Anda di halaman 1dari 22

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

DAMPAK “BREXIT” TERHADAP KERJASAMA ORGANISASI REGIONAL


DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM
INTERNASIONAL

OLEH:
Kelompok 5 Kelas D Reguler Pagi
Ni Kadek Cynthia Chandra Dewi 1704551164
Ni Putu Diah Prawerti Astuti 1704551176
Nabila Anjani 1704551186
Made Adi Prananta Yoga 1704551196
Ni Made Ayu Sri Lestari 1704551208

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
DAFTAR ISI

DaftarIsi…………………………………………………………………………….. i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………...………. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………..……………….... 4

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAAN

2.1 Landasan Teori …..………………..………………………………...... 5


2.2 Hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional dalam
peristiwa “Brexit”.……………………………………………………... 11
2.3 Pengaruh “Brexit” terhadap kerjasama Organisasi Internasional
Regional...……………………………………………………………... 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 17


3.2 Saran …………………………………………………………………… 18

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………........ 19

i
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Uni Eropa merupakan salah satu organisasi antar-pemerintahan yang


beranggotakan negara-negara di Eropa. Permulaaan kerjasama dalam proses
integrasi Uni Eropa berawal pada perjanjian Paris tahun 1951. Pada saat itu
terdapat enam negara di Eropa yaitu, Prancis, Luxembourg, Jerman, Belgia,
Belanda dan Italia mendirikan kerjasama pada sektor industri baja the European
Coal and Steel Community (ECSC), lalu melalui perjanjian Roma pada tahun
1957 berdiri the European Atomic Energy Community (EURATOM) dan the
European Economic Community (EEC). Pada 1967, tiga institusi tersebut (ECSC,
EURATOM, dan EEC) melebur menjadi satu organisasi baru yang dinamai the
European Community. Kesuksesan EC (European Community) pada tahun 1993
kemudian membawa keberlanjutan pada komunitas regional saat ini yang dikenal
dengan nama European Union.

Sebagai salah satu organisasi regional, Uni Eropa bisa dikatakan memiliki
kestabilan politik yang baik. Uni Eropa berhasil menjadi wadah bagi anggota
anggotanya dalam meningkatkan integrasi ekonomi dan memperkuat hubungan
antara negara-negara anggotanya. Ketika kondisi perekonomian mulai stabil dan
hubungan antar negara semakin kuat, perluasan kerjasama tidak lagi di bidang
ekonomi saja melainkan diperluas ke bidang politik, sosial, pertahanan dan
lainnya. Keberadaan Uni Eropa sebagai wadah integrasi negara-negara Eropa
bukan tanpa masalah. Terdapat beberapa kecacatan yang timbul dalam integrasi
ini. Berbagai permasalahan muncul terutama yang berkaitan dengan isu sosial. Di
antaranya adalah Eurosceptism, merupakan suatu kritik dan perlawanan yang kuat
terhadap Uni Eropa. Gagasan ini muncul pada tahun 1980 an untuk
menggambarkan ketidakpercayaan Inggris terhadap integrasi Uni Eropa. Opini

1
publik kemudian semakin berkembang diakibatkan oleh beberapa faktor yang
terjadi di Eropa, misalnya seperti krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara
anggota Uni Eropa telah menyebabkan penurunan dukungan warga dan
kepercayaan diri untuk Uni Eropa dan lembaga-lembaganya. Selain itu yang
terjadi juga tidak lama ini adalah keluarnya United Kingdom (UK) dari
keanggotaan Uni Eropa (Brexit).

Awal tahun 2016 menjadi masa yang sangat bersejarah bagi masyarakat Uni
Eropa terkhusus bagi masyarakat Inggris. Hal ini dikarenakan pada tanggal 20
Februari 2016, David Cameron yang saat itu sedang menjabat sebagai perdana
menteri Inggris mengumumkan bahwa Inggris akan mengadakan referendum
terkait “apakah Inggris akan menetap sebagai anggota dari Uni Eropa atau
melepaskan diri dari keanggotaannya di Uni Eropa?” Lebih awal dari yang
dijanjikan oleh Cameron pada masa kampanye 2015, referendum yang awalnya
ditargetkan pada 2017 menjadi lebih awal dan akan dilaksanakan pada tanggal 23
juni 2016, pemutusan pertanggalan ini lahir setelah diadakannya renegosiasi
terhadap hubungan Inggris dengan Uni Eropa di Brusel pada tanggal 18 dan 19
april. Sedangkan keputusan referendum ini muncul dari pemungutan suara
parlemen Inggris setelah perdebatan yang lama terkait RUU referendum ini,
dalam pemungutan suara ini anggota parlement yang mendukung pembuatan
RUU ini berjumlah 544 orang sedangkan yang menolak berjumlah 53 orang.

Referendum Brexit tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa


Inggris harus melepaskan keanggotaannya di Uni Eropa dengan perolehan suara
dimana 52% rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, sedangkan 48%
rakyat Inggris lainnya memilih untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa

Keputusan mayoritas rakyat Inggris yang memilih untuk keluar dari Uni
Eropa dilandaskan pada kepercayaan bahwa Uni Eropa telah melanggar
Kedaulatan Inggris dalam banyak aspek mulai dari kebijakan luar negeri,
keamanan, hingga isu-isu internal seperti penentuan standar upah pekerja-pekerja
industri maupun kebijakan pemerintahan dan kelautan Inggris yang seharusnya

2
menjadi kewenangan penuh pemerintah domestic dalam rangka mempertahankan
dan menjalankan kedaulatan negaranya.

Uni Eropa dinilai telah melakukan terlalu banyak intervensi dalam


implementasi kebijakan pemerintah Inggris karena seringkali memaksakan
kebijakannya untuk diterapkan, walaupun kebijakan tersebut bertentangan dengan
kepentingan nasional Inggris. Hal ini disebabkan oleh sistem yang dianut Uni
Eropa dalam perumusan serta penentuan kebijakannya, dimana keputusan
organisasi supranasional tersebut diambil melalui proses voting atau pemungutan
suara negara-negara anggota yang membuat Inggris tidak mampu berdiri sendiri
dan menentang kebijakan-kebijakan tersebut karena Inggris tidak mampu
melawan mayoritas negara anggota lain yang setuju dengan kebijakan yang telah
ditetapkan. Salah satu contoh kebijakan yang menjadi pertimbangan terbesar
Inggris untuk keluar dari Uni Eropa adalah “Open Door Immigration Policy”
yang mengharuskan Inggris membuka keamanan perbatasannya kepada para
imigran dan pengungsi agar dapat dengan bebas masuk dan menetap di
negaranya. Walaupun kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan
kemanusiaan dan untuk kepentingan bersama negara-negara Eropa, namun hal ini
membuat Inggris kehilangan kontrol terhadap perbatasannya sehingga terjadi
peningkatan arus imigran yang cukup signifikan memasuki wilayah negara
tersebut dalam beberapa dekade terakhir dan telah menimbulkan konsekuensi
ekonomis tertentu sehingga harus segera diatasi. Berdasarkan salah satu
pertimbangan inilah, rakyat Inggris Raya yang percaya bahwa mereka telah
kehilangan hak suara sejak tahun 1975 dalam parlemen Uni Eropa dan memilih
untuk lepas dari ikatan kewajibannya sebagai negara anggota Uni Eropa serta
berusaha memperoleh kembali kedaulatannya.

Keluarnya Inggris menandakan bahwa perpecahan dapat saja terjadi, bahkan


pada kerja sama regional paling sukses seperti Uni Eropa. Fenomena tersebut
tentu saja menarik perhatian berbagai kalangan. Salah satunya adalah, bagaimana
fenomena keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang diistilahkan sebagai Brexit,

3
mempengaruhi kerja sama regional lainnya. Pertanyaan tersebut merupakan tanda
tanya besar dalam bentuk kerja sama regional di masa depan. Uni Eropa
memberikan fakta bahwa kedalaman integrasi belum tentu menjadi jaminan
bahwa negara anggota sebuah kerja sama regionalisme akan terus
mempertahankan keanggotaannya. Menariknya, keinginan Inggris untuk keluar
dari Uni Eropa berasal dari desakan masyarakatnya sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan Hukum Nasional Inggris dengan Hukum Internasional


Uni Eropa dalam kaitannya dengan Brexit?
2. Bagaimana pengaruh Brexit terhadap kerja sama Organisasi Regional lain
selain Uni Eropa?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori


2.1.1. Organisasi Internasional
Organisasi Internasional merupakan sebuah wadah dimana
negara-negara menghimpun diri dalam suatu sistem kerja sama yang
dilengkapi organ-organ yang dapat mencegah atau menyelesaikan
sengketa-sengketa yang terjadi diantara negara-negara tersebut.1
Kebutuhan internasional yang tidak bisa dipenuhi oleh negara sendiri
seperti perdagangan diantara negara-negara, pertukaran budaya,
keamanan dan kedamaian di dunia menjadi latar belakang
terbentuknya organisasi internasional.
Sesuai dengan pokok bahasan yang akan dibahas, terdapat
pembedaan organisasi-organisasi internasional dilihat dari beberapa
segi:2
1. Organisasi internasional dibedakan antara yang bersifat
universal dan regional. Organisasi internasional yang bersifat
universal memiliki arti bahwa semua negara dapat menjadi
anggotanya, missal PBB. Organisasi internasional yang bersifat
regional keanggotaannya terbatas pada kawasan atau pada
negara-negara tertentu atas dasar berdekatan satu sama lain
secara geografis, missal Uni Eropa, NAFTA, ASEAN.
2. Organisasi internasional dibedakan antara organisasi kerjasama
dan organisasi integrasi. Organisasi internasional pada
umumnya merupakan organisasi kerjasama atau koordinasi
yang ditunjukkan dengan adanya kegiatan koordinasi dan

1
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global Edisi ke-2 (Bandung: P.T. ALUMNI, Cetakan Ketiga, 2010),hlm. 458.
2
Ibid, hlm. 464-465.

5
kerjasama antar negara dalam berbagai bidang seperti politik,
sosial, budaya, hukum, dan keamanan. Organisasi ini jarang
mempunyai wewenang untuk membuat norma-norma yang
bersifat mengikat negara-negara anggotanya dan jikapun ada,
pelaksanaannya tergantung dari negara-negara itu sendiri.
Organisasi yang bersifat integratif dalam bidang tertentu
ditetapkan oleh akte konstitutif, berada di atas negara dan dapat
membuat ketentuan-ketentuan yang langsung berlaku di
wilayah negara-negara anggota sehingga dapat disebut
organisasi supranasional seperti Uni Eropa.

2.1.2. Perjanjian Internasional

Pengertian umum perjanjian internasional dalam bahasa


Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah
kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional
mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk
membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang
diatur oleh hukum internasional.

Perjanjian internasional digolongkan berdasarkan sudut


tinjauan yang berbeda-beda yaitu:

1. Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah Negara-


negara yang menjadi pihak atau pesertanya
Yang dibedakan menjadi:
a. Perjanjian internasional bilateral
b. Perjanjian internasional multilateral
2. Perjanjian internasional ditinjau dari segi kesempatan yang
diberikan kepada Negara-negara untuk menjadi pihak atau
peserta
Dibedakan menjadi:

6
a. Perjanjian internasional khusus, atau perjanjian
internasional tertutup
b. Perjanjian internasional terbuka
3. Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya
a. Perjanjian internasional yang kelahiran atau
pembentukannya diprakarsai oleh Negara atau Negara-
negara.
b. Perjanjian internasional yang kelahiran dan
pembentukannya diprakarsai oleh organisasi
internasionl.
4. Perjanjian internasional ditinjau dari ruang lingkup
berlakunya
a. Perjanjian internasional khusus, yaitu perjanjian
internasional yang berlaku khusus bagi Negara-negara
yang terikat didalamnya.
b. Perjanjian internasional regional atau kawasan, yaitu
perjanjian internasional yang ruang lingkup berlakunya
terbatas pada kawasan tertentu saja
c. Perjanjian internasional umum atau universal, yaitu
perjanjian internasional yang substansi dan ruang
lingkup berlakunya diseluruh muka bumi ini. 3

2.1.3 Kedaulatan Negara


Dalam bahasa Inggris kedaulatan dikenal dengan istilah
souvereignity berasal dari kata latin superanus yang berarti yang
teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan

3
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasioal Bagian 1, (Bandung: Mandar Maju,
2002), hal.12-50.

7
merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara yang mana Negara
memiliki kekuasaan tertinggi. 4
Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara,
sebagai ciri khusus dari Negara. Menurutnya, kedaulatan merupakan
hal pokok dari setiap kesatuan politik yang disebut Negara. 5
Kedaulatan terbagi atas dua konsep utama yaitu: kedaulatan
Negara berdasarkan atas jangkauan (scope) dan berdasarkan atas
konsep wilayah (teritorial) suatu Negara.
A. Kedaulatan Berdasarkan Jangkauan
Kedaulatan mencakup suatu bentuk hubungan tertentu di
dalam suatu Negara yang merdeka, yaitu independensi dan
supremasi. Dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan
eksternal (external sovereignty) dan kedaulatan internal (internal
sovereignty).
1. Kedaulatan Eksternal (Indepedensi)
Kedaulatan eksternal merupakan hak atau kewenangan
eksklusif bagi setiap Negara untuk secara bebas menentukan
hubungan internasionalnya dari berbagai Negara lain tanpa
adanya halangan dan tekanan dari pihak manapun. (a freedom
in international relationship). Kedaulatan eksternal sering
disebut dengan istilah “Independensi Negara” yang memiliki
ciri adanya kedudukan yang sama bagi sebuah Negara dalam
interaksi internasional dengan Negara lainnya. Untuk
menjamin keberadaan kedaulatan eksternalnya suatu Negara
haruslah memiliki:
1) Yurisdiksi (kewenangan) atas wilayah dan warga
negaranya.

4
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (P.T.Alumni
Bandung 2015), hal.16.
5
Andrew Firdaus Sunarso Putra, Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu Negara Menurut
Hukum Internasional, (Universitas Jendral Soedirman,Purwokerto,2015), hal.27.

8
2) Sebuah prinsip non-intervention, yaitu kewajiban bagi
Negara lain untuk tidak campur tangan.
3) Pengakuan dari Negara lain yang sederajat
2. Kedaulatan Internal (Supremasi)
Kedaulatan internal merupakan hak atau kewenangan
eksklusif suatu Negara untuk menentukan bentuk lembaga-
lembaga negaranya, cara kerja lembaga Negara, hak untuk
membuat undang-undang (konstitusi) tanpa ada intervensi dari
Negara lain, mendapatkan kepatuhan ketundukan dari
rakytatnya, dan memiliki kewenangan sendiri untuk memutus
persoalan-persoalan yang timbul dalam yurisdiksi.
Kedaulatan internal sering disebut dengan istilah
“Supremasi Negara” atau “kedaulatan dalam”. Dalam tatanan
demokrasi kontemporer, supremasi Negara itu berada pada
suatu struktur hierarkis (instrumen pemerintah, hukum dan
perundang-undangan) yang digunakan untuk
menyelenggarakan otoritas Negara.

B. Kedaulatan Berdasarkan Konsep Wilayah (teritorial)


Kedaulatan teritorial adalah kekuasaan negara untuk
menjalankan jurisdiksinya atas orang-orang dan harta benda yang
berada dalam wilayahnya yang mana didalam wilayah tersebut
Negara memiliki wewenang penuh untuk melaksanakan dan
menegakkan hukum nasionalnya. Hal ini berarti bahwa setiap
individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah patuh dan
tunduk pada kekuasaan hukum dari Negara yang memiliki wilayah
tersebut. Karena kedaulatan suatu Negara didasarkan atas wilayah
Negara tersebut, maka wilayah suatu Negara adalah konsep
fundamental atau mendasar dari hukum internasional. secara

9
geografis, kedaulatan territorial mencakup tiga wilayah dasar yaitu,
wilayah tanah (daratan), wilayah laut, dan wilayah udara. 6

2.1.4 Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional

Terdapat dua teori mengenai hubungan antara hukum nasional


dan hukum internasional. Melalui teori dasar berlakunya hukum
internasional yakni teori voluntarisme dan objektivisme memunculkan
pandangan yang berbeda pula dalam konteks hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional.7 Sudut pandang pertama
menimbulkan hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
satuan perangkat hukum yang terpisah atau dapat disebut dualisme.
Sedangkan sudut pandang kedua menimbulkan hukum nasional dan
hukum internasional sebagai satu kesatuan perangkat hukum yang juga
disebut monisme.
Dalam teori dualisme, Anzilotti berpendapat bahwa dalam
hukum nasional perundang-undangan negara harus ditaati sementara
sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt
servanda yaitu perjanjian antar negara harus dijunjung tinggi,
sehingga antara hukum nasional dan hukum internasional berlainan.8
Teori monisme terpecah menjadi dua, yaitu aliran monisme
primat HI dengan HI yang kedudukannya lebih tinggi, dan monisme
primat HN dengan HN yang kedudukannya lebih tinggi. Apabila
terjadi konflik diantara keduanya maka yang diutamakan adalah
berdasarkan primatnya. 9

6
Indien Winarwati, Hukum Internasional, Setara Press Malang 2017), hal.58-61.
7
Mochtar Kusumaatmadja,Etty R. Agoes, op cit, hal.56.
8
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
hal. 97.
9
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Cetakan Keenam, 2016), hal.76.

10
2.2 Hubungan Hukum Nasional Inggris dengan Hukum Internasional Uni
eropa dalam kaitannya dengan Brexit
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional sangat erat
kaitannya terutama dalam pokok bahasan kali ini. Di era global, interaksi
antar negara sangat tidak dipungkiri terjadi dalam berbagai sektor. Hal ini
menyebabkan seringkali terjadi benturan antara kepentingan internasional
dengan nasional contohnya dalam peristiwa “brexit”. Inggris yang merupakan
salah satu anggota paling berpengaruh di Uni Eropa memutuskan untuk keluar
dari keanggotaannya setelah hasil referendum pada tanggal 23 Juni 2016
menghasilkan suara 52%10 setuju keluar dan 48% untuk tetap.11
Inggris memutuskan untuk keluar Uni Eropa disebabkan oleh beberapa
faktor.12 Pertama, terpilihnya partai UKIP (United Kingdom Independence
Party) yang membawa paham euroskeptisme yakni paham yang
menginginkan pemutusan hubungan dengan Uni Eropa atas dasar kekecewaan
terhadap kebijakan Uni Eropa terutama perihal imigran yang dianggap
merugikan Inggris. Kedua, ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan
Inggris sebagai anggota Uni Eropa dengan rata-rata pembayaran iuran sebesar
12-14 milyar Euro sedangkan penerimaannya hanya berkisar rata-rata 3-4,6
milyar Euro. Ketiga, permasalahan mengenai Eurozone yakni negara yang
menggunakan Euro sebagai mata uang negaranya dimana Inggris dalam masa
tahapan percobaannya mengalami kegagalan sehingga mata uang tetap dengan
Poundsterling, hal ini menyebabkan diskriminasi kepada Inggris yang tidak
diikutsertakan dalam penyusunan kesepakatan-kesepakatan dalam kerangka
internal Eurozone. Berdasarkan faktor-faktor tersebut jelas memberi pengaruh

10
Hasil survey berjumlah 51,82% dengan pembulatan dirubah menjadi 52%.
11
Amanda Puspita Sari, “Inggris Keluar dari UE, Skotlandia Serukan Referendum”,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624111907-134-140648/inggris-keluar-dari-ue-
skotlandia-serukan-referendum (diakses pada 4 Mei 2017, pukul 11.32).
12
Indah Sri Lestari, “Penarikan Diri Inggris Dari Uni Eropa Tahun 2016” dalam Jurnal
Hubungan Internasional Universitas Mulawarman, Samarinda, 2017, hal. 1035.

11
kuat kepada Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dan memajukan
negaranya sendiri.
Melihat dari sudut pandang hubungan antara HN dan HI dalam
peristiwa “Brexit”, jelas terdapat suatu konflik diantara keduanya yakni HN
Inggris dengan HI Uni Eropa. Inggris dalam prakteknya menganut doktrin
inkorporasi dan membedakannya dalam konteks kebiasaan internasional dan
perjanjian internasional. Mengenai hubungannya dengan organisasi
internasional jelas perjanjian internasional yang menjadi fokus. Dalam
menjalankan perjanjian internasional, Inggris menganut aliran dualisme.13
Pengadilan-pengadilan Inggris tidak dapat menerapkan perjanjian secara
langsung, mereka hanya dapat menerapkan peraturan perundang-undangan
yang dibuat sebagai aturan pelaksanaan dari perjanjian tersebut.
Menurut teori tersebut seharusnya tidak ada pertentangan antara kedua
perangkat hukum tersebut karena tidak ada perbedaan hierarki akibat kedua
perangkat hukum tersebut berlainan dan tidak bergantung satu sama lain.14
Tetapi nyatanya dalam peristiwa “Brexit” terdapat pertentangan seperti
pemberlakuan Eurozone dimana Inggris tidak menerima hasil perjanjian
dikarenakan bertentangan dengan kepentingan negaranya untuk tetap
menggunakan mata uang asli agar dapat menjaga stabilitas ekonomi negara.
Uni Eropa sebagai sebuah organisasi internasional tentu memiliki otoritas
terhadapa anggota-anggotanya termasuk Inggris. Kepada anggota yang tidak
mentaati suatu perjanjian suatu organisasi internasional dapat memberikan
penangguhan sebagai sanksinya yang dalam kasus ini yaitu penghapusan hak
untuk menghadiri sidang.15
Inggris dalam menjalankan keputusan tersebut dibenarkan berdasarkan
hak suatu negara untuk berdaulat. Kedaulatan internal atau “Supremasi

13
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional”
dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 5 No.3, April 2008, hal.517.
14
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op cit, hal. 58.
15
D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional (Jakarta: SINAR GRAFIKA, Cetakan
Kedua, 1995), hal. 492.

12
Negara” yaitu hak eksklusif suatu negara untuk menjalankan pemerintahannya
secara penuh tanpa adanya intervensi dari negara/badan lain merupakan
legitimasi Inggris untuk tidak mematuhi perjanjian Uni Eropa yang dianggap
merugikan negaranya.16
Berdasarkan hal tersebut, Inggris dalam prakteknya lebih mengarah
kepada teori monisme primat HN dalam perspektifnya tidak mematuhi hukum
perjanjian internasional dari Uni Eropa. Inggris menempatkan HN sebagai
hukum yang berkedudukan lebih tinggi dbanding HI. Paham monisme dengan
primat HN dapat dikatakan sebagai penyangkalan pada hukum internasional
karena untuk suatu hukum internasional berlaku harus sesuai dengan
kehendak/kemauan suatu negara itu sendiri. Keterikatan terhadap hukum
internasional dapat ditiadakan apabila negara mengatakan tidak ingin terikat
pada hukum internasional tersebut seperti yang dapat kita simpulkan dalam
kasus “Brexit”.17

2.3 Pengaruh “Brexit” terhadap Organisasi Regional lain


Seperti yang kita ketahui Uni Eropa merupakan salah satu organisasi
regional yang bisa dibilang cukup sukses dalam menerapkan kerjasamanya
terutama di bidang ekonomi. Penggunaan satu mata uang contohnya euro
sejatinya merupakan langkah yang bagus dalam sebuah organisasi regional
karena dapat membantu meningkatkan perekonomian bersama anggota-
anggota organisasi regional. Namun, krisis ekonomi yang dialami Yunani
karena menggunakan mata uang Euro malah mengakibatkan negara tersebut
terpuruk dalam hutang.18 Hal inilah yang semakin memperkuat keyakinan
Inggris untuk tetap setia dengan mata uang poundsterling karena nilai
tukarnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang euro.

16
Andrew Firdaus Sunarso Putra, Loc. Cit.
17
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Op. Cit., hal.62.
18
Amanda Puspita Sari, “Penjelasan Singkat soal Krisis Yunani”,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150701115330-134-63540/penjelasan-singkat-soal-
krisis-yunani (diakses pada 4 Mei 2017, pukul 20.35).

13
Kasus tersebut dapat berpengaruh terhadap beberapa organisasi
regional lain yang kedepannya akan mencoba untuk menerapkan sistem satu
kesatuan mata uang. Seperti contohnya organisasi ASEAN, yang merupakan
salah satu organisasi regional yang sedang berkembang di kawasan asia
tenggara. ASEAN hingga saat ini belum menerapkan kebijakan satu mata
uang dan lebih memilih untuk membiarkan anggota-anggotanya
menggunakan mata uangnya masing-masing. Dengan merujuk pada peristiwa
yang dialami Yunani dan Inggris akan sangat memungkinkan organisasi-
organisasi regional lain untuk mempertimbangkan menggunakan satu mata
uang. Jika mata uang negara tersebut memiliki nilai tukar lebih tinggi
dibanding mata uang bersama seperti kasus euro dengan poundsterling, maka
negara pemilik mata uang yang lebih tinggi tersebut tentu akan cenderung
memilih untuk menggunakan mata uang aslinya seperti Inggris karena lebih
menguntungkan negaranya. Selain itu, apabila dalam kesepakatan mata uang
bersama terdapat negara yang mengalami krisis moneter maka akan
menyebabkan negara-negara anggota lain ikut terbebani dalam krisis tersebut.
Paham euroskeptisme yaitu ketidak percayaan negara Inggris terhadap
organisasi Euro dapat menimbulkan dampak negara-negara anggota suatu
organisasi regional akan ikut terpengaruh menjadi lebih mudah tidak
mempercayai organisasi regional yang menaunginya. Berkembangnya paham
nasionalisme yang lebih mementingkan kepentingan negaranya dibanding
kepentingan internasional akan berdampak buruk terhadap hubungan
internasional. Dampak buruk tersebut berupa lebih mudahnya suatu negara
anggota organisasi regional untuk keluar dari keanggotaannya jika terdapat
kebijakan-kebijakan yang dirasa tidak memberikan keuntungan kepada negara
tersebut.
Kerjasama organisasi regional menimbulkan isu-isu seperti imigran
karena dalam organisasi regional dapat memberikan kemudahan bagi
anggotanya untuk memasuki negara-negara lain dalam satu kawasan
organisasi regional seperti kebijakan bebas visa. Isu yang paling signifikan

14
dalam isu imigran adalah ketenaga kerjaan dan yang disinyalir dapat
mengambil lapangan kerja di negara tempat imigran tersebut menetap. Isu ini
akan menimbulkan keresahan kepada masyarakat yang takut lapangan
kerjanya diambil oleh imigran seperti yang dialami oleh Inggris.
Dengan pengaruh seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat membuat
negara menjadi lebih mudah untuk keluar dari keanggotaan organisasi
internasional. Perjanjian internasional yang menjadi dasar keberlakuan
organisasi internasional menjadi lebih mudah tidak dihargai karena negara-
negara menjadi lebih mementingkan kedaulatan dan kepentingan negaranya
dibanding kepentingan internasional.
Berdasarkan pengaruh-pengaruh tersebut, hal yang dapat diambil
sebagai pelajaran bagi organisasi regional lain dari peristiwa “brexit” adalah
suatu organisasi regional seharusnya dapat membentuk kebijakan-kebijakan
yang dapat diterima oleh seluruh anggota dan dapat memberi manfaat tidak
hanya pada satu pihak saja tetapi bagi keseluruhan terutama dalam bidang
ekonomi khususnya. Selain itu, perjanjian yang dibuat harus dapat
memberikan sanksi yang tegas kepada negara-negara yang menolak perjanjian
tersebut agar dapat memberi efek jera dan membuat negara-negara anggota
lebih menghargai perjanjian internasional.
Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah dengan keluarnya suatu
negara dari organisasi regional yang menaunginya terdahulu akan berdampak
signifikan pada jangka pendek-menengah karena hal yang pasti dirasakan
dampaknya adalah hilangnya kemudahan pasar ekonomi dalam perdagangan
antar anggota dalam kawasan regional tersebut dan tentu saja anjloknya nilai
tukar mata uang negara tersebut seperti yang dialami oleh Inggris ketika masa
awal negaranya mengumumkan penarikan diri dari keanggotaan Uni Eropa
dimana poundsterling sempat menyentuh $1,3055 atau turun 10% terlemah

15
sejak 1985.19 Hal ini menimbulkan efek bagi negara yang berencana untuk
keluar berpikir dua kali dan mempertimbangkan apakah setelah keluar dari
organisasi regional tersebut negaranya dapat bertahan dari situasi gejolak
negative ekonomi pada fase awal keluarnya negara tersebut.

19
BBC NEWS Indonesia, “Inggris tinggalkan UE, Poundsterling terpuruk ke titik terendah”,
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/06/160624_dunia_poundsterling_terpuruk (diakses pada 4
Mei 2017 pukul 23.47).

16
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Uni Eropa merupakan organisasi regional antar-pemerintahan yang


beranggotakan negara-negara di Eropa. Permulaaan kerjasama dalam proses integrasi
Uni Eropa berawal pada perjanjian Paris tahun 1951. Yang saat itu terdapat enam
negara di Eropa yaitu, Prancis, Luxembourg, Jerman, Belgia, Belanda dan Italia.
Dalam proses harmonisasi hubungan Inggris dan Uni Eropa yang telah terjalin selama
43 tahun, terjadi beberapa pertentangan yang meyebabkan munculnya tuntutan
masyarakat agar inggris menarik diri dari Uni Eropa. Tuntutan masyarakat kemudian
mengalami serangkaian proses sehingga dapat diwujudkan melalui janji politik yang
diberikan oleh perdana menteri Inggris David Cameron untuk menggelar referendum
penentuan keanggotaan Inggris di Uni Eropa

Keputusan mayoritas rakyat Inggris yang memilih untuk keluar dari Uni
Eropa dilandaskan oleh beberapa faktor. Pertama, terpilihnya partai UKIP (United
Kingdom Independence Party) yang membawa paham euroskeptisme. Kedua,
ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan Inggris sebagai anggota Uni Eropa.
Ketiga, permasalahan mengenai Eurozone yakni negara yang menggunakan Euro
sebagai mata uang negaranya.

Melihat dari sudut pandang hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum
Internasional peristiwa “Brexit” terdapat suatu konflik diantara keduanya yaitu
Hukum Nasional Inggris dengan Hukum Internasional Uni Eropa. Mengenai
hubungannya dengan organisasi internasional jelas perjanjian internasional yang
menjadi fokus. Dalam menjalankan perjanjian internasional, Inggris menganut aliran
dualisme tetapi dalam kasus “Brexit” lebih cenderung menganut aliran monisme
dengan primat Hukum Nasional. Inggris menempatkan Hukum Nasional sebagai
hukum yang berkedudukan lebih tinggi dbanding Hukum Internasional.

17
Inggris dalam menjalankan keputusan tersebut dibenarkan berdasarkan hak
suatu negara untuk berdaulat. Kedaulatan internal atau “Supremasi Negara” yaitu hak
eksklusif suatu negara untuk menjalankan pemerintahannya secara penuh tanpa
adanya intervensi dari Negara atau badan lain yang merupakan legitimasi Inggris
untuk tidak mematuhi perjanjian Uni Eropa yang dianggap merugikan negaranya.

Pengaruh yang akan ditimbulkan dari peristiwa “brexit” yaitu kecenderungan


suatu negara anggota organisasi regional untuk tidak mematuhi perjanjian
internasional yang diterapkan dalam organisasi tersebut dengan dalih tidak
menguntungkan negaranya, selain itu akan membuat negara anggota lebih mudah
untuk keluar dari organisasi yang menaunginya jika dirasa membebankan dan tidak
memberi keadilan dalam kebijakan yang diterima.

Namun, berdasarkan dampak yang dialami oleh Inggris tentu dapat


menyebabkan negara-negara yang akan mengikuti langkah Inggris untuk berpikir dua
kali sebelum melakukan penarikan diri dari keanggotaan suatu organisasi
internasional.

SARAN

Terdapat beberapa saran yang dapat diberikan terkait peristiwa ini. Pertama,
untuk menjaga hukum internasional dapat diterima dan dijalankan dengan baik
seharusnya dalam pembentukan nya melalui perjanjian internasional harus
mempertimbangkan aspek keadilan bersama agar tidak menimbulkan masalah
kepentingan yang merugikan atau menguntungkan satu pihak saja. Kedua, suatu
negara anggota organisasi internasional walaupun memiliki kedaulatan untuk
mengatur dan memajukan kepentingan negaranya sendiri bukannya harus tunduk
tetapi seharusnya menghargai kebijakan organisasi internasional tersebut karena
merupakan kebijakan untuk bersama semua anggota.

18
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Bowett, D.W. 1995. Hukum Organisasi Internasional. Cetakan Kedua.
Jakarta: SINAR GRAFIKA.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes. 2015. Pengantar Hukum
Internasional. Cetakan Kelima. Bandung: P.T. ALUMNI.
Mauna, Boer. 2010. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2. Cetakan Ketiga. Bandung:
P.T. ALUMNI.
Parthiana, I Wayan. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1.
Bandung: Mandar Maju.
Sefriani. 2016. Hukum Internasional Suatu Pengantar Edisi Kedua. Cetakan
Keenam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Starke, J.G., 2014. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta:
Sinar Grafika.
Winarwati, Indien. 2017. Hukum Internasional, Malang: Setara Press.

B. Jurnal
Ariadno, Melda Kamil. 2008. “Kedudukan Hukum Internasional dalam
Sistem Hukum Nasional” dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume
5 No.3.
Lestari, Indah Sri. 2017 “Penarikan Diri Inggris Dari Uni Eropa Tahun 2016”
dalam Jurnal Hubungan Internasional Universitas Mulawarman,
Samarinda.

C. Skripsi
Putra, Andrew Firdaus Sunarso. 2015. “Intervensi Terhadap Kedaulatan Suatu
Negara Menurut Hukum Internasional”. Skripsi. Fakultas Hukum,
Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

D. Internet
“Inggris Keluar dari UE, Skotlandia Serukan Referendum”,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160624111907-134-

19
140648/inggris-keluar-dari-ue-skotlandia-serukan-referendum (diakses
pada 4 Mei 2017).
“Inggris tinggalkan UE, Poundsterling terpuruk ke titik terendah”,
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/06/160624_dunia_poundst
erling_terpuruk (diakses pada 4 Mei 2017).
“Penjelasan Singkat soal Krisis Yunani”,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150701115330-134-
63540/penjelasan-singkat-soal-krisis-yunani (diakses pada 4 Mei
2017)

20

Anda mungkin juga menyukai