wilayah ini dalam
menanggulangi/menekan kemiskinan semakin perlu diperbaiki.
Pada Tahun 2004 di wilayah ini terlihat pula tingginya persentase
penduduk yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar (SD) yaitu mencapai
sekitar 42,02 persen, tamat SD 25,73 persen, tamat SMP atau yang sederajat
sekitar 15,33 persen sedangkan tamat SMA sederajat sekitar 14,25 persen.
83

Rendahnya tingkat pendidikan tersebut menjadi gambaran rendahnya kualitas


penduduk baik yang bekerja di sektor pertanian maupun diluar usaha pertanian.
Dilihat dari lapangan usaha, sebagian besar penduduk Kabupaten Gowa
bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 40,48 persen tahun 2005 dimana sektor
ini masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Gowa. Sebagai daerah
agraris, luas areal persawahannya mencapai 34.368 Ha yang terdiri dari 9.971 ha
lahan sawah berpengairan teknis, 4.567 ha teknis, 2.286 ha pengairan sederhana,
dan 7.554 ha pengairan non PU/pengairan desa, sedangkan sisanya 10.170 ha
adalah lahan sawah tadah hujan dengan produksi padi mencapai sekitar 230,5 ribu
ton selama tahun 2004. Selain tanaman padi, potensi tanaman pangan seperti
komoditas jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kacang hijau serta produk
perkebunan lainnya cukup menonjol seperti tebu, kelapa, kopi, coklat, cengkeh
dan teh hijau sebagai komoditas unggulan untuk konsumsi ekspor.

Deskripsi Kecamatan Barombong dan


Kecamatan Tinggi Moncong

Wilayah administrasi Kecamatan Barombong pada tahun 2005 terdiri dari


tujuh desa/kelurahan dengan luas sekitar 20,67 km² atau 1,1 persen dari luas
wilayah Kabupaten Gowa. Wilayah Kecamatan Barombong merupakan wilayah
dataran rendah dan terkecil luasnya di antara 16 kecamatan di Kabupaten Gowa.
Tahun 2005 wilayah ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 29.205 jiwa dari
6.707 rumah tangga dengan kepadatan 1.413 jiwa/km².
Komposisi penduduknya berdasarkan jenis kelamin hampir berimbang
yakni 14.271 laki-laki dan 14.923 perempuan, sedangkan dari segi kelompok
umur mayoritas berusia 15–54 tahun. Sebagian besar atau 86,5 persen
penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani dari jumlah penduduk
yang bekerja. Luas lahan sawah seluas 1.650 ha termasuk di dalamnya lahan
tanaman sayuran untuk jenis bayam, ketimun, kangkung, terong, kacang panjang,
cabe rawit, buncis dan labu siam. Jenis sayuran tersebut dipanen berkali-kali
sebagai sayuran yang banyak ditemukan pada dataran rendah. Usaha pertanian di
kecamatan barombong di dukung oleh sarana pengairan teknis untuk 1.212 ha
dan tadah hujan untuk seluas 438 ha.
84

Wilayah administrasi Kecamatan Tinggi Moncong dengan ibukota Malino


pada tahun 2005 terdiri dari sembilan desa/kelurahan dengan luas sekitar 275,63
km² atau 14,64 persen dari luas wilayah Kabupaten Gowa. Wilayah Kecamatan
Tinggi Moncong merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 100 – 1500
m diatas permukaan laut. Kecamatan Tinggi Moncong merupakan wilayah terluas
diantara 16 kecamatan di Kabupaten Gowa. Jumlah penduduknya sebanyak
34.441 jiwa dari 7.734 rumah tangga dengan kepadatan 125 jiwa/km².
Komposisi penduduknya berdasarkan jenis kelamin yakni 16.982 laki-laki
dan 17.459 perempuan. Sedangkan dari segi kelompok umur mayoritas berusia
15 – 54 tahun. Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai
petani dari jumlah penduduk yang bekerja. Usaha tani sayuran yang menonjol dan
diusahakan petani diwilayah ini adalah jenis kentang. kol, tomat, cabe, wortel,
bawang merah, bawang daun dan petsai. Sebagian besar jenis pengairan di
wilayah ini adalah jenis pengairan desa/PU untuk lahan seluas 1.680 ha dan tadah
hujan seluas 1.899 ha.

Deskripsi Kabupaten Enrekang

Kabupaten Enrekang merupakan kabupaten yang terletak di sebelah utara


Provinsi Sulawesi Selatan yang secara administrasi terbagi atas sembilan
kecamatan dengan 111 desa/kelurahan, dengan luas wilayahnya mencapai
1.786,01 km². Sebagian besar Kabupaten Enrekang merupakan dataran tinggi
yaitu Kecamatan Baraka, Anggeraja, Alla, Bungin, Curio dan Malua. Wilayah
dataran rendah meliputi Kecamatan Maiwa, Enrekang dan Cendana. Produksi
sayuran di daerah ini juga mengalami penurunan setelah tahun 2003.
Penurunan produksi hingga tahun 2005 mencapai antara 48–79 persen
untuk komoditi bawang merah, bawang daun, kentang, kubis/kol, petsai, dan
wortel. Beberapa komoditi lainnya mengalami peningkatan produksi seperti cabe,
tomat, buncis antara 36.4–79,0 persen. Penurunan tersebut juga terkait karena
kurang dan terbatasnya kemampuan mengakses modal biaya untuk memperoleh
bibit dan biaya pemeliharaan yang dirasakan petani.
Walaupun terjadi penurunan produksi, nampaknya produksi sayuran di
Kabupaten Enrekang masih lebih tinggi dari rata-rata produksi sayuran di
85

Sulawesi Selatan. Luas areal tanaman sayuran hingga Tahun 2005 terdiri dari luas
tanam seluas 5.587 ha dan luas panen 7.915 ha dengan jumlah produksi sebanyak
85.047 ton. Tanaman jenis sayur-sayuran yang menonjol di Kabupaten Enrekang
hingga tahun 2005 terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Produksi Sayuran yang Menonjol menurut Jenisnya


di Kabupaten Enrekang Tahun 2003-2005 (Dalam Ton)

Jenis Sayuran 2003 2004 2005

Bawang Merah 41.683,84 13.432,57 17.927


Bawang Daun 25.611,52 10.230,91 5.292
Kentang 7.916,58 2.699,24 2.875
Kubis/Kol 160.088,9 40.894,32 26.859
Petsai 4.630,55 2.408,52 1.955
Wortel 3.529,42 2.258,43 1.817
Cabe 2.422,83 4.561,59 5.404
Tomat 2.668,22 6.662,12 12.967
Buncis 1.271,89 1.945,08 2.000

Jumlah 249.823,75 85.092,78 77.096


Sumber : Diolah dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Enrekang , 2005

Saat penelitian ini dilakukan diperoleh informasi dari Dinas Pertanian


Tanaman Pangan Kabupaten Enrekang bahwa setiap kelompok tani akan
mendapat bantuan biaya pengadaan bibit sayuran, khususnya kentang, antara
Rp.24–.90 juta/kelompok dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi
Sulawesi Selatan. Bantuan ini merupakan dana bergulir yang diharapkan segera
dapat meningkatkan motivasi petani dan produksi sayuran yang diusahakan serta
mampu dikembalikan oleh petani melalui kelompok.
Tingginya bantuan pengadaan bibit sayuran untuk setiap kelompok tani di
Kabupaten Enrekang tidak terlepas dari semakin baiknya kondisi pemasaran hasil
produksi yang telah menembus pada 14 kabupaten di Sulawesi Selatan dan
provinsi diluar Sulwesi Selatan seperti Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda,
Menado, dan Kendari. Untuk meningkatkan aktivitas pemasaran, melalui bantuan
Pemerintah Pusat telah dikucurkan dana pembangunan sub terminal agribisnis
86

khusus sayuran dan buah di Kecamatan Alla desa Cece Sumillan dengan besaran
dana sekitar Rp.10 milyar . Sarana ini dirancang untuk menjadi pusat terminal
agribisnis sayuran yang bertujuan meningkatkan pasaran ekspor keluar negeri.
Penduduk Kabupaten Enrekang, hingga tahun 2005 tercatat sebanyak
182.058 jiwa yang terdiri dari 92.178 laki-laki dan 89.880 perempuan. Persentase
penduduk usia produktif sekitar 54,5 persen tahun 2005. Sebagai daerah agraris,
luas areal persawahannya mencapai 12.648 Ha yang terdiri dari 8.826 Ha lahan
sawah tadah hujan dengan produksi padi mencapai sekitar 45.065,50 ribu ton
selama tahun 2005. Selain tanaman padi, potensi tanaman pangan seperti
komoditas jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah serta produk perkebunan
lainnya juga cukup menonjol seperti jeruk besar, langsat, durian, pepaya, pisang
dan rambutan sebagai komoditas unggulan yang pemasarannya telah menembus
hingga kewilayah propinsi diluar Sulawesi Selatan.

Deskripsi Kecamatan Anggeraja


dan Kecamatan Alla

Wilayah administrasi Kecamatan Anggeraja pada tahun 2005 terdiri dari


14 desa/kelurahan dengan luas wilayah sekitar 123,54 km² atau 7 persen dari luas
wilayah Kabupaten Enrekang. Kecamatan Anggeraja merupakan wilayah dataran
tinggi dengan ketinggian 500–3000 meter diatas permukaan laut. Wilayah ini
memiliki jumlah penduduk sebanyak 23.097 jiwa dari 5.473 rumah tangga dengan
kepadatan 187 jiwa/km². Komposisi penduduknya berdasarkan jenis kelamin agak
berimbang yakni 11.577 laki-laki dan 11.520 perempuan. Sedangkan dari segi
kelompok umur 15–59 tahun sebanyak 12.583 orang atau 7 persen dari total
penduduk yang ada. Mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai
petani dari jumlah penduduk yang bekerja. Luas lahan pertanian di Kecamatan
Anggeraja seluas 2.386 ha dan khusus tanaman sayuran sebanyak 273 ha atau
11,44 persen. Jenis usaha sayuran yang menonjol diwilayah ini adalah kentang,
kol/kubis, sawi, buncis, wortel, kacang merah, tomat, bawang daun, bawang
merah, terong, kacang-kacangan dan cabe.
Wilayah administrasi Kecamatan Alla pada tahun 2005 terdiri dari 18
desa/kelurahan dengan luas sekitar 144,09 km² atau 8,7 persen dari luas wilayah
Kabupaten Enrekang. Sama halnya dengan Kecamatan Anggeraja, wilayah
87

Kecamatan Alla merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 750–3.329


m diatas permukaan laut. Wilayah ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 41.285
jiwa dari 8.372 rumah tangga dengan kepadatan sebanyak 286,5 jiwa
penduduk/km². Komposisi berdasarkan jenis kelamin jumlahnya hampir
berimbang yakni sebanyak 21.235 laki-laki dan 20.050 perempuan. Dari segi
kelompok umur 15–59 tahun sebanyak 22.467 jiwa atau 12,34 persen dari total
penduduk. Mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Luas lahan pertanian di wilayah ini seluas 3.624 ha termasuk lahan tanaman
sayuran seluas 158 ha atau 4,36 persen. Jenis tanaman sayuran yang menonjol di
kecamatan ini adalah kubis/kol, sawi, wortel, tomat, bawang daun, bawang merah,
lompok/cabe dan kentang.

Deskripsi Kelompok Tani

Setiap kecamatan dan desa baik di Kabupaten Gowa maupun di Kabupaten


Enrekang mempunyai kelompok tani sebagai salah satu kelembagaan penyuluhan
pertanian di pedesaan. Berdasarkan Tabel 9 terdapat empat kriteria kelas
kelompok berdasarkan penilaian Departemen Pertanian. Kriteria tersebut adalah
pemula, lanjut, madya dan utama. Perkembangan kelompok tani bisa semakin
maju ataupun mengalami kemunduran, tergantung kinerja kelompok yang telah
dicapai berdasarkan keaktifan anggota dan pengurus kelompok dalam berbagai
kegiatan, perkembangan inovasi dan teknologi yang digunakan serta produktivitas
dan prestasi yang dicapai.
Di Kabupaten Gowa jumlah kelompok tani lebih banyak dari pada
Kabupaten Enrekang. Dilihat dari kriteria kelompok, kelompok tani dengan
kriteria lanjut merupakan kelompok terbanyak di Kabupaten Gowa dari total
kelompok tani yang ada, menyusul kelompok tani madya. Di Kabupaten Enrekang
yang terbanyak adalah kelompok tani pemula dari total kelompok tani yang ada,
menyusul kelompok tani lanjut. Kemudian kelompok tani utama lebih banyak di
Kabupaten Gowa, sementara di Kabupaten Enrekang kelompok tani utama hanya
sekitar 2,4 persen dari jumlah kelompok tani yang ada. Berdasarkan kriteria
Departemen Pertanian tersebut menunjukkan bahwa secara umum kinerja
kelompok tani di Kabupaten Gowa lebih maju dari kinerja kelompok tani di
88

Kabupaten Enrekang. Gambaran jumlah kelompok tani pada dua kabupaten


terlihat dalam Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Kelompok Tani menurut Tingkat Kemampuan (Kelas) di


Kabupaten Gowa dan Enrekang Tahun 2005.

No Lokasi Jumlah Kelompok Tani


Pemula Lanjut Madya Utama Jumlah

1 Kabupaten Gowa 292 408 358 46 1.167


(25,2) (34,9) (30,7) (3,9) (100)

2 Kabupaten 288 195 50 13 546


Enrekang (52,7) (35,7) (9,2) (2,4) (100)

Sumber : Diolah dari Data Kabupaten Gowa dan Enrekang dalam Angka, 2005

Kelompok tani di dua kabupaten (Tabel 9) memiliki beragam jenis usaha


baik budi daya tanaman hortikultura dan padi sawah maupun usaha ternak dan
hasil perkebunan. Di Kabupaten Gowa khususnya di Kecamatan Barombong
kelompok tani memiliki usahatani dominan sayuran dan padi sawah, sedangkan di
Kecamatan Tinggi Moncong sebagai dataran tinggi kebanyakan usahatani
sayuran. Di Kecamatan Anggeraja dan Alla di Kabupaten Enrekang dominan
adalah sayuran di samping usahatani perkebunan dan peternakan. Kelompok tani
yang usahataninya dominan sayuran pada dua kabupaten terlihat dalam Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Kelompok Tani menurut Komoditi Usaha Tani Sayuran
Kelompok Tani
No Kabupaten
B.Merah Kentang Kubis Cabe Tomat Jumlah
1 Gowa 39 145 137 45 47 413
2 Enrekang 74 9 31 2 29 145
Jumlah 113 154 168 47 76 558
Sumber : Diolah Dari Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sul-Sel, 2007

Berdasarkan Tabel 10, di Kabupaten Gowa dan Enrekang terdapat masing-


masing 413 dan 145 kelompok tani yang berusahatani sayuran. Kelompok tani
komoditi sayuran kubis dan kentang terbanyak di Kabupaten Gowa, dan di
89

Kabupaten Enrekang terbanyak adalah kelompok tani bawang merah dan kubis.
Di Kabupaten Enrekang terdapat tiga gabungan kelompok tani (Gapoktan) untuk
kedua jenis komoditi tersebut dan 41 kelompok tani wanita untuk semua
komoditi serta tiga kelompok tani pemuda. Berkembangnya keragaman jenis
kelompok tani di Kabupaten Enrekang mengindikasikan semakin tingginya
kesadaran petani akan fungsi dan manfaat berkelompok terutama dalam
memecahkan masalah-masalah usahatani yang dihadapi. Perkembangan ini perlu
pembinaan untuk memelihara kebersamaan dan kekompakan anggota sehingga
kelompok tani benar-benar menjadi wadah kekuatan petani yang dapat
berkesinambungan. Tak kalah pentingnya pula adalah pembinaan kelompok tani
yang diarahkan pada upaya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
berorganisasi, dan sikap bertanggung jawab.
Kemampuan berorganisasi perlu ditumbuhkan karena pengelompokan dan
mengelompokkan orang-orang dalam suatu kelompok harus diikuti dengan
kemampuan orang-orang yang berkelompok untuk mengatur diri mereka secara
mandiri. Suatu kelompok yang telah terorganisasi akan berjalan baik jika setiap
anggota kelompok memiliki sikap bertanggung jawab dan semangat kebersamaan.
Sikap bertanggung jawab terhadap kelompok perlu diikuti oleh semangat
kebersamaan dalam upaya menjaga kontinuitas kelompok. Tanpa ada semangat
kebersamaan maka hambatan kecil pun yang dihadapi oleh kelompok akan
menjadi pemicu ketidak kompakan dalam kelompok.
Kelompok tani sebagai salah satu kelembagaan penyuluhan mempunyai
kekuatan kelompok. Kemampuan berorganisasi, sikap bertanggung jawab dan
semangat kebersamaan kelompok merupakan awal kekuatan kelompok dalam
wujud kesatuan unit sosial. Kekuatan ini merupakan modal dasar dalam menuju
kelangkah berikutnya yaitu penataan kekuatan kelompok dalam aspek usaha
produktif. Kekuatan kelompok berdasarkan aspek usaha produktif seperti
munculnya kelompok tani berdasarkan komoditi yang diusahakan tentu akan
semakin memperkuat ketahanan kelompok. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
Zaim (2006) bahwa kelompok tani berdasarkan komoditi memiliki fungsi adaptasi
dan integrasi yang baik dalam mendukung ketahanan kelompok.
90

Gambaran Umum Responden Penelitian

Karakteristik Responden

Penelitian ini dilaksanakan di dua kabupaten yakni Kabupaten Gowa dan


Enrekang Sulawesi Selatan. Responden dari anggota kelompok tani tersebut
berada pada empat kecamatan yakni Kecamatan Barombong dan Tinggi Moncong
kabupaten Gowa serta Kecamatan Anggeraja dan Alla Kabupaten Enrekang.
Responden anggota kelompok tani pada dua kabupaten seluruhnya berjumlah 240
orang, mayoritas atau 238 laki-laki dan 2 orang responden wanita tani di
Kabupaten Enrekang. Responden di Kabupaten Gowa memiliki rataan usia lebih
tua, tingkat pendidikan lebih rendah dan pengalaman usahatani lebih lama dari
pada responden di Kabupaten Enrekang.
Semua responden pada dua lokasi memiliki umur yang berimbang
jumlahnya antara rersponden yang berumur produktif antara 16–49 tahun dengan
total 71,2 persen dan yang berumur akhir masa produktif lebih dari 49 tahun
dengan total 28,8 persen. Hal ini sesuai dengan data sensus pertanian di Sulawesi
Selatan Tahun 2005 yakni sebagian besar berkisar antara 25-44 tahun (rata-rata 41
tahun) . Usia produktif petani menggambarkan sebagai suatu potensi yang handal
untuk diberdayakan dan dikembangkan dalam memajukan usaha tani terutama
tanaman hortikultura khususnya sayuran dimasa yang akan datang.
Tingkat pendidikan formal responden pada dua lokasi, umumnya setara
dengan kelas satu Sekolah Menengah Pertama (7,2 tahun). Mayoritas mengenyam
pendidikan antara 6-12 tahun yakni sebanyak 52,1 persen. Hal ini sesuai pula
dengan data tingkat pendidikan petani di Sulawesi Selatan yakni 88 persen
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama kebawah. Hal ini suatu indikasi
bahwa tingkat pengetahuan dan kualitas wawasan sumber daya masih tergolong
rendah.
Rata-rata responden memiliki pengalaman berusaha tani sayuran selama
8,5 tahun. Sebanyak 45,0 persen responden memiliki pengalaman kurang dari 7
tahun, dan 18,7 persen memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa hampir setengah jumlah rersponden kurang memiliki
pengalaman usaha tani yang cukup memadai sebagai modal dasar untuk
91

meningkatkan produktivitas kerja dalam berusaha. Dengan pengalaman usahatani


yang dimiliki tersebut mengindikasikan pula perlunya pembinaan tambahan, baik
aspek pengetahuan maupun keterampilan agar pengalaman yang dimiliki dapat
dikembangkan dalam berusaha. Gambaran mengenai ciri-ciri responden yang
terjaring dalam penelitian ini terlihat dalam Tabel 11.

Tabel 11. Karakteristik Responden Petani Sayuran


Kabupaten
Total
Karakteristik Rataan Gowa Enrekang
n % n % n %

1 Usia (tahun)
a. < 29 3 2,5 22 18,3 25 10,4
b. 29 - < 49 65 54,,2 81 67,5 146 60,8
40,6
c. > 49 52 43,3 17 14,2 69 28,8

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0

2. Pendidikan Formal
(tahun)
a. < 6 70 58,3 34 28,3 104 43,3
b. 6 - < 12 7,17 49 40,9 76 63,4 125 52,1
c. > 12 1 0,8 10 8,3 11 4,6

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0

3. Pengalaman
Usahatani (tahun)
a. < 7 29 24,2 79 65,8 108 45,0
b. 7 - < 14 8,5 62 51,6 25 20,9 87 36,3
c. >14 29 24,2 16 13,3 45 18,7

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0


Sumber: Data Primer diolah, 2007
Uji Mann-Whitney berbeda pada dua lokasi, α= 0,05

Luas Lahan yang Dimiliki


Petani Sayuran

Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat


kesejahteraan petani tanaman sayuran bahkan seluruh sektor pertanian adalah luas
lahan yang dikuasai. Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di Kabupaten
Gowa seluas 1,2 ha, dan rata-rata luas lahan yang dikuasai responden di
92

Kabupaten Enrekang seluas 0,5 ha. Rata-rata luas lahan yang dikuasai responden
di dua kabupaten sebesar 0,9 ha. Persentase responden berdasarkan Luas Lahan
yang dimiliki terlihat dalam Tabel 12.

Tabel 12. Persentase Responden menurut Luas Lahan yang Dimiliki

Kabupaten
Total
Luas Lahan (Ha) Gowa Enrekang
n % n % n %

1. < 0,50 59 49,2 75 62,5 134 55,8


2. 0,50 – 1,0 15 12,5 37 30,8 52 21,7
3. 1,1 – 1,6 5 4,2 5 4,2 10 4,2
4. > 1,6 41 34,2 3 2,5 44 18,3

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0


Sumber : Data Primer diolah, 2007

Berdasarkan Tabel 12 tersebut terlihat bahwa di kedua lokasi penguasaan


lahan kurang dari 0,5 ha mencapai persentase tertinggi yakni 49,2 persen
responden di Kabupaten Gowa dan 62,5 persen di Kabupaten Enrekang.
Persentase tertinggi penguasaan lahan lebih dari 1,6 ha terdapat di Kabupaten
Gowa yakni 34,2 persen dan persentase tertinggi penguasaan lahan antara 0,5 –
1,0 ha terdapat di Kabupaten Enrekang yakni 30,8 persen. Namun secara total
menggambarkan lebih dari setengah responden pada dua kabupaten menguasai
lahan antara 0,25-1,00 ha. Rata-rata luas lahan yang ditanami sekitar seperlima
dari luas lahan yang dikuasai (Analisis Hasil Sensus Pertanian Sulawesi Selatan,
2005). Hal ini berarti sebagian besar petani kurang mampu mengembangkan luas
lahan yang dimiliki dan dengan beragamnya jenis sayuran yang diusahakan akan
semakin memperkecil luas tanam dan luas panen yang diperoleh. Dengan
demikian akan berpengaruh pula terhadap nilai produksi dan pendapatan petani.
Di dua kabupaten seluruh responden petani menguasai lahan dengan status hak
milik yang diperoleh dari warisan orang tua. Sempitnya lahan yang dikuasai
disebabkan oleh semakin mengecilnya pembagian dari hasil warisan, seiring
dengan semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga. Faktor lainnya karena
93

ketidak mampuan membeli atau menyewa lahan. Sebagian petani mengakui


kurang berminat menyewa lahan karena hasil produksi yang diperoleh sering
kurang menguntungkan.

Jenis Tanaman Sayuran yang


Diusahakan Petani Sayuran

Jenis tanaman sayuran sebagai usaha dominan responden di Kabupaten


Gowa adalah kacang panjang, ketimun, kangkung, bayam, terung untuk dataran
rendah, dan bawang daun, kentang, kubis, petsai, wortel dan tomat di dataran
tinggi. Pendapatan petani berkisar antara Rp. 85.263,00 - Rp. 18.357.142 setahun
atau Rp. 126.116 /bulan. Kesulitan utama yang dihadapi petani di lokasi ini
adalah kemampuan mendapatkan bantuan permodalan untuk pengadaan alat-alat
pelindung penyemaian, pembelian benih kentang, pupuk kimia, pestisida, dan
pengangkutan pupuk kandang. Pemanfaatan pupuk organik semakin sering dan
cukup banyak digunakan yang diperoleh dari kotoran ternak ayam. Beberapa
petani yang memiliki modal, mengembangkan usaha ternak ayam potong dan
menjual kotorannya ke petani sayuran hingga ke daerah Kecamatan Tinggi
Moncong. Mayoritas petani menggunakan modal sendiri tanpa bantuan dari
lembaga penyandang dana.
Kabupaten Gowa yang sebagian besar merupakan wilayah dataran tinggi,
memiliki potensi tanaman sayuran yang cukup prospektif untuk dikembangkan,
namun petani masih kesulitan memperoleh bibit tanaman yang tergolong tinggi
harganya seperti kentang, dan bawang daun . Melalui pembinaan Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, pada tahun 2006 menyalurkan
bantuan pengadaan bibit kentang kepada setiap kelompok tani sebesar Rp.
10.530.000,00 setiap kelompok untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas
usahatani sayuran khususnya jenis tanaman kentang.
Jenis tanaman sayuran di Kabupaten Enrekang yang diusahakan adalah
bawang merah, bawang daun, kentang, kubis, wortel, buncis, cabe dan tomat, dan
petsai. Pendapatan responden petani sayuran di wilayah ini lebih tinggi dari
Kabupaten Gowa yakni antara Rp 458.312 - Rp 2.576.068 setahun atau Rp.
280.570 /bulan Sebagian pemasaran sayuran dan buah-buahan milik petani di
pasarkan keluar daerah maupun antar provinsi seperti ke Balikpapan, Kendari,
94

Palu dan Menado. Dengan pendapatan sebesar itu masih sulit bagi petani dapat
mengembangkan usahanya terlebih lagi dengan kondisi ekonomi sekarang ini
dimana biaya pendidikan dan kesehatan serta kebutuhan pokok lainnya semakin
meningkat. Rata-rata responden di dua lokasi berusaha untuk dua jenis tanaman.
Masalah yang sering dihadapi petani di Kabupaten Enrekang adalah situasi
harga komoditi yang tidak menentu serta serangan hama dan penyakit buah.
Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang menjadi pusat kegiatan pemasaran sayuran
di Kabupaten Enrekang baik yang menuju kabupaten dan kota di bagian utara
Sulawesi Selatan maupun yang menembus ke provinsi luar Sulawesi Selatan.
Produksi sayuran di kecamatan ini cukup besar ditunjang dengan daya serap pasar
yang cukup tinggi, mendorong gairah petani mengembangkan budi daya sayuran
sebagai salah satu usaha andalan mereka.
Hingga tahun 2006 di Kecamatan Alla Kabupaten Enrekang telah
dibangun sub terminal agribisnis khusus sayuran dan buah yang didesain atas
kerjasama Pemda Kabupaten Enrekang dengan Universitas Udayana Bali. Sarana
ini dirancang untuk menjadi pusat terminal agribisnis sayuran yang bertujuan
meningkatkan pasaran ekspor keluar negeri. Dengan berfungsinya sarana ini
memungkinkan akan semakin menambah aktifitas perdagangan sayuran dan akan
meningkatkan pendapatan petani. Setelah melalui perhitungan dari data yang
diperoleh maka gambaran rata-rata pendapatan responden dalam setahun dari total
nilai produksi setelah dikurangi ongkos produksi terlihat pada Tabel 13. Dari
gambaran tersebut menghasilkan rata-rata pendapatan perbulan sebesar Rp.
203.343.
Jenis tanaman yang menghasilkan rata-rata pendapatan tertinggi yaitu
komoditi kentang di Kabupaten Gowa dan bawang merah di Kabupaten Enrekang.
Sedangkan jenis tanaman yang kurang memberi pendapatan bagi petani yaitu
terung di Gowa dan kentang di Enrekang. Tanaman terung di Kabupaten Gowa
belum menghasilkan keuntungan pendapatan bagi petani tapi justru hasilnya
minus. Kerugian petani tersebut disebabkan faktor harga yang tidak stabil
dibandingkan dengan ongkos produksi yang dikeluarkan. Kondisi ini semakin
menambah beban kehidupan petani di saat kondisi ekonomi semakin terpuruk.
95

Tabel 13. Rata-Rata Pendapatan Responden menurut Jenis Tanaman, Produksi,


Nilai Produksi dan Ongkos Produksi Satu Tahun Terakhir 2006

Total Total Rata-Rata


Rata-Rata
Jenis Jumlah Nilai Jual Ongkos Pendapatan
Kabupaten Produksi
Tanaman Petani Produksi Produksi Setahun
(kg/Ha)
(000) (000) (Rp)

Gowa Kacang Panjang 12 875,00 43.200 675 3.543.750


Bayam 58 1.243,10 69.950 25.265 770.431
Ketimun 39 1.612,82 47.450 21.070 676.410
Kangkung 19 1.052,63 11.250 9.630 85.263
Terung 18 1.694,44 6.350 7.655 (-72.500)*
Bawang Daun 18 1.666,67 30.000 9.876 1.118.000
Tomat 19 842,00 16.000 9.250 355.263
Kentang 28 6.607,14 547.500 33.500 18.357.142
Kubis 43 1.511,62 35.500 8.750 622.093
Petsai 16 375,00 7.200 - 450.000

Enrekang Kubis 41 6.959,24 144.830 39.297 2.573.979


Bawang Merah 60 2.148,83 351.668 197.104 2.576.068
Wortel 5 90,00 11.250 845 2.081.000
Buncis 32 2.525,00 50.420 2.505 1.497.343
Tomat 23 1.486,00 49.550 31.484 785.478
Cabe Merah 10 1.040,00 20.200 5.108 1.509.200
Kentang 20 784,00 40.680 31.513 458.312
Petsai 11 3.772,72 29.225 7.024 2.018.195
Bawang Daun 13 1.400,00 31.327 9.861 1.651.200

Sumber : Data Primer diolah, 2007


Rata-rata pendapatan responden di Gowa Rp. 126.116 /bulan , Enrekang Rp. 280.570 /bulan
* Pendapatan minus

Kegiatan di luar Usahatani Sayuran

Kegiatan usaha petani di dua kabupaten selain berusahatani sayuran juga


memiliki kegiatan usaha tambahan. Di Kabupaten Gowa responden menanam
padi sawah dan sebagian lainnya melakukan pekerjaan sampingan sebagai
pedagang, penyalur sarana produksi, buruh bangunan, dan tukang ojek. Usaha
kegiatan tambahan tersebut dapat menambah pendapatan petani antara Rp.100
ribu hingga Rp. 1,7 juta atau rata-rata Rp 158.79,00 sebulan. Jenis kegiatan usaha
diluar usahatani sayuran di dua kabupaten terlihat dalam Tabel 14.
96

Tabel 14. Persentase Responden menurut Pekerjaan di luar Usaha tani Sayuran
Kabupaten
Total
Jenis Pekerjaan Gowa Enrekang
n % n % n %

1. Bertani Jenis
Padi,Coklat, kopi,dll 14 11,7 21 17,5 35 14,6
2. Dagang / Jual Beli 38 31,7 2 1,7 40 16,7
3. Buruh Bangunan 2 1,7 1 0,8 3 1,3
4. Ojek 1 0,8 1 0,8 2 0,8
5. Penyalur Saprodi 1 0,8 12 10,0 1 0,4
6. Beternak Kambing - - 1 0,8 12 5,0
7. Sekdes - - 1 0,8 1 0,4
8. PNS - - 1 0,8 1 0,4
9. Guru Honor - - 1 0,8 1 0,4
10. Lain-lain 35 29,2 13 10,8 48 20,0
11. Tidak Memiliki Usaha 29 24,1 67 55,8 96 40,0
Tambahan

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0


Sumber : Data Primer diolah, 2007

Sebagian petani yang berada di dataran tinggi Kecamatan Tinggi Moncong


membudidayakan tanaman hias dan mengembangkan jenis tanaman strawbery..
Akses ke kota Makassar yang tak jauh dari desa, mendorong petani dapat
melakukan berbagai usaha atau pekerjaan sampingan. Namun usaha tanaman hias
dan strawbery belum banyak berhasil karena masih rendahnya daya serap pasar
terhadap komoditi ini di Sulawesi Selatan.
Dari segi perolehan pendapatan di luar usahatani sayuran menunjukkan
sebanyak 31,7 persen responden di Kabupaten Gowa bekerja sebagai pedagang
beras dan selebihnya menjadi buruh bangunan, pengemudi ojek, penyalur
saprodi, dan tidak punya pekerjaan tambahan. Sedangkan responden di Kabupaten
Enrekang sebanyak 17,5 persen bertani padi, coklat, kopi dan selebihnya
berdagang langsung sayuran ke pedagang pengumpul di pasar tradisionil, serta
bekerja sebagai penyalur saprodi, buruh bangunan, ternak kambing, tukang ojek,
PNS, sekdes dan guru honor.
Untuk menambah pendapatan keluarga dan menutupi kebutuhan hidup
yang semakin meningkat harganya, para petani di Kabupaten Enrekang sebagian
berusaha di sektor perkebunan yang ditunjang dengan potensi daerah ini sebagai
97

pemasok beberapa jenis komoditi seperti tanaman bahan sutra dan tanaman
hortikultura lainnya seperti pepaya, salak, dan pisang. Hasil usaha tersebut dapat
menambah pendapatan petani antara Rp. 50 ribu hingga Rp. 5 juta atau rata-rata
Rp. 269.811 sebulan.
Tabel 15. Persentase Responden menurut Jumlah Pendapatan di luar
Usaha tani Sayuran

Kabupaten
Pendapatan Total
(000/ bulan) Gowa Enrekang
n % n % n %

1. < 500 ribu 19 15,8 44 36,7 63 26,3


2. 500 ribu - <1 Juta 23 19,2 6 5,0 29 12,0
3. 1 Juta – <1.5 Juta 41 34,2 1 0,8 42 17,5
4. > 1.5 Juta 8 6,6 2 1,7 10 4,2
5. Tidak ada Tambahan 29 24,2 67 55,8 96 40,0
Pendapatan
Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Rata-rata di Gowa Rp 158.791,00 sebulan, Enrekang Rp 269.811,00 sebulan

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pendapatan dari kegiatan usaha


tambahan responden antara Rp. 1–1,5 juta sebulan merupakan persentase tertinggi
yakni 34,2 persen di Kabupaten Gowa dan pendapatan kurang dari Rp.500 ribu
merupakan persentase tertinggi di Kabupaten Enrekang yakni 36,7 persen
responden. Sebanyak 26,2 persen dari semua responden memperoleh pendapatan
kurang dari Rp. 500 ribu dan bahkan lebih memprihatinkan lagi terdapat 40,0
persen tidak mempunyai pendapatan tambahan atau tidak memiliki pendapatan
diluar usahatani sayuran. Kondisi tersebut menggambarkan masih rendahnya
pendapatan petani dan semakin sulitnya memperoleh tingkat penghidupan yang
layak serta keluar dari kemiskinan dalam menjalani kehidupannya.

Dinamika Kelompok Tani

Salah satu fokus penelitian ini adalah pengembangan dinamika kelompok


tani untuk mewujudkan keberdayaan petani sayuran dalam mengelola usaha
taninya. Pengembangan dinamika kelompok tani dalam penelitian ini diukur
98

berdasarkan pengembangan tujuan kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan


dan pengembangan kelompok serta kekompakan kelompok. Unsur-unsur
dinamika kelompok tersebut merupakan energi atau kekuatan-kekuatan yang
terdapat dalam situasi kelompok yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
kelompok dan anggota-anggotanya. Dalam psikologi sosial disebutkan bahwa
kelompok mempunyai perilaku, demikian juga anggotanya yang dipengaruhi oleh
unsur-unsur dinamika kelompok. Unsur-unsur dinamika kelompok tersebut akan
mendukung dan menjamin keberlanjutan kehidupan kelompok, baik dari sisi
kehidupan sosial maupun kehidupan ekonomi bagi anggota-anggotanya.
Secara umum pengembangan unsur-unsur kekuatan atau dinamika
kelompok di dua lokasi penelitian menunjukkan rata-rata kategori rendah.
Tabel 16. Sebaran Responden Menurut Dinamika Kelompok

Unsur Kabupaten Total


Rataan
Dinamika Kriteria Gowa Enrekang
Skor
Kelompok n % n % n %

Rendah 80 66,7 42 35,0 122 50,8


Tujuan
28 Tinggi 40 33,3 78 65,0 118 49,2
Kelompok
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 80 66,7 48 40,0 128 53,3
Fungsi Tugas 21 Tinggi 40 33,3 72 60,0 112 46,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0

Pembinaan dan Rendah 82 68,4 45 37,5 127 53,0


Pengembangan 26 Tinggi 38 31,6 75 62,5 113 47,0
Kelompok
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 85 70,8 36 30,0 121 50,4
Kekompakan
Kelompok 25 Tinggi 35 29,2 84 70,0 119 49,6
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 78 65,0 45 37,5 123 51,3
Dinamika
Kelompok 25 Tinggi 42 35,0 75 62,5 117 48,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber : Data Primer, diolah 2007
Rendah (Rataan 1 - 29) = Kurang dikembangkan Tinggi (Rataan > 29) = Dik embangkan
Uji One Way Anova, berbeda nyata pada dua lokasi α = 0,05 P = 0,000 F. hit= 41,355.
99

Diantara empat unsur dinamika kelompok, unsur yang masuk kategori


terendah adalah pengembangan fungsi tugas yakni 53,3 persen, menyusul unsur
pembinaan dan pengembangan kelompok yakni 53,0 persen. Hal ini berarti bahwa
pengembangan fungsi dan tugas dalam kelompok kurang dilaksanakan sesuai
tujuan kelompok yang ingin dicapai. Setiap anggota kelompok seharusnya sudah
mengetahui fungsi dan tugas yang harus dijalankan, dan kekurang berdayaan
petani menjalankan fungsi tugas masing-masing karena kurangnya inisiasi,
kordinasi dan kerjasama dalam kelompok. Rendahnya kemampuan anggota
melakukan inisiasi atau prakarsa sendiri karena kurangnya pemahaman terhadap
tugas itu sendiri. Oleh karena itu pertemuan-pertemuan rutin anggota kelompok
sangat diperlukan.
Hasil uji One Way Anova menunjukkan adanya perbedaan secara nyata
pada dua lokasi dalam pengembangan dinamika kelompok (α=0,05 P=0.000,
F.hitung = 41.355). Dilihat dari unsur lokasi, Kabupaten Enrekang berada dalam
kategori tinggi dalam pengembangan dinamika kelompok yakni 62,5 persen, dan
kategori tinggi untuk Kabupaten Gowa hanya sebanyak 35 persen.
Berdasarkan kategori tersebut menunjukkan aktifitas kelompok tani di
Kabupaten Enrekang lebih dinamik dari Kabupaten Gowa. Kedinamisan tersebut
seiring dengan aktifitas anggota kelompok tani di lokasi ini yang semakin
meningkat mulai dari usaha budi daya hingga ke usaha penanganan hasil
produksi. Perbedaan kedinamisan kelompok tani di dua lokasi tersebut dijelaskan
berdasarkan indikator/unsur dinamika kelompok.

Tujuan Kelompok

Tujuan kelompok adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh kelompok yang
merupakan tujuan bersama dari tujuan individu-individu di dalam suatu
kelompok. Tujuan kelompok dapat dikembangkan jika telah dirumuskan dengan
baik, kemudian disetujui, disosialisasi, dijadikan arah dan pedoman dalam
pengambilan keputusan serta pedoman perilaku dan sikap anggota kelompok.
Berdasarkan data dalam Tabel 16 menunjukkan bahwa pengembangan
tujuan kelompok di Kabupaten Enrekang lebih dinamik dari Kabupaten Gowa
dengan kategori tinggi yakni 65 persen, artinya kelompok tani di Kabupaten
100

Enrekang lebih mampu mengimplementasikan hal-hal yang ingin dicapai dalam


kelompok berdasarkan rumusan tujuan kelompok yang disepakati bersama.
Beberapa item tujuan kelompok yang terjaring lewat wawancara dari dua lokasi
baik tujuan yang bersifat formal maupun yang bersifat informal. Tujuan kelompok
yang bersifat formal antara lain (1) menggerakkan usaha anggota kelompok, (2)
mengusahakan peningkatan produktivitas tanaman,. (3) mengusahakan pengadaan
sarana produksi, (4) mengadakan kerjasama dalam pemasaran produksi,(5)
mengusahakan permodalan baik dari anggota maupun dari luar kelompok, (6)
mengusahakan perbaikan sarana dan fasilitas penunjang kegiatan kelompok, (7)
meningkatkan partisipasi anggota dalam kegiatan pelatihan, (8) mencari informasi
harga pasar dan harga jual beli, dan (9) mengkomunikasikan kegiatan pasca panen
kepada anggota kelompok. Tujuan kelompok yang bersifat informal yaitu: (1)
membina persahabatan antar anggota, (2) membina kerjasama yang baik antar
anggota, (3) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berusahatani, (4)
mempererat hubungan dengan silaturrahim dengan tokoh informal, (5)
meningkatkan keuntungan dalam berusaha, dan (6) meningkatkan kreatifitas
dalam berusaha, dan membantu memperlancar kerjasama dengan pihak-pihak
diluar kelompok.
Tujuan kelompok tersebut dirumuskan terlebih dahulu melalui pertemuan
anggota kemudian disosialisasikan, dan dikembangkan menjadi suatu pedoman
dan arahan kegiatan, sikap dan perilaku anggota. Kelompok tani yang terjaring di
lokasi penelitian, rata-rata telah mengembangkan tujuan kelompok ketingkat
persentase antara 7,2 – 13,5 persen. Hal ini terlihat dari persentase tingkat respon
yang diperoleh dari item jawaban kusioner responden sebagaimana terlihat pada
Tabel 17. Respon dalam mengembangkan tujuan kelompok mencapai persentase
tertinggi di Kabupaten Enrekang. Skor tertinggi terdapat pada respon menyetujui
isi dari tujuan kelompok. Hal ini berarti setelah tujuan dirumuskan para petani
semakin termotivasi mendukung isi dari tujuan tersebut. Di Kabupaten Gowa
persentase tertinggi terdapat pada respon dalam perumusan tujuan kelompok
yakni 13,6 persen. Namun terjadi penurunan respon pada tahap menyetujui isi
tujuan kelompok. Hal ini berarti walaupun tujuan telah dirumuskan tetapi belum
101

sepenuhnya mendapat persetujuan anggota. Kondisi ini memungkinkan


terhambatnya pencapaian program dan kegiatan kelompok.

Tabel 17. Sebaran Responden menurut Persepsi Tentang


Pengembangan Tujuan Kelompok

Sebaran Responden (%)


Pengembangan Tujuan Kelompok Rataan
Menurut antar Kabupaten
Gowa Enrekang
R T R T R T

a. Merumuskan Tujuan 10,3 13,6 16,1 11,9 13,2 12,7


b. Menyetujui isi tujuan 10,9 13,3 3,6 13,6 7,2 13,5
c. Mensosialisasikan Tujuan 10,6 13,4 12,5 12,5 11,5 12,9
d. Mengarahkan Program Ketujuan 12,8 12,3 14,3 12,4 13,5 12,3
e. Menjadi Acuan dalam Keputusan 12,8 12,3 11,6 12,6 12,2 12,3
f. Mengarahkan Kegiatan Ketujuan 14,4 11,5 8,0 13,0 11,2 12,4
g. Menjadi Acuan Perilaku 11,3 13,1 16,0 12,1 13,6 12.6
h. Mendanai Tujuan Kelompok 16,6 10,4 17,8 11,7 17,2 11,2
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Uji One Way Anova berbeda nyata pada dua lokasi, α = 0,05 P = 0,000 F hit = 32,035
R = Rendah` T = Tinggi

Di Kabupaten Gowa tujuan kelompok sebagai acuan keputusan kelompok


kurang mampu dikembangkan oleh anggota kelompok. Tujuan kelompok yang
disepakati kurang diarahkan dengan baik, selain karena kemungkinan rendahnya
pengetahuan petani dalam mengarahkan tujuan kelompok juga karena tak
memiliki pedoman standar dalam bentuk buku maupun dokumen rujukan lainnya.
Anggota kelompok kurang mengembangkan tujuan yang ingin dicapai dan
mengarahkan kegiatan ketujuan kelompok. Ketua-ketua kelompok sering
mendapat kesempatan dalam pertemuan di tingkat kabupaten dalam hal ini dari
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, tetapi kurang mensosialisasikan hasil
pertemuan ke kelompoknya. Dengan demikian tujuan kelompok yang ingin
dicapai kurang terealisasi secara maksimal.
Tujuan kelompok sebagai arahan dalam pengambilan keputusan kurang
terwujud di Kabupaten Gowa, misalnya mengusahakan tersedianya sarana
produksi yang seharusnya terdistribusi secara merata, namun kenyataannya lain.
102

Demikian pula dana anggota untuk penguatan kelompok kurang memadai dengan
tingkat respon sekitar 10,4 persen. Selain karena rendahnya pendapatan petani di
lokasi ini juga karena kesadaran berkontribusi dan mengakses dana untuk
kelompok masih relatif kurang. Pada umumnya petani di dua lokasi menggunakan
modal sendiri dalam menjalankan kegiatan/program kelompok. Kenyataan ini
akan semakin menyulitkan petani, apalagi pada umumnya petani di Indonesia
adalah petani subsisten dimana usahatani semata-mata untuk memenuhi
kecukupan kebutuhan keluarga (Mubyarto, 1995). Berkaitan dengan hal itu,
Redfield menyatakan bahwa perbedaan perilaku petani baik secara moral maupun
rasional dipengaruhi oleh perbedaan dalam tingkat subsistensi petani, perbedaan
struktur komunitas petani serta perbedaan tingkat pengaruh kolonialisasi.

Fungsi dan Tugas

Maksud dari fungsi dan tugas dalam kelompok adalah memfasilitasi dan
mengkordinasi usaha-usaha kelompok yang berkaitan dengan masalah-masalah
bersama dalam rangka memecahkan masalah tersebut. Fungsi tugas bertujuan
memperkuat kerjasama dalam melaksanakan kegiatan dalam kelompok agar
kelompok dapat mencapai tujuan.
Di antara empat unsur dinamika kelompok ternyata unsur pengembangan
fungsi tugas di dua lokasi memiliki skor nilai tengah terendah yakni skor 22. Hal
ini berarti bahwa tugas kordinasi dan usaha memfasilitasi masalah-masalah
bersama dalam kelompok kurang berjalan secara optimal dan masih perlu
digerakkan. Terdapat perbedaan secara nyata pengembangan fungsi dan tugas di
dua lokasi. Perbedaan tersebut seiring dengan perbedaan keragaman masalah dari
masing-masing kelompok. Di Kabupaten Enrekang masalah yang sering
dibicarakan adalah pengendalian hama tanaman seperti hama daun, hama batang,
hama buah kentang serta pengadaan sarana produksi, sedangkan di Kabupaten
Gowa masalah permodalan, pengadaan pupuk kandang, pendistribusian air irigasi,
transportasi dan sarana jalan serta penyediaan sarana pembenihan.
Akselarasi pemecahan masalah dapat terwujud jika setiap anggota
kelompok saling berbagi fungsi tugas, dan masing-masing bertanggung jawab
menggagas solusi sesuai kemampuan atau kompetensi yang dimiliki.
103

Tingkat persentase respon anggota kelompok dalam mengembangkan


fungsi tugas terlihat dalam Tabel 18.
Tabel 18. Sebaran Responden menurut Persepsi Tentang
Pengembangan Fungsi Tugas Kelompok
Pengembangan Fungsi Tugas Sebaran Responden (%)
Rataan
Menurut antar Kabupaten
Gowa Enrekang
R T R T R T

(a) Mencari Informasi Usaha 11,4 15,9 9,2 15,5 10,3 15,7
(b) Melakukan Kordinasi 12,8 15,0 9,2 15,5 11,0 15,2
(c) Melakukan kerjasama 14,8 13,9 5,5 16.4 10,1 15,1
(d) Melaksanakan Tugas Sesuai 12,1 15,4 8,6 15,5 10,3 15,4
Kesepakatan
(e) Mengkomunikasikan Informasi 15,6 13,5 9,2 15,5 12,4 14,5
dan Ide
(f) Melakukan Inisiasi 17,6 12,6 47,21 6,2 32,4 9,4
(g) Berpartisipasi dalam Penentuan 15,1
15,6 13,5 1.0 13,3 14,3
Tugas Kelompok.

Sumber : Data Primer diolah, 2007


Uji One Way Anova, berbeda nyata pada dua lokasi, α =0,05 P=0,000 F.hitung= 13,887.

Persentase tertinggi di Kabupaten Enrekang terlihat dari tugas anggota


kelompok yang lebih mengutamakan kerjasama dengan skor 16,4 persen. Hal
tersebut disadari bahwa tugas utama yang perlu dipelihara dalam melaksanakan
tugas adalah terjalinnya keserasian dan keselarasan antar tugas anggota. Di dua
lokasi, persentase terendah berada pada aspek inisiasi yakni 6,2 persen di
Enrekang dan 12,6 persen di Gowa, artinya motivasi setiap anggota untuk
memulai suatu kegiatan berdasarkan inisiatif sendiri masih rendah. Dalam
kelompok atau organisasi motor penggerak suatu kegiatan sering bertumpu pada
inisiatif ketua atau orang-orang tertentu. Sikap ini merupakan budaya organisasi
birokrasi di Indonesia yang bersifat paternalistik dan menempatkan ketua sebagai
figur utama (Thoha, 1995).
Respon anggota petani dalam mencari informasi usaha di luar kelompok
mencapai persentase tertinggi di Kabupaten Gowa. Pada umumnya petani yang
berada di dataran tinggi Kecamatan Tinggi Moncong berusaha mengakses
informasi ke basis-basis pemasaran sayuran di Kota Makassar yang berjarak 60
104

km dari ibukota kecamatan. Hal ini dilakukan karena kurangnya informasi yang
mereka peroleh di daerahnya baik dari media maupun dari dalam kelompok itu
sendiri. Perusahaan Hortikultura CV. Mutiara Selatan dan CV Ricky Wijaya yang
merupakan perusahaan untuk komoditi sayuran, sering menerima dan memberi
pelayanan informasi usaha kepada petani. Jumlah perusahaan hortikultura sekitar
10 perusahaan. Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah perusahaan serupa di Jawa
Barat sebanyak 57 perusahaan horti dan Jawa Timur sebanyak 51 perusahaan.
Keberadaan perusahaan horti sangat membantu peningkatan motivasi usaha petani
dalam rangka kemitraan ( Purnaningsih, 2006).
Informasi pemasaran yang diperoleh diluar kelompok pada umumnya
kurang dikordinasikan dan kurang dikomunikasikan kepada anggota sehingga
memungkinkan ada anggota yang ketinggalan informasi. Hal tersebut ditunjukkan
dengan rendahnya respon pada aspek kerjasama anggota dalam kelompok, dan
rendahnya dalam mengkomunikasikan informasi serta rendahnya partisipasi
dalam penentuan tugas kelompok. Oleh sebab itu upaya penyuluhan masih
diperlukan untuk memperbaiki koordinasi dan kerjasama anggota dalam
kelompok.

Pembinaan dan Pengembangan


Kelompok

Usaha pembinaan dan pengembangan kelompok dimaksudkan sebagai


usaha menjaga agar kelompok tetap hidup (survival oriented) pada keadaan
lingkungan yang selalu berubah. Usaha tersebut perlu dilakukan dengan
menggerakkan partisipasi semua anggota dalam berbagai program dan kegiatan
kelompok. Terdapat perbedaan secara nyata pembinaan dan pengembangan
kelompok di dua lokasi. Pembinaan dan pengembangan kelompok tani di
Kabupaten Enrekang lebih dinamik dari Kabupaten Gowa. Hal ini berarti
kesempatan, kemauan dan kemampuan anggota mempertahankan keberadaan
kelompok lebih maju dari Kabupaten Gowa. Dalam pembinaan kelompok unsur
partisipasi anggota menjadi kunci utama, baik dalam bentuk materil (fisik) dan
non materil (waktu dan pemikiran) maupun dalam bentuk teknis dan non teknis
(keselarasan hubungan sosial).
105

Kelompok tani di Kabupaten Enrekang lebih menyadari pentingnya


manggerakkan partsipasi anggota melalui rapat pertemuan rutin yang
dilaksanakan minimal sebulan sekali. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
komunikasi antara pengurus dan anggota (respon 13,2 persen). Tingginya respon
menghadiri pertemuan yakni 12,8 persen merupakan indikasi semakin stabilnya
pembinaan kelompok di lokasi ini. Usaha kelompok menyiapkan fasilitas yang
diperlukan seperti alat komunikasi dan transportasi kurang terwujud, umumnya
masing-masing anggota hanya menggunakan fasilitas milik pribadi. Hampir
semua kelompok tidak memiliki aset kekayaan kecuali beberapa buah alat-alat
tani dan sarana produksi yang tersimpan untuk kebutuhan budi daya. Tingkat
respon selengkapnya terlihat dalam Tabel 19.

Tabel 19. Sebaran Responden Menurut Persepsi Tentang


Pembinaan dan Pengembangan Kelompok

Pembinaan dan Pengembangan Sebaran Responden (%)


Rataan
Kelompok Menurut antar Kabupaten
Gowa Enrekang
R T R T R T

a. Menjadwalkan Rapat/Pertemuan 10,9 11.3 7,7 11,9 9,3 11,6


b. Menghadiri rapat 10,9 11,3 3,8 12,8 7,3 12,0
c. Mengusahakan fasilitas 15,1 8,5 18,7 9,8 16,9 8,9
komunikasi
d. Mengusahakan fasilitas 10,9 11,4 23,0 8,3 16,9 9,8
transportasi
e. Menyusun Rencana Kegiatan 8,4 12,8 20,2 8,9 14,3 10,8
f. Menjalin komunikasi antar 12,8 9,9 2,9 13,2 7,8 11,5
Pengurus dan Anggota
g. Menetapkan Aturan dan Norma 9,8 11,9 5,3 12,5 7,5 12,2
h. Menyosialisasikan Jadwal 10,5 11,4 5,3 12,5 7,9 11,9
Kegiatan
i. Rekruitmen Anggota Baru 10,5 11,4 12,9 10,6 11,7 11,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Uji One Way Anova, berbeda nyata pada dua lokasi, α = 0,05 P = 0,00 F. hit.= 29,812

Di Kabupaten Gowa rata-rata respon terhadap pembinaan kelompok


berada pada tingkat persentase yang rendah. Jalinan komunikasi antar pengurus
dan anggota serta penyediaan fasilitas komunikasi menempati persentase terendah
yakni 12,8 persen dan 15,1 persen. Rendahnya partisipasi dalam rapat pertemuan
106

dan kurang terjadwalnya kegiatan rapat bulanan mengindikasikan sulitnya


mengimplementasikan program kegiatan kelompok. Program kegiatan yang
tersusun dan direncanakan akan kurang berarti karena minimnya partisipasi
anggota. Sosialisasi dan Implementasi program yang kurang, memungkinkan
keberadaan kelompok kurang berdaya dan mampu bertahan. Kondisi ini akan
menurunkan daya tarik anggota dan merasa kurang mendapat manfaat untuk
berkelompok.
Di dua lokasi menunjukkan tingginya tingkat respon terhadap pentingnya
aturan dan norma dalam kelompok, menunjukkan pentingnya memberlakukan
aturan dan sanksi perilaku dalam memelihara kehidupan kelompok. Kelompok
tani di Kabupaten Gowa yang sebagian besar berciri tradisionil masih terikat
dengan aturan dan norma-norma lokal yang menjadi aturan dan norma kelompok,
misalnya norma saling menghargai (Sipakatau) antar anggota, saling menasehati
(Sipakainga’) dan tidak saling mempermalukan (Sipakasiri) harkat kemanusiaan.
Sipakatau dan Sipakainga’ merupakan modal sosial bagi ethnis Makassar dan
Sipakasiri merupakan pantangan yang dinilai mempermalukan harga diri,
keluarga dan kelompok. Norma tersebut menjadi anutan dalam berkelompok dan
secara tidak tertulis terkristal dalam perilaku sosial bahkan sampai pada perilaku
organisasi pemerintahan.
Usaha rekruitmen anggota baru kedalam kelompok menjadi problem di
dua lokasi baik di Kabupaten Enrekang maupun di Kabupaten Gowa
menunjukkan tingkat persentase yang rendah masing-masing 10,5 persen di
Kabupaten Gowa dan 12,9 persen di Kabupaten Enrekang. Hal ini berarti usaha
menambah anggota baru belum tercapai secara optimal. Fenomena berkurangnya
minat menjadi pengurus kelompok serta kurangnya daya tarik menjadi anggota
merupakan masalah tersendiri di dua lokasi. Petani merasa tanpa menjadi anggota
kelompok tetap bisa berusaha. Aturan yang tegas tentang implikasi sosial dan
ekonomi jika tak berkelompok juga belum ada. Di Kabupaten Gowa umumnya
petani berumur di akhir masa produktif selang 39–49 tahun dan rata-rata
berpendidikan 6–9 tahun menjadi indikasi perlunya pergantian anggota lama ke
anggota baru. Proses kaderisasi berimplikasi munculnya ide atau gagasan baru
dan perubahan-perubahan baru serta kekuatan-kekuatan baru dalam kelompok.
107

Hal ini menjadi tantangan dalam ciri masyarakat desa yang lambat menerima
innovasi dan bertahan dalam paradigma lama.

Kekompakan Kelompok

Kekompakan kelompok (Tabel 20) adalah kesatuan dan persatuan


kelompok sebagai suatu kekuatan dalam kelompok. Dalam membina kekompakan
dibutuhkan suatu komitmen dari seluruh anggota terutama dalam mengatasi
masalah dan beragamnya perbedaan-perbedaan aspirasi dan kepentingan anggota.
Banyak faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok antara lain
kepemimpinan, keanggotaan kelompok, nilai tujuan kelompok, homogenitas,
integrasi dan besarnya kelompok. Faktor-faktor tersebut dapat menciptakan
suasana kondusif dalam kelompok, namun jika kurang terkelola dengan baik
dapat pula menjadi pemicu terjadinya konflik dalam kelompok.
Tabel 20. Persentase Jumlah Responden menurut Persepsi terhadap
Usaha Membina Kekompakan Kelompok

Sebaran Responden (%)


Kekompakan Kelompok Rataan
Menurut antar Kabupaten
Gowa Enrekang
R T R T R T

(a) Mengatasi perbedaan pendapat 15,6 10,4 10,1 12,7 12,8 11,5
(b) Memberi solusi atas perbedaan 12,7 12,4 10,1 12,7 11,4 12,5
(c) Menerima usul dan saran positif 12,7 12,3 12,6 12,5 12,6 12,4
(d) Membina keakraban dan 11,1 13,3 7,6 12,9 9,3 13,1
kebersamaan
(e) Membina Kerjasama 11,9 12,9 6,3 12,9 9,1 12,9
(f) Mempersatukan Aspirasi 11,9 12,9 6,3 13,1 9,1 13,0
Anggota
(g) Mematuhi Aturan Kelompok 10,6 13,7 15,2 12,3 12,9 13.0
(h) Mengusahakan Sanksi 13,4 11,9 31,6 10,7 22,5 11,3
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Uji One Way Anova, berbeda nyata pada dua lokasi α= 0,05 P=0,00 F hit. = 61,544.

Terdapat perbedaan secara nyata pada pembinaan kekompakan kelompok


di dua lokasi. Kelompok tani di Kabupaten Enrekang lebih dinamik dalam
mengembangkan kekompakan kelompok dari pada Kabupaten Gowa. Di
108

Kabupaten Gowa rata-rata tingkat respon terhadap kekompakan kelompok berada


pada 60,3 persen, sedangkan di Kabupaten Enrekang mencapai 91,7 persen. Hal
ini berarti usaha membina kekompakan kelompok di Kabupaten Enrekang lebih
kondusif dari Kabupaten Gowa sebagaimana terlihat dalam Tabel 16. Persentase
tertinggi di Kabupaten Enrekang berada pada usaha mempersatukan aspirasi
anggota yakni 13,1 persen dan yang terendah berada pada penerapan sanksi
pelanggaran. Hal ini diartikan bahwa upaya pengurus dan anggota menyerap
aspirasi lebih diutamakan dari pada penerapan sanksi pelanggaran. Lain halnya di
Kabupaten Gowa persentase tertinggi berada pada aspek kepatuhan terhadap
aturan kelompok yakni 13,7 persen dan terendah berada pada aspek mengatasi
perbedaan pendapat yakni 15,6 persen.
Rendahnya kemampuan mengatasi perbedaan pendapat merupakan
indikasi rendahnya keterampilan pengurus kelompok menetralisasi keadaan
kelompok dan memberi solusi dari perbedaan tersebut. Perbedaan persepsi
anggota terhadap nilai tujuan dan nilai sosial dalam kelompok merupakan hal
yang lazim sebagai suatu dinamika sepanjang bertujuan semakin menumbuhkan
kesadaran (Slamet, 2005). Di kalangan Etnik Bugis pada acara musyawarah
rembuk kelompok tani, sering dilaksanakan acara duduk bersama untuk
bersepakat (Tudang Sipulung). Kelembagaan adat tersebut mengusung norma
atau aturan untuk menjadi suatu kesepakatan yang wajib ditaati oleh anggota
kelompok tani seperti jadwal turun sawah, jadwal tanam, pembersihan saluran,
pengolahan tanah, sewa tanam, sewa panen, pemeliharaan tanaman, pengangkutan
gabah, besarnya bunga pinjaman permusim tanam, waktu pengembalian
pinjaman, iuran pemakai air dan gaji operator traktor. Kelembagaan tersebut
menjunjung kekompakan petani dan kelompok tani, membina keakraban dan
kebersamaan (homogenitas), menumbuhkan kerjasama antar anggota dan
mempersatukan aspirasi anggota.
Dari sisi pengembangan kekompakan kelompok, acara tudang sipulung
menyandang sistem nilai positif, walaupun kelembagaan tersebut kini mulai
terabaikan sebagai kelembagaan tani. Sebagian penyuluh sebagai unsur
pembaharu belum berperan secara optimal dalam membina kekompakan
kelompok, hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara dengan kekurang pahaman
109

terhadap perkembangan kelompok tani di wilayah binaan masing-masing. Dengan


demikian sulit diharapkan kelompok tani akan semakin berjalan efektif jika unsur
kebersamaan dalam kelompok kurang terpelihara dan berkesinambungan.

Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Dinamika Kelompok

Kelompok merupakan basis pembelajaran petani dalam meningkatkan


kualitas diri dan kemampuan dalam memperoleh keberdayaan mengembangkan
beragam usaha dan aktivitas. Kelompok tani selain bermanfaat meningkatkan
kemampuan berorganisasi bagi anggotanya, juga diharapkan mampu
mengembangkan usaha dan jaringan kerja dengan kelompok atau lembaga diluar
kelompok. Menurut Saragih (2001), upaya pengembangan usaha adalah
keharusan untuk dilakukan kelembagaan petani, usaha budi daya saja tak cukup
menguntungkan petani, walaupun tingkat produksi dapat dinaikkan. Oleh sebab
itu aktivitas petani dalam memanfaatkan kelompok seyogyanya semakin
memberdayakan kemampuan usaha petani baik secara perorangan maupun secara
berkelompok. Sebanyak 55,0 persen responden di wilayah penelitian kurang
mampu mengembangkan usaha. Hal ini berarti bahwa kelompok tani sebagai
wadah menyatunya potensi petani kurang mampu dimanfaatkan dalam
mengembangkan usaha secara optimal. Tingkat pendidikan formal, pola
pemberdayaan, pengembangan kepribadian, lingkungan sosial dan akses pada
informasi berhubungan positif dan nyata dengan dinamika kelompok sebagaimana
terlihat dalam Tabel 21.
Berdasarkan Tabel 21 tersebut nampak bahwa dinamika kelompok dan
unsur-unsur dinamika kelompok yang meliputi: tujuan kelompok, fungsi dan
tugas kelompok, pengembangan dan pembinaan kelompok, dan kekompakan
kelompok berkorelasi positif dan nyata dengan tingkat pendidikan formal petani,
pola pemberdayaan, pengembangan kepribadian, lingkungan sosial dan akses
pada informasi. Dengan demikian secara umum jika peubah-peubah bebas
tersebut berada dalam kondisi yang meningkat maka akan semakin baik pula
pengembangan dinamika kelompok. Peubah umur dan pengalaman usahatani
berkorelasi negatif dengan dinamika kelompok, artinya kemampuan
110

mengembangkan dinamika kelompok tidak ditentukan oleh faktor umur dan


pengalaman usahatani sebagai unsur dari karakteristik individu petani.

Tabel 21. Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Peubah Bebas


Tingk. Pengal. Pola Akses
Peubah/ Pendi
Keprib. Lingk. Dinamika
Umur Usaha Pember Pada Kelompk
Indikator dikan Petani Sosial
tani dayaan Informasi
Dinamika
-0,218** 0,246** -0,357** 0,621** 0,527** 0,645** 0,627** 1
Kelompok

1.Tujuan -0,215** 0,214** -0,287** 0,581** 0,492** 0,580** 0,543** 0,887**


kelompok
2.Fungsi -0,102* 0,231** -0,264** 0,575** 0,479** 0,577** 0,628** 0,837**
Tugas
3. Pengemb. -0,167** 0,227** -0,302** 0,590** 0,493** 0,652** 0,619** 0,940**
kelompok
4.Kekomp.
-0,275** 0,261** -0,401** 0,491** 0,462** 0,564** 0,516** 0,880**
kelompok

Keterangan : ** nyata pada α = 0,01 * nyata pada α = 0,05

Pola Pemberdayaan

Pola pemberdayaan dimaksudkan sebagai upaya yang dilakukan untuk


pengembangan kemampuan anggota dalam mengembangkan usaha, baik usaha
produksi maupun kegiatan usaha lainnya. Analisis dalam penelitian ini berfokus
pada tiga unsur/indikator yakni pengembangan kemampuan usaha anggota
kelompok, pengembangan jaringan kerja dan pelatihan. Pengembangan
kemampuan usaha petani dilihat dari pengembangan jenis usaha baik dalam
kegiatan produksi maupun di luar kegiatan produksi. Pengembangan jaringan
kerja dilihat dari pengembangan jaringan permodalan, jaringan pemasaran dan
jaringan kerjasama dengan kelompok dan dengan pihak-pihak lain di luar
kelompok. Pengembangan pelatihan dilihat dari pemanfaatan kegiatan pelatihan
yang diikuti petani yang dilaksanakan oleh berbagai penyelenggara di luar
kelompok. Secara umum keberdayaan petani melalui pengembangan tiga unsur
pola pemberdayaan berada dalam kategori yang seimbang antara kategori tinggi
sebanyak 50 persen responden, dan kategori rendah juga sebanyak 50 persen
responden. Artinya setengah responden mampu mengembangkan usaha, baik
111

usaha produksi maupun kegiatan usaha lainnya, dan sebagian lainnya kurang
mampu mengembangkan. Secara deskriptif tingkat persentase sebaran reponden
berdasarkan pola pemberdayaan terlihat dalam Tabel 22.

Tabel 22. Sebaran Responden menurut Pola Pemberdayaan


Kabupaten Total
Pola Rataan
Kriteria Gowa Enrekang
Pemberdayaan Skor
n % n % n %

Pengembangan Rendah 72 60,0 60 50,0 132 55,0


Kemampuan 52 Tinggi 48 40,0 60 50,0 108 45,0
Usaha
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 77 64,1 58 48,3 135 56,3
Pengembangan
Jaringan Kerja 25 Tinggi 43 35,9 62 51,7 105 43,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 56 46,7 89 74,2 145 60,4
Pelatihan 22 Tinggi 64 53,3 31 25,8 95 39,6
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 55 45,8 65 54,2 120 50,0
Pola
Pemberdayaan 33 Tinggi 64 54,2 55 45,8 120 50,0
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Rendah (Rataan 1 – 54) = Kurang dikembangkan Tinggi (> 54) = Dikembangkan
Uji Mann-Whitney secara nyata tidak berbeda pada dua lokasi pada α=0,05

Diantara tiga unsur pola pemberdayaan tersebut, unsur yang masuk


kategori terendah adalah kegiatan pelatihan yakni sebanyak 60,4 persen
responden, menyusul unsur pengembangan jaringan kerja sebanyak 56,3 persen
responden. Dilihat dari unsur lokasi, kategori tinggi di Kabupaten Gowa adalah
kegiatan pelatihan yakni sebanyak 53,3 persen responden dan kategori tinggi di
Kabupaten Enrekang adalah pengembangan jaringan kerja yakni sebanyak 51,7
persen responden. Artinya kegiatan pelatihan petani di Kabupaten Gowa lebih
aktif dan kemampuan mengembangkan jaringan kerja di Kabupaten Enrekang
lebih maju, baik jaringan pemasaran maupun permodalan. Dengan kata lain pola
pemberdayaan petani di dua kabupaten dapat terwujud berdasarkan kemampuan
petani dan prioritas kebutuhan masing-masing lokasi.
112

Pengembangan Kemampuan Usaha

Dalam mengembangkan usaha, petani dan kelompok tani tidak hanya


melakukan aktivitas produksi yang berkaitan dengan teknis budidaya tetapi
mengembangkan pula usaha peningkatan modal anggota dalam bentuk kredit
(simpan pinjam), penjualan hasil produksi ketingkat harga yang lebih baik,
penghematan biaya dan pengadaan alat-alat pertanian, peralatan komunikasi dan
transportasi. Berdasarkan Tabel 22, sebanyak 60,0 persen responden dengan
kategori rendah di Kabupaten Gowa kurang mengembangkan kemampuan
usahatani sayuran dari usaha produksi hingga ketingkat peningkatan modal, dan
penjualan hasil produksi. Beberapa ketua kelompok tani mengakui kurang
menerapkan teknologi produksi dengan baik karena selain biaya sarana produksi
tergolong mahal, biaya varietas komoditi unggulan seperti kentang dan bawang
daun yang kurang terjangkau. Kemudian jika produksi berlimpah dinilai dengan
harga yang rendah serta sulitnya transportasi khususnya yang berada di dataran
tinggi sebagai salah satu faktor sulitnya mengembangkan usaha. Petani yang
berada di dataran rendah Kabupaten Gowa menjajakan sayuran secara langsung
ke pasar-pasar tradisonil dan kerumah-rumah penduduk di perkotaan melalui
pedagang bersepeda (pagandeng). Selama puluhan tahun para pagandeng tersebut
belum pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah untuk memperoleh kredit
usaha kecil, walaupun kenyataannya sangat berjasa mendistribusi sayuran pada
lima pasar tradisionil tipe B di kota Makassar dan sekitarnya yaitu pasar
pa’baeng-baeng, pasar terong, pasar pannampu, pasar daya dan pasar
Sungguminasa. Beberapa pedagang pengumpul yang sering membeli produksi
petani dengan harga rendah tidak beraktivitas pada waktu kurangnya produksi
petani. Beberapa jenis komoditi sayuran seperti cabe keriting, tomat dan terong
sering mendapat nilai harga yang kurang wajar sehingga pendapatan petani
mengalami penurunan bahkan kerugian. Kelompok tani yang bertujuan dapat
meningkatkan pendapatan petani sering kurang berdaya menghadapi situasi dan
kondisi seperti itu.
Di Kabupaten Enrekang, setengah atau 50,0 persen responden
mengembangkan usaha dengan melakukan aktivitas produksi dan penjualan hasil
produksi yang di dukung dengan penerapan teknologi produksi yang baik. Hal ini
113

sejalan dengan penelitian Ishak (2004) menggambarkan bahwa pengaruh


teknologi produksi berhubungan nyata dan berpengaruh terhadap pendapatan
usahatani bawang merah di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang.
Penerapan teknologi produksi dilakukan sesuai dengan rekomendasi yang
dianjurkan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Enrekang melalui
penyuluh pertanian. Produksi kubis dan bawang merah sangat berperan
meningkatkan pendapatan petani di daerah ini khususnya petani yang berada di
Kecamatan Anggeraja. Kemudian dengan pelayanan informasi pasar dapat
meningkatkan keramaian transaksi jual beli hasil produksi dalam skala besar.
Dukungan sarana penjualan dengan keberadaan pasar Sudu sebagai pusat pasar
sayuran di kecamatan Alla Kabupaten Enrekang memudahkan petani
mendistribusi hasil produksinya dalam jumlah besar. Hal ini ditunjang dengan
pembelian pedagang besar dari beberapa daerah dan propinsi diluar Sulawesi
Selatan yang datang kelokasi tersebut. Pengembangan kemampuan usaha
berhubungan positif dan nyata dengan semangat kerja petani (r=0,530 α=0,01),
percaya diri petani (r=0,562 α=0,01), keuletan petani (r=0,363 α=0,01), dan
kreatifitas petani (r=0,474 α=0,01). Kabupaten Enrekang merupakan daerah
produsen sayur mayur yang cukup besar di Sulawesi Selatan. Beberapa komoditas
pemasarannya seperti bawang merah, kubis, tomat, cabe merah dan wortel
merupakan komoditas andalan. Pembangunan ekonomi pertanian di Kabupaten
Enrekang dibangun oleh mayoritas usaha ekonomi kecil dan menengah dengan
mayoritas hasil sayuran dan hasil perkebunan. Tapi untuk komoditas padi, daerah
ini belum mampu berswasembada, sehingga beras harus didatangkan dari
kabupaten tetangga, seperti Kabupaten Sidenreng Rappang, Pinrang, Tana Toraja
dan Kabupaten Luwu.

Pengembangan Jaringan Kerja

Berdasarkan Tabel 22, sebanyak 64,1 persen responden anggota kelompok


tani di Kabupaten Gowa mengembangkan jaringan kerja dengan kategori rendah.
Jaringan kerja yang dimaksud adalah jaringan kerja permodalan maupun jaringan
pemasaran usaha, baik dengan kelompok tani lain maupun dengan pihak-pihak/
lembaga diluar kelompok. Informasi dari penyuluh menyatakan, kecuali bagi
114

petani yang berada di dataran tinggi Desa Malino dan menguasai lahan lebih dari
5 ha sering melakukan kerjasama dengan pihak perbankan khususnya Bank
Rakyat Indonesia (BRI). Pengembangan jaringan kerja antar kelompok tani
dimaksudkan agar proses pembelajaran petani dengan kelompok lain berlangsung
dengan baik, saling tukar pengalaman dan keberhasilan usaha. Kemudian
dimaksudkan pula agar petani dan kelompok mampu mencari bantuan dan
kerjasama dengan pihak lain seperti dalam hal permodalan, pemasaran, dan
pelatihan agar motivasi petani anggota kelompok semakin meningkat dan
senantiasa terdorong untuk lebih maju.
Hasil wawancara dengan petani dan penyuluh menyatakan bahwa masalah
utama di lokasi ini adalah kurangnya pertemuan antar kelompok tani dan belum
adanya gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang berfungsi sebagai kordinator
antar kelompok. Pertemuan pengurus kelompok hanya sering terjadi pada saat
acara musyawarah rembuk pembangunan desa (Musrembang) se Kabupaten
Gowa sekali setahun yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Hal-hal yang
diagendakan dalam pertemuan tersebut juga bersifat umum dan kurang tersentuh
ke program kelompok tani. Kemudian usaha jaringan kerjasama kelompok dengan
penyandang dana (perbankan dan koperasi) belum dilakukan secara optimal
kecuali secara perorangan untuk mendapatkan kredit usaha. Selain itu dengan
terbatasnya jumlah perusahaan horti yang beroperasi di Sulawesi Selatan
merupakan kenyataan rendahnya akses kerjasama kelompok tani dengan pihak-
pihak luar kelompok. Perusahaan hortikultura sangat dibutuhkan di lokasi ini
terutama dalam pengolahan komoditi pasca panen yang sering dikeluhkan
jaringan pemasarannya. Kerugian yang dialami petani saat pasca panen akibat
resiko sayuran yang mudah rusak dan dengan jaringan pemasaran yang terbatas.
Di Kabupaten Enrekang pengembangan jaringan kerja terfokus melalui
kerjasama dengan koperasi tani, dan kelompok pedagang sayuran dari luar daerah
seperti Kalimantan, Kendari, Menado dan daerah sekitarnya. Hal ini berarti
kedinamisan kerjasama tersebut seiring dengan aktifitas kelompok tani di lokasi
ini yang semakin meningkat khususnya dalam agribisnis sayuran. Meski demikian
pengembangan kerjasama dengan pihak/lembaga keuangan untuk mengakses
sumber modal masih tergolong minim. Pengembangan jaringan kerja
115

berhubungan positif dan nyata dengan pendidikan petani (r=0,102 α=0,05). Usaha
untuk mendapatkan kredit bank maupun kredit non bank masih dirasakan sulit
bahkan sebagian besar belum pernah mendapat sosialisasi pengembangan usaha
kecil dari pihak pemerintah.
Program penguatan modal usaha kelompok (PMUK) Tahun 2006 yang
dikucurkan pemerintah melalui Departemen Pertanian belum sepenuhnya dapat
diakses oleh setiap kelompok karena terkendala dengan beberapa kriteria umum
calon kelompok sasaran penerima bantuan. Hanya sekitar 10 persen dari jumlah
kelompok tani yang mampu dan bersyarat mendapatkan bantuan penguatan modal
tersebut. Berdasarkan hasil sensus pertanian 2003 Propinsi Sulawesi Selatan
sebanyak 93,3 persen petani sayuran di Sulawesi Selatan menggunakan modal
sendiri sebagai sumber modal dalam mengembangkan usaha dan hanya 6,7 persen
dari kredit bank, non bank dan sumber lainnya. Dengan kenyataan tersebut maka
target pemerintah pusat yang menjadikan Sulawesi Selatan sebagai salah satu
wilayah pengembangan utama horti secara umum dan sayuran secara khusus akan
sulit tercapai.

Pengembangan Pelatihan Petani

Sebanyak 53,3 persen responden petani di Kabupaten Gowa


mengembangkan diri melalui pelatihan. Persentase ini lebih tinggi dari persentase
petani yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Enrekang. Akses pelatihan petani
di Kabupaten Gowa didukung oleh keberadaan Balai Pelatihan Pertanian Sulawesi
Selatan di Batang Kaluku Kabupaten Gowa dan pemberian materi pelatihan oleh
Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Gowa. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dilokasi ini seperti Pusat Pelatihan dan Pedesaan Swadaya (P4S) juga
memberi andil yang cukup kondusif dalam pelatihan petani
Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Buluballea yang
dikelola oleh salah satu kelompok tani yakni kelompok tani Veteran yang
berkembang baik menawarkan pelatihan dan permagangan yang berkaitan dengan
pengembangan budi daya kentang, tomat, kubis, strawberry dan pemanfaatan
pupuk organik untuk sayuran. Lembaga ini melakukan proses belajar mengajar
dan pemagangan yang bertujuan meningkatkan jiwa wirausaha, keterampilan dan
116

keahlian petani sayuran khususnya anggota kelompok tani sayuran di dataran


tinggi. Kegiatan pelatihan tersebut berlangsung secara gratis selama lima
angkatan dengan keluaran sebanyak 125 orang. Kegiatan ini mendapat dukungan
finansial dari Pusat Pelatihan Badan Pengembangan SDM Jakarta. Minat, peluang
dan kesempatan petani mengikuti pelatihan di lembaga ini tergolong tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelatihan oleh lembaga non pemerintah
mendapat respon yang cukup baik dilokasi ini. Materi pelatihan yang diperoleh
responden petani terlihat dalam Tabel 23.

Tabel 23. Persentase Responden dalam Pelatihan menurut Materi


Pelatihan yang Telah diikuti

Kabupaten
Total
Materi Pelatihan Gowa Enrekang
n % n % n %

(1) Pemberantasan Hama 1 0,8 2 1,7 3 1,3


(2) Permodalan 1 0,8 - - 1 0,4
(3) Pemasaran 4 3,3 - - 4 1,7
(4) Pemberd. Kelompok 1 0,8 - - 1 0,4
(5) Managemen Usahatani 1 0,8 - - 1 0,4
(6) Teknik Bd. Kentang,
Kubis,Bw Merah 8 6,7 1 0,8 9 3,8
(7) Pengemasan Sayuran 1 0,8 1 0,8 2 0,8
(8) Aplikasi Saprodi 35 29,2 23 19,2 58 24,2
(9) Penyuluh Swakarsa - - 9 7,5 9 3,8
(10) Konservasi Tanah - - 1 0,8 1 0,4
(11) Akuntansi - - 1 0,8 1 0,4
(12) Penanganan Pc.Panen - - 1 0,8 1 0,4
(13) Agropolitan - - 1 0,8 1 0,4
(14) Kurang memahami 68 56,7 80 66,7 148 61,7
Materi Pelatihan

Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0


Sumber : Data Primer diolah, 2007
Uji Mann-Whitney, berbeda nyata pada dua lokasi pada α=0,05

Materi pelatihan dari Dinas Tanaman pangan antara lain pemberantasan


hama tanaman (PHT), permodalan, pemasaran, pemberdayaan kelompok,
managemen usahatani serta kerjasama dengan PT Singenta sebagai salah satu
perusahaan swasta yang bergerak di bidang usaha hortikultura. Jenis pelatihan
yang dilakukan antara lain pelatihan teknik budi daya kentang, kubis, pengemasan
117

sayuran, aplikasi pestisida, aplikasi pupuk dan pembuatan kompos yang


berlangsung rata-rata selama dua hari.
Materi pelatihan yang sering dan terbanyak diikuti petani di Kabupaten
Gowa maupun di Kabupaten Enrekang adalah aplikasi sarana produksi. Hal ini
berarti materi pelatihan lebih terfokus pada pengembangan dan penerapan
teknologi produksi. Materi lainnya seperti teknik budi daya kentang, kubis dan
bawang merah, pemasaran komoditi, serta pelatihan tentang penyuluh swakarsa
diberikan dalam porsi waktu yang terbatas.
Di Kabupaten Enrekang pelatihan dilakukan dalam bentuk sekolah lapang
(SL) dimana proses pembelajarannya dilaksanakan di lapangan yang dilaksanakan
bersama PPL dan BPP serta pihak Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Enrekang.
Sekolah lapang (SL) adalah proses pembelajaran petani yang dilaksanakan di
lapangan. Sekolah lapang dikembangkan sebagai suatu metode untuk
mempercepat penerimaan atau penguasaan teknologi suatu komoditi kepada
petani. Hingga tahun 2006 telah dicoba sekolah lapang untuk jenis komoditi
bawang merah dan menyusul komoditi lainnya seperti budi daya kentang, kubis,
teknik pengemasan sayuran, pemberantasan hama tanaman, pembuatan kompos,
pengetahuan tentang konservasi tanah, kursus akuntansi, dan teknik pemasaran
komoditi sayuran.
Lebih dari setengah responden di dua kabupaten atau 61,7 persen kurang
memahami dengan baik materi pelatihan yang telah diikuti. Hal ini berarti metode
pelatihan yang diterapkan dalam kegiatan pelatihan masih kurang berhasil, dan
sulit mengharapkan petani akan mampu mengembangkan inovasi teknologi secara
optimal dalam usahatani. Pelatihan petani berhubungan positif dan nyata dengan
umur petani (r=0,217 α=0,05), artinya semakin tua umur petani akan semakin
berkurang daya ingatan terhadap materi pelatihan yang diikuti. Pelaksanaan
pelatihan rata-rata berlangsung selama dua hari yang dilasanakan di berbagai
tempat baik di Kabupaten Gowa maupun di Kabupaten Enrekang. Berikut
gambaran lamanya pelatihan dalam Tabel 24.
Berdasarkan tabel tersebut menggambarkan mayoritas atau 15,8 persen
responden di dua kabupaten mengikuti pelatihan antara 2 – 3 hari. Di Kabupaten
Gowa terdapat 22,5 persen petani telah mengikuti pelatihan selama 2 hingga 3
118

hari, dan 12,5 persen di Kabupaten Enrekang mengikuti pelatihan lebih dari 5
hari.. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Enrekang memiliki akses
mengikuti pelatihan yang lebih lama waktunya dan memungkinkan memiliki
pengetahuan dan keterampilan berusahatani yang lebih memadai.

Tabel 24. Persentase Responden menurut Lamanya Pelatihan yang Diikuti

Kabupaten
Jumlah Hari Total
Pelatihan Gowa Enrekang
n % n % n %

a. 1 hari 18 15,0 8 6,7 26 10,8


b. 2 - 3 27 22,5 11 9,2 38 15,8
c. 4 - 5 6 5,0 6 5,0 12 5,0
d. >5 1 0,8 15 12,5 16 6,7
e. Tidak Tahu 68 56,7 60 50,0 128 53,3
Total 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007

Tempat pelatihan dilaksanakan di berbagai tempat antara lain di Dinas


Pertanian, kantor kecamatan, balai desa, sanggar tani, UPP, balai PHT,PHP baik
di Malimongan dan Batangkaluku Kabupaten Gowa maupun di Kabupaten
Enrekang serta Kabupaten Sidrap dan Kota Makassar.

Pengembangan Kepribadian

Setiap petani memiliki kepribadian sendiri dan petani sebagai manusia


sangatlah berbeda satu sama lain. Allport (1971) menyatakan bahwa setiap
individu memiliki kepribadian sendiri dan tidak ada orang yang berkepribadian
sama, sehingga tidak ada dua orang yang bertingkah laku sama. Kepribadian
merupakan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku
atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia dan kepribadian seseorang itu
tersusun dari semua sifat yang dimilikinya.
Teori sifat mengemukakan bahwa kepribadian seseorang merupakan
bawaan atau turunan dari orang tuanya. Di sisi lain teori perilaku menyatakan
119

bahwa perilaku seseorang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, proses


belajar atau latihan yang dialami, artinya perilaku seseorang dipengaruhi oleh
stimuli dari lingkungan. Hal ini sejalan dengan pandangan Skinner bahwa
individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya
melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat
kedudukan atau suatu point di mana faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang
khas secara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pada
individu tersebut.
Mengamati sebanyak 240 orang petani dari aspek tingkah laku atau
kepribadian bukanlah hal yang sederhana; mereka berasal dari suatu organisme
yang berbeda serta kultur yang beragam. Lagi pula konsep kepribadian merupakan
konsep yang begitu luas sehingga menjadi suatu konstruksi yang sulit dirumuskan
dalam suatu definisi yang tajam. Meskipun demikian, dengan ciri watak yang
diperlihatkan petani secara lahir, konsisten dan konsekuen dalam tingkah lakunya
maka informasi tentang tingkah laku, kepribadian petani dapat diamati dalam
penelitian sebagaimana hasilnya yang ditampilkan dalam Tabel 25.
Secara umum kepribadian petani dilihat dari aspek semangat kerja,
percaya diri, keuletan dan kreatifitas, pada dua lokasi menunjukkan persentase
dengan kategori rendah yakni 53,3 persen responden, dan 46,7 persen dengan
kategori tinggi (Tabel 25). Artinya lebih setengah petani kurang mampu
mengembangkan unsur-unsur kekuatan individu yang dimiliki dalam
mengembangkan usaha, sehingga mereka masih perlu dorongan dan mendapat
kesempatan untuk diberdayakan. Di antara empat indikator kepribadian, indikator
semangat kerja dan keuletan dalam bekerja berada dalam kategori rendah yakni
sebanyak 54,2 persen responden. Rendahnya semangat kerja berkaitan dengan
masalah yang dihadapi petani baik dalam aspek budi daya yang sering
diperhadapkan dengan biaya produksi yang tinggi maupun dalam aspek nilai tukar
dari harga produk yang diperoleh. Demikian pula rendahnya keuletan bekerja
diakibatkan rendahnya semangat meningkatkan produksi dan kualitas usaha yang
diharapkan. Permasalahan dan resiko kerugian usaha yang dirasakan dapat
mengganggu pikiran dan ketekunan petani dalam meningkatkan usaha. Oleh
karena itu petani perlu diberdayakan melalui pembinaan agar mampu
120

mengendalikan diri jika usaha mereka kurang berhasil. Aspek kepribadian petani
terlihat dalam Tabel 25.

Tabel 25. Sebaran Responden menurut Ciri Kepribadian


Kabupaten Total
Ciri Rataan
Kriteria Gowa Enrekang
Kepribadian Skor
n % n % n %

Rendah 85 70,9 45 37,5 130 54,2


Semangat
33 Tinggi 35 29,2 75 62,5 110 45,8
Kerja
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 66 55,0 62 51,7 128 53,3
Percaya Diri 32 Tinggi 54 45,0 58 48,3 112 46,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 68 56,6 62 51,7 130 54,2
Keuletan 22 Tinggi 52 43,4 58 48,3 110 45,8
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 71 59,2 49 40,8 120 50,0
Kreatifitas 23 Tinggi 49 40,8 71 59,2 120 50,0
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0

Total Rendah 71 59,2 57 47,5 128 53,3


Ciri 28 Tinggi 49 40,8 63 52,5 112 46,7
Kepribadian
Jumlah 120 100,0 120 100,0 120 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Rendah (Rataan 1– 34) =Kurang dikembangkan. Tinggi (Rataan > 34) = Dikembangkan
Uji Mann-Whitney, tidak berbeda nyata di dua lokasi, α= 0,05

Berdasarkan sebaran per lokasi, tingkat kepribadian petani di Kabupaten


Enrekang berada pada kategori tinggi sebanyak 52,5 persen responden dan
kepribadian petani di Kabupaten Gowa di kategori rendah sebanyak 59,2 persen
responden. Indikator kepribadian yang tertinggi di Kabupaten Enrekang adalah
semangat kerja dengan persentase 62,5 persen, dan sebaliknya indikator semangat
kerja merupakan indikator yang terendah di Kabupaten Gowa yakni mencapai
70,9 persen. Sejalan dengan perbedaan semangat kerja petani di dua lokasi
tersebut, telah diingatkan oleh Mosher (1983), bahwa petani sebagai manusia dan
121

perorangan memiliki empat kapasitas penting untuk pembangunan pertanian,


yaitu bekerja, belajar, berpikir kreatif, dan bercita-cita. Kesanggupannya untuk
bekerja dan belajar setidak-tidaknya keterampilan bercocok tanam berbeda antara
satu dengan lainnya. Namun selalu diingatkan oleh Mosher bahwa petani selalu
bercita-cita ingin menjadi lebih baik atau memiliki sesuatu yang lebih baik dan
dalam keadaan tertentu dapat merupakan perangsang yang kuat untuk maju.

Semangat Kerja

Semangat kerja adalah gairah, keinginan dan hasrat yang kuat dalam
bekerja. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai semangat kerja adalah
usaha kerja keras yang dilakukan petani dengan penuh perhatian untuk berhasil.
Berdasarkan data pada Tabel 25 (Hal. 121), sebanyak 62,5 persen responden di
Kabupaten Enrekang memiliki semangat kerja dengan kategori tinggi. Petani
sayuran di Kabupaten Enrekang memiliki kondisi pertanaman yang lebih baik dan
kelancaran pendistribusian hasil produksi sayuran di pasaran, serta perolehan
pendapatan yang menguntungkan. Hal tersebut menjadi salah satu perangsang
bagi petani dalam memelihara semangat kerja, percaya diri, keuletan dan
kreatifitas. Di Kabupaten Enrekang akses pemasaran lebih lancar dan produksi
usaha lebih besar membuat petani lebih bersemangat bekerja keras.
Hoselitz (Sajogyo,2002), bahwa untuk membangun suatu masyarakat yang
ekonominya terbelakang harus bisa menyediakan suatu sistem perangsang yang
dapat menarik aktivitas warga masyarakat. Sistem perangsang itu harus
sedemikian rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan untuk bekerja,
memperbesar keinginan orang untuk menghemat dan menabung, dan
memperbesar keinginan orang untuk mengambil resiko dalam hal mengubah
secara revolusioner cara-cara yang lama. Hoselitz berpandangan, orang desa tidak
usah ditarik atau didorong untuk bekerja keras, cara-cara dan irama bekerja itu
harus diubah dan disesuaikan dengan cara-cara dan irama yang harus dipelihara
dengan disiplin yang tegang, agar tenaga yang dikeluarkan dapat seirama dengan
berjalannya mesin dan memberi hasil seefektif-efektifnya.
122

Di Kabupaten Gowa petani khususnya petani sayuran di Kecamatan


Barombong dihadapkan dengan permasalahan penguasaan lahan sempit, kesulitan
pengadaan perlengkapan pembenihan, harga produk usaha yang kurang stabil,
permodalan, pemasaran hasil produksi dalam jumlah kecil (KecamatanTinggi
Moncong) dan biaya produksi yang kurang terjangkau. Faktor-faktor eksternal
tersebut merupakan rangkaian penyebab yang mendorong petani mencari kegiatan
usaha tambahan untuk menambah pendapatan sebagai buruh harian dan sektor
informal lainnya dalam Kota Makassar.
Berdasarkan data pada Tabel 25, sebanyak 70,9 persen responden di
Kabupaten Gowa memiliki semangat kerja dengan kategori rendah. Petani
mengeluhkan biaya produksi yang tinggi dan kekurang mampuan meningkatkan
pendapatan yang diperoleh setiap panen. Petani merasa kurang berdaya
menghadapi kondisi eksternal tersebut di mana secara psikologis akan membuat
mereka merasa kecewa dengan usaha yang dimiliki.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, Mubyarto (1995) menyatakan bahwa
bila petani telah terangsang untuk membangun dan menaikkan produksi maka ia
tidak boleh dikecewakan, dan jika pada suatu daerah petani telah diyakinkan akan
kebaikan mutu suatu jenis bibit unggul atau oleh efektifitas penggunaan pupuk
tertentu atau oleh mujarabnya obat pemberantas hama dan penyakit, maka sarana
produksi yang telah didemonstrasikan itu harus benar-benar tersedia secara lokal
di dekat petani di mana petani dapat membelinya. Diungkapkan, permasalahan
yang sangat sederhana tersebut kadang-kadang merupakan sebab-sebab
kegagalan. Petani tidak jarang menjadi jera dan serta menolak program-program
pemerintah kalau berkali-kali merasa kecewa. Petani yang sudah kecewa sukar
melupakan hal-hal yang seperti itu dan diperlukan beberapa tahun untuk dapat
membujuk petani mendengarkan kembali petugas-petugas penyuluhan yang
datang ke desa-desa. Dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan usaha,
para petani menyatakan berkeinginan keras untuk mencoba varietas baru dan
saprodi yang bagus yang akan mendatangkan keuntungan, tetapi kurang
mempunyai kemampuan biaya (uang tunai) untuk membelinya. Dengan kenyataan
tersebut tentu akan mempengaruhi semangat kerja petani untuk berhasil.
123

Pengembangan Rasa Percaya Diri

Percaya diri adalah keyakinan diri untuk mampu mengembangkan,


memutuskan dan memecahkan masalah usahatani sendiri. Berdasarkan data pada
Tabel 25 menunjukkan bahwa dalam hal pengembangan rasa percaya diri, para
petani di dua lokasi berada dalam kategori rendah yakni sebanyak 53,3 persen
responden. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa petani masih merasa kurang
mampu merencanakan, mengerjakan, memutuskan serta memecahkan masalah
usahatani sendiri terutama dengan penerapan inovasi teknologi.
Pengaruh keluarga dan kerabat sebagai suatu komunitas masih dominan
dalam menetapkan keputusan-keputusan usahatani yang diambil. Hal ini sejalan
dengan penelitian Munadah (2005) bahwa pengaruh tradisi kekeluargaan dalam
masyarakat bugis makassar masih lebih dominan Sedangkan bantuan dan nasehat
dari orang lain dapat diterima sepanjang mereka bisa pahami, menguntungkan dan
tidak mengabaikan integritas mereka sebagai individu. Meskipun demikian, peran
penyuluh pertanian di Kabupaten Enrekang yang rutin bertemu tiga kali seminggu
dengan petani, secara kontinyu berupaya membimbing dan menyampaikan
metoda-metoda dan pengetahuan tambahan kepada petani. Di kabupaten Gowa
peran penyuluh ditunjukkan dengan kurangnya frekuensi pertemuan dengan
petani dimana rata-rata hanya berlansung sebulan sekali. Peran ketua-ketua
kelompok tani menyampaikan informasi usaha lebih membantu petani sekaligus
membantu peran penyuluh.
Peningkatan rasa percaya diri petani tidak terlepas dari peran penyuluh
sebagai dinamisator, komunikator dan sebagai guru atau pendidik petani. Namun
peran penyuluh masih perlu dioptimalkan di dua lokasi. Sebanyak 155 orang
penyuluh di Kabupaten Gowa dan 110 orang penyuluh di Kabupaten Enrekang
jika mengoptimalkan tugas fungsionalnya, akan mampu membantu
memberdayakan kemampuan petani baik pengetahuan, keterampilan maupun
peningkatan rasa percaya diri petani. Keberadaan penyuluh membawa pengaruh
dan perubahan perilaku jika petani merasa bahwa apa yang disampaikan penyuluh
dapat dipercaya sesuai kenyataan dan apa yang dirasakan (felt need and real need)
dapat mendatangkan keuntungan bagi diri dan keluarganya. Sebaliknya rasa
124

kepercayaan akan berkurang jika petani merasa lebih tahu apa yang semestinya
dikerjakan sesuai kemampuan dan pengalaman yang dirasakan.
Peran penyuluh dan pengantar pembaruan lainnya dalam perspektif
peningkatan kognitif, afektif dan psikomotorik petani merupakan hal yang positif,
namun jika peran orang-orang di luar diri petani bersifat memelihara
ketergantungan petani dan berlangsung lama terutama dalam pengambilan
keputusan maka hal tersebut merupakan pendidikan yang kurang baik. Dalam
falsafah penyuluhan yang terbaik adalah memperlakukan manusia sebagai orang
yang cerdas dan bertanggung jawab sehingga lebih percaya pada pertimbangan
sendiri dan bermanfaat bagi diri, bagi keluarga dan orang lain. Oleh sebab itu
pendekatan dalam peningkatan rasa percaya diri petani adalah penyuluhan sebagai
upaya pendidikan non formal.

Keuletan

Keuletan adalah kekuatan jiwa, sikap dan pikiran seseorang


mempertahankan dan melanjutkan pekerjaan yang diyakininya sesuai dengan
harapan dan keinginan yang akan dicapai. Seseorang dapat dikategorikan
memiliki keuletan jika yang dikerjakan dari waktu kewaktu mampu dipertahankan
dan merasa kuat merubah dan meningkatkan apa yang dikerjakan. Sebagian
manusia mempunyai kekuatan untuk meningkatkan usahanya dengan berbagai
tantangan, dan terdapat pula sebagian manusia merasa kuat atau memiliki keuletan
mempertahankan apa yang dimiliki sekarang tanpa berpikir maju meningkatkan
usahanya. Keuletan petani dalam penelitian ini diartikan sebagai kesungguhan dan
ketekunan dalam berusaha tanpa merasa puas dengan keberhasilan yang dicapai
serta merasa kuat menghadapi resiko dalam berusaha.
Sebanyak 54,2 persen responden di dua lokasi berada pada kategori rendah
dalam mengembangkan keuletan dalam berusaha tani (Tabel 25). Artinya
ketekunan dan kesungguhan petani mencapai keberhasilan masih relatif kurang
digiatkan. Secara umum keuletan petani berkorelasi positif dan nyata dengan
faktor usia petani ( r = 0,160, α = 0.05) dan faktor pengalaman usahatani (r =
0,104 ). Hal ini berarti bahwa faktor internal perlu diperhatikan dalam melihat
kesungguhan dan ketekunan petani dalam berusaha. Dengan rata-rata usia petani
125

40,6 tahun dan pengalaman usaha 8,5 tahun menjadi indikator untuk mengetahui
kualitas pribadi petani dalam meningkatkan kualitas usaha. Keuletan petani
berhubungan positif dan nyata dengan semangat kerja petani (r = 0,481 α = 0,01).
Artinya keuletan dan semangat kerja mempunyai hubungan yang searah (linear)
dan sama-sama menjadi faktor keberhasilan petani dalam menjalankan usaha. Hal
ini ditunjukkan dengan kesungguhan dan kesabaran petani menghadapi fenomena
alam yang kadang menguntungkan dan kadang merugikan usaha. Serangan
penyakit dan hama tanaman serta gejolak harga yang berfluktuasi adalah
fenomena yang sering dikeluhkan petani, namun dengan sikap optimisme petani
tetap merasa kuat menghadapi tantangan tersebut.
Selain faktor internal diri petani (umur, pengalaman usaha tani dan
semangat kerja) maka faktor lainnya diluar peubah penelitian ini seperti lama
kerja petani memungkinkan pula berpengaruh dalam pengembangkan keuletan
petani. Menurut Tohir (1991), rata-rata lama kerja petani untuk usahatani di
tegalan selama 59 hari dengan kemampuan tenaga keluarga sendiri. Jika
menggunakan tenaga bayaran rata-rata hingga 39 hari. Petani di Kabupaten
Enrekang khususnya di Kecamatan Anggeraja, sebagian besar menggunakan
tenaga kerja bayaran. Di Kabupaten Gowa sebagian besar petani menggunakan
tenaga sendiri kecuali bagi petani yang menguasai lahan lebih dari 5 ha
menggunakan tenaga kerja bayaran. Dari gambaran tersebut disimpulkan bahwa
jika dengan tenaga keluarga sendiri, berarti petani lebih lama bekerja tapi lebih
banyak pengalaman dan menunjukkan adanya sifat keuletan berupa kesungguhan
dan ketekunan dalam berusaha. Namun jika menggunakan tenaga bayaran berarti
sebagian waktu petani bisa digunakan untuk kegiatan lain tapi kurang
menunjukkan adanya ketekunan dalam berusaha. Oleh sebab itu, faktor lama
bekerja tergantung kemampuan petani menggunakan tenaga kerja. Menurut Tohir
(1991) lama bekerja ditentukan pula oleh kecil besarnya usaha tani yang dimiliki,
keadaan alam seperti iklim, tanah dan topogrofi tanah serta faktor-faktor sosial
ekonomis lainnya.
126

Kreativitas

Kreativitas adalah kemampuan yang dimiliki untuk menciptakan dan


mengerjakan sesuatu yang lebih baik. Dalam penelitian ini kreativitas
dimaksudkan sebagai usaha petani menemukan tehnik bercocok tanam yang lebih
baik, menemukan informasi dan ide-ide baru serta peluang-peluang baru dalam
berusaha terutama dalam memasarkan hasil produksi, dengan kata lain kreativitas
petani berorientasi pada aspek perbaikan produksi, pengolahan dan pemasaran
hasil produksi. Secara umum petani memiliki keinginan yang kuat untuk selalu
maju bahkan selalu berpikir untuk berusaha lebih baik menerapkan pengetahuan
yang dimiliki, baik yang diperoleh dari pelatihan, anjuran penyuluh dan
rekomendasi dinas pertanian untuk menggunakan cara-cara baru, pengetahuan
baru dan teknologi produksi yang lebih baik. Namun kemampuan petani dalam
penerapan hal-hal baru tersebut berbeda satu sama lain.
Berdasarkan data pada Tabel 25, pengembangan kreativitas dalam
berusahatani menunjukkan adanya keseimbangan antara kategori tinggi dan
kategori rendah. Sebanyak 50 persen responden dengan kategori tinggi berusaha
mendapatkan informasi baru dan ide-ide baru baik dari penyuluh maupun dari
kelompok tani lainnya. Kegiatan mereka seperti usaha memperoleh bibit/varietas
unggul, pengolahan pupuk kandang dari usaha ternak yang dimiliki serta
pengolahan sumber-sumber pembuatan kompos dan cara-cara pengemasan baru
dalam pemasaran hasil produksi merupakan indikator berkembangnya kreativitas
berusaha yang dimiliki.. Kemudian 50 persen responden lainnya mengembangkan
kreativitas dalam kategori rendah adalah mereka yang kurang kreatif, dan jarang
menerapkan tehnik jarak tanam yang baik, teknik pembuatan bedengan yang baik,
penggunaan varietas yang unggul dan dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan mutu produksi dan pendapatan.
Sebagian di antara mereka mengikuti cara bercocok tanam secara
tradisionil yang berasal dari orang tua dan keluarga mereka, dan bahkan meniru
dari kebiasaan lama dari petani lainnya. Petani menyadari bahwa untuk
mengembangkan kreativitas diperlukan pengetahuan yang memadai. Dalam
penelitian ini peubah kreativitas tidak berhubungan dengan peubah pendidikan
(r=0,085 α=0,05). Hal ini berarti bahwa kreatifitas petani tidak ditentukan oleh
127

tingkat pendidikan melainkan berhubungan dengan pengetahuan yang diperoleh


lewat pengalaman berusahatani. Semakin berkualitas pengalaman berusahatani
maka kreatifitas akan mengalami perkembangan yang baik pula.
Rendahnya tingkat pendidikan formal petani yang rata-rata setingkat kelas
satu SMP (7,17 tahun) menjadikan kelompok tani sebagai salah satu alternatif
sarana pembelajaran yang dapat mengarahkan dan menggerakkan kreatifitas
petani dalam mengembangkan usaha. Selain kelompok tani, keberadaan koperasi
tani ikut memacu motivasi petani melakukan transaksi usaha. Di Kabupaten
Enrekang peran koperasi tani dirasakan sangat bermanfaat bagi petani, selain
bekerjasama dalam penyediaan sarana produksi, juga menyediakan modal usaha
dalam bentuk simpan pinjam. Adapun petani di Kabupaten Gowa dengan
kelompoknya lebih sering mencari peluang kerjasama dengan Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Oleh sebab itu, kelompok tani sebagai wadah pembelajaran
petani berperan sebagai tempat untuk saling belajar dan konsultasi untuk
mengembangkan kreatifitas, baik dalam kegiatan produksi, kegiatan pengolahan
maupun dalam pemasaran hasil produksi. Kelompok tani berperan pula sebagai
wadah pembelajaran petani dalam penerapan managemen usahatani yang
berorientasi pada nilai tambah yang maksimal baik secara individu maupun
berkelompok.
Kreativitas petani akan berimplikasi terhadap kinerja dan status kelas
kelompoknya. Jika anggota kelompok mampu meningkatkan kinerja usahanya,
maka kelas kelompoknya akan naik peringkat. Berdasarkan ukuran kinerja untuk
kelompok tani versi Departemen Pertanian, jumlah kelompok tani kelas pemula
dan lanjut di dua lokasi merupakan yang terbanyak. Di Kabupaten Gowa sekitar
60 persen kelompok tani kelas pemula dan lanjut, dan di Kabupaten Enrekang
dengan kelas yang sama sebanyak 88,4 persen. Nampaknya ukuran kinerja
kelompok tani tersebut masih perlu lebih dikonkritkan, karena dengan banyaknya
kelas pemula dan lanjut di Kabupaten Enrekang justru dinamika kelompoknya
lebih maju dan lebih produktif dalam berusaha tani.
128

Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah lingkungan sekitar kehidupan responden yang


meliputi norma dan nilai budaya lokal serta peran tokoh informal terhadap
pembentukan kinerja kelompok. Provinsi Sulawesi Selatan seperti halnya dengan
daerah lain mempunyai kekayaan adat dan budaya yang khas. Pengelolaan
usahatani pada hakekatnya dipengaruhi oleh norma dan nilai budaya yang khas
tersebut. Norma dan nilai budaya tersebut terwujud dalam perilaku petani dalam
kelompok maupun dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif
dan nyata antara lingkungan sosial dengan dinamika kelompok (r=0,645 α=0,01).
Hal ini berarti bahwa aktivitas dan perilaku petani dalam kelompok berhubungan
nyata dengan keadaan linkungan sosial masyarakatnya. Hasil data deskriptif
kedinamisan lingkungan sosial masyarakat dilihat dalam konteks dinamika
kelompok terlihat dalam Tabel 26.

Tabel 26. Sebaran Responden menurut Kedinamisan Lingkungan Sosial


Unsur Kabupaten Total
Rataan
Lingkungan Kriteria Gowa Enrekang
Skor
Sosial n % n % n %

Rendah 95 79,2 35 29,2 130 54,2


Norma dan
34 Tinggi 25 20,8 85 70,8 110 45,8
Nilai Budaya
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0

Peran Rendah 59 49,2 63 52,5 122 50,8


Pemimpin 29 Tinggi 61 50,8 57 47,5 118 49,2
Informal
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 64 53,3 56 46,7 120 50,0
Lingkungan
Sosial 32 Tinggi 56 46,7 64 53,3 120 50,0
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Rendah (Rataan 1 - 36) = Kurang Termanfaatkan Tinggi (> 36 ) = Termanfaatkan
Uji Mann-Whitney, berbeda nyata di dua lokasi, α= 0,05

Secara umum kedinamisan lingkungan sosial di dua lokasi penelitian


seperti yang ditampilkan pada Tabel 26 menunjukkan pada persentase kategori
129

tinggi yakni 50 persen dan kategori rendah 50 persen. Artinya setengah responden
menilai lingkungan sosial berjalan dengan intensitas yang tinggi dan setengah
lagi menilai berjalan dalam intensitas yang rendah.
Berdasarkan sebaran perlokasi, unsur lingkungan sosial di Kabupaten
Enrekang tekanannya lebih tinggi dari Kabupaten Gowa. Unsur yang menonjol di
Kabupaten Enrekang adalah intensitas norma dan nilai budaya sebesar 70,8 persen
responden dengan kategori tinggi. Sedangkan di Kabupaten Gowa unsur yang
menonjol adalah peran tokoh informal sebesar 50,8 persen responden dengan
kategori tinggi.
Aktifitas individu petani dalam wujud perilaku kelompok tercermin dari
watak, suku dan perpaduan kebangsaan dari petani itu sendiri (Tohir,1991).
Responden petani di Kabupaten Enrekang yang berasal dari perpaduan suku bugis
dan toraja, pada dasarnya memiliki pertemalian watak kepribadian bertani dengan
petani di Kabupaten Gowa yang suku Makassar. Adapun beberapa hal yang
berbeda terletak dari cara dan gaya berusaha, serta status sosial yang dimiliki.
Misalnya semangat kerja keras dan keuletan berusahatani sambil berdagang, lebih
menonjol dalam watak petani Kabupaten Enrekang yang memiliki mental
berbisnis lebih maju dari petani Kabupaten Gowa.
Pola tingkah laku serta budaya petani suku Bugis Makassar bisa dipahami
dengan baik dengan konsep pangngaderreng (Bugis) atau pangngadakkang
(Makassar) dan siri’. Pangngaderreng sebagai suatu ikatan untuk sistem nilai
yang memberikan acuan bagi hidup bermasyarakat orang Bugis Makassar serta
siri’ sebagai sikap hidup yang sangat mementingkan harga diri. Konsep
pangngaderreng telah menjadi landasan kebudayaan yang mengikat dari dua suku
bangsa tersebut. Pangngaderreng sebagai suatu sistem nilai bertujuan menjaga
martabat manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Akan
tetapi pangngaderreng yang utuh dan lengkap itu bila tidak di dukung oleh suatu
sikap hidup yang mensakralkannya akan merupakan suatu sistem nilai yang rapuh
kedudukannya (Sajogyo, 2002). Apa yang terjadi ialah terbentuknya suatu
pandangan yang menganggap pangngaderreng itu begitu penting, begitu suci,
hingga bila tidak ada pangngaderreng, hidup ini tidak cukup berharga untuk
dijalani.
130

Etika pergaulan yang dilandasi norma dan nilai budaya masyarakat


berdasarkan konsep pangngaderreng diharapkan tercermin dalam pergaulan
kehidupan sosial, seperti antara lain; (a) menumbuhkan sikap saling membantu
dalam memajukan usaha, baik usaha pribadi, keluarga maupun kelompok (b)
sikap kebersamaan dalam melaksanakan kegiatan, (c) memelihara kejujuran
dalam berkomunikasi maupun dalam bertindak, (d) saling menghargai perbedaan
pendapat, saling mematuhi keputusan bersama, (e) menumbuhkan kekerabatan
dan solidaritas dan saling menasehati jika terjadi pelanggaran etika budaya, (f)
saling menjaga harga diri dan kualitas pribadi, dan (g) saling mengendalikan diri
dalam mengatasi masalah. Semua rambu-rambu pergaulan hidup tersebut
merupakan suatu norma dan nilai yang diwajibkan dan dibenarkan melekat dalam
kehidupan budaya bugis makassar. Bagi orang yang menjunjung tinggi norma dan
nilai kehidupan tersebut dihormati dan dijunjung tinggi, dan bagi orang desa/kota
atau tani yang berani melanggar norma tersebut akan memperoleh ejekan dan
sesalan dari kerabat dan teman-teman lainnya.

Norma dan Nilai Budaya

Secara umum kecenderungan unsur norma dan nilai budaya di dua lokasi
penyebarannya berada pada kategori rendah yakni 54,2 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa patokan tingkah laku yang ditekankan dalam pergaulan
hidup masyarakat petani seperti ciri kekerabatan, kekeluargaan, kejujuran,
kompromi dalam perbedaan pendapat, pengendalian diri dalam penyelesaian
masalah serta nilai-nilai kebersamaan, mengindikasikan adanya pergeseran sistem
nilai ke sistem nilai formalistik tanpa hubungan pribadi (formalistic
impersonality), artinya sikap dalam berusaha, berkelompok maupun dalam
bermasyarakat telah diwarnai oleh fenomena sosial yang dilandasi oleh sikap
individualistik, sikap persaingan, dan sikap rasionilitas antara individu, dan
keluarga petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Tohir (1991), menyebut
fenomena ini sebagai kesulitan-kesulitan yang nyata-nyata dialami oleh petani-
petani kita dalam masa transisi khususnya dalam bidang pengelolaan usaha tani.
Diungkapkan, perasaan dan ikatan kekeluargaan makin menipis, karena makin
berkembangnya sifat individualisme. Lembaga-lembaga sosial budaya seperti
131

gotong royong mulai berubah bentuk di ssmana segala sesuatunya sudah dihitung
dalam kesatuan uang/barang. Jiwa kebendaan atau material mulai menggantikan
jiwa sosial budaya dan perubahan dalam penguasaan usahatani. Dengan masuknya
faktor-faktor ekonomis maka kecenderungan kehidupan petani di pedesaan sudah
lebih banyak menghitung jerih payah dan hasil usahanya secara ekonomis.
Fenomena persaingan individu dan antar keluarga, kerabat maupun sesama
anggota kelompok di lokasi penelitian terutama di Kabupaten Gowa terekam
dalam penelitian ini. Persaingan tersebut dipicu oleh masalah penguasaan tanah,
masalah kedudukan antara yang muda dan yang tua, masalah keluarga, masalah
perkawinan dan lain sebagainya. Fenomena sosial yang mulai nampak ini secara
langsung dapat mewarnai aktifitas kelompok maupun aktifitas bermasyarakat, dan
memungkinkan melahirkan kerenggangan sosial yang tidak diharapkan dimasa
datang. Meskipun demikian fenomena pergeseran norma dan nilai budaya secara
umum akan berdampak pada dua sisi yakni dapat menjadi hambatan jika sikap-
sikap positif individu dalam kelompok berubah menjadi sikap yang
individualistik, kurang toleran, senang dengan pendapat sendiri, namun disisi lain
dampak dari pergeseran norma tersebut dapat menumbuhkan sikap efisiensi, dan
sikap rasional untung rugi dalam berusaha.
Unsur norma dan nilai budaya mencapai persentase tertinggi di
Kabupaten Enrekang lebih disebabkan oleh masih kuatnya kekerabatan dan
solidaritas dalam kelompok yang dimotivasi oleh kemajuan usaha dengan
tingginya produktivitas usahatani sayuran yang diperoleh. Fenomena ini
kemungkinan disebabkan karena keterjauhan jarak wilayah dari keragaman
budaya kota, kondisi lingkungan alam, pandangan hidup, adat istiadat, pandangan
mengenai ekonomi serta sifat dan akhlak jiwa dari masyarakatnya. Fenomena ini
tercermin dalam kehidupan petani di Kabupaten Enrekang tersebut.
Petani di Kabupaten Gowa khususnya yang bermukim di Kecamatan
Barombong lebih dekat dengan pergaulan masyarakat perkotaan. Dengan jarak
sekitar 30 km dari Kota Makassar memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang
lebih mengarah kebudaya kehidupan perkotaan. Implikasi terhadap kelompok
terlihat dari sikap pengurus kelompok yang kurang merealisasi program kegiatan
kelompok yang telah disepakati dalam pertemuan bulanan. Di samping itu faktor
132

produktivitas, kondisi alam, pandangan hidup, adat istiadat dan kelembagaan adat
yang telah lama ada sebagai warisan masa lampau merupakan fenomena sosial di
lokasi ini. Sebagai wilayah pemerintahan yang pernah dikuasai oleh pemerintahan
raja-raja dahulu seperti kerajaan Sultan Hasanuddin Mallombassang Daeng
Mattawang, maka masyarakat petani di daerah ini cenderung lebih memiliki
kedekatan dengan tokoh informal dalam pengambilan keputusan dari pada
pemimpin atau pengurus kelompok. Hal ini memerlukan kajian tersendiri dalam
penelitian lainnya.

Peran Tokoh Informal

Peran tokoh informal di lokasi penelitian seperti yang ditampilkan pada


Tabel 26 penyebarannya hampir merata antara persentase kategori rendah dan
tinggi, yakni 50,8 persen responden dengan kategori rendah dan 49,2 persen
responden dengan kategori tinggi. Sebagai wilayah pedesaan yang berbasis
pertanian, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Enrekang masih menempatkan peran
tokoh informal sebagai figur yang penting dalam pengendalian kehidupan di
pedesaan. Yang dimaksud dengan tokoh informal dalam penelitian ini adalah
pemuka adat, pemuka agama, petani maju, pengusaha maju, tokoh pendidik dan
tokoh masyarakat lainnya. Mereka ini adalah tokoh yang dihormati dalam
masyarakat dan berpengaruh serta diakui sebagai pemimpin kelompok atau
golongan tertentu oleh masyarakat desa.
Peran tokoh informal di dua lokasi tidak berbeda nyata. Artinya baik di
Kabupaten Gowa maupun di Kabupaten Enrekang keberadaan tokoh informal
sama-sama memiliki peran dan pengaruh yang penting dalam menggerakkan
pembangunan terutama dalam mempengaruhi sikap dan perilaku petani. Peran
tokoh informal memiliki keterkaitan dengan kondisi spesifik kehidupan sosial
budaya masyarakatnya. Hasil uji korelasi Kendall memperlihatkan bahwa peubah
peran tokoh informal memiliki hubungan positif dan nyata dengan peubah norma
dan nilai budaya (t=0,216 α=0,01). Dengan arti lain bahwa kehidupan dalam
lingkungan sosial di pedesaan tidak terlepas dari pengendalian serta kharisma
seorang tokoh informal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ginting (1999)
yang menyatakan bahwa pemimpin informal karena kharisma yang dimilikinya
133

sering didatangi warga desa untuk meminta nasehat serta saran dalam
memecahkan masalah-masalah pertanian di pedesaan.
Peran tokoh informal di dua lokasi secara umum telah menunjukkan
aktivitasnya mulai dari kehadiran dalam pertemuan kelompok tani, kunjungan
kekelompok tani, memotivasi dan menasehati anggota kelompok, membantu
kelompok serta mendapat respon balik dari anggota/petani dalam bentuk loyalitas
dan kepatuhan petani terhadap tokoh informal. Di Kabupaten Gowa, khususnya di
dataran tinggi Malino Kecamatan Tinggi Moncong, kepekaan tokoh adat
terhadap permasalahan petani adalah cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
intensitas kehadiran tokoh adat tersebut dalam pertemuan informal dengan
pengurus dan anggota kelompok tani. Hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan dalam bercocok tanam serta masalah pemeliharaan tanaman senantiasa
melibatkan keberadaan tokoh informal. Kepatuhan petani berkaitan pula dengan
penguasaan lahan yang dimiliki. Pada umumnya penguasaan lahan pertanian lebih
dari 5 ha merupakan lahan dari keluarga tokoh adat. Di seluruh wilayah dataran
tinggi Kabupaten Gowa yang luas wilayahnya 72 persen dari luas wilayah
kabupaten, peran tokoh informal khususnya tokoh adat lebih dihormati dan
mempunyai daya kharismatik yang lebih tinggi. Keluarga turunan dari raja-raja
terdahulu sangat berpengaruh, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
pemerintahan. Berdasarkan informasi tokoh masyarakat di lokasi penelitian
bahwa secara historis keturunan raja di dataran tinggilah yang seharusnya
mengendalikan pemerintahan di Kabupaten Gowa. Demikian besar pengaruh
tokoh informal tersebut sehingga kehadiran tokoh informal dalam pertemuan
kelompok diidentikkan dengan keaktifan anggota kelompok. Di wilayah dataran
rendah Kecamatan Barombong Gowa, tokoh informal di dominasi oleh pemuka
agama, guru dan tokoh masyarakat lainnya.
Di Kabupaten Enrekang tokoh informal di dominasi oleh tokoh agama,
pengusaha maju, dan tokoh pendidik. Pengambilan keputusan petani dalam
bercocok tanam tidak lagi didominasi oleh tokoh adat tapi mulai bergeser dengan
menerima informasi-informasi baru dari tokoh informal lainnya dan aparat
pemerintahan desa, petani maju dan para penyuluh pertanian. Keterhubungan
dengan tokoh adat atau keluarga bangsawan masih terjalin kuat di beberapa desa
134

sekitarnya seperti Desa Bungin yang masih mengaitkan waktu mulai bertanam
dengan pendapat tokoh adat. Keterjalinan itupun tetap terpelihara pada acara-
acara perkawinan. Dengan demikian peran tokoh informal dalam pembangunan
pertanian di dua lokasi disatu sisi masih berpengaruh kuat dan di sisi lain
menunjukkan adanya fenomena pergeseran pengaruh ketokoh informal lain yang
memiliki keterhubungan dengan media massa dan agen pembaharu berdasarkan
perkembangan sosial yang semakin dinamis. Dalam kaitan itu, Rogers (1983)
menyatakan bahwa pemimpin informal lain yang dapat mempengaruhi warga desa
adalah yang banyak berhubungan dengan media massa, kosmopolit, sering
berhubungan dengan agen pembaharu, partisipasi sosialnya besar, status sosial
ekonominya tinggi dan lebih inovatif dibanding dengan pengikutnya.

Akses pada Informasi

Bagi petani mengakses informasi dari berbagai sumber akan membuka


wawasan dan membangkitkan motivasi dan kinerja berdasarkan ide-ide baru yang
diperoleh. Dalam praktek pertanian, informasi sangat penting untuk pengenalan
pengetahuan dan keterampilan baru, metode-metode baru, teknologi produksi baru
dan kelancaran pemasaran hasil produksi (van den Ban dan Hawkins, 1999).
Sebagaimana terlihat dalam Tabel 27 secara umum akses petani pada
informasi menunjukkan adanya keseimbangan antara kategori rendah dan tinggi
yakni 50 persen responden dengan kategori rendah dan 50 persen responden
dengan ketegori tinggi. Artinya setengah responden petani dari dua lokasi dapat
memperoleh/mengakses informasi yang dibutuhkan dan sebagian lagi kurang
memperolehnya secara maksimal.
Dua dari tiga unsur dalam mengakses informasi yakni unsur relevansi
informasi dan akurasi informasi masing-masing berada pada kategori rendah,
sedangkan unsur ketepatan waktu informasi menunjukkan keseimbangan antara
kategori rendah dan tinggi. Dilihat perlokasi sebanyak 55,8 persen responden di
Kabupaten Gowa mengakses informasi dengan kategori tinggi dan 44,8 persen
responden di Kabupaten Enrekang mengakses informasi dengan kategori tinggi.
135

Tabel 27. Sebaran Responden menurut Akses pada Informasi


Unsur Kabupaten Total
Rataan
Akses Pada Kriteria Gowa Enrekang
Skor
Informasi n % n % n %

Rendah 60 50,0 71 59,2 131 54,6


Relevansi
28 Tinggi 60 50,0 49 40,8 109 45,4
Informasi
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 74 61,7 81 67,5 155 64,6
Akurasi
Informasi 27 Tinggi 46 38,3 39 32,5 85 35,4
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0

Ketepatan Rendah 55 45,9 65 54,1 120 50,0


Waktu 26 Tinggi 65 54,1 55 45,9 120 50,0
Informasi
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 53 44,2 67 55,8 120 50,0
Akses Pada
Informasi 27 Tinggi 67 55,8 53 44,2 120 50,0
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Sumber: Data Primer, diolah, 2007
Rendah (Rataan 1 – 30) = Kurang mengakses Tinggi ( Rataan >30) = Mengakses
Uji Mann-Whitney, tidak berbeda nyata antara dua lokasi, α= 0,05

Tidak ada perbedaan dalam mengakses informasi diantara dua lokasi


(α=0,05). Artinya kegiatan petani mengakses jenis informasi di dua lokasi
menunjukkan adanya keseragaman jenis. Meskipun jenis informasi yang
dibutuhkan cenderung tidak berbeda, namun kemampuan petani untuk
memperolehnya ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Ahmad dan Batinggi
(1984), kemampuan seseorang mendapatkan dan menyerap informasi ditentukan
antara lain oleh faktor pendidikan, kesempatan (waktu), jarak domisili dari
sumber informasi dan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Dilokasi penelitian
peubah akses pada informasi berhubungan positif dan nyata dengan peubah
tingkat pendidikan formal petani (r=0,157 α=0,05). Artinya jika pendidikan
formal petani dapat dikembangkan maka kemampuan mengakses informasi akan
semakin baik dan sebaliknya jika pendidikan formal petani kurang dikembangkan
maka kemampuan mengakses informasi juga akan rendah.
136

Relevansi Informasi

Jenis informasi yang diharapkan petani adalah informasi yang relevan


dengan usahataninya. Berdasarkan data dalam Tabel 27 sebanyak 54,6 persen
responden di dua lokasi mengakses informasi yang relevan dengan kategori
rendah. Dengan kata lain kurang memperoleh informasi sesuai yang diharapkan.
Jenis informasi yang diharapkan petani antara lain adalah; (1) informasi
pengetahuan dan keterampilan usahatani, (2) informasi harga produk usahatani,
(3) informasi keberhasilan petani lain, (4) informasi harga sarana produksi, (5)
informasi tentang pelatihan usaha, (6) informasi permodalan, dan (7) informasi
peralatan teknis usahatani.
Kesulitan sebagian petani mengakses informasi yang bernuansa
pembangunan pertanian dan pedesaan selain karena keterbatasan kemampuan
petani dalam pengadaan media komunikasi seperti surat kabar, majalah dan
televisi, juga karena arus komunikasi dari media, kurang mempublikasikan
masalah-masalah pembangunan pertanian yang dibutuhkan petani. Dalam
mengakses informasi yang relevan dengan kebutuhan petani, sebagian responden
di dua lokasi memperoleh informasi melalui kontak langsung dengan berbagai
sumber yakni dari para penyuluh, tokoh informal, tokoh formal (aparat desa dan
camat), keluarga, dan tetangga. Sebagian lagi mengakses dari media massa
(radio, tv, surat kabar, dan sumber lainnya). Peubah akses informasi mempunyai
hubungan yang positif dan nyata dengan peubah peranan tokoh informal (r=0,743
α=0.01). Hal ini berarti bahwa tokoh informal menjadi salah satu saluran
komunikasi dalam mengakses informasi.
Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini
peranan media massa dalam penyebaran informasi sangat membantu khususnya
radio dan televisi. Meskipun demikian pesan informasi yang disampaikan lebih
tanggap terhadap masalah-masalah industri alat pertanian, pejabat-pejabat
pemerintah di bidang pertanian, dan para pembeli produksi tani dari pada terhadap
para produsennya sendiri (Depari dan Mac Andrews, 2006).
Di Sulawesi Selatan informasi radio RRI sangat akrab dengan pemirsa di
kawasan pedesaan Indonesia Timur (Depari dan Mac Andrews, 2006). Informasi
masalah pembangunan pertanian terpublikasi lewat siaran pedesaan yang
137

disiarkan dalam Programa I (regional) RRI Nusantara IV Makassar. Realisasi jam


siaran yang telah disiarkan selama tahun 2004 sebanyak 315 jam atau 4,53 persen
dari total jam siaran. Alokasi jumlah jam siaran pedesaan tersebut masih tergolong
kecil dibandingkan dengan porsi waktu untuk jenis siaran warta berita 1.056 jam,
siaran peristiwa hangat 108 jam dan siaran penerangan umum sebanyak 576 jam.
Jangkauan informasi pembangunan pedesaan melalui radio diperoleh
setiap pagi pukul 7.15 wita dan dimalam hari lewat siaran iklan tentang
pembangunan pedesaan dan iklan tentang tanaman sayuran serta tanaman
perkebunan. Minimnya waktu untuk siaran pembangunan pertanian dan pedesaan
tersebut akan menentukan besar kecilnya pemirsa yang mendengarkannya.
Kemampuan petani di lokasi penelitian dalam mengakses informasi mayoritas
melalui radio dari pada melalui media televisi dan surat kabar. Keterbatasan
membaca informasi/berita melalui surat kabar selain karena masalah biaya atau
iuran bulanan, juga karena terbatasnya jumlah oplah surat kabar yang terbit dan
beredar di daerah pedesaan Sulawesi Selatan.
Jumlah surat kabar yang terbit dan beredar di Sulawesi Selatan sebanyak 8
surat kabar harian dengan jumlah oplah sebanyak 139.025 eksampler, 14 harian
mingguan dengan jumlah oplah sebanyak 30.000 eksampler dan 2 harian bulanan
dengan jumlah oplah sebanyak 250 eksampler. Persentase informasi/berita tentang
pembangunan pertanian yang dipublikasikan jumlahnya tidak menentu dan belum
ditetapkan, melainkan tergantung urgensi dan aktualisasi informasi dari berita
tersebut (BPS Provinsi Sulawesi Selatan, 2005)
Di Sulawesi Selatan jumlah penduduk perkotaan dan pedesaan berusia 10
tahun keatas yang mendengar radio sebanyak 50,96 persen, menonton TV
sebanyak 67,66 persen, mengakses situs internet sebanyak 0,66 persen, dan
membaca selama seminggu untuk jenis surat kabar sebanyak 34,35 persen. Radio
dan televisi merupakan media yang terbanyak di dengarkan dan ditonton
masyarakat di perkotaan dan pedesaan. Dibandingkan dengan Jawa Barat, jumlah
penduduk yang berkesempatan mendengarkan radio, menonton televisi,
mengakses internet serta membaca surat kabar masih lebih tinggi yakni 55,8
persen mendengarkan radio, 82,66 persen menonton TV, 0,79 persen mengakses
internet dan 42,67 persen membaca surat kabar (Susenas BPS, 2003). Kenyataan
138

tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya jumlah penduduk yang mendengar,


menonton dan membaca informasi merupakan indikator rendahnya aktivitas
petani mengakses informasi melalui media. Oleh karena itu, saluran komunikasi
lainnya melalui kontak personal dengan penyuluh, tokoh informal, tokoh formal,
teman/sahabat, dan tetangga baik di balai desa, Mesjid dan di tempat lainnya
menjadi sangat penting dalam membantu penyebaran informasi.

Akurasi Informasi

Pengalaman petani mendapatkan informasi yang relevan tetapi kurang


akurat menjadi kenyataan di lokasi penelitian. Berdasarkan data pada Tabel 27
terdahulu, sebanyak 64,6 persen responden dengan kategori rendah mengakui
kurang mendapatkan informasi yang akurat atau terpercaya sesuai dengan harapan
mereka. Informasi yang diperoleh dari media massa sering kurang sesuai dengan
kenyataan dilapangan. Jenis informasi yang sering kurang akurat antara lain
informasi harga pupuk, harga pestisida, kualitas varietas, informasi harga produk,
informasi jumlah produksi yang dibutuhkan pedagang, dan lain-lainnya.
Media massa seperti televisi, radio dan beberapa eksemplear surat kabar
telah menyebar sampai di wilayah pedesaan lokasi penelitian. Namun responden
menilai bahwa radio merupakan medium yang akrab bagi mereka dan menyiarkan
informasi yang dapat dipercaya melalui siaran pedesaan. Pada dasarnya petani
selalu mencari informasi akurat yang benar-benar bisa terbukti hasilnya.
Kesadaran dan minat menggunakan hal-hal baru berdasarkan informasi yang
diperoleh, akan tumbuh ketika hal-hal baru tersebut terbukti hasilnya dan
mendatangkan keuntungan bagi mereka. Seperti halnya petani kentang di
kabupaten Gowa, pengalaman mendapatkan informasi mengenai varietas kentang
yang unggul dengan produksi yang tinggi membuat petani bersemangat
menggarap kebun miliknya dan kebun di lahan-lahan yang satu tahun terakhir
kurang dimanfaatkan. Hal ini berarti bahwa informasi yang terbukti benar
menumbuhkan kesadaran dan semangat berusahatani. Hal itu berkaitan pula
dengan pengalaman keberhasilan suatu inovasi. Jika inovasi tersebut berhasil
maka petani mudah mempercayainya, tetapi jika gagal maka petani akan
menggunakan input dan cara lama sesuai kebiasaan yang pernah dilakukan.
139

Sebagian petani sayuran di Kabupaten Gowa, khususnya di Kecamatan


Barombong yang bersebelahan dengan Kota Makassar memiliki akses informasi
yang diharapkan dan lebih mudah terjangkau. Petani di Kabupaten Enrekang
selain mengakses informasi dari pos informasi tani di setiap desa, juga
memperoleh langsung dari para penyuluh dan tokoh masyarakat dan aparat
pemerintah (tokoh formal). Dengan demikian informasi yang akurat merupakan
syarat pokok yang menjamin kelangsungan usahatani, dan penyuluh dapat
berperan sebagai fasilitator yang membantu tersedianya akses informasi tersebut.

Ketepatan Waktu adanya Informasi

Ketepatan waktu mendapatkan informasi merupakan hal yang sangat


penting agar semua input dan kebutuhan usahatani yang diperlukan tersedia pada
waktu dan tempat yang tepat. Berdasarkan penelitian di dua lokasi (Tabel 27)
bahwa ketepatan waktu mendapatkan informasi yang dibutuhkan menunjukkan
adanya keseimbangan antara kategori rendah dan tinggi. Artinya sebagian
responden mengakui mendapatkan informasi tepat waktu saat dibutuhkan dan
sebagian responden tidak mendapatkan informasi pada waktu yang tepat.
Pada saat tertentu khususnya dimusim tanam, petani berkeinginan
mengakses informasi persediaan pupuk, obat pembunuh hama, benih yang baik
dan alat-alat pertanian yang sederhana agar mudah memperolehnya, namun untuk
memperoleh informasi tersebut harus menghubungi pedagang bahan-bahan
pertanian di Makassar. Konsekuensinya petani harus kehilangan waktu dan
mengeluarkan biaya transportasi tambahan.
Upaya pelayanan pemberian informasi yang tepat waktu kepada petani
diusahakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Enrekang melalui
pembangunan pusat informasi tani, namun usaha tersebut belum terwujud seiring
pembangunannya bersamaan dengan pembangunan terminal bisnis sayuran di
kecamatan Alla Kabupaten Enrekang. Sedangkan pelayanan informasi tani di
Kabupaten Gowa masih berpusat pada BPP kecamatan dan Balai Informasi
Penyuluhan Pertanian Tanaman Pangan dan Kehutanan (BIPPTPH) setempat..
Ditempat ini fasilitas pelayanan informasinyapun terbatas. Oleh sebab itu peranan
kelompok tani sebagai wadah memperlancar arus informasi menjadi sangat
140

penting ditengah permasalahan sulitnya sebagian petani mengakses informasi


yang dibutuhkan. Selain itu dukungan sarana telekomunikasi sangat diperlukan
terutama dalam memperlancar informasi antar kelompok. Masalahnya dalam
mengakses fasilitas komunikasi tersebut diperhadapkan dengan keterbatasan
petani mempersiapkan biaya untuk itu dan hal ini merupakan persoalan tambahan
bagi petani di tengah masih rendahnya pendapaan mereka.

Hubungan antara Dinamika Kelompok


dengan Produktivitas Kerja

Uji Rank Spearman tentang hubungan antara peubah dinamika kelompok


dengan peubah produktivitas kerja menunjukkan hubungan positif dan nyata
(r=0,607 α=0,01). Hal ini memperlihatkan bahwa semakin dinamis suatu
kelompok mengelola kegiatan usahatani maka produktivitas kerja petani semakin
baik. Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja petani khususnya usaha
tanaman sayuran, maka kelompok tani dapat berperan sebagai sarana penggerak
dan kerjasama masyarakat tani. Banyak hal dan permasalahan yang tidak dapat
diperhitungkan oleh para petani secara individual, maka kelompok tani dapat
berperan sebagai tempat untuk saling belajar dan berkonsultasi. Oleh karena itu
menurut Adjid (Suryana, Pakpahan dan Djauhari, 1990),. salah satu tujuan dan
fungsi kelompok tani adalah sebagai sarana yang menghasilkan terciptanya
kondisi sosial psikologis yang mendorong tumbuhnya kepekaan, prakarsa, daya
kreatif dan inovatif, motivasi, solidaritas, rasa tanggung jawab dan partisipasi dari
para anggota untuk menghadapi setiap permasalahan yang timbul dalam
penyelenggaraan usahatani.
Agar petani dapat meningkatkan produktivitas kerjanya, diperlukan
pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Oleh karena itu peran kelompok tani
selain merupakan sarana menggerakkan peningkatan produksi juga dapat
diarahkan untuk menjadi sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan
berusahatani. Pada dua lokasi penelitian rata-rata jumlah anggota kelompok tani
sebanyak 25 orang. Dengan jumlah anggota yang tidak terlalu besar, kelompok
tersebut memiliki keunggulan dalam kekentalan ikatan kelompok, dan dari sudut
pandang ilmu penyuluhan, pembelajaran petani dalam kelompok yang jumlah
141

anggotanya terbatas akan dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran dan


memacu kualitas diri untuk dikembangkan dan diarahkan untuk menjadi lebih
baik. Di dalam kelompok, petani dapat berkomunikasi tentang pengalaman
keberhasilan dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Pendekatan kelompok
sebagai salah satu pendekatan dalam penyuluhan, apabila berjalan dinamis akan
dapat mengembangkan perilaku yang lebih baik dan mengembangkan motivasi
petani untuk memperbaiki produktivitas kerjanya.
Produktivitas kerja petani di dua lokasi berjalan baik secara individu
maupun secara berkelompok. Di Kabupaten Enrekang yang memiliki struktur
kelompok dan fungsi tugas yang lebih dinamik, pekerjaan tani melibatkan anggota
kelompok dalam aktivitas tani. Kekentalan kerjasama ini dimotivasi oleh falsafah
hidup “resopa tumangingi naletei pammase dewata” artinya Tuhan akan
memberikan kasih sayangnya jika mau dan rajin bekerja.
Berkembangnya produktivitas kerja individu dapat dihargai sebagai
kemampuan bekerja secara mandiri untuk dapat menolong diri sendiri maupun
keluarga dan masyarakat (help people to help themselves). Di dalam ilmu
penyuluhan diterapkan prinsip-prinsip penghargaan terhadap entitas individu agar
seseorang terdidik bekerja secara mandiri untuk peningkatan kualitas diri sendiri
(Amanah, 2006)
Pentingnya pengembangan kemampuan individu sesuai dengan falsafah
penyuluhan yang dikemukakan oleh Asngari (2004) yakni: (1) falsafah demokrasi,
(2) falsafah individu, (3) falsafah membantu diri sendiri, (4) falsafah kerjasama,
dan (5) falsafah kontinyuitas. Berdasarkan falsafah tersebut maka peningkatan
produktivitas kerja petani dapat dicapai melalui proses belajar baik secara
individu maupun secara berkelompok.
Unsur kerjasama individu atau kelompok dengan kelompok produktif
lainnya merupakan hal penting dalam memacu produktivitas kerja. Slamet (2005)
menyatakan salah satu tujuan yang harus dicapai dalam kelompok adalah
terciptanya kerjasama/ interaksi anggota sehingga tujuan dapat dicapai. Meskipun
demikian hingga penelitian ini dilakukan belum ada satupun kelompok tani di
lokasi penelitian yang melakukan kerjasama secara formal dengan salah satu
142

industri pengolahan, padahal akses untuk itu terbuka lebar dan kurang
dimanfaatkan sehingga aktivitas ekonomi kelompok tani kurang berkembang.

Produktivitas Kerja Petani

Produktivitas kerja petani dikaji berdasarkan kinerja petani


mengembangkan usaha tanaman sayuran yang baik mulai dari aktivitas persiapan
lahan, penyemaian, penanaman, pemupukan, pemberantasan hama, penanganan
hasil dan pemasaran hasil produksi.
Tabel 28 memperlihatkan persentase responden berdasarkan unsur-unsur
dalam peubah produktivitas kerja di masing-masing lokasi penelitian. Tampak
bahwa petani sayuran di Kabupaten Enrekang memiliki tingkat produktivitas kerja
lebih baik dari Kabupaten Gowa. Indikator Produktivitas kerja yang tertinggi di
Kabupaten Enrekang adalah penyemaian, pemupukan dan penanganan hasil.
Sedangkan di Kabupaten Gowa adalah indikator penanganan hasil produksi.
Namun secara umum tingkat produktivitas kerja petani menunjukkan adanya
keseimbangan antara persentase kategori rendah dan tinggi.
Perbedaan tingkat produktivitas kerja petani sayuran di dua Kabupaten
memperlihatkan perbedaan yang nyata (α=0,05). Begitupun pada kegiatan
penyiapan lahan, penyemaian, penanaman, pemupukan, pemberantasan hama,
dan penanganan hasil. Pada aspek pemasaran menunjukkan tidak berbeda. Dari
hasil tersebut dijelaskan bahwa tingkat produktivitas kerja petani sayuran di kedua
lokasi mempunyai keragaman kinerja dalam mengaplikasi teknologi budi daya
berdasarkan kondisi dan potensi masing-masing wilayah yang meliputi kondisi
lahan, pengolahan lahan, cara penyemaian benih, cara dan waktu tanam,
pemberantasan hama, dan penanganan pasca panen, serta ketersediaan modal yang
dimiliki. Deskripsi data hasil penelitian peubah tingkat produktivitas ditampilkan
dalam Tabel 28.

Penyiapan Lahan

Lokasi lahan tanaman sayuran di dua kabupaten menunjukkan sebagai


lokasi yang cocok baik untuk sayuran komersial maupun untuk kebutuhan rumah
143

tangga, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Daerah penelitian telah
lama dikenal sebagai daerah pemasok sayuran diantara enam kabupaten sentra
sayuran di Sulawesi Selatan.

Tabel 28. Sebaran Responden menurut Produktivitas Kerja Petani


Unsur Kabupaten Total
Rataan
Produktivitas Kriteria Gowa Enrekang
Skor
Kerja n % n % n %

Rendah 69 57,5 56 46,6 125 52,0


Penyiapan
20 Tinggi 51 42,5 64 53,4 115 48,0
Lahan
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 89 74,2 42 35,0 131 54,6
Penyemaian
Benih 14 Tinggi 31 25,8 78 65,0 109 45,4
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 83 69,2 50 41,6 133 55,4
Penanaman 13 Tinggi 37 30,8 70 58,4 107 44,6
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 79 65,8 37 30,8 116 48,3
Pemupukan 14 Tinggi 41 34,2 83 69,2 124 51,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 78 65,0 69 57,5 147 61,3
Pemberantasan
Hama 14 Tinggi 42 35,0 51 42,5 93 38,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 51 42,5 41 34,2 92 38,3
Penanganan
Hasil 15 Tinggi 69 57,5 79 65,8 148 61,7
Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0
Rendah 73 60,9 49 40,8 122 50,8
Pemasaran 15 Tinggi 47 39,1 71 59,2 118 49,2
Jumlah 120 100,0 120 100,0 120 100,0
Rendah 68 56,7 54 45,0 122 50,8
Produktivitas
Kerja 15 Tinggi 52 43,3 66 55,0 118 49,2
Jumlah 120 100,0 120 100,0 120 100,0
Sumber : Data Primer diolah, 2007
Rendah (1 – 21) = Kurang dikembangkan Tinggi (Rataan > 21) = Dikembangkan
Uji One WayAnova terdapat perbedaan nyata di dua lokasi α=0,05 F. hit=16,185.
144

Lokasi dua kecamatan di Kabupaten Enrekang merupakan dataran tinggi


dengan ketinggian 3.500 m diatas permukaan laut dengan curah hujan sedang
(rata-rata tujuh bulan setahun) dan wilayah dataran tinggi Tinggi Moncong
Kabupaten Gowa dengan ketinggian 1.500 m diatas permukaan laut. Dengan
demikian dari unsur iklim (sinar matahari, ketinggian tempat dan curah hujan)
memungkinkan tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Demikian
pula dataran rendah di kecamatan Barombong yang beriklim basah ditunjang
dengan tersedianya irigasi.
Kegiatan pembersihan dan penggemburan lahan, pembuatan parit,
pembuatan bedengan dan pemberian pupuk kandang sebelum penanaman
menjadi kegiatan rutinitas petani. Petani yang memiliki lahan yang cukup luas
menggunakan jarak tanam yang lebih teratur sesuai jenis tanaman yang
diusahakan. Hanya masalahnya dalam pengolahan lahan, petani sayuran dataran
tinggi di Kabupaten Gowa sering mengeluhkan kurangnya ketersediaan tenaga
kerja dan ketersediaan pupuk kandang. Apalagi atas anjuran Departemen
Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Selatan melalui penyuluh untuk mengarah
kepertanian organik yang membutuhkan ketersediaan pupuk kandang yang lebih
banyak.
Untuk mendapatkan buruh tani yang pada waktu-waktu tertentu sangat
dibutuhkan merupakan kendala tersendiri mengingat mereka mencari nafkah
tambahan sebagai buruh bangunan, buruh pelabuhan di perkotaan. Padahal dalam
mengusahakan tanaman sayuran diperlukan tambahan tenaga kerja yang
jumlahnya tergantung dari jenis sayuran dan skala usaha. Petani di Kabupaten
Enrekang lebih beruntung dengan ketersediaan tenaga kerja dari pesisir daratan
Kabupaten Tator dan hanya sedikit yang tertarik dengan pekerjaan di sektor
informal di wilayah perkotaan. Ketersediaan pupuk kandang untuk mendukung
pertanian organik, sumbernya diperoleh dari usaha peternakan sapi dan kambing
yang cukup maju di daerah ini.

Penyemaian

Tanaman sayuran di dua lokasi sangat beragam, dengan demikian


penyemaian benih dari ukuran yang berbeda membutuhkan pula penanganan yang
145

berbeda seperti penyediaan lahan atau tempat penyemaian, media penyemaian,


dan teknik penyemaian. Secara umum petani di dua lokasi mengetahui dan
mampu membedakan jenis benih sayuran yang unggul (tidak cacat dan sehat).
Melalui ketua kelompok dan penyuluh petani sering mendapatkan informasi
tentang benih/bibit unggul (bersertifikat) yang diperoleh dari pengusaha maupun
dari balai benih. Namun sebagian besar atau 54,6 persen petani terkendala banyak
hal dalam mengadopsi benih unggul tersebut diantaranya keterbatasan biaya,
keyakinan untung rugi maupun faktor kebiasaan dalam menggunakan varietas
lama yang belum sepenuhnya ditinggalkan, seperti bibit kentang.
Di dataran rendah Kabupaten Gowa petani melakukan penanaman
langsung untuk tanaman kacang panjang, kangkung, bayam dan mentimun.
Dengan alasan faktor biaya, mayoritas petani di dua lokasi melakukan persemaian
secara sederhana dengan biaya dan peralatan yang murah. Di Kabupaten Enrekang
dengan bimbingan penyuluh petani dianjurkan mempersiapkan media persemaian
cara dikukus dan teknik persemaian yang lebih baik khususnya untuk jenis
tanaman cabe, kubis dan tomat. Namun dengan alasan prosesnya yang lama dan
ketersediaan tempat, maka hal tersebut kurang dilakukan oleh petani. Padahal
dengan teknik penyemaian yang baik dan benar akan menentukan tingkat
keberhasilan benih menjadi bibit yang sehat dan bermutu.

Penanaman

Penanaman yang merupakan proses pemindahan bibit tanaman setelah


penyemaian, secara umum dilakukan petani dengan baik agar bibit tidak rusak. Di
Kecamatan Barombong Gowa dengan dukungan irigasi cukup membantu
persediaan air yang mengakibatkan tanah kebun garapan tidak mudah kering
sehingga tingkat kerusakan bibit dapat teratasi. Peran Petani Pengumpul dan
Penggunna Air (P3A) mampu membantu mengatur pendistribusian air dari
saluran irigasi ke kebun petani.
Di dataran tinggi Tinggi Moncong kelompok tani membuat kolam-kolam
penampungan air yang digunakan selain untuk penyiraman kebun juga untuk
budidaya ikan. Sedangkan di Kabupaten Enrekang dengan kondisi lahan yang
beriklim basah merupakan kelebihan tersendiri dimana ancaman kekeringan tidak
146

mengkhawatirkan proses penanaman. Sebagian besar petani kentang, kubis


bawang merah dan bawang putih menggunakan sistem tanam sayur monokultur.
Demikian pula petani bayam, kangkung, kacang panjang di Kabupaten Gowa,
walupun dengan luas lahan yang sempit sebagian besar menggunakan sistem
monokultur dengan pertimbangan menghindari kesulitan dalam pemeliharaannya.

Pemupukan

Secara umum aplikasi pemupukan di dua lokasi berada pada kategori


tinggi yakni 51,7 persen responden (Tabel 28). Pupuk organik yang digunakan
petani mudah diperoleh sumberya. Di Kabupaten Enrekang ketersediaan pupuk
kandang dari kotoran hewan merupakan imbas dari usaha peternakan sapi dan
kambing . Di daerah ini populasi ternak sapi menunjukkan trend yang meningkat
dari tahun ketahun. Jika pada tahun 2004 populasi sapi sebanyak 32.969 ekor,
maka pada tahun 2005 meningkat menjadi 36.281 ekor. Demikian pula populasi
kambing mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Sedangkan untuk ternak
kerbau menunjukkan trend yang menurun selama tiga tahun terakhir dari 5.380
ekor menjadi 2.900 ekor. Hal ini berarti bahwa sumber untuk pengolahan pupuk
organik di daerah ini cukup menguntungkan bagi usaha tanaman sayuran, dan
terbukti dimana produksi sayuran di daerah ini tergolong tinggi.
Di Kabupaten Gowa sumber pupuk kandang di peroleh dari kotoran ayam
yang dipelihara petani sayuran dataran rendah disekitar lahan tanaman.
Pemanfaatan pupuk buatan (Urea, TSP, KCI dan ZA) digunakan dengan dosis
yang rendah berdasarkan modal usaha yang dimiliki petani. Kecenderungan
pemakaian pupuk buatan yang kurang tepat jumlah dosis dan tepat waktu
menunjukkan kekurang berdayaan petani dari sisi modal dan dengan sendirinya
akan menurunkan kualitas tanaman.
Pemupukan yang merupakan penambahan unsur hara kedalam tanah atau
disemprotkan pada tanaman akan meningkatkan kualitas pertumbuhan vegetatif
dan generatif tanaman secara baik. Oleh sebab itu upaya meningkatkan
keberdayaan pengetahuan petani melalui penyuluhan dan peningkatan kreatifitas
yang mendorong kemampuan ekonomi merupakan hal penting. Dilokasi
147

penelitian terdapat sumber daya lainnya yang mendukung pengadaan pupuk


organik seperti sisa tanaman (pupuk hijau), kompos, abu tanam, bungkil dan lain-
lainnya yang belum tergarap dan membutuhkan sentuhan penyuluhan yang lebih
intensif.

Pemberantasan Hama

Kerusakan tanaman sayuran akibat serangan hama dan penyakit


merupakan salah satu faktor menurunnya produksi sayuran tahun 2004/2005 di
Sulawesi Selatan. Jenis hama yang sering menyerang tanaman sayuran dataran
rendah di Kabupaten Gowa adalah serangga, kutu dan bekicot. Penularan virus
berasal dari serangga dan pengairan. Sedangkan di Kabupaten Enrekang jenis
hama yang sering dikeluhkan petani adalah ulat daun untuk tanaman kubis, ulat
dan serangga yang menimbulkan buah busuk dan batang tanaman menjadi layu
untuk tanaman kentang. Cara pemberantasan hama dan penyakit, mayoritas
dilakukan dengan pestisida (infektisida, fungisida).
Petani berupaya menggunakan pestisida dengan dosis yang tepat sesuai
jenis hama penyakit (informasi hasil wawancara dengan penyuluh). Kemudian
para penyuluh telah menganjurkan pula pengendalian hama secara fisik/mekanik
dengan cara mengatur faktor-faktor pisik seperti kelembaban, peredaran udara
atau dengan cara biologi dengan menggunakan parasit atau predator. Bahkan tim
peneliti dari Perguruan Tinggi yang sering meneliti di Kabupaten Enrekang
datang mensosialisasikan hasil penelitiannya, namun hasilnya belum sepenuhnya
mampu di aplikasikan oleh petani. Oleh sebab itu, upaya-upaya penyuluhan masih
perlu terus dilakukan agar pengetahuan dan keterampilan petani dapat
ditingkatkan baik dengan pendekatan individu maupun kelompok. Demikian pula
penyuluh dan peneliti harus mampu bekerjasama, saling berkomunikasi, saling
pengertian, saling membutuhkan dan saling mempercayai satu sama lain untuk
membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi petani.

Penanganan Hasil

Penanganan hasil adalah kegiatan pasca panen dimana sayuran yang telah
dipanen tetap baik mutunya, lebih menarik warna, rasa atau aroma, memenuhi
148

standar perdagangan, terjamin untuk dijadikan bahan baku oleh para konsumen
serta dapat dipasarkan dengan kualitas yang tetap terjamin (Rahardi, Rony
Palungkun dan Asiani Budiarti, 2004).
Aktivitas penanganan hasil produksi di dua lokasi penelitian berada pada
persentase dengan kategori tinggi yakni 61,7 persen responden (Tabel 28).
Kegiatan penanganan hasil dalam penelitian ini dilihat dari aspek pengangkutan,
penyimpanan, pengemasan, pengolahan, pengawetan dan pengalengan hasil
produksi. Di Kabupaten Enrekang penanganan hasil produksi hanya sebatas
pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan. Sedangkan kegiatan pengolahan,
pengawetan dan pengalengan belum dilakukan oleh petani maupun kelompok
tani. Kemudian di Kabupaten Gowa penanganan hasil hanya sampai
pengangkutan dan penyimpanan. Pengangkutan hasil panen dari lahan/kebun
ketempat penyimpanan di dukung oleh ketersediaan sarana angkutan (mobil) yang
cukup lancar. Sebagian petani menggunakan gerobak dorong hingga ketempat
penampungan. Di lokasi penelitian belum menggunakan teknologi penyimpanan
dengan cara pendinginan, karena pada umumnya setelah di panen langsung
dikemas lalu segera diangkut keterminal truk angkutan untuk segera dibawa
keluar daerah maupun provinsi melalui pelabuhan laut Kabupaten Mamuju dan
Pare-Pare.
Cara pengemasan menggunakan karung plastik dan keranjang dalam
bentuk yang transparan. Dari sudut kesehatan, pengamanan pembuatan kemasan
belum tersentuh oleh penjaminan sanitasi dan syarat-syarat kesehatan karena pada
umumnya dibuat secara mudah dengan biaya yang rendah. Demikian pula petani
dataran tinggi Kabupaten Gowa, cara pengemasan masih tergolong sederhana dan
tradisional dengan menggunakan peti kayu. Pengangkutan dari Desa Malino ke
pelabuhan laut harus ditempuh dengan jarak yang cukup jauh dan berdampak
lamanya waktu perjalanan serta dapat menurunkan kualitas sayuran itu sendiri.
Pengemasan dengan cara yang lebih baik dilakukan ketika pembelian
dilakukan oleh pihak industri pengolahan sayuran, restoran dan swalayan. Jenis
bahan pengemasan disiapkan langsung oleh pihak industri dengan menggunakan
kotak plastik dan lembaran plastik. Seyogyanya di lokasi inipun dapat dibangun
149

industri pembuatan bahan pengemasan yang dapat lebih mempermudah akses


petani mendapatkannya dan sekaligus memperbanyak penyerapan tenaga kerja.

Pemasaran

Konsumen pasar sayuran untuk daerah dataran tinggi Kabupaten Enrekang


dan Kabupaten Gowa mayoritas berada di luar daerah dan wilayah propinsi luar
Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk jenis sayuran dataran rendah dikonsumsi oleh
konsumen lokal yang dijual secara eceran kepasar-pasar tradisionil. Konsumen
selalu menghendaki sayuran dalam keadaan segar, dan hal ini menjadi tantangan
berat bagi petani maupun pedagang pengumpul.
Sayuran dalam jumlah besar pada umumnya dijual kepedagang
pengumpul, pemborong maupun tengkulak. Untuk ke swalayan di jemput sendiri
oleh pihak industri dan sebagian lagi diantar langsung oleh pengusaha atau
pemborong. Kelompok tani di lokasi penelitian kurang mampu memfasilitasi
kegiatan usaha pemasaran secara baik dan melindungi petani dari kesewenang-
wenangan pengusaha dalam patokan harga. Hal ini berarti bahwa kelompok tani
di lokasi penelitian kurang mampu menyerap keuntungan ekonomis dalam
memanfaatkan usaha anggota. Oleh sebab itu, untuk mengatasi keterbatasan dari
kelompok tani tersebut diperlukan penguatan penyuluhan atau pelatihan agribisnis
serta kerjasama dan kordinasi dari gabungan kelompok tani (Gapoktan).
Kelompok tani sebaiknya berusaha berdasarkan prinsip agribisnis dan memiliki
badan usaha secara formal serta mempunyai orientasi pengembangan usaha
ekonomi yang lebih maju.

Hubungan antar Peubah Bebas

Berdasarkan hasil uji Rank Spearman sebagaimana yang disajikan pada


Tabel 29 menunjukkan bahwa peubah karakteristik individu yakni umur petani
berkorelasi positif dan nyata dengan kepribadian petani. Hal ini berarti, dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan kepribadian petani.
150

Tabel 29. Koefisien Korelasi Rank Spearman untuk Hubungan antar Peubah
Bebas

Pend. Pengal. Akses


Pola Keprib. Lingk.
Umur Formal Usaha Pada
Peubah Pembedy. Petani Sosial
(X1.1) (X1.2) Tani Informasi
(X2) (X3) (X4)
(X1.3) (X5)
Umur 1 -0,338** 0,571** -0,008 0,134* 0,016 0,084
(X1.1)
Pendi.
Formal 1 -0,283** 0,046 -0,072 0,173** 0,157*
(X1.2)
Pengal.
Usahatani 1 -0,109 -0,002 -0,160* -0,127*
(X1.3)
Pola
Pemberdy 1 0,608**
0,539**
0,571**
(X2)
Kepribd.
Petani 1
0,493**
0,463**
(X3)
Lingk
Sosial 1 0,730**
(X4)
Akses
Pada 1
Informasi
(X5)
Keterangan : ** nyata pada α = 0,01 * nyata pada α = 0,05

Peubah tingkat pendidikan formal berkorelasi positif dan nyata dengan


lingkungan sosial dan akses pada informasi. Hal ini berarti faktor pendidikan
dapat bermanfaat pada penciptaan lingkungan sosial yang lebih dinamis dan
kemampuan mengakses informasi yang dibutuhkan. Peubah pengalaman usaha
tani berkorelasi negatif dengan lingkungan sosial dan akses pada informasi.
Terdapat pula hubungan yang positif dan nyata antara pola pemberdayaan
dengan kepribadian petani, dengan lingkungan sosial, dan dengan akses pada
informasi. Hal ini berarti bahwa jika aktifitas pemberdayaan yang bertujuan
mengembangkan kemampuan usaha, jaringan kerja dan pelatihan berlangsung
dalam intensitas yang tinggi maka akan diikuti pula dengan berkembangnya
kepribadian petani dan meningkatnya kedinamisan lingkungan sosial sekitarnya.
Kemudian dengan semakin baiknya intensitas kegiatan pemberdayaan maka akan
semakin baik pula intensitas petani mengakses informasi usahatani yang
151

dibutuhkan. Kepribadian petani berkorelasi positif dengan lingkungan sosial


(r=0,493) dan dengan akses pada informasi (r= 0,463). Hal ini berarti bahwa
pengembangan kepribadian petani yang bertujuan meningkatkan semangat kerja,
percaya diri, keuletan dan kreatifitas dapat meningkatkan terciptanya lingkungan
sosial yang lebih dinamis yang didasari oleh nilai-nilai kebersamaan dan nilai
budaya lokal lainnya, dan semakin dinamis lingkungan sosial masyarakat maka
akan semakin mendorong petani mengakes informasi yang dibutuhkan .
Informasi merupakan sumber daya penting dalam pertanian modern.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kesempatan
kepada petani untuk memperoleh informasi teknis dan ekonomis dengan cepat dan
menggunakannya dengan efektif untuk pengambilan keputusan (van den Ban dan
Hawkins,1999). Akan tetapi, usaha-usaha memperkenalkan teknologi informasi
modern di sektor pertanian khususnya di wilayah Sulawesi Selatan masih kurang
dan masih kecil efeknya terhadap pengelolaan usaha tani. Petani lebih banyak
mendengarkan langsung perkembangan usaha pertanian melalui kontak langsung
dengan anggota kelompok tani lainnya atau melalui media radio. Meskipun
demikian fenomena ketertarikan petani mencari informasi dari berbagai sumber
baik secara individual maupun melalui kelompok tani semakin meningkat dan
perlu direspon dengan kebijakan pembangunan sarana pelayanan informasi
pertanian yang lebih efektif.

Hubungan antar Peubah Bebas dengan Dinamika Kelompok


dan Produktivitas Kerja Petani

Hasil analisis hubungan antar peubah bebas dengan dinamika kelompok


dan tingkat produktivitas kerja petani ditampilkan pada Tabel 30. Hasil analisis
uji korelasi Kendall’s Tau tersebut menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
(1) Karakteristik individu (umur dan pengalaman usahatani) berhubungan
negatif dengan dinamika kelompok dan produktivitas kerja petani. Artinya
semakin tinggi umur dan semakin lama pengalaman usahatani, maka
semakin menurun kemampuan mengembangkan kelompok dan
meningkatkan produktivitas kerja. Dengan kata lain bagi petani yang masih
berumur muda dengan pengalaman usaha yang belum terlalu lama memiliki
152

peluang dan semangat yang tinggi untuk mengelola kelompok kearah yang
lebih dinamik dan meningkatkan produktivitas kerja.
(2) Pola pemberdayaan (pengembangan kemampuan usaha, pengembangan
jaringan kerja dan pelatihan) berhubungan positif dan nyata dengan
dinamika kelompok dan produktivitas kerja petani. Artinya semakin sesuai
jenis kegiatan pemberdayaan petani dengan tujuan kelompok, maka kinerja
kelompok akan berkembang semakin baik dan produktivitas kerja petani
akan semakin meningkat
(3) Terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pengembangan kepribadian
petani dengan dinamika kelompok dan produktivitas kerja petani. Artinya
semakin baik pengembangan semangat kerja, percaya diri, keuletan dan
kreatifitas petani akan semakin baik pula kinerja kelompok dan tingkat
produktivitas kerja petani. Kepribadian yang baik merupakan modal sosial
dalam mencapai tujuan kelompok dan menjadi faktor motivasi dalam
meningkatkan keberhasilan kerja petani.
(4) Lingkungan sosial (norma dan nilai budaya serta peran tokoh informal)
berhubungan positif dan nyata dengan dinamika kelompok dan produktivitas
kerja petani. Artinya lingkungan sosial yang semakin dinamis akan
menjamin pula suasana pembinaan dan pengembangan kelompok serta
kekompakan dalam kelompok. Kegiatan kelompok harus berjalan dinamis
dalam lingkungan sosial yang didasari norma dan nilai-nilai budaya lokal
dan keterlibatan tokoh informal. Kemudian dalam lingkungan sosial yang
dinamis akan semakin mendorong peningkatan produktivitas kerja.
(5) Akses pada informasi berhubungan positif dan nyata dengan dinamika
kelompok dan produktivitas kerja petani. Artinya semakin relevan, akurat
dan tepat waktu dalam memperoleh informasi usaha, maka wawasan dan
kemampuan anggota kelompok dalam mengembangkan usaha akan semakin
baik dan produktivitas kerja akan semakin meningkat. Kelompok sebagai
wadah pertemuan antara anggota berfungsi memfasilitasi kebutuhan anggota
akan informasi khususnya informasi yang menambah pengetahuan dan
keterampilan baru yang dapat diakses baik melalui media maupun lewat
kontak personal.
153

Tabel 30. Hubungan antara Berbagai Indikator Peubah Bebas dengan Dinamika
Kelompok dan Produktivitas Kerja Petani

Koefisien Korelasi dengan


Kode Peubah Bebas Dinamika Produktivitas
Kelompok (Y1) Kerja Petani (Y2)

X1.1 Umur -0,151** -0,057


X1.2 Tingkat Pendidikan Formal 0,186** 0,044
X1.3 Pengalaman Usahatani -0,261** -0,173**
X2 Pola Pemberdayaan 0,457** 0,396**
X2.1 Pengemb. Kemampuan Usaha 0,467** 0,454**
X2.2 Pengemb.Jaringan Kerja 0,533** 0,433**
X2.3 Pelatihan 0,247** 0,123*
X3 Pengembangan Kepribadian 0,408** 0,436**
X3.1 Semangat Kerja 0,415** 0,409**
X3.2 Percaya Diri 0,314** 0,420**
X3.3 Keuletan 0,307** 0,287**
X3.4 Kreatifitas 0,438** 0,355**
X4 Lingkungan Sosial 0,494** 0,279**
X4.1 Norma dan Nilai Budaya 0,545** 0,438**
X4.2 Peran Tokoh Informal 0,403** 0,180**
X5 Akses Pada Informasi 0,464** 0,279**
X5.1 Relevansi Informasi 0,435** 0,259**
X5.2 Akurasi Informasi 0,403** 0,252**
X5.3 Tepat Waktu Adanya Informasi 0,435** 0,250**
Keterangan: ** nyata pada (α) = 0,01 * nyata pada (α) = 0,05

Berdasarkan hasil analisis hubungan tersebut dapat dikemukakan bahwa


peubah lingkungan sosial memiliki hubungan yang paling signifikan dengan
dinamika kelompok dengan nilai koefisien sebesar 0,494 dan peubah
pengembangan kepribadian memiliki hubungan yang paling signifikan dengan
tingkat produktivitas kerja petani dengan nilai koefisien sebesar 0,436.
Pengembangan aktivitas petani dalam kelompok dapat dilaksanakan
dengan memperhatikan norma-norma dan nilai budaya lokal dan sangat penting
untuk melibatkan peran tokoh informal yang masih cukup berpengaruh dalam
154

merencanakan, melaksanakan, dan memutuskan pengembangan usaha anggota


kelompok. Masyarakat petani di lokasi penelitian sebagai masyarakat pedesaan
masih memiliki kebergantungan dan kepatuhan terhadap norma dan nilai-nilai
budaya dan peran tokoh informal. Dengan demikian bentuk-bentuk kegiatan
pemberdayaan anggota kelompok dapat dirancang kearah penyesuaian dengan
kondisi lingkungan sosial yang ada. Demikian pula kualitas kepribadian petani
yang tercermin dari semangat kerja, percaya diri, keuletan dan kreatifitas akan
mampu meningkatkan produktivitas kerja petani jika di dukung oleh situasi dan
kondisi lingkungan sosial yang dinamis, sehingga pengembangan kepribadian dan
penciptaan kondisi lingkungan sosial menjadi penting dalam kajian penelitian ini.

Pengembangan Dinamika Kelompok

Hipotesis 1 menyatakan bahwa “pola pemberdayaan, ciri kepribadian,


lingkungan sosial dan akses pada informasi berhubungan nyata dengan dinamika
kelompok tani.” Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang ditampilkan pada
Tabel 31 menunjukkan bahwa pola pemberdayaan, kepribadian petani, lingkungan
sosial dan akses pada informasi berkorelasi positif dengan dinamika kelompok.
Dengan demikian Hipotesis 1 diterima.

Tabel 31. Nilai Koefisien Regresi dan Korelasi Peubah Bebas terhadap
Dinamika Kelompok (Y1)

Korelasi
Peubah Koefisien Regresi
Zero-order Parsial Part

Umur (X1.1) -0,127* -0,168 -0,176 -0,100


Tingkat Pendidikan (X1.2) 0,057 0,282 0,089 0,050
Pengalaman Usahatani (X1.3) -0,033 -0,286 -0,047 -0,026
Pola Pemberdayaan (X2) 0,184* 0,610 0,233 0,134
Kepribadian petani (X3) 0,098* 0,497 0,134 0,075
Lingkungan Sosial (X4) 0,499** 0,775 0,489 0,313
Akses Pada Informasi (X5) 0,139* 0,670 0,157 0,089
Keterangan : * nyata pada α = 0,05 ** nyata pada α = 0.01
155

Nilai koefisien regresi yang ditampilkan pada Tabel 31 menunjukkan


bahwa faktor pola pemberdayaan, kepribadian petani, lingkungan sosial dan akses
pada informasi berpengaruh positif terhadap dinamika kelompok. Salah satu
prediktor pada peubah karakteristik individu yang berpengaruh negatif terhadap
dinamika kelompok yakni faktor umur. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur
responden, maka kemampuan semakin menurun untuk mengembangkan dinamika
kelompok tani. Peubah yang tidak berpengaruh yaitu tingkat pendidikan dan
pengalaman usahatani. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin
lama pengalaman usahatani, maka akan semakin tidak berkontribusi dalam
menumbuhkan partisipasi dan motivasi responden dalam mengembangkan
kegiatan kelompok. Hal ini merupakan indikasi bahwa motivasi dalam
mengembangkan kelompok kurang didukung oleh kemampuan faktor internal
individu sehingga kesadaran berkelompok kurang tumbuh secara optimal.
Peubah pola pemberdayaan memiliki nilai koefisen regresi yang cukup
nyata dengan dinamika kelompok. Prediktor dalam peubah pola pemberdayaan
yang mempengaruhi dinamika kelompok adalah pengembangan jaringan kerja
dengan koefisien regresi sebesar 0,233. Hal ini berarti bahwa pengembangan
jaringan kerja, dapat ditingkatkan penerapannya dalam kelompok. Semakin sering
mengembangkan jaringan kerja khususnya jaringan pemasaran usaha dan jaringan
permodalan maka akan semakin meningkatkan kegiatan kerjasama kelompok
dengan pihak-pihak lain diluar kelompok. Peubah pengembangan kemampuan
usaha dan pelatihan tidak berpengaruh dalam kegiatan kelompok, menunjukkan
kurangnya kemampuan petani mengaplikasi kegiatan usaha dan mensosialisasi
hasil pelatihan yang diperoleh selama ini. Namun dalam kegiatan pemberdayaan,
keikut sertaan petani dalam meningkatkan usaha dan kegiatan pelatihan perlu
terus ditingkatkan kualitasnya sehingga semakin mampu meningkatkan
keterampilan anggota kelompok dalam mengembangkan usaha. Pola
pemberdayaan petani yang dapat dilaksanakan secara berkualitas dapat
dikembangkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Proses pemberdayaan melibatkan petani secara keseluruhan baik petani
anggota kelompok maupun petani diluar kelompok. Petani diluar kelompok
berperan sebagai informan yang memperkuat perumusan program
156

pemberdayaan, perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi dan


monitoring serta tindak lanjut dari program. Dalam konteks ini penyerapan
aspirasi anggota kelompok maupun petani diluar kelompok menjadi
penekanan utama. Sebuah proses penyerapan aspirasi dari keinginan
individual akan berkembang menjadi sebuah aspirasi sosial yang lebih besar.
Keadaan ini secara psikologis akan menumbuhkan rasa percaya diri anggota
kelompok untuk mendukung pelaksanaan program lebih lanjut
(2) Pola pemberdayaan berdasarkan kebutuhan nyata atau sesuai dengan
kebutuhan petani serta sesuai dengan kondisi faktual yang dihadapi.
Keberhasilan mengembangkan usaha yang menguntungkan baik secara
ekonomi (pendapatan meningkat) maupun sosial (terpeliharanya semangat
kerja) maupun keberhasilan menjalin jaringan kerja, kemitraan dengan
lembaga /institusi diluar kelompok serta keberhasilan mengikuti pelatihan
yang berkualitas merupakan kebutuhan sekaligus merupakan masalah yang
perlu pemecahan. Disinilah peran kelompok sebagai media intervensi akan
membantu memecahkan masalah terserbut secara efektif.
Masalah dan kebutuhan memiliki pengertian yang berbeda, namun
dalam konteks pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kedua istilah
tersebut seringkali dipertukarkan. Masalah pada hakekatnya merupakan
kebutuhan, karena masalah mencerminkan adanya kebutuhan dan sebaliknya
kebutuhan apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan masalah. Masalah
pada dasarnya merupakan pernyataan suatu kondisi secara negatif,
sedangkan kebutuhan menyatakan secara positif. Petani mengalami
kemiskinan adalah suatu masalah dan petani memerlukan penguatan atau
pemberdayaan adalah pernyataan kebutuhan. Oleh karena itu memahami
kebutuhan dan masalah yang sesungguhnya akan membantu tercapainya
efektifitas pemberdayaan.
(3) Proses pemberdayaan membutuhkan kehadiran agen pembaharu antara lain
penyuluh, pendamping atau fasilitator yang memiliki kompetensi sebagai
pendidik, pembimbing, guru sekaligus sebagai pelayan yang membantu
mengarahkan petani. Seorang agen pembaharu yang baik adalah yang
157

mengerti kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi kliennya, sehingga


terdorong mengumpulkan data dan informasi sesuai kebutuhan.
(4) Adanya hubungan yang baik antara agen pembaharu dengan klien (anggota
kelompok tani) maupun antar anggota kelompok tani itu sendiri. Hal ini
berguna untuk bersama-sama merasa bertanggung jawab jika terjadi masalah
yang perlu dipecahkan bersama. Dengan kata lain bersama-sama
meminimalkan masalah dalam pemberdayaan. Jika program berhasil maka
itu adalah keberhasilan bersama dan jika kurang berhasil maka akibatnya
adalah resiko bersama. Prinsip kebersamaan ini sesuai falsafah penyuluhan
dan prisnsip dalam pemberdayaan yaitu bekerja dengan masyarakat
(working with people) dan bukan bekerja untuk masyarakat (working for
people)
(5) Sedapat-dapatnya yang dapat diusahakan digarap dengan mendayagunakan
sumberdaya alam lokal yang dimiliki. Keragaman sumber daya alam
merupakan potensi yang perlu diteliti dan dicarikan mitra untuk
mengelolanya. Tahapan ini sekaligus pembelajaran bagi petani akan
perlunya mengetahui banyaknya sumber kehidupan dalam lingkungan pisik
sekitarnya.
Peubah tingkat kepribadian berpengaruh positif terhadap dinamika
kelompok. Prediktor yang berpengaruh dari peubah tersebut adalah keuletan
petani dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,139. Peubah semangat kerja,
percaya diri dan kreatifitas petani tidak berpengaruh terhadap kegiatan kelompok.
Hal ini berarti bahwa sebagian besar faktor kepribadian yang dimiliki petani
belum mampu ditumbuhkan secara positif dalam mengembangkan kelompok.
Kurangnya pengaruh sebagian besar faktor kepribadian tersebut menunjukkan
pula kurangnya daya tarik kelompok dalam menumbuhkan semangat kerja, sikap
percaya diri dan kreatifitas petani dalam mengembangkan usaha. Hal ini
disebabkan karena tujuan kelompok, fungsi tugas dan kekompakan dalam
kelompok kurang berjalan secara dinamis sesuai harapan petani. Unsur-unsur
kekuatan kelompok yang harus dikelola secara optimal tersebut, perlu terus
ditingkatkan sehingga semakin mampu meningkatkan kekuatan sikap mental dan
158

kepribadian petani dalam mengimplementasi tujuan serta membina persatuan dan


kesatuan dalam kelompok.
Peubah Lingkungan Sosial memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap
dinamika kelompok diantara peubah lainnya. Semua prediktor dalam peubah
lingkungan sosial berpengaruh secara positif dan nyata terhadap dinamika
kelompok yaitu: norma dan nilai budaya dengan koefisien regresi sebesar 0,464.
dan peran tokoh informal dengan koefisien sebesar 0,128. Dengan demikian
aktifitas kelompok dalam mengembangkan usahatani secara optimal dapat
ditingkatkan melalui pengembangan norma dan nilai budaya yang dilandasi
dengan nilai kekerabatan yang kental, sikap saling membantu, sikap kebersamaan,
sikap memelihara kejujuran, saling percaya dan saling bekerjasama dalam
memajukan usaha kegiatan kelompok, dan tak kalah pentingnya adalah
kepatuhan terhadap keterlibatan tokoh informal dalam memotivasi kegiatan
anggota kelompok.
Secara simultan nilai koefisien regresi berbagai peubah bebas yang
berpengaruh maupun yang tidak berpengaruh terhadap dinamika kelompok
terlihat dalam Tabel 32.
Tabel 32. Indikator Peubah Bebas yang Berpengaruh Maupun yang
Tidak Berpengaruh terhadap Dinamika Kelompok

Kode Peubah Koefisien Regresi Sig

X1.1 Umur -0,040 0,359


X1.2 Tingkat Pendidikan Formal 0,044 0,240
X1.3 Pengalaman Usahatani -0,053 0,225
X2.1 Pengemb.Kemampuan Usaha 0,023 0,676
X2.2 Pengembangan Jaringan Kerja 0,233** 0,000
X2.3 Pelatihan -0,028 0,575
X3.1 Semangat Kerja 0,017 0,717
X3.2 Percaya Diri -0,053 0,283
X3.3 Keuletan petani 0,139* 0,010
X3.4 Kreatifitas petani -0,053 0,302
X4.1 Norma dan Nilai Budaya 0,464** 0,000
X4.2 Peran Tokoh Informal 0,128* 0,014
X5.1 Relevansi Informasi -0,076 0,326
X5.2 Akurasi Informasi 0,148** 0,058
X5.3 Ketepatan Waktu Informasi 0,129* 0,020

Sumber: Olahan Data Primer, 2007


159

Peubah akses pada informasi berpengaruh secara positif terhadap dinamika


kelompok. Prediktor dari peubah akses informasi yang mempengaruhi dinamika
kelompok adalah akurasi informasi dengan koefisien sebesar 0,146, dan ketepatan
waktu mendapatkan informasi dengan koefisien sebesar 0,129. Artinya, informasi
yang terpercaya dan dapat diperoleh sesuai waktu yang diharapkan petani yang
dapat dimanfaatkan secara positif dalam kegiatan kelompok. Hal tersebut menjadi
indikasi bahwa informasi yang tepat dan dapat dipercaya kebenarannya menjadi
kebutuhan utama bagi anggota dalam menggerakkan kegiatan kelompok. Hal ini
menunjukkan pula bahwa informasi yang terpercaya baik yang diakses petani
melalui media maupun dengan kontak pribadi bersama penyuluh dan tokoh
informal dapat dikomunikasikan dengan baik dalam kelompok. Dengan demikian
akses informasi dapat ditingkatkan agar semua anggota kelompok mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Informasi yang diakses dari penyuluhan hanya efektif
jika sesuai dengan apa yang diputuskan petani dan cara berpikirnya serta dengan
bahasa yang digunakan.
Pada umumnya petani lebih menyukai informasi yang praktis, terpercaya,
jujur dan dapat diandalkan untuk dipergunakan dan tidak begitu penting apakah
sumber informasi akan memberikan informasi yang terbaru, yang penting secara
teknis dapat diandalkan dan memberikan gambaran tentang pengetahuan khas
usahatani setempat serta memberikan hasil yang memuaskan (van den Ban dan
Hawkins, 1999).

Hubungan antar Berbagai Peubah Bebas dengan


Dinamika Kelompok

Berdasarkan analisis pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap


dinamika kelompok sebagaimana dalam Tabel 33 menunjukkan bahwa peubah
pengembangan usaha merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
dinamika kelompok tani, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
total pengaruh sebesar 0,534, menyusul peubah pelatihan dan peubah relevansi
informasi, dengan total pengaruh masing-masing sebesar 0,508 dan 0,495.
Beberapa peubah bebas berpengaruh langsung secara positif terhadap
dinamika kelompok yaitu: peubah pengembangan kemampuan jaringan kerja,
160

keuletan petani, norma dan nilai budaya, peran tokoh informal, akurasi informasi
dan ketepatan waktu adanya informasi. Dengan demikian jika peubah-peubah
tersebut dapat dikembangkan secara efektif maka akan lebih meningkatkan dan
menggerakkan keberdayaan petani dalam kelompok. Adapun peubah lainnya
tidak berpengaruh terhadap dinamika kelompok. Sebagai contoh peubah
karakteristik individu yang meliputi: umur, tingkat pendidikan dan pengalaman
usaha tani tidak berpengaruh terhadap dinamika kelompok. Artinya, walaupun
umur petani, tingkat pendidikan dan pengalaman usaha tani bertambah, maka
tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas kelompok.
Dengan demikian posisi kelompok sebagai suatu kekuatan hanya
memungkinkan dapat dikembangkan jika faktor-faktor kepribadian lain seperti
keuletan petani lebih dikembangkan dalam membangun dan menggerakkan
kelompok. Faktor-faktor kepribadian yang meliputi semangat kerja, percaya diri
dan kreativitas petani memiliki pengaruh tidak langsung lebih tinggi jika di
dukung oleh faktor keuletan dalam mengembangkan kelompok. Hal ini berarti
bahwa dalam mengembangkan kelompok, perlu di dukung oleh kemampuan
petani menekuni usaha baik usaha produksi maupun diluar usaha produksi.
Keuletan petani akan berefek pada peningkatan kinerja kelompok dalam
merencanakan usaha tani secara mandiri, karena dengan keuletan yang dimiliki,
mereka akan lebih bersungguh-sungguh dan menekuni pekerjaannya sebagai mata
pencaharian utama bagi diri dan keluarganya. Beberapa peubah bebas
menunjukkan pengaruh tidak langsung yang lebih baik dibanding pengaruh
langsungnya terhadap dinamika kelompok. Sebagai gambaran, pengembangan
usaha petani berpengaruh makin tinggi terhadap dinamika kelompok jika
didukung oleh adanya jaringan kerja. Demikian pula peubah pelatihan
berpengaruh makin tinggi terhadap kekuatan kelompok jika didukung oleh
pengembangan jaringan kerja dan peran tokoh informal. Semangat kerja, percaya
diri, dan kreatifitas petani nilai pengaruh tidak langsungnya lebih tinggi terhadap
dinamika kelompok jika dipadukan dengan keuletan petani dalam
mengembangkan usaha.
161

Tabel 33 tabelnya juga berubah nomor


162

Keberdayaan kelompok akan meningkat jika petani mampu mengakses


informasi yang akurat dan tepat waktu. Dengan demikian, untuk menumbuhkan
keberdayaan kelompok, maka pengembangan jaringan kerja, keuletan, norma dan
nilai budaya, peran tokoh informal, akurasi informasi dan ketepatan waktu
informasi sangat perlu ditekankan. Khusus pengaruh norma dan nilai budaya
sebagai bagian dari peubah lingkungan sosial, dapat diartikan bahwa keberhasilan
mengelola program dan tujuan kelompok adalah dengan tanpa mengabaikan
tradisi, nilai-nilai sosial budaya, adat kebiasaan, kepercayaan dan kebutuhan-
kebutuhan yang dirasakan dalam lingkungan sosial sekitarnya.
Agar nilai-nilai sosial budaya dapat dikembangkan secara berkualitas
diperlukan analisis sosial untuk mengetahui faktor-faktor sosial budaya mana
yang berpengaruh secara determinan dan dapat dikembangkan secara positif
sesuai dengan tujuan kelompok. Sejalan dengan hal tersebut, Edi Suharto (2005)
menyatakan dalam memahami masyarakat perlu memahami nilai-nilai dominan
yang meliputi: (a) apa nilai-nilai budaya, tradisi, atau keyakinan-keyakinan yang
penting bagi pengembangan masyarakat ?; (b) apa nilai-nilai dominan yang
mempengaruhi populasi sasaran dalam masyarakat ?; (c) kelompok-kelompok dan
individu manakah yang menganut nilai-nilai tersebut dan siapa yang
menentangnya; dan (d) apa konflik-konflik nilai yang terjadi pada populasi
sasaran ?. Dengan memahami nilai-nilai budaya dalam masyarakat tersebut akan
meminimalisasi ketegangan-ketegangan sosial dalam mengelola kelompok.
Responden petani dan kelompok tani berada dalam komunitas pedesaan
yang sarat dengan perilaku-perilaku yang masih tradisionil. Misalnya dalam
pengambilan keputusan, petani terkadang sulit membangun perbedaan pendapat
karena nilai kekerabatan, solidaritas dan ketaatan kepada tokoh dan pemimpin
informal masih dominan. Nilai kekerabatan dan solidaritas kekeluargaan tersebut
merupakan ciri-ciri sosial masyarakat desa.
Susanto (1985) mendeskripsikan ciri-ciri sosial masyarakat desa antara
lain: (1) rasa persatuan yang lebih erat dan hubungan yang lebih akrab diantara
warga satu komunitas dari pada hubungan mereka dengan warga masyarakat lain
diluar batas wilayahnya; (2) sistem kehidupan berkelompok, atas dasar sistem
kekeluargaan, maka ada keseragaman (homogenitas) penduduk berdasarkan darah
163

keturunan ; (3) dari sudut permasalahannya, hubungan antara penguasa dengan


rakyatnya berlangsung secara informal atas dasar musyawarah. Seorang
pemimpin sering mempunyai beberapa kedudukan dan peranan macam-macam
yang tumpang tindih, tidak ada pembagian bidang yang jelas; (4) kontrol atau
pengendalian sosial atas perilaku warga sangat ketat sehingga relatif sulit terjadi
perubahan-perubahan. Dengan demikian terjadi homogenitas dalam perilaku dan
cara berpikir; dan (5) mobilitas sosial horizontal maupun vertikal masih jarang.
Keterikatan pada adat kebiasaan relatif ketat karena peran golongan orang-orang
tua/sesepuh setempat yang menonjol, dalam penelitian ini disebut sebagai tokoh
informal. Biasanya golongan orang-orang tua ini justru mempunyai pandangan
yang didasarkan pada tradisi. Dengan demikian lalu terjadi keseragaman dalam
bidang kebudayaan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut mengindikasikan bahwa hubungan kelompok
tani dengan norma dan nilai budaya lokal serta dengan peran tokoh informal
nerupakan hal yang saling mempengaruhi sehingga memiliki saling keterikatan
dalam mengembangkan dan memajukan usaha kelompok secara harmonis.
Namun dalam perkembangan suatu kelompok yang lebih dinamis menuntut
perlunya suatu tatanan kehidupan sosial budaya yang lebih modern tanpa
mengabaikan norma dan nilai budaya lokal yang positif.
Dalam ilmu penyuluhan, agar suatu kondisi kehidupan masyarakat lokal
lebih berkualitas dan lebih berkembang diperlukan perubahan sosial dengan
beberapa faktor pendorong proses perubahan. Sejalan dengan hal tersebut,
Soekanto (2002) mengemukakan bahwa faktor-faktor pendorong perubahan,
antara lain adanya kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang
berkembang, sikap yang adaptif, modern, sikap menghargai seseorang dan
keinginan untuk maju, terbuka, penduduk yang hetrogen, dan disorgainisasi dalam
masyarakat. Faktor penghambat perubahan, menurut Soekanto (2002) antara lain
keterisoliran, prasangka pada hal-hal baru, vested interst, takut gagal, dan
keterikatan pada adat atau kebiasaan.
Analisis perbedaan pada peubah lingkungan sosial di dua lokasi yakni
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Enrekang menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata pada peubah norma dan nilai budaya (α=0,05) dan tidak ada perbedaan pada
164

peubah peran tokoh informal (α=0,05). Analisis ini memperlihatkan bahwa


walaupun ada perbedaan nilai-nilai sosial budaya dalam tatanan kehidupan
berkelompok antar dua etnis yang berbeda, namun tetap menjadi landasan
kehidupan yang harmonis dalam mengelola kelompok. Peran tokoh informal di
dua kabupaten sama-sama memiliki peran yang penting dalam menggerakkan
kegiatan kelompok. Tokoh adat di Kabupaten Gowa khususnya di dataran tinggi
lebih berpengaruh. Demikian pula tokoh agama, tokoh pendidik, dan pengusaha
maju di Kabupaten Enrekang lebih berpengaruh. Dengan kenyataan ini maka
kedinamisan kelompok tani perlu lebih memperhatikan dan mengkaji peran
penting dari tokoh informal tersebut.
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan adanya lima jalur hubungan antar
peubah yang mempunyai koefisien jalur yang signifikan terhadap dinamika
kelompok. Jalur tersebut adalah: (1) jalur langsung antar peubah ke peubah
dinamika kelompok dengan nilai R² sebesar 0,763; (2) jalur tidak langsung
melalui peubah pengembangan jaringan kerja dengan nilai R² sebesar 0,730; (3)
jalur tidak langsung melalui peubah keuletan dengan nilai R² sebesar 0,623; (4)
jalur tidak langsung melalui peubah norma dan nilai budaya dengan nilai R
sebesar 0,439; dan (5) jalur tidak langsung melalui peubah akurasi informasi
dengan nilai R² sebesar 0,823.
Model jalur sebagaimana terlihat pada Gambar 2 memiliki Goodness of Fit
Index (GFI) sebesar 0,864. Artinya semakin tinggi nilai tersebut atau semakin
mendekati angka satu berarti model memiliki kesesuaian dengan realitas yang
diwakili oleh data yang relatif baik. Berdasarkan Gambar 2, maka terdapat empat
hal sebagai kunci yang berpengaruh dalam menentukan pengembangan dinamika
kelompok, yakni: (1) pengembangan jaringan kerja untuk meningkatkan
kemampuan petani dalam mengembangkan usaha dan mengembangkan hasil
pelatihan yang telah diikuti, (2) mengembangkan kepribadian petani dengan fokus
membina keuletan agar mendukung peningkatan semangat kerja, percaya diri dan
kreativitas petani, (3) pemanfaatan norma dan nilai budaya terutama nilai-nilai
budaya yang bersifat dinamis dan berfungsi menjaga ketahanan kelompok, dan (4)
memantapkan akses informasi dalam kelompok yang dapat dimanfaatkan pada
165

waktu yang tepat. Keuletan petani di wilayah penelitian ditopang pula oleh masih
rekatnya norma dan nilai budaya lokal yang ada.

ε = 0,55

X4.1
X2.1 0,51** 0,24** Norma 0,46** ε = 0,25
Pengemb. Budaya
Usaha
X2.2
Jaringan 0,14*
0,24** Kerja 0,18* 0,23** Y1
X2.3 0,13* Dinamika
Pelatihan X4.2 Kelompok
0,29** Peran To- 0,14*
koh Inform. 0,15*
0,27** ε = 0,26 ε = 0,40
X3.1
Semangat
Kerja X3.3
Keuletan 0,13* R² = 0,76
X5.2
Akurasi
0,28**
X3.2 Informasi
Percaya
Diri ε = 0,37 0,57** ε = 0.15

0,40**
0,33**
X3.4 X5.1
Kreativi- Rel;evansi
tas Informasi
X5.3
Ketepatan
Informasi

Keterangan: R² = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas


Gambar 2. Hubungan antar Peubah yang berkaitan dengan Dinamika Kelompok

Rekatnya norma dan nilai budaya dalam nuansa lingkungan sosial


menunjukkan perlunya pemberdayaan petani dengan mengembangkan norma-
norma lokal dalam kelompok. Hal ini dimaksudkan agar nuansa kearifan lokal
berdasarkan kondisi kultural dapat dilestarikan selama sistem nilai didalamnya
dapat mendukung sikap produktiv petani. Sikap mental petani dilokasi penelitian
yang bernuansa kultural sering bernuansa kearah kegiatan-kegiatan yang kurang
produktif seperti kegiatan upacara kekerabatan keluarga masyarakat Sulawesi
Selatan yang secara ekonomis menurunkan cadangan permodalan usahatani,
seperti acara penyambutan pesta panen, dan acara penyambutan pesta keluarga.
Tradisi dalam tatanan budaya tersebut perlu lebih disederhanakan tanpa
166

mengabaikan nilai-nilai kultural yang masih positif dan dinamis. Selain hal-hal
yang bersifat kultural, pengembangan usaha kelompok terkait pula dengan
minimnya layanan akses permodalan usaha kelompok baik dari pemerintah
maupun lembaga keuangan lainnya. Layanan akses permodalan masih perlu
ditingkatkan dengan komitmen yang tulus membantu petani. Pemberdayaan
petani melalui kelompok tidak cukup kalau hanya dengan mengembangkan
semangat dan kreatifitas semata, tetapi perlu diberi peluang untuk
mengembangkan usaha baik usaha produksi maupun kegiatan usaha lainnya yang
bersifat menguntungkan usaha kelompok.
Salah satu program untuk membantu masyarakat pertanian, termasuk
petani hortikultura, adalah dikucurkannya program penguatan modal usaha
kelompok dari Deptan RI. Dalam perguliran dana bantuan tersebut telah dirasakan
manfaatnya oleh kelompok tani khususnya dalam pengadaan benih, perbaikan
irigasi, pembelian peralatan pertanian, dan berbagai kebutuhan lainnya. Namun
dirasakan jumlahnya sangat minim dan prosedur mendapatkannya tergolong rumit
sesuai dengan kriteria, tata cara seleksi dan penyaluran dana yang telah di
standarisasi oleh pihak Departemen Pertanian dan Pemerintah Daerah.
Salah satu persyaratan seleksi untuk bisa mendapatkan bantuan tersebut
adalah harus mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah dan memenuhi
kriteria sebagai kelompok yang berpotensi dan berminat menjadi penggerak
dalam mendorong perkembangan usaha agribisnis atau mewujudkan ketahanan
pangan secara luas. Dengan persyaratan dan kriteria tersebut diantara 80
kelompok tani, hanya sepuluh persen yang memenuhi kriteria dan lolos seleksi.
Dengan kenyataan ini maka sebagian besar kelompok tani masih memiliki
kesulitan dalam mengakses sumber permodalan komersial tersebut, sehingga
semakin sulit mengembangkan usaha secara penuh. Khusus kelompok tani
komoditi sayuran perguliran pengembalian dana tersebut tergolong lancar dan
tidak bermasalah.
Menurut Tim Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Selatan,
pengembalian modal bagi petani sayuran tergolong lancar Oleh sebab itu,
kemudahan dalam penentuan kriteria calon penerima bantuan dana bergulir
melalui penguatan modal usaha kelompok (PMUK) yang dicanangkan oleh
167

Departemen Pertanian sejak tahun 2006 perlu lebih disederhanakan agar dapat
diakses oleh kebanyakan kelompok tani.
Pemberdayaan petani sayuran melalui kelompok dapat pula ditingkatkan
dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap
petani agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi,
karena dengan penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, petani akan
dapat menumbuh kembangkan kemampuan dan kepercayaan diri yang menunjang
kemandirian mereka.
Kelompok tani yang telah berkembang dengan baik perlu menjalin
kekuatan dan kebersamaan atau kekompakan agar tidak tereksploitasi oleh
kelompok yang lebih kuat modal dan usahanya khususnya dalam penentuan harga
komoditi dalam pasaran yang relatif dikuasai oleh para pengusaha maju. Dalam
konteks ini peran penyuluh dan penyuluhan sangat penting dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan petani yang menghambat usahanya. Hal yang lebih penting
lagi adalah petani sendiri yang harus berpartisipasi dalam pemberdayaan dan
memelihara kebersamaan dan kerjasama dalam kelompok dalam merumuskan
keinginan, cara dan hasil yang mereka inginkan sendiri. Beberapa prinsip
pemberdayaan menurut Suharto (2005) adalah: (1) menempatkan masyarakat
(petani) sebagai aktor atau subyek yang kompoten dan mampu menjangkau
sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan, (2) masyarakat (petani) harus
melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi
perubahan, (3) tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena
pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan, (4) pemberdayaan
melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber tersebut secara efektif, dan (5) proses pemberdayaan bersifat
dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif dimana permasalahan selalu memiliki
beragam solusi.

Keterkaitan antara Dinamika Kelompok


dengan Tingkat Produktivitas Kerja Petani

Hipotesis 2 menyatakan bahwa “ dinamika kelompok berhubungan nyata


dengan tingkat produktivitas kerja petani.” Berdasarkan nilai koefisien korelasi
168

yang ditampilkan pada Tabel 34 menunjukkan tingkat produktivitas kerja petani


dipengaruhi oleh dinamika kelompok dengan koefisien sebesar 0,302 pada taraf
signifikan (α=0,01). Artinya, kelompok dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan tingkat produktivitas petani. Dengan demikian Hipotesis 2 dapat
diterima. Peubah tujuan kelompok tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas
kerja. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa tujuan kelompok kurang dipahami dan
kurang mampu dikembangkan oleh petani. Demikian pula peubah kekompakan
kelompok tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas kerja. Hal
ini menjadi indikasi bahwa kepemimpinan dalam kelompok kurang dinamis
dalam membangun kebersamaan dan kekompakan antar

Tabel 34. Nilai Koefisien Regresi dan Korelasi antara Peubah Dinamika
Kelompok dengan Tingkat Produktivitas Petani

Korelasi
Peubah Koefisien Regresi
Zero-
Parsial Part
order

Dinamika Kelompok (Y1) 0,302** 0,526 0,210 0,169


Tujuan Kelompok (Y11) 0,029 0,468 0,016 0,014
Fungsi dan Tugas (Y12) 0,162* 0,474 0,097 0,082
Pembinaan dan Pengemb. 0,327** 0,520 0,176 0,151
kelompok (Y13)
Kekompakan Kelompok (Y14) 0,056 0,438 0,040 0,034
Keterangan : * nyata pada α = 0,05 ** nyata pada α = 0.01

. Nilai koefisien korelasi dari persamaan tersebut (R) sebesar 0,534 dan
nilai R² sebesar 0,285. Artinya 28,5 persen tingkat produktivitas kerja petani dapat
dijelaskan oleh dinamika kelompok tani. Oleh karena itu melalui kelompok,
petani diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kerjanya dengan
meningkatkan kegiatan dan hasil kerja serta mampu memanfaatkan sumber daya
dan energi secara efisien.
Nilai koefisien regresi yang ditampilkan pada Tabel 34 menunjukkan
bahwa pembinaan dan pengembangan kelompok berpengaruh paling signifikan
terhadap tingkat produktivitas kerja petani. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembinaan dan pengembangan kelompok yang menitik beratkan pada
169

pengembangan partisipasi, kordinasi, penyiapan fasilitas dan komunikasi anggota


kelompok, dapat ditingkatkan karena dapat mendukung peningkatan produktivitas
kerja petani. Kegiatan utama setiap kelompok adalah mengembangkan
peningkatan usaha produksi maupun usaha kegiatan lainnya. Produktivitas kerja
di area usahatani sebagai ukuran kinerja petani, mustahil dapat berjalan dengan
baik tanpa adanya partisipasi, kordinasi dan komunikasi anggota secara kolektif,
mulai dari persiapan lahan dan penanaman hingga dalam fase pemeliharaan
tanaman dan kegiatan pasca panen. Dalam situasi kerja seperti ini petani sering
diperhadapkan dengan berbagai kebutuhan pokok maupun penunjang peralatan
usaha yang hanya dapat terjangkau oleh adanya partsisipasi, kordinasi dan
komunikasi yang baik antar petani dalam kelompok.
Sebagai contoh, petani di Kabupaten Gowa khususnya di dataran tinggi
kelurahan Bulutana kecamatan Tinggi Moncong, salah satu aktivitas kelompok
tani adalah bergotong royong membuat kolam penampungan air hujan dan
pembuatan sarana jalan. Kegiatan ini di fasilitasi oleh Pusat Pelatihan Pertanian
dan Pedesaan Swadaya (P4S) Buluballea. Fenomena ini menunjukkan bahwa
upaya meningkatkan kinerja dalam berusahatani akan dapat tercapai jika
didukung oleh partisipasi dan kordinasi yang baik. Demikian pentingnya fungsi
dan peran kelompok dalam memberdayakan dan meningkatkan produktivitas
kerja petani.
Produktivitas kerja petani dalam penelitian ini terfokus pada pengelolaan
usaha budi daya tanaman sayuran yang dilakukan mulai dari persiapan lahan,
pembenihan, penanaman, pemupukan, pengendalian hama serta kegiatan pasca
panen. Secara umum tingkat produktivitas kerja petani berimbang antara kategori
rendah dan tinggi. Artinya kinerja petani dalam melakukan usaha budi daya dan
kegiatan pasca panen masih perlu dioptimalkan serta ditingkatkan terus agar
mampu meningkatkan produksi dan mutu produksi berdasarkan potensi sumber
daya alam yang dimiliki.
Salah satu upaya untuk mengelola budi daya tanaman sayuran dengan
baik maka petani dianjurkan menerapkan pedoman budi daya sayuran (Good
Agriculture Practises) dari Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian
yang berisi ruang lingkup pedoman budi daya yang meliputi: manajemen usaha
170

produksi, lahan dan media tanam, penggunaan benih bermutu, teknik penanaman,
pemupukan yang baik, perlindungan tanaman, penggunaan air irigasi yang
bermutu, kegiatan panen dan pasca panen yang tepat dan bermutu, penanganan
limbah dan sampah, masalah kesehatan, keamanan dan kesejahteraabn pekerja
serta pedoman kepedulian lingkungan sekitar tempat usaha baik sumber daya
alam maupun masyarakat sekitarnya.
Pedoman tersebut berisi standar titik kendali dalam budi daya tanaman
sayuran yang terdiri dari tiga status yaitu: (1) wajib atau harus dilaksanakan
dengan jumlah kegiatan 11 titik kendali, (2) sangat dianjurkan dengan jumlah
kegiatan 41 titik kendali, dan (3) anjuran dengan jumlah kegiatan sebanyak 20
titik kendali. Atas anjuran penyuluh, para petani mengusahakan menerapkan
jadwal dan pencatatan yang kontinyu dari urutan-urutan kegiatan sesuai pedoman
tersebut. Namun sejumlah petani merasa kurang mampu menerapkan secara
maksimal pedoman tersebut karena terkendala biaya, rendahnya pengetahuan
untuk menyerap 72 titik kendali tersebut serta kendala kultural untuk keluar dari
kebiasaan cara tanam yang telah dilakukan selama ini. Permasalahan tersebut
ditemukan pada sejumlah kelompok tani sayuran di Kabupaten Gowa dan
Enrekang yang dibenarkan oleh penyuluhnya sendiri. Petani lebih menyukai
sistem budi daya yang praktis, mudah dilakukan dan hemat biaya, serta cepat
berproduksi. Sejumlah ketua kelompok tani di dataran rendah di Kabupaten Gowa
mengeluhkan biaya pengadaan peralatan pembenihan yang kurang terjangkau.
Hal ini menggambarkankan bahwa petani dalam kelompok telah berupaya
melaksanakan aktivitas budi daya dengan baik, namun diperhadapkan dengan
kendala biaya dan permasalahan yang kurang mampu dipecahkan.
Berdasarkan analisis pengaruh langsung dan tidak langsung dalam Tabel
35 menunjukkan bahwa peubah pembinaan dan pengembangan kelompok
memiliki pengaruh total terbesar terhadap peningkatan produktivitas kerja petani.
Terdapat dua prediktor dalam peubah dinamika kelompok memiliki nilai
koefisien pengaruh tidak langsung lebih tinggi dari pengaruh langsung terhadap
tingkat produktivitas petani. Sebagai gambaran, peubah tujuan kelompok dan
kekompakan kelompok memiliki pengaruh tidak langsung makin tinggi terhadap
171

tingkat produktivitas kerja petani jika dipadukan dengan peubah pembinaan dan
pengembangan kelompok.

Tabel 35. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung berbagai Peubah Dinamika
Kelompok terhadap Tingkat Produktivitas Kerja Petani

Pengaruh Tidak Langsung Melalui


Pengaruh Pemb. dan
Peubah Tujuan Fungsi dan Kekompakan
Langsung pengemb. Pengaruh
Kelom- Tugas Kelompok
Kelompok Total
pok (Y11) (Y12) (Y14)
(Y13)
Tujuan
0,029 0,138 0,265 0,037 0,468
Kelompok 0
(Y11) (6,2) (29,5) (56,6) (7,9) (100)
Fungsi Tugas
0,162* 0,025 0,252 0,035 0,474
Kelompok 0
(Y12) (34,2) (5,3) (53,2) (7,4) (100)
Pemb. dan
Pengemb. 0,327** 0,023 0,125 0,045 0,520
Kelompok
0
(62,9) (4,4) (24) (8,7) (100)
(Y13)
Kekompkan
0,056 0,019 0,102 0,261 0,438
Kelompok 0
(Y14) (12,8) (4,3) (23,3) (59,6) (100)
Keterangan: * nyata pada α = 0,05 ** nyata pada α = 0,01
Angka dalam kurung merupakan persentase pengaruh (%).

Hal ini berarti bahwa pembinaan dan pengembangan kelompok memiliki


arti yang sangat penting dalam membina keberdayaan petani dalam kelompok
terutama untuk meningkatkan produktivitas kerja
Pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah dalam dinamika
kelompok tersebut didasari oleh kuatnya hubungan timbal balik antar peubah yang
ada. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis hubungan antar variabel (kovarian)
sebagaimana terlihat dalam model diagram analisis jalur pada Gambar 3.
Model jalur hubungan tersebut memiliki Goodness of Fit Index (GFI)
sebesar 1. Artinya jika telah mencapai angka satu berarti model memiliki
kesesuaian dengan realitas yang diwakili oleh data yang relatif baik. Seluruh
indikator dalam peubah dinamika kelompok saling berhubungan (covarian)
secara nyata dan sangat signifikan. Oleh sebab itu, konsep keterpaduan unsur-
unsur yang ada dalam dinamika kelompok mempunyai kontribusi yang sangat
besar terhadap peningkatan produktivitas kerja petani. Peubah fungsi tugas serta
172

pembinaan dan pengembangan kelompok berpengaruh secara positif dalam


meningkatkan produktivitas kerja petani.

Tujuan
Kelompok (Y11)

0,85** 0,03

ε = 0,71
Fungsi dan Tugas
(Y12)
0,16*

Produktivitas
0,66** 0,63** 0,77** Kerja Petani (Y2)
0,33**
Pembinaan dan
Pengembangan
Kelompok (Y13)
0,63** 0,06
0,80**

Kekompakan
Kelompok (Y14)

Gambar 3. Koefisien Jalur Pengaruh Dinamika Kelompok terhadap Tingkat Produktivitas Kerja
Petani

Hal ini berarti unsur kerjasama dan kordinasi antar anggota merupakan
kunci dalam membina kekuatan dalam kelompok, apalagi jika kekuatan dalam
kelompok tersebut didukung oleh adanya motivasi dan penyuluhan serta kegiatan
dari berbagai bentuk pemberdayaan, maka akan semakin dapat meningkatkan
kualitas produktivitas kerja petani dalam mengembangkan usahanya.

Hubungan antara Berbagai Peubah Bebas dan Dinamika Kelompok


dengan Tingkat Produktivitas Kerja Petani

Terdapat hubungan yang positif maupun hubungan yang negatif antar


berbagai peubah dengan tingkat produktivitas kerja petani. Berdasarkan nilai
koefisien korelasi yang ditampilkan pada Tabel 36 menunjukkan bahwa peubah
bebas yaitu peubah karakteristik individu yang meliputi umur dan pengalaman
usaha tani berkorelasi negatif dengan tingkat produktivitas kerja petani,
sedangkan peubah lainnya yakni tingkat pendidikan, pola pemberdayaan, ciri
173

kepribadian, lingkungan sosial, akses pada informasi serta dinamika kelompok


berkorelasi positif dengan tingkat Produktivitas Petani.
.
Tabel 36. Nilai Koefisien Regresi dan Korelasi Peubah Bebas dan Dinamika
Kelompok terhadap Tingkat Produktivitas Kerja Petani (Y2)

Korelasi
Peubah Koefisien Regresi
Zero-order Parsial Part

Umur (X11) 0,007 -0,049 0,006 0,005


Tingkat Pendidikan (X12) 0,020 0,123 0,023 0,018
Pengalaman Usahatani (X13) -0,069 -0,158 -0,069 -0,054
Pola Pemberdayaan (X2) 0,146* 0,483 0,130 0,103
Ciri Kepribadian (X3) 0,326** 0,520 0,303 0,250
Lingkungan Sosial (X4) -0,051 0,438 -0,036 -0,028
Akses Pada Informasi (X5) -0,017 0,398 -0,013 -0,011
Dinamika Kelompok (Y1) 0,302** 0,526 0,210 0,169
Keterangan : * nyata pada α = 0,05 ** nyata pada α = 0.01

Nilai koefisien regresi yang ditampilkan pada Tabel 36 menunjukkan


bahwa tingkat produktivitas kerja petani dipengaruhi secara signifikan oleh pola
pemberdayaan, tingkat kepribadian dan dinamika kelompok. Sedangkan peubah
karakteristik individu yang meliputi umur, tingkat pendidikan dan pengalaman
usaaha, lingkungan sosial dan akses pada informasi tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap produktivitas kerja petani.
Koefisien pengaruh yang cukup signifikan pada peubah kepribadian petani
terhadap tingkat produktivitas kerja menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat
desa yang sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani masih dominan
dipengaruhi oleh semangat kerja keras, keuletan, percaya diri dan kreatifitas yang
dimiliki. Jika intensitas unsur-unsur kepribadian tersebut ditingkatkan maka
produktivitas kerja petani akan semakin membaik dan pada akhirnya produksi dan
tingkat pendapatan akan meningkat pula.
Hasil analisis jalur seluruh unsur-unsur peubah bebas dan dinamika
kelompok terhadap tingkat produktivitas kerja petani terlihat pada Tabel 37.
174

Data tersebut memperlihatkan bahwa peubah pengembangan jaringan


kerja memiliki nilai pengaruh total tertinggi diantara semua peubah yakni sebesar
0,973, menyusul peubah pengembangan usaha dan peubah norma dan nilai
budaya dengan nilai masing-masing sebesar 0,794 dan 0,791. Hal ini
mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas kerja petani dapat tercapai jika
petani mampu mengembangkan usaha dengan memanfaatkan jaringan kerja dan
norma budaya yang ada. Sebagian peubah berpengaruh secara langsung terhadap
tingkat produktivitas kerja petani. Misalnya peubah percaya diri memiliki nilai
koefisien pengaruh langsung tertinggi terhadap tingkat produktivitas kerja petani,
menyusul peubah pengembangan jaringan kerja dan peubah norma dan nilai
budaya. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor kemampuan individu diluar kelompok
dan faktor lingkungan sosial lebih berperan dalam meningkatkan produktivitas
kerja petani.
Peubah pelatihan memiliki nilai koefisien yang negatif terhadap
produktivitas kerja petani. Hal ini berarti hasil pelatihan yang diikuti petani
kurang mampu di kembangkan dalam meningkatkan produktivitas kerja. Pelatihan
memerlukan pengelolaan yang baik, antara lain persiapan materi dan metode
pelatihan yang mudah diaplikasikan dalam kegiatan usaha tani.
Pelatihan dalam bentuk Sekolah Lapang seperti yang dikembangkan untuk
petani sayuran di Kabupaten Enrekang nampaknya lebih efektif dalam
mengaplikasi sarana produksi pada tanaman sayuran. Namun demikian pelatihan
dan semangat kerja petani memiliki pengaruh tidak langsung lebih tinggi dari
pada pengaruh langsung terhadap tingkat produktivitas kerja jika dipadukan
dengan peubah jaringan kerja. Artinya, hasil pelatihan lebih bermanfaat dalam
pengembangan usaha jika petani mendapat peluang mengembangkan jaringan
kerja dengan pihak yang dapat membantu. Demikian pula semangat kerja petani
lebih meningkat jika terdapat peluang memperoleh akses dan kebutuhan yang
mendukung usahanya dari lembaga atau kelompok lain. Akurasi informasi
memiliki pengaruh tidak langsung lebih tinggi terhadap tingkat produktivitas kerja
petani jika informasi tersebut dapat diterima dan menopang tatanan kehidupan
petani.
175

Tabel 37
176

Petani baru akan menerima dan memanfaatkan informasi yang mereka


butuhkan jika informasi tersebut dapat dipercaya, jujur dan menguntungkan
usahanya. Petani lebih membutuhkan informasi usaha yang tepat dan benar,
sehingga merasa mendapat kepastian dalam menjalankan usahanya.
Kelompok sebagai suatu kekuatan dan medium pembinaan petani kurang
memiliki peran yang menentukan dalam membangun keberdayaan petani dan
meningkatkan produktivitas kerjanya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peran
kelompok tani selama ini khususnya kepemimpinan kelompok kurang mampu
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesadaran petani untuk mau membina
diri dalam kelompok. Kelompok tani sebagai unit sosial berhimpunnya petani
seyogyanya memiliki daya tarik yang tinggi, dan di dalamnya terdapat kekuatan
managerial untuk memperjuangkan nasib petani.
Unsur-unsur pemberdayaan seperti pengembangan kemampuan usaha,
pelatihan, semangat kerja, percaya diri, keuletan dan kreatifitas petani sangat
penting digerakkan dalam satu kekuatan kelompok yang terbina dan kompak.
Demikian pula aktivitas petani untuk mendapatkan informasi yang relevan dan
terpercaya, perlu di dukung oleh tersedianya fasilitas dalam kelompok sehingga
kelompok dapat menjadi sarana komunikasi dan kordinasi yang efektif. Dengan
kata lain bahwa untuk mencapai tingkat produktivitas kerja yang tinggi, maka
petani akan lebih berdaya jika mengembangkan potensi dirinya melalui kelompok.
Berdasarkan diagram analisis jalur yang ditampilkan pada Gambar 4
berupa hubungan antara berbagai unsur-unsur peubah bebas dan dinamika
kelompok dengan tingkat produktivitas kerja petani menunjukkan adanya enam
jalur hubungan antar peubah yang mempunyai koefisien jalur yang signifikan
terhadap tingkat produktivitas kerja petani. Jalur tersebut adalah: (1) jalur
langsung antar peubah terhadap tingkat produktivitas kerja petani dengan nilai R²
sebesar 0,432; (2) jalur tidak langsung melalui peubah pengembangan jaringan
kerja dengan nilai R² sebesar 0,730; (3) jalur tidak langsung melalui peubah
percaya diri dengan nilai R² sebesar 0,553; (4) jalur tidak langsung melalui
peubah norma dan nilai budaya dengan nilai R² sebesar 0,439; (5) jalur tidak
langsung melalui peubah tujuan kelompok dengan nilai R² sebesar 0,696; dan (6)
177

jalur tidak langsung melalui peubah pembinaan dan pengembangan kelompok


dengan nilai R² sebesar 0,652.

X2.1
Pengemb.
ε = 0,29
Usaha
0,51** ε = 0,27

X2.3 0,24 X2.2 0,22** Y1.1 ε = 0,54


Jaringan Tujuan
Pelatihan
Kerja Kelompok
0,12* -0,13*

0,20* 0,18* 0,57** 0,22**


X3.1 Y2
Semangat Produktivitas
Kerja Kerja Petani
0,24**
0,10
0,11* 0,22** 0,19*
X3.2
Percaya 0,23** 0,29** 0,13* R² = 0,43
Diri

ε =0,45 0.34** Y1.3


Pembin.
X4.1 Kelompok
X3.3 0,18 * 0,45**
Norma
Keuletan
Budaya

0,34** ε = 0,35
ε = 0,55
X3.4 X52
Kreativitas Akurasi
Informasi

Keterangan: R² = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas


Gambar 4: Jalur Hubungan antar Peubah Bebas terhadap Tingkat Produktivitas Kerja Petani

Model jalur hubungan tersebut memiliki Goodness of Fit Index (GFI)


sebesar 0,852. Artinya semakin tinggi nilai tersebut atau semakin mendekati
angka satu berarti model memiliki kesesuaian dengan realitas yang diwakili oleh
data yang relatif baik. Peubah tujuan kelompok yang berpengaruh negatif
terhadap tingkat produktivitas kerja petani mengindikasikan bahwa rumusan
tujuan kelompok yang bersifat formal kurang mampu di implementasikan oleh
petani terutama dalam meningkatkan kinerjanya. Keberadaan kelompok masih
lebih dominan untuk mencapai tujuan yang bersifat informal sebagai wadah untuk
menjalin pertemuan-pertemuan kekerabatan dan pertemuan silaturrahim lainnya.
Tujuan kelompok yang berpengaruh negatif tersebut disebabkan karena tujuan
178

kelompok itu sendiri belum mampu dirumuskan secara baik dan berkualitas oleh
petani.
Indikasi kuatnya pengaruh langsung maupun tidak langsung melalui peubah
pengembangan jaringan kerja, percaya diri, norma dan nilai budaya serta melalui
peubah tujuan dan pembinaan kelompok perlu diimbangi dengan keahlian dan
spesialisasi yang dimiliki. Modal mantapnya jaringan kerja baik jaringan
permodalan maupun jaringan pemasaran, jika tanpa di dukung adanya
pengetahuan, teknik dan keterampilan mengembangkan usaha yang memadai,
justru akan berefek terbuangnya energi dan curahan waktu kerja yang kurang
memiliki hubungan langsung dengan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Oleh
sebab itu penelitian ini memberi solusi kiranya orientasi penyuluhan bagi
responden berorientasi pula pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan agar
kemampuan membangun jaringan dan membina keuletan bekerja akan dapat
terimbangi dengan bertambahnya keahlian berusahatani yang dimiliki.
Perilaku bercocok tanam yang pada umumnya masih didasarkan pada
perilaku tradisionil seperti kebiasaan menggunakan benih/varietas lama yang
diyakini lebih baik, cara pembenihan yang sangat sederhana, penggunaan tenaga
kerja yang minim kemampuannya serta penentuan waktu tanam dan panen yang
dikaitkan dengan ritual kepercayaan tentang hari baik dan hari buruk
mengindikasikan unsur-unsur pengetahuan baru/inovasi baru belum sepenuhnya
bisa diterapkan, maka semakin menguatkan bahwa modal keuletan bekerja keras
yang telah dimiliki petani, perlu ditambah dengan kapasitas atau kompetensi
pengetahuan dan keterampilan yang dimantapkan melalui penyuluhan.
Penyuluhan merupakan faktor penting bagi individu dan kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri. Penyuluhan tidak semata
menyampaikan informasi baru dan pengetahuan baru kepada petani, melainkan
mengubah perilaku agar klien tahu dan punya minat untuk belajar dan tahu apa
yang dipelajari.
Menurut Asngari (Margono, 2003): “ penyuluhan adalah kegiatan mendidik
orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai
dengan yang direncanakan/dikehendaki yakni orang makin modern. Salah satu
sikap modern adalah sikap terbuka dan siap menerima: perubahan (pembaruan),
pengalaman baru, inovasi baru, penemuan baru yang lebih baik dan pandangan
baru.”
179

Berbagai hal yang perlu dilakukan petani sayuran dalam kaitan dengan sikap
modern antara lain: berusaha tahu dan mau melakukan budi daya tanaman dengan
baik, menggunakan varietas unggul, menggunakan pupuk tahan penyakit,
menggunakan irigasi/drainase dengan baik, menambahkan zat hara tanaman
kepada tanah, dan melakukan pemuliaan tanaman (Mosher, 1983).
Perilaku petani dapat diarahkan melalui penyuluhan dan ditransformasikan
menjadi lebih baik melalui pendekatan pendidikan dan komunikasi. Melalui
pendekatan pendidikan, potensi petani dapat dikembangkan guna meningkatkan
kualitas hidupnya, dan penyuluhan sebagai pendidikan non formal jika diterapkan
dengan tepat maka akan dapat membangun perilaku yang lebih baik. Perilaku
petani yang dilandasai dengan semangat kerja keras dan keuletan yang tinggi
dapat terpadu dengan adanya keinginan/minat untuk belajar dari informasi dan
pengetahuan baru yang diperoleh. Hal ini harus didukung dengan penerapan
metode dan materi penyuluhan yang tepat, dan efektif.
Penyuluhan secara benar selain bertujuan membantu meningkatkan
kapasitas individu juga harus menerapkan prinsip-prinsip penghargaan pada
potensi individu dan mengutamakan pendekatan egaliter, berkelanjutan,
memberdayakan dan tidak sekedar penerangan atau propaganda, tetapi
berdasarkan kondisi nyata yang dihadapi klien, bermanfaat bagi kehidupan, dan
berorientasi pada penyelesaian masalah (St. Amanah, 2006).
Memberdayakan petani diartikan sebagai proses peningkatan kesadaran dan
rasa percaya diri individu agar petani mampu mengembangkan potensinya secara
optimal. Dalam kaitan itu, Asngari (2004) menekankan pentingnya upaya
mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain: (1) falsafah mendidik yang
dapat mengembangkan potensi manusia secara optimal, (2) falsafah pentingnya
pribadi individu ditonjolkan dalam penyuluhan pada umumnya, (3) falsafah
demokrasi, (4) falsafah bekerja bersama antara penyuluh dengan klien (petani),
(5) falsafah membantu klien agar mereka mampu membantu diri sendiri, dan (6)
falsafah kontinyu atau berkelanjutan yakni materi yang disajikan, cara dan alat
bantu penyajian disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan manusia, teknologi
sarana dan usaha.
180

Hubungan antar Berbagai Peubah Bebas dengan Tingkat


Produktivitas Kerja Petani Kabupaten Gowa

Berdasarkan analisis jalur hubungan pada Tabel 38 antara beberapa unsur-


unsur peubah bebas terhadap tingkat produktivitas kerja petani untuk Kabupaten
Gowa, memperlihatkan bahwa peubah norma dan nilai budaya dan peubah
pelatihan dan norma budaya memiliki nilai pengaruh total tertinggi diantara
semua peubah yakni masing-masing nilai koefisien sebesar 0,756 dan 0,672.
Beberapa peubah menunjukkan nilai pengaruh tidak langsung yang lebih besar
dari pengaruh langsungnya, seperti peubah umur dan tingkat pendidikan memiliki
pengaruh tidak langsung lebih tinggi jika mampu memanfaatkan norma budaya
seperti nilai-nilai kerjasama, keteladanan, kejujuran dalam mengembangkan
usaha. Semangat kerja petani memiliki pengaruh tidak langsung lebih tinggi dari
pada pengaruh langsung terhadap tingkat produktivitas kerja jika dipadukan
dengan pengembangan jaringan kerja. Demikian pula kreativitas petani memiliki
pengaruh tidak langsung lebih tinggi melalui pembinaan dan pengembangan
dalam kelompok. Berdasarkan analisis tersebut, maka faktor norma budaya masih
lebih berperan dalam meningkatkan produktivitas kerja petani di Kabupaten
Gowa. Hal tersebut disebabkan karena pandangan dan keyakinan petani terhadap
nilai-nilai budaya lokal masih sangat kuat, sehingga nilai-nilai tersebut masih
diinstroduksikan dalam tatanan kehidupan sosial. Demikian pula faktor
berkembangnya jaringan kerja petani terutama jaringan permodalan berperan
meningkatkan semangat kerja petani. dalam mengembangkan usaha.
Petani yang telah mengikuti berbagai jenis pelatihan akan lebih berdaya
mengimplementasikan hasil pelatihan jika terbangun suatu jaringan kerja yang
baik dan menguntungkan usahanya. Oleh karena itu, keberdayaan petani sayuran
di Kabupaten Gowa selain ditentukan oleh pemanfaatan norma dan nilai budaya
dan pelatihan, juga ditentukan oleh kemampuan petani mengembangkan jaringan
kerja agar lebih bersemangat mengembangkan usaha dan merasakan hasil
pelatihan yang telah mereka ikuti. Meskipun demikian, peran pembinaan
kelompok dalam mengembangkan dan memantapkan jaringan kerja serta
membangun spirit nilai-nilai budaya di Kabupaten Gowa, masih menjadi hal yang
strategis dalam meningkatkan produktivitas kerja petani.
181

Tabel 38
182

Gambar 5 menunjukkan adanya empat jalur hubungan antar peubah yang


mempunyai koefisien jalur yang signifikan terhadap tingkat produktivitas kerja
petani. Jalur tersebut adalah: (1) jalur langsung antar peubah terhadap tingkat
produktivitas kerja petani dengan nilai R² sebesar 0,231; (2) jalur tidak langsung
melalui peubah pengembangan jaringan kerja dengan nilai R² sebesar 0,625; (3)
jalur tidak langsung melalui peubah norma dan nilai budaya dengan nilai R²
sebesar 0,386; dan (4) jalur tidak langsung melalui peubah pembinaan dan
pengembangan kelompok dengan nilai R² sebesar 0,567.

X1.1
Umur
0,12* ε = 0,75

X1.2
Tingkat 0, 14* 0,14*
Pendidikan
Y2
0,22**
X4.1 0,22** Produktivitas
ε = 0,40 Norma Kerja Petani
Budaya

X2.2
Jaringan
0,46**
Kerja
ε = 0,37 0,11* R² = 0,23

0,68** 0,18*
0,29**

X2.3 Y1.3
Pelatihan Pembinaan 0,14
Kelompok
0,17*
ε = 0,43

X3.4
X3.1 Kreativitas
Semangat
Kerja

Keterangan: R² = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas


Gambar 5: Jalur Hubungan antar Peubah Bebas terhadap Tingkat Produktivitas Kerja Petani
Kabupaten Gowa

Peubah umur dan tingkat pendidikan petani memiliki nilai koefisien


pengaruh langsung yang signifikan terhadap tingkat produktivitas kerja petani,
dan lebih kuat pengaruh tidak langsungnya jika dipadukan dengan peubah norma
183

dan nilai budaya. Tingkat pendidikan formal petani yang tergolong rendah dapat
di manifestasikan dalam meningkatkan produktivitas kerja jika dikembangkan lagi
melalui pendidikan non formal sehingga jenjang pendidikan formal yang
tergolong rendah tersebut dapat lebih bermanfaat. Pada umumnya petani tidak
akan meningkatkan lagi pendidikan formalnya dan lebih terfokus
mengembangkan usahanya sesuai kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki. Oleh sebab itu pendidikan non formal menjadi suatu yang penting dan
mengintegrasikan muatan pendidikan formal dengan muatan budaya sehingga
petani lebih terdorong mengembangkan usahanya.

Hubungan antar Berbagai Peubah Bebas dengan Tingkat


Produktivitas Kerja Petani Kabupaten Enrekang

Hasil analisis jalur hubungan antara beberapa unsur-unsur peubah bebas


terhadap tingkat produktivitas kerja petani untuk Kabupaten Enrekang pada Tabel
39 memperlihatkan bahwa peubah norma budaya dan pengembangan jaringan
kerja memiliki nilai pengaruh total tertinggi diantara semua peubah yakni masing-
masing nilai koefisien sebesar 0,978 dan 0,873. Beberapa peubah menunjukkan
nilai pengaruh tidak langsung yang lebih besar dari pengaruh langsungnya, seperti
peubah pengalaman usahatani memiliki pengaruh tidak langsung lebih tinggi jika
dipadukan dengan peubah pelatihan.
Pengalaman usahatani jika dimantapkan dengan tambahan pembinaan
melalui pelatihan maka keberdayaan petani akan meningkat dalam bentuk
peningkatan produktivitas kerja. Kreativitas petani mengembangkan usaha akan
lebih baik jika di dukung oleh pengembangan jaringan kerja terutama jaringan
permodalan dan pemasaran. Petani sayuran di Kabupaten Enrekang nampak lebih
maju kinerjanya dari Kabupaten Gowa, hal ini disebabkan karena selain bentuk
pelatihan sekolah lapang yang terus dikembangkan juga ditunjang dengan akses
jaringan kerja yang terus berkembang. Kondisi ini membuat petani semakin
kreatif dan bersemangat mengembangkan usaha. Melalui kelompok, petani
semakin mampu meningkatkan kinerjanya, baik dalam mengembangkaan jaringan
kerja maupun dalam mengembangkan norma dan nilai budaya
184

Tabel 39
185

Di Kabupaten Enrekang kinerja kelompok tani lebih maju dari


Kabupaten Gowa terutama dalam melaksanakan fungsi dan tugas kelompok serta
kegiatan pembinaan dan pengembangan kelompok. Tingkat partisipasi anggota
dalam membina kelompok juga lebih maju sehingga ketahanan kelompok dapat
terwujud. Jenis usaha kelompok tani di Kabupaten Enrekang tidak hanya terbatas
pada pengembangan usaha produksi saja, melainkan telah merambah pada
kegiatan usaha lain yang berorientasi bisnis dan menguntungkan. Sebagian
kelompok tani khususnya yang berada di Ibu kota kecamatan menjual peralatan
usahatani, alat komunikasi, mengelola koperasi tani dan usaha penjualan
komoditi sayuran ke berbagai kota dan provinsi.
Berdasarkan Gambar 6 mengenai jalur hubungan antar peubah,
menunjukkan bahwa peubah pengalaman dan pelatihan berpengaruh negatif
terhadap tingkat produktivitas kerja petani. Artinya, pengalaman dan hasil
pelatihan yang diperoleh kurang mampu dikembangkan. Begitupun tujuan dan
kekompakan kelompok di Kabupaten Enrekang berpengaruh negatif terhadap
tingkat produktivitas kerja petani. Hal ini disebabkan karena tujuan kelompok
yang ingin dicapai, walaupun telah dirumuskan dan bersifat formal, namun
interpretasi petani dalam memahami tujuan kelompok masih beragam. Misalnya
interpretasi yang berbeda dalam mengembangkan usaha, dimana sebagian petani
memahami agar usaha kelompok dikembangkan dalam bentuk usaha simpan
pinjam, dan usaha penjualan. Namun Sebagian anggota memahami tujuan
kelompok sebagai usaha mengembangkan produksi. Keragaman pemahaman
mengenai tujuan kelompok cenderung mengelompokkan sebagian anggota dan
menjadi kendala dalam membina persatuan dan kekompakan kelompok.
Peubah kekompakan kelompok juga berpengaruh negatif terhadap tingkat
produktivitas kerja petani. Hal ini disebabkan karena keterpaduan anggota untuk
bergerak mencapai tujuan bersama belum berjalan secara baik. Anggota kelompok
yang telah mengembangkan usaha dengan baik, mendapatkan kepuasan dan
keuntungan usaha, namun kurang terintegrasi dengan anggota lainnya. Suasana
seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan psikologis yang berakibat munculnya
ketegangan dan persaingan. Suasana kelompok yang diwarnai dengan ketegangan
186

dan persaingan, disatu sisi dapat menimbulkan keinginan, gairah dan semangat,
namun disisi lain merupakan ancaman persahabatan (Slamet, 2005).

Y1.1 ε = 0,21
Tujuan
Kelompok

-0,30** ε = 0,27
X1.3
Pengal.
Usaha -0,12*
ε = 0,41 0,19* 0,51**

Y1.2 ε = 0,49 Y2
Fungsi Produktivitas
0,49** Tugas 0,40** Kerja Petani
X2.2 Kelompok
0,15* Jaringan 0,38**
Kerja
-0,16*
0,30** 0,17* 0,32**
0,17*
X2.3 0,11*
Pelatihan
-0,25** R² = 0,72
X4.1 0,39** Y1.3
Norma Pembinaan
Budaya Kelompok
ε = 0,55
0,42 ** 0,23**
ε = 0,39

0,27** 0,22**

Y1.4
Kekompakan
X3.4 Kelompok
Kreativitas X3.1
ε = 0,24
Semangat
Kerja

Keterangan: R² = koefisien determinasi hubungan langsung seluruh peubah bebas


Gambar 6: Jalur Hubungan antar Peubah Bebas terhadap Tingkat Produktivitas Kerja Petani
Kabupaten Enrekang

Anggota kelompok yang telah mengembangkan usaha dengan baik,


mendapatkan kepuasan dan keuntungan usaha, namun kurang terintegrasi dengan
anggota lainnya. Suasana seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan psikologis
yang berakibat munculnya ketegangan dan persaingan. Suasana kelompok yang
diwarnai dengan ketegangan dan persaingan, disatu sisi dapat menimbulkan
keinginan, gairah dan semangat, namun disisi lain merupakan ancaman
persahabatan (Slamet, 2005). Oleh karena itu ketahanan kelompok di Kabupaten
187

Enrekang dapat terpelihara karena masih rekatnya norma dan nilai budaya lokal
yang dimiliki. Norma dan nilai budaya yang bernuansa nilai-nilai kebersamaan,
nilai saling menghargai, nilai kekerabatan dan nilai-nilai kepatuhan masih
mendominasi ekistensi kelompok di daerah ini. Berkaitan dengan hal itu, Parson
(Soekanto, 1986) menyatakan bahwa salah satu fungsi ketahanan kelompok yang
mendukung adalah fungsi budaya yang dikenal dengan fungsi latensi.
Peubah kreativitas dan semangat kerja petani di Kabupaten Enrekang
memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat produktivitas kerja petani. Hal ini
berarti bahwa kinerja atau kemampuan individu petani di Kabupaten Enrekang
dalam mengembangkan usaha lebih baik dari petani Kabupaten Gowa. Demikian
pula kelompok tani di Kabupaten Enrekang kinerjanya nampak lebih maju dari
kelompok tani Kabupaten Gowa, hal ini disebabkan karena aktivitas pertemuan
anggota kelompok di Kabupaten Enrekang lebih intensif dilaksanakan secara
rutin. Kondisi ini membuat petani semakin mudah menerima informasi dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi anggota kelompok. Tingkat
partisipasi anggota dalam membina kelompok juga lebih maju sehingga
ketahanan kelompok dapat terwujud.

Strategi Pemberdayaan

Berdasarkan analisis statistik yang diturunkan dari deskripsi Gambar 4


tentang analisis jalur pengaruh, maka secara umum strategi pemberdayaan petani
sayuran di Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan program pengembangan
sebagai berikut: (1) Memantapkan dan meningkatkan produktivitas kerja petani
dengan mengembangkan jaringan kerja dalam mengembangkan usaha, baik
jaringan permodalan, jaringan layanan sarana produksi, maupun jaringan
pemasaran. Pengembangan jaringan yang luas tersebut harus di dukung oleh
layanan informasi yang akurat baik melalui informasi media, kontak person
maupun melalui balai informasi desa yang dimiliki. Pengembangan jaringan kerja
petani dan kelompok tani akan memperkuat kerjasama dan kemitraan petani
dengan institusi lain baik pemerintah maupun dengan swasta atau perusahaan.
Dengan demikian petani akan merencanakan usahanya dengan baik dan mampu
188

dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi; (2) memperkuat kualitas


kepribadian petani terutama peningkatan rasa percaya diri dalam mengembangkan
usaha, agar petani mampu merencanakan, memutuskan dan memecahkan
permasalahannya dengan penuh rasa percaya diri. Upaya ini dilakukan melalui
penyuluhan yang benar-benar berorientasi pada tujuan dan kebutuhan petani
dalam membangun rasa percaya dirinya; (3) mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai budaya lokal yang dapat bermanfaat dalam membangun kepribadian
petani dan berfungsi sebagai perekat dalam norma sosial terutama dalam
kehidupan berkelompok maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Nilai-
nilai budaya yang merupakan norma sosial merupakan aset dalam membangun
sisitem sosial yang tangguh dan kuat. Ketangguhan tersebut akan berdampak pada
ketahanan kelompok sehingga petani dan kelompok tani mampu meningkatkan
produktivitas kerjanya. Namun demikian, untuk meningkatkan produktivitas kerja
petani maka pemberdayaan harus ditekankan pada peningkatan semangat kerja,
rasa percaya diri, keuletan dan kreativitas, sehingga bisa memanfaatkan pelatihan
dan mengembangkan jaringan kerja dengan baik seperti memanfaatkan informasi
kelompok dengan kelompok.
Sennet dan Conway (Suharto, 2005) menyatakan bahwa ketidak
berdayaan suatu kelompok masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena kekuasaan,
ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial (permodalan),
ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik dan emosional. Di
bagian lain oleh para teoritisi meyakini bahwa ketidak berdayaan yang dialami
oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang
dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri
mereka sebagai lemah dan tidak berdaya karena masyarakat memang
menganggapnya demikian dan keadaan ini disebut dengan istilah ‘alienasi’. Agar
tidak teralienasi maka pengembangan jaringan merupakan alternatif dan upaya
pembelajaran untuk lebih kuat dalam berinteraksi.
Keberdayaan petani akan berkembang lebih efektif bila didukung oleh
kekuatan kelompok khususnya kemampuan mengembangkan tujuan dan
pembinaan kelompok. Pentingnya peran kelompok, diadopsi dari model strategi
189

pemberdayaan Parsons et al. (Suharto,2005) yang menyatakan bahwa proses


pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif melalui kelompok. Melalui
kelompok, petani melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya
dalam membangun potensi dirinya, rasa percaya diri dan termotivasi menjauhkan
sikap keterasingan dari semua layanan akses dan sumber-sumber pendukung
usaha. Melalui kelompok, petani belajar mengelola kemampuan dirinya yang
tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar atau
dari keadaan psikologis yang ditandai oleh kurangnya rasa percaya diri menjadi
berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain. Namun dalam beberapa
situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual, meskipun
pada gilirannya tetap berkaitan dengan kolektivitas. Dalam konteks ilmu
penyuluhan, proses pemberdayaan dapat dilakukan dengan pendekatan individu
atau dalam relasi satu lawan satu (antara petani dengan penyuluh) dalam setting
pertolongan perseorangan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap klien secara
individu melalui bimbingan, dilakukan dengan cara belajar orang dewasa yang
tujuan utamanya adalah membimbing, mendidik atau melatih klien agar lebih
tahu, mau dan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penguatan kelompok sebagai media atau unit sosial meliputi penguatan
unsur-unsur dinamika kelompok terutama penguatan tujuan kelompok, inisiasi,
partisipasi, kerjasama dan kordinasi dalam kelompok. Secara umum seluruh
kelemahan dari pengembangan unsur dinamika kelompok dalam penelitian ini
karena lemahnya unsur inisiasi, partisipasi, kerjasama dan kordinasi tugas yang
menjadi salah satu kekuatan dalam kelompok. Kemampuan mengembangkan
inisiatif dalam menggerakkan kegiatan kelompok tergolong paling rendah karena
selain lemahnya kerjasama dan kordinasi tugas, juga karena pemahaman tentang
fungsi dan tugas kelompok masih rendah. Sejalan dengan penelitian Sumardjo di
wilayah Jawa Tengah menemukan bahwa rata-rata anggota kelompok tani kurang
memiliki kompetensi dalam berorganisasi sehingga kelompok kurang efektif.
Penjabaran fungsi dan tugas yang divisualisasikan melalui struktur kelompok
kurang berjalan secara efektif. Oleh karena itu pemahaman dan kesadaran petani
berkelompok perlu ditingkatkan melalui penyuluhan. Pemberdayaan melalui
penyuluhan dapat ditempuh melalui perpaduan antara penyuluhan yang
190

merupakan tugas dan wewenang pemerintah dan pihak swasta. Keberadaan


penyuluh pertanian swakarsa dan penyuluh pertanian swasta diserahkan kepada
kebutuhan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya serta kepentingan lembaga
bukan pemerintah yang melakukan penyuluhan pertanian (Undang-Undang
Sistem Penyuluhan Pertanian, 2006)
Penguatan penyuluhan harus di dukung oleh kualitas materi, metode dan
kualitas penyuluh. Materi penyuluhan yang baik adalah materi yang berorientasi
pada kebutuhan, harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh petani saat kini,
mampu mereka pecahkan dan tidak merasa terpaksa dan dipaksa. Tjitropranoto
(Yustina dan Sudradjat, 2003) menyatakan bahwa, pada dasarnya petani akan
mempelajari teknologi, informasi atau materi penyuluhan kalau dirasakannya
berguna untuk kegiatan pertaniannya, dan teknologi, informasi ataupun materi
penyuluhan pertanian yang dibutuhkan petani adalah yang benar-benar diyakini
petani akan menguntungkannya, terjangkau oleh kemampuannya, dan memiliki
pasar yang dekat dengan lokasi usaha pertaniannya.
Materi penyuluhan mudah mereka pahami dengan metode yang dinamis
ataupun bersifat praktis seperti bentuk sekolah lapang yang dikembangkan dalam
kelompok tani di Kabupaten Enrekang. Kemudian peran penyuluh sangat penting
sebagai motivator, inspirator dan dinamisator di lapangan. Tugas penyuluh
tergolong berat baik kini maupun masa datang dan paling tidak ada empat
pendekatan yang perlu dilakukan penyuluh yaitu:
(1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi diri petani
dalam kelompok termasuk potensi kepemimpinan dapat berkembang secara
optimal. Pemberdayaan harus mampu mendidik petani melepaskan diri dari
sebagian kondisi kultural dan struktural yang menghambat.
(2) Memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki petani dalam
memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pengetahuan lokal yang diperoleh melalui pengalaman dapat
dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Berbagai bentuk tambahan
pengetahuan dan keterampilan budi daya yang perlu dikuatkan antara lain:
kecakapan dalam kegiatan produksi terutama dalam pemilihan benih yang
berkualitas, pengetahuan tentang potensi lahan yang dibudidayakan, teknik
191

pengolahan tanah seperti pencangkulan, penggemburan, pemberian pupuk


organik(kompos) maupun non organik, pengetahuan tentang asal usul
benih/varietas, kecakapan dalam penggunaan bahan kimiawi yang ramah
lingkungan baik pra panen maupun pasca panen, kecakapan tentang teknik
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dan kecakapan dalam
pengemasan, penyimpanan dan pendistribusian hasil panen. Tak kalah
pentingnya pula adalah kecakapan dalam pemanfaatan air irigasi yang
berasal dari air tanah, air hujan, air danau, air waduk dan embun yang tidak
mengandung limbah berbahaya.
(3) Membantu petani khususnya yang tergolong dalam kelompok sosial
ekonomi yang lemah agar tidak tereksploitasi dan bisa lebih sinergis dengan
kelompok yang lebih kuat, serta upaya peningkatan rasa percaya diri.
Pemberdayaan diarahkan pula pada pengembangan sikap kemampuan
memecahkan masalah, termasuk dalam mengakses bantuan permodalan baik
dari pemerintah maupun dari lembaga yang dapat membantu usaha dan
permodalan petani.
(4) Melakukan proses bimbingan managemen dan motivasi agar kelompok tani
dapat menjalankan peranan, tugas dan kegiatannya sehingga lebih dinamik.
Kelompok harus mampu memilih pemimpin dan menjalankan fungsi
kepemimpinan mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti
melaksanakan pertemuan-pertemuan dan melakukan pencatatan/pelaporan
semua aspek kegiatan usaha. Pada tahapan ini peran penyuluh atau
pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam mengembangkan
kelompok.

Strategi Pemberdayaan Petani


Kabupaten Gowa

Strategi pemberdayaan petani sayuran untuk Kabupaten Gowa dapat


dikembangkan dengan program pengembangan berdasarkan analisis statistik pada
Gambar 5 tentang analisis jalur. Program pengembangan tersebut adalah
pemberdayaan petani yang diarahkan pada peningkatan produktivitas kerja petani
192

dengan memanfaatkan norma dan nilai budaya lokal yang diyakini dan dipandang
sebagai perekat dalam kehidupan sosial. Faktor umur dan tingkat pendidikan
petani berpengaruh terhadap pemanfaatan norma dan nilai budaya. Artinya
walaupun petani memiliki umur yang tua dengan tingkat pendidikan yang kurang
memadai, mereka memandang bahwa faktor norma dan nilai budaya perlu terus
dilestarikan dan diintroduksikan dalam lingkungan sosial terutama dalam
mengembangkan usahatani. Masyarakat Kabupaten Gowa yang sebagian besar
adalah petani, memiliki homogenitas budaya yang masih kuat, baik dalam
interaksi sosial secara umum maupun dalam tatanan pemerintahan, apalagi daerah
ini merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Gowa yang masih meninggalkan nilai-
nilai budaya yang masih tradisionil. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan
pula bahwa faktor norma dan nilai budaya tersebut sangat berpengaruh dalam
pembinaan kelompok tani. Oleh karena itu materi, media dan metode penyuluhan
harus memperhatikan muatan norma-norma budaya setempat, misalnya
mengembangkan materi penyuluhan tentang: (1) pelestarian budaya dan nilai-
nilai kearifan lokal, (2) peran nilai budaya daerah yang mendukung agribisnis
usahatani. Materi penyuluhan tersebut dikembangkan dalam suatu metode yang
menarik dengan memanfaatkan media komunikasi yang efektif.

Strategi Pemberdayaan Petani


Kabupaten Enrekang

Strategi pemberdayaan petani sayuran untuk Kabupaten Enrekang dapat


dikembangkan berdasarkan analisis statistik pada Gambar 6 tentang analisis jalur.
Program pengembangan tersebut adalah pemberdayaan petani yang diarahkan
pada peningkatan produktivitas kerja petani dengan memantapkan: (1) fungsi dan
tugas kelompok, (2) pembinaan kelompok, dan (3) pengembangan jaringan kerja
Hal ini berarti bahwa kelompok tani sangat berperan sebagai institusi
pemberdayaan petani. Berdasarkan analisis tingkat dinamika kelompok,
menunjukkan bahwa kelompok tani di Kabupaten Enrekang lebih dinamis dari
kelompok tani Kabupaten Gowa. Artinya aktivitas usahatani dapat meningkat
melalui pembelajaran petani dalam kelompok. Keberhasilan mengembangkan
kelompok selain karena terbinanya pertemuan anggota kelompok secara internal ,
193

juga karena tingkat keterlibatan pihak luar seperti pedagang luar provinsi dan
pembinaan dari pihak pemerintah, turut mendukung kedinamisan aktivitas
kelompok. Dengan demikian peran kelompok tani dalam mengembangkan
jaringan kerja cukup efektif dalam meningkatkan produktivitas kerja petani.
Peluang petani mengembangkan akses jaringan terutama jaringan pemasaran hasil
produksi lebih maju di Kabupaten Enrekang dari Kabupaten Gowa. Agar petani
mendapatkan keamanan dalam memperluas jaringan kerja, maka seyogyanya
petani mendapat dukungan kebijakan berupa regulasi pemerintah agar posisi
tawar petani tetap berada pada pihak yang diuntungkan oleh pihak perusahaan
maupun oleh distributor hasil produksi dari daerah lain. Dukungan kebijakan
tersebut penting mengingat hasil produksi petani terkadang kurang dihargai
nilainya disaat tiba di gudang perusahaan. Oleh karena itu dalam kondisi seperti
ini, maka peran kelompok tani sebagai salah satu kelembagaan petani di tingkat
bawah dapat berfungsi memecahkan masalah-masalah krusial yang dialami petani.
Kelompok tani perlu dibina terus dan dikembangkan berdasarkan swadaya dan
kekuatan masyarakat tani itu sendiri. Dalam pembinaan kelompok tani, maka
peran penyuluhan sangat diperlukan dengan mengembangkan materi, media dan
metode penyuluhan yang berorientasi pada pentingnya peran kelompok tani dalam
meningkatkan produktivitas kerja petani. Materi penyuluhan tersebut, misalnya
antara lain (1) peran kelompok tani dalam menggerakkan kegiatan kelompok dan
motivasi petani, (2) peran kelompok tani dalam merencanakan program kegiatan
kelompok, (3) peran kelompok tani dalam mengembangkan kebutuhan anggota
kelompok, serta (4) peran kelompok tani dalam meningkatkan partisipasi dalam
berusaha tani.
194

ABSTRAK

LUKMAN HAKIM. Pemberdayaan Petani Melalui Dinamika Kelompok Tani,


Kasus Petani Sayuran Di Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh BASITA GINTING
SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, dan PANG S. ASNGARI.

Pola kehidupan petani terutama petani sayuran masih memprihatinkan.


Kondisi saat ini menunjukkan bahwa tingkat kehidupan petani sayuran belum
mendapat perhatian yang memadai dalam pembangunan pertanian. Fokus
penelitian ini adalah pengembangan dinamika kelompok tani untuk mewujudkan
keberdayaan petani dalam mengembangkan usahanya. Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis hubungan berbagai faktor keberdayaan petani melalui
kelompok, dan perumusan strategi pemberdayaan melalui kelompok.
Penelitian dilakukan pada dua wilayah kabupaten di provinsi Sulawesi
Selatan yakni kabupaten Gowa dan kabupaten Enrekang. Data primer diperoleh
dari 240 orang responden anggota kelompok tani yang sebagian besar kegiatan
usahataninya adalah budi daya tanaman sayuran dan melibatkan 24 orang
informan. Analisis kuantitatif dan deskriptif kualitatif digunakan untuk
menjekaskan temuan. Peubah penelitian adalah karakteristik individu (X1); pola
pemberdayaan (X2); pengembangan kepribadian (X3); lingkungan sosial (X4);
akses pada informasi (X5); dinamika kelompok (Y1); dan tingkat produktivitas
kerja (Y2).
Komunitas petani di lokasi penelitian tergolong masyarakat tradisional dan
sebagian besar berusahatani sayuran di wilayah dataran tinggi. Pengembangan
unsur-unsur dinamika kelompok tani di dua lokasi menunjukkan pada kategori
rendah. Kelemahan utama dalam mengembangkan dinamika kelompok adalah
kurangnya inisiatif dan partisipasi anggota dalam menggerakkan kegiatan
kelompok serta lemahnya kerjasama dan kordinasi tugas dalam kelompok.
Tudang Sipulung merupakan acara adat untuk duduk bersama dan bersepakat
mengusung norma atau aturan untuk menjadi suatu kesepakatan yang wajib ditaati
oleh anggota kelompok tani dan sanksi bagi yang melanggar.
Seluruh peubah bebas kecuali karakteristik individu menunjukkan
hubungan yang positif dan nyata dengan dinamika kelompok. Terdapat tiga
peubah bebas yang berpengaruh positif terhadap dinamika kelompok yakni pola
pemberdayaan dengan nilai koefisien sebesar 0,182; lingkungan sosial dengan
nilai koefisien sebesar 0,513 dan akses pada informasi dengan nilai koefisien
0,147. Berdasarkan hubungan antar peubah dalam model pengembangan melalui
dinamika kelompok menunjukkan bahwa peubah pola pemberdayaan,
pengembangan kepribadian, dan akses pada informasi memiliki pengaruh tidak
langsung lebih kuat dari pengaruh langsungnya terhadap dinamika kelompok jika
melalui atau dipadukan dengan peubah lingkungan sosial. Koefisien determinasi
total dari hubungan antar peubah terhadap dinamika kelompok sebesar 0,68,
artinya keragaman data yang dapat dijelaskan pada hubungan antar peubah
tersebut adalah 68 persen, sisanya 32 persen dijelaskan oleh peubah lain. Faktor
lingkungan sosial cukup penting untuk diperhitungkan dalam mengembangkan
keberdayaan petani dimana terbukti memiliki total pengaruh langsung dan tidak
langsung yang cukup signifikan sebesar 0,78. Tingkat produktivitas kerja petani
195

masih rendah dan perlu ditingkatkan melalui kegiatan kelompok yang lebih
dinamik. Pengembangan strategi pemberdayaan dalam penelitian ini dianalisis
berdasarkan akar masalah yakni kemiskinan petani yang disebabkan langsung
oleh berbagai faktor antara lain menurunnya semangat dan keuletan petani,
rendahnya tingkat produktivitas kerja, rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas
pengalaman usaha, serta kurangnya jaringan kerja dalam mengembangkan usaha.
Oleh sebab itu peran kelompok sebagai media intervensi perlu penguatan yakni;
(1) penguatan pola pemberdayaan, (2) penguatan kualitas SDM, dan (3)
penguatan penyuluhan. Perhatian pemerintah sebagai pengendali dan regulator
sangat penting dan peran swasta perlu digerakkan sehingga terwujud keterpaduan
dan keseimbangan tujuan membantu kehidupan petani dan keberlanjutan
pembangunan pertanian yang lebih cerah.

Anda mungkin juga menyukai