Anda di halaman 1dari 4

Desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang

dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah Desa merupakan kumpulan dari beberapa unit
pemukiman kecil yang disebut Kampong (Banten, Jawa Barat) atau Dusun (Yogyakarta) atau
Banjar (Bali) atau Jorong (Sumatera Barat). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72
tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ditentukan bahwa Desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bentuk pemerintahan
pada level terbawah, aparatur desa merupakan ujung tombak dalam pengurusan segala
sesuatu yang sifatnya keadministrasian oleh masyarakat, contohnya untuk keperluan
administrative kependudukan maupun untuk kepentingan administrative lain misalnya, untuk
pengurusan Surat Keterangan Tidak Mampu, SKCK, SIUP, urusan-urusan pertahanan
ataupun surat keadministrasian lainnya Bukhari (2012).

Untuk melaksanakan dan menunjang kegiatan tersebut salah satu bentuk bantuan
langsung dari pemerintah pusat adalah Alokasi Dana Desa (ADD), Alokasi Dana Desa adalah
dana bantuan langsung yang dialokasikan kepada Pemerintah Desa digunakan untuk
meningkatkan sarana pelayanan masyarakat, kelembagaan dan prasarana desa yang
diperlukan serta diprioritaskan oleh masyarakat, yang pemanfaatan dan administrasi
pengelolaannya dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh Kepala Desa. Untuk dapat
mengelola dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut, maka pemerintah desa
harus memahami bagaimana pengelolaan keuangan desa. Yang dimaksud pengelolaan
keuangan desa berdasarkan peraturan menteri Dalam Negeri no. 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa (selanjutnya disingkat Permendagri No. 37/2007)
dalam Pasal 1 ayat 2 adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan desa. Disamping
itu, pemerintah daerah berkewajiban untuk memberikan informasi sebagai bentuk pemenuhan
hak-hak publik. Hak-hak publik itu antara lain: 1) hak untuk tahu (right to know), 2) hak
untuk diberi informasi (right to be informed), dan 3) hak untuk didengar aspirasinya (right to
be heard and to be listened to). Pemerintah daerah dituntut untuk tidak sekadar melakukan
akuntabilitas vertikal (vertical accountability), yaitu pelaporan kepada pemerintah atasan,
akan tetapijuga melakukan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability), yaitu
pelaporan kepada DPRD dan masyarakat luas (Mardiasmo, 2002).

Transparansi merupakan keterbukaan organisasi untuk menyediakan informasi yang


material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami bagi yang
berkepentingan (Atmadja, dkk, 2013:19). Sedangkan itu menurut United Nations
Development Program (UNDP) dalam Mardiasmo (2009:18) transparansi dibangun atas
dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan
kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
Menurut Ulum (2001) dalam Atmadja, dkk (2013) suatu entitas yang accountable adalah
entitas yang mampu menyajikan informasi secara terbuka mengenai keputusan-keputusan
yang telah diambil selama beroprasinya entitas tersebut, memungkinkan pihak luar
(legislative, auditor, atau masyarakat luas) mereview informasi tersebut, dan bila dibutuhkan
harus kesediaan untuk mengambil tindakan korektif.

Akuntabilitas merupakan kewajiban dari tanggungjawab seorang pemegang amanah


untuk mengelola, menyajikan, melaporkan serta menyampaikan segala aktivitas yang
dilaksanakan kepada pemberi amanah (Mardiasmo (2009:20). Dalam Atmadja, dkk (2013:18)
akuntabilitas dan transparansi merupakan komponen utama dari good corporate governance.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pengelolaan
keuangan di setiap organisasi, baik organisasi pemerintah maupun non pemerintah.
Pelaksanaan akuntabilitas dengan menjalankan prinsip-prinsip good governance sangat
penting di setiap organisasi yang meliputi transparansi dan rasa keadilan, hal ini bertujuan
agar organisasi tersebut dipercaya oleh stakeholder, oleh karena itu setiap organisasi di
pemerintahan maupun nonpemerintahan diharuskan melaksanakan prinsip akuntabilitas
tersebut. Karena Salah satu pilar utama tegaknya perekonomian suatu negara adalah adanya
akuntabilitas dan transparansi dari para pemangku kekuasaan.

Sebagaimana telah disinggung di awal bahwa penyajian laporan keuangan adalah


salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Dengan demikian,
tidak adanya laporan keuangan menunjukkan lemahnya akuntabilitas. Lebih lanjut lemahnya
akuntabilitas tersebut mengindikasikan lemahnya sistem yang selanjutnya berimbas pada
membudayanya korupsi sistemik. Seperti kasus-kasus korupsi yang saat ini beredar luas di
tiap-tiap lini pemerintahan pusat maupun daerah, diantaranya adalah KPK melakukan operasi
tangkap tangan di Pamekasan, Jawa Timur. Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra
Prasetya diduga menerima suap untuk menghentikan penanganan kasus korupsi
penyelewengan dana desa, Kasus OTT kedua yakni menjerat Tarmizi, selaku Panitera
Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mana Panitera PN Jaksel Gunakan
Istilah "Sapi" dan "Kambing" untuk Samarkan Suap, Operasi tangkap tangan ketiga KPK pada
2017, menjerat Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan,
Antonius Tonny Budiono. Tonny terjaring OTT KPK karena diduga menerima suap dari
Komisaris PT Adhi Guna Keruktama, Adiputra Kurniawan. Suap ini diduga terkait proyek
pengerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dan bahkan Indonesia
Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana
desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan
kepala desa alias Kades, serta masih banyak kasus korupsi lainnya.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka penulis berkeinginan besar untuk


memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah tersebut melalui inovasi yang penulis
tawarkan. Adapun inovasi yang ditawarkan tersebut adalah implementasi sistem E-audit
untuk pelaporan Alokasi Dana Desa. E-audit merupakan pengawasan melalui pusat data BPK
dengan cara mensinergikan data elektronik yang ada di BPK dengan data elektronik yang ada di pihak
yang diperiksa oleh BPK, antara lain kementerian, lembaga negara, pemerintah
provinsi/kabupaten/kota, BUMN, BUMD, .

E-Audit menggunakan kolaborasi sinergis data antara BPK dan badan audit yang nantinya
akan menghasilkan komunikasi data antara BPK dan entitas pemeriksaan melalui akses internet (BPK
Palembang, 2011). E-audit dapat mempercepat proses pemeriksaan, sehingga diharapkan
pemeriksaan tersebut lebih efisien dan hasilnya akan lebih efektif. Hasil pemeriksaan BPK akan lebih
cepat disampaikan dan ditindaklanjuti oleh auditee BPK, sehingga pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel akan cepat terwujud (BPK,
2013a). Jika dibandingkan dengan sebelum adanya penerapan e-audit, pihak pemeriksa atau BPK dan
pihak yang diperiksa (entitas/auditee) akan lebih mudah melakukan pertukaran data baik untuk
proses pemeriksaan maupun pertanggungjawaban. Mekanisme Sistem E-audit Jaringan internet
dalam sistem e-audit merupakan hal yang sangat penting karena dalam jaringan tersebut, BPK selaku
pemeriksa akan memperoleh data atau yang diperlukan dalam pemeriksaan dari entitas yang
diperiksa (auditee). Sementara itu, entitas yang diperiksa akan mendapatkan hasil temuan audit
berupa laporan dari BPK melalui jaringan internet (Praseno, 2012). Subowo (2011) memaparkan
mekanisme atau proses e-audit adalah sebagai berikut: (1) Data yang 13 diperlukan untuk audit
disiapkan oleh entitas audit. Data tersebut akan dikirimkan menggunakan jaringan internet dan akan
terhubung dengan portal e-audit BPK; (2) Selanjutnya, data awal dari entitas audit tersebut akan
diakses oleh bagian pusat perintah BPK e-audit. Bagian pusat pengolahan data akan menggunakan
suatu aplikasi untuk menganalisis data awal yang kemudian akan diunggah dan disimpan ke database
BPK; (3) Selama kegiatan yang terjadi dalam proses pemeriksaan menggunakan e-audit ini, tim
perencanaan dan tim penilai akan berkoordinasi untuk melakukan pengawasan dan evaluasi
aktivitas-aktivitas terkait prosedur audit; (4) Setelah data terkumpul dan tersimpan dalam database
BPK, tim pemeriksa atau auditor akan mengakses data dari database BPK dan kemudian memeriksa,
menyesuaikan dan menilai data-data tersebut sesuai dengan prosedur pemeriksaan dan standar
pemeriksaan; (5) Tim audit BPK dapat meminta tambahan data yang diperlukan dari pusat
pengolahan data untuk tujuan kelengkapan data atau dokumen selama proses pemeriksaan; (6) Tim
audit BPK akan melakukan prosedur konfirmasi, klarifikasi, rekonsiliasi, dan verifikasi berdasarkan
hasil temuan audit; (7) Setelah itu, tim audit BPK akan mengeluarkan laporan audit yang kemudian
akan diberikan ke pusat pengolah data untuk diunggah ke portal audit; (8) Entitas audit (auditee)
dapat mengakses temuan audit atau laporan tersebut dan berkomunikasi dengan BPK auditor
melalui portal eaudit.

Anda mungkin juga menyukai