Oleh
Renny Aprina
1614111068
Kelompok 12
Npm : 1614111068
Universitas : Lampung
Andree Firmansyah
NPM. 1414111007
I. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya percobaan ini adalah:
1. Mengetahui respon organisme akuatik terhadap variabel lingkungan ( suhu, pH, dan surfaktan
deterjen ).
2. Mengetahui kisaran toleransi organisme akuatik terhadap variabel lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Habitat
Ikan nila banyak hidup di dareah sungai dan danau. Ikan nila sangat cocok dengan dipelihara pada
perairan yang tenang, kolam atau reservoir. Ikan nila merupakan ikan tropis yang hidup pada
perairan hangat yang berasal dari benua Afrika dan memiliki sifat cepat tumbuh dan berkembang
biak pada umur masih muda, sekitar 3.6 bulan (Khoironi, 1996).
Habitat ikan nila adalah perairan tawar, seperti sungai danau, waduk, dan rawa-rawa, tetapi karena
toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline) sehingga dapat pula hidup dengan baik di
air payau (Ghufran, 2009).
Secara teoritis, ikan nila dapat dipijahkan secara alami, semi buatan dan buatan. Pemijahan secara
alami adalah pemijahan secara alamiah dalam wadah/tempat pemijahan tanpa dilakukan
pemberian rangsangan hormonal. Pemijahan semi buatan adalah pemijahan dengan proses
rangsangan hormonal akan tetapi proses ovulasinya terjadi secara alamiah dalam wadah/tempat
pemijahan. Pemijahan buatan terjadi dengan pemberian rangsangan hormonal dan proses ovulasi
dan pembuahannya dilakukan secara buatan. Pemijahan ikan nila untuk tujuan produksi sebaiknya
dilakukan secara alami dan semi buatan, hal ini dikarenakan secara biologi pemijahan dan
penetasan telur ikan nila lebih memungkinkan dilakukan secara alamiah (Djarijah, 1994).
2.2.2 Deterjen
Deterjen berasal dari bahasa latin yaitu detergere yang berarti membersihkan. Detergen merupakan
penyempurnaan dari produk sabun. Deterjen sering disebut dengan istilah detergen sintetis yang
mana detergen berasal dari bahan - bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk
terdahulu yaitu sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang
lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air (Rigby Heinemann, 1992).
Masalah sabun dapat dikurangi dengan menciptakan deterjen yang lebih efektif yaitu deterjen
sintetik. Deterjen sintetik ini harus mempunyai beberapa sifat, termasuk rantai hipofilik yang
panjang dan ujung ionik polar. Juga ujung yang polar tidak membentuk garam yang mengendap
dengan ion-ion dalam air sadah, sehingga tidak mempengaruhi keasaman air (Harold, 1998)
2.2.3 pH
pH air laut nilainya relatif stabil, namun perubahan nilainya sangat berpengaruh terhadap proses
kimia maupun biologis dari jasad hidup yang berada dalam perairan tersebut. pH juga
mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Pada pH <4,5, sebahagian besar tumbuhan air mati
karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi,2003).
Selain itu kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan
logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi
hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap
membentuk lumpur (Palar, 1994).
III. METODELOGI PRAKTIKUM
Bobot
Akhir
Respon Bukaan Bobo
Kelompo Perlakua Meni SR M Ika
Tingkah Operkulu t Ikan
k n t % % n
Laku m Awal Hidu
Mat
p
i
Ikan pingsan
10 186
dan melemas
Ikan
berenang
20 211
terbalik dan
lemas
Ikan mulai
30 berenang 207
Suhu agresif 100 18,5 17,8
10 0% ̶
10oC Ikan mulai % gr gr
40 berenang 200
agresif
Ikan mulai
50 berenang 239
pasif
Ikan mulai
60 berenang 260
agresif
Mengeluarka
n fases,
berenang di
10 273
dasar dan
bergerak
pasif
Berenang di
bawah
20 permukaan 303
dan mulai
agresif
Suhu 100 11,5 12,6
10 Ikan mulai 0% ̶
20oC % gr gr
30 berenang 300
agresif
Jarang
mengeluarka
40 328
n fases dan
mulai aktif
Ikan mulai
50 berenang 331
agresif
Feses tidak
60 328
keluar
Bobot Akhir
Bukaan Bobo Ika
Kelompo Perlakua Meni Respon SR M Ikan
Operkulu t n
k n t Tingkah Laku % % Hidu
m Awal Mat
p
i
Posisi ikan
selalu berada
10 51
di dasar
permukaan air
Kondisi 2
ikan melemah
dan ikan
20 52
banyak
mengeluarkan
fases
Ikan lebih
banyak 30 40 3,68 10,7 12,1
11 40oC 30 54
mengeluarkan % % gr gr gr
fases
Ikan lebih
banyak
40 57
mengeluarkan
kotoran
Ikan mulai
50 51
merasa stres
Ikan stress
dan
60 52
mengakibatka
n 2 ikan mati
Bobot Akhir
Respon Bukaan
Kelompo Perlakua M Bobot Ikan Ikan
Menit Tingkah Operkulu Sr %
k n % Awal Mat Hidu
Laku m
i p
Ikan terlihat
aktif dan
ikan tidak
100
Normal 60 menunjukka ̶ 0% 7,4 gr ̶ 7,1 gr
%
n gejala
adanya
gangguan
Suhu Gradual
gerakan
100
10 15 masih 181 0%
12 %
normal
gerakan
100
20 30 semakin 45 0%
%
aktif 12,8g 12,6
̶
gerakan r gr
semakin
aktif dan 100
30 45 122 0%
lebih banyak %
bukaan
operculum
Bobot Akhir
Respon Bukaan Bobo Ika
Kelompo Perlakua Meni SR M Ikan
Tingkah Operkulu t n
k n t % % Hidu
Laku m Awal Mat
p
i
Berenang di
10 150
dasr
Ikan mulai
agresif dan
20 115
mengeluarka
n fases
Ikan mulai
30 130
berantem
Semakin
banyak ikan
40 134 100 13,5g 13,5
13 pH 5 yang 0% ̶
% r gr
berantem
Ikan masih
sama tetapi
50 ditambah 122
ikan
berantem
Masih ada
ikan yang
60 115
berantem
kembali
Berenang di 100 11,5 11,4
13 pH 6 10 165 0% ̶
dasar % gr gr
Ikan mulai
agresif dan
20 130
mengeluarka
n fases
Ikan masih
sama tetapi
30 ditambah 186
ikan
berantem
Ikan masih
sama tetapi
40 ditambah 124
ikan
berantem
Ikan masih
sama tetapi
50 ditambah 114
ikan
berantem
Ikan masih
sama tetapi
60 ditambah 112
ikan
berantem
Bobot Akhir
Respon Bukaan Bobo Ika
Kelompo Perlakua Meni SR M Ikan
Tingkah Operkulu t n
k n t % % Hidu
Laku m Awal Mat
p
i
Agresif, sirip
memekar
10 dan 190
berenang di
pasar
Ikan
semakin
agresif dan
20 140
mulai
mengeluarka
n fases 100 21, 6 12,6
14 pH 8 0%
Ikan mulai % gr gr
30 150
berantem
Semakin
banyak ikan
40 130
yang
berantem
Bukaan
50 operculum 131
mulai sedikit
Masih ada
60 123
ikan yang
berantem
kembali
Berenang di
dasar dan
10 215
lumayan
agresif
Berada di
20 tengah dan di 210
atas air
Mulai
agresif dan
saling
30 177
menyerang
satu sama
12,2 12,2
14 pH 9 lain
gr gr
Mulai
mengeluarka
40 140
n banyak
fases
Semakin
bergerak dan
50 semakin 123
sedikit
bergerak
Lebih
banyak diam
60 di dasar air 111
Bobot
Akhir
Respon Bukaan Bobo
Kelompo Perlakua Meni SR M Ika
Tingkah Operkulu t Ikan
k n t % % n
Laku m Awal Hidu
Mat
p
i
ikan terlihat
aktif dan
ikan tidak
100
Normal 60 menunjukka ̶ 0% 7,4 gr ̶ 7,1 gr
%
n gejala
adanya
gangguan
pH Gradual
gerakan 100
15 5 15 181 0%
cepat %
Mengeluarka
100
6 30 n fases 45 0%
%
banyak 12,8g
̶ 12,6
Bergerak r
lebih lambat 100
8 45 122 0%
dari %
sebelumnya
9 60
Bobot
Akhir
Respon Bukaan Bobo
Kelompo Perlakua Meni Ika
Tingkah Operkulu SR % M% t Ikan
k n t n
Laku m Awal Hidu
Mat
p
i
Pergerakan
10 ikan pasif 38 100% 0%
Ikan naik
kepermuka
20 an 23 100% 0%
Ikan tidak
Deterjen bergerak 21, 4 22,
16 0 gr
1 gr dan gr 1 gr
beberapa
ada yang 66,67 33,3
30 mati 12 % %
40 Ikan mati 0 0%
50 ̶ 0 0%
60 ̶ 0 0%
Pergerakan
ikan pasif
dan mulai
Deterjen 10 gelisah 27 100% 14,6 14,
16 0 gr
3 gr Ikan naik gr 1 gr
kepermuka
an dan
20 beberapa 15 50%
ada yang
mati
30 ̶ 0 0%
30 ̶ 0 0%
50 ̶ 0 0%
60 ̶ 0 0%
Bobot Akhir
Respon Bukaan Bobo
Kelompo Perlakua Meni SR Ikan Ikan
Tingkah Operkulu M% t
k n t % Mat Hidu
Laku m Awal
i p
Ikan naik
ke
permukaa
10 n 18 60%
100
20 Ikan mati 0 %
Deterjen 40% 100 21, 4 13,2
0 gr
6 gr 30 ̶ 0 % gr gr
100
17
40 ̶ 0 %
100
50 ̶ 0 %
100
60 ̶ 0 %
Ikan
100
10 lincah 133
Kontrol % 0 9,6 gr 9gr 0 gr
Ikan
20 agresif 130
Ikan
30 132
lincah
Ikan
30 131
lincah
Ikan
50 131
lincah
Ikan
60 134
lincah
Respon
Bukaan Bobot Bobot
kelompok Perlakuan Menit Tingkah Sr % M%
Operkulum Awal Akhir
Laku
Ikan mulai
Deterjen gelisah dan
10 8 100% 100%
1 gr ikan naik
18 kepermukaan 14,2 14,8
Deterjen gr gr
Ikan pingsan 2 60% 40%
3 gr
Deterjen
Ikan mati 0 0% 0%
10 gr
4.2 Pembahasan
Pada percobaan dengan menggunakan suhu 100C dan 200C ikan memiliki tingkat kelangsungan
hidup (SR) sebesar 100% dan angka kematian (M) sebesar 0%. Pada percobaan ini juga bobot ikan
mengalami penurunan, jumlah bukaan operkulum pada setiap 10 menitnya mengalami perubahan
yang cukup drastis. Pada percobaan dengan menggunakan suhu 400C ikan memiliki tingkat
kelangsungan hidup (SR) sebesar 30% dan angka kematian (M) sebesar 40%, bobot ikan
mengalami peningkatan dan banyak ikan yang mati, serta jumlah bukaan operkulum mengalami
peningkatan yang signifikan. Pada percobaan dengan menggunakan suhu normal dan suhu gradual
tingkat kelangsungan hidup ikan (SR) sebesar 100% dan angka kematian (M) sebesar 0%, bobot
ikan mengalami penurunan pada suhu normal maupun suhu gradual, jumlah bukaan operkulum
berubah tidak stabil. Pada percobaan dengan menggunakan pH 5 dan 6 ( asam ) ikan memiliki
tingkat kelangsungan hidip (SR) sebesar 100% dan angka kematian (M) sebesar 0%, bobot ikan
pada pH 5 tidak mengalami perubahan dan pada pH 6 mengalami perubahan tipis saja, jumlah
bukaan operkulum pada pH 5 mengalami penurunan yang drastis dan pada pH 6 jumlah bukaan
operkulum mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil. Pada percobaan pH 8 dan 9 (
basa ) ikan memiliki tingkat kelulus hidupan (SR) sebesar 100% dan angka kematian ( M ) sebesar
0%, pada pH 8 bobot ikan mengalami penurunan yang sangat drastis dan jumlah bukaan
operkulum juga mengalami penurunan yang drastis juga. Pada pH 9 bobot ikan tidak mengalami
perubahan namun, jumlah bukaan operkulum mengalami perubahan yang signifikan. Pada
percobaan pH gradual ikan memiliki tingkat kelulus hidupan (SR) sebesar 100% dan angka
kematian (M) sebesar 0%, bobot ikan mengalami penurunan yang stabil dan jumlah bukaan
operkulum mengalami perubahan yang cukup jauh. Pada percobaan deterjen 1 gram ikan
mengalami tingkat kelulus hidupan yang beragam tergantung lama waktu ikan berada dalam
larutan deterjen dan lama-kelamaan ikan akhirnya mati. Pada deterjen 3 gram hanya membutuhkan
waktu 20 menit saja untuk membuat ikan mati dengan seketika. Pada percobaan deterjen 6 gram
ikamn memiliki tingkat kelulus hidupan (SR) sebesar 40% dan angka kematian (M) sebesar 100%,
bobot ikan mengalami penurunan yang sangat drastis. Pada deterjen 10% ikan memiliki tingkat
kelulus hidupan (SR) sebesar 0% dan angka kematian (M) sebesar 100%.
Pada percobaan ini, langkah pertama yang dilakukan pada variabel lingkungan (Suhu) yaitu
dengan cara mengisi dua akuarium dengan air sebanyak 3 liter. Setelah itu, menimbang bobot 5
ekor ikan yang akan dimasukkan ke dalam satu akuarium. Lalu, memasang aerator. Setelah itu,
mengukur suhu awal yaitu mulai dari 100C hingga 400C. Setiap 10 menit sekali yang mana dalam
waktu 60 menit bukaan operkulum pada ikan dihitung dan dicatat hasilnya.
Pada percobaan ini, langkah yang dilakukan pada variabel lingkungan (pH) yaitu dengan cara
mengisi dua akuarium dengan air sebanyak 3 liter. Setelah itu, menimbang bobot 5 ekor ikan yang
akan dimasukkan ke dalam satu akuarium. Lalu, dimasukkan perlakuan dengan pH 5,6,8 dan 9.
Setelah itu catat perubahan yang terjadi pada ikan setiap 10 menit sekali dalam waktu 60 menit
bukaan operkulum pada ikan dihitung dan dicatat hasilnya.
Pada percobaan ini, langkah yang dilakukan pada variabel lingkungan (surfaktan deterjen) yaitu
dengan cara mengisi dua akuarium dengan air sebanyak 3 liter. Setelah itu, menimbang bobot 5
ekor ikan yang akan dimasukkan ke dalam satu akuarium. Lalu, dimasukkan perlakuan dengan
surfaktan deterjen sebanyak 1 gram, 3 gram, 6 gram, dan 10 gram setelah itu catat perubahan yang
terjadi pada ikan setiap 10 menit sekali dalam waktu 60 menit bukaan operkulum pada ikan
dihitung dan dicatat hasilnya.
Telah dilakukan praktikum adaptasi organisme akuatik terhadap perubahan variable lingkungan.
Adapun adaptasi yang dilakukan adalah adaptasi terhadap suhu, pH, dan surfaktan deterjen. Dalam
setiap perlakuan dan perubahan lingkungan tersebut, ikan mengalami respon yang berbeda-beda
terhadap setiap perlakuan.
Pada suhu rendah dibawah normal dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan dan menjadi
lebih rentan terhadap penyakit. Sebaliknya pada suhu yang tinggi ikan bisa mengalami stress pada
pernapasan dan bisa merusak insang permanen.
Terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme sekitar 2-3 kali lipat menyebabkan
peningkatan suhu perairan sebesar 100C. Tetapi, peningkatan suhu yang disertai dengan penurunan
kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Efendi 2003).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) bahan yang dilakukan pada percobaan kali ini. Perlakuan
terhadap suhu panas memberikan pengaruh pada perubahan bobot ikan dimana pada suhu 350C
dan 400C ikan mengalami pertambahan bobot. Namun, suhu 450C ikan mengalami penurunan
bobot. Pada suhu 350C dan 400C ikan masih bisa beradaptasi tetapi pada suhu 450C ikan tidak bisa
beradaptasi karena suhu yang tinggi menyebabkan kekeringan sel akibat penguapan, sehingga
kekentalan protoplasmanya meningkat (Effendi 2003).
Tingkah laku ikan nila cenderung aktif pada suhu 350C dan 400C namun pada suhu 450C ikan
banyak yang kulitnya mengalami kerusakan dan ikan mendekati aerator. Ikan yang mengalami
kerusakan pada kulitnya disebabkan oleh suhu yang tinggi maka terjadi pengeringan sel pada ikan.
Ikan mendekati aerator disebabkan kekurangan oksigen di akuarium. Diketehui pada tabel 3 bahwa
pada kontrol, suhu mortalitasnya sebesar 100%. Diketahui dari data bahwa kisaran toleransi suhu
pada ikan yang mematikan adalah pada suhu 350C kandungan oksigen sudah sedikit dan tidak
cukup untuk kebutuhan ikan di akuarium sehingga ikan mati.
Penurunan bobot ikan terjadi karena aktivitas ikan yang meningkat. Metabolisme tubuh ikan
meningkat dikarenankan suhu dinaikan. Hal ini didukung oleh pendapat Dumairy (1992) dalam
Mulyadi (1999) menyatakan menyatakan bahwa air yang hangat pada umumnya akan memacu
metabolisme. Sehingga ikan memerlukan energi untuk melakukan pergerakan, sedangkan di lain
pihak ikan tidak mendapat asupan energi dari luar (misalnya : pakan). Akibatnya energi yang
tersedia di dalam tubuh ikan habis dan tidak cukup untuk mempertahankan hidup hingga akhirnya
ikan mati. Selain itu, kemungkinan lain adalah karena ketersediaan oksigen yang terlarut di dalam
air sedikit. Sehingga proses metabolisme tubuh ikan yang membutuhkan oksigen tidak
berlangsung efektif. Peristiwa ini terjadi karena ketika suhu dinaikkan maka DO akan semakin
sedikit. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2001) yang menyebutkan bahwa makin tinggi
suhu maka makin sedikit oksigen dapat larut. Akhirnya ikan-ikan yang berada dalam akuarium
kekurangan oksigen, metabolisme terhambat, bobot tubuh berkurang.
Ikan memiliki lendir dipermukaan kulitnya karena lendir tersebut merupakan cairan yang dapat
melindungi ikan dari suhu air yang panas. Bilamana suhu suatu perairan meningkat melebihi
kisaran toleransinya sebagai akibat masuknya limbah yang bersuhu tinggi, maka akan
menyebabkan menurunnya kandungan O2 terlarut, meningkatnya daya toxik dari suatu bahan
beracun. (Brotonidjoyo. 2001).
pH sangat berperan penting dalam menentukan kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju
kecepatan beberapa bahan air. Perlakuan asam memiliki pengaruh terhadap perubahan bobot ikan,
yaitu penurunan bobot ikan. Hal ini disebabkan karena respon ikan terhadap pH asam dan aktifitas
fisiologis yang berlebihan dalam rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Tingkat
kelangsungan hidup pada pH 5, 6, 8 dan 9 adalah 100% dan mortalitasnya sebesar 0% yang artinya,
ikan tidak ada yang mati. Kisaran pH yang cocok untuk perairan yaitu antara 5-8. Pada kisaran
tersebut sangat cocok untuk kehidupan ikan. Pada data kelompok 14, terhadap pH basa yaitu pH
8 dan 9 tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan. Semakin banyak ikan yang
melemah dan mengalami stress. Pada pH 8 dan 9 tingkat kelangsungan hidup ikan sebesar 100%
dan tingkat kematian ikan sebesar 0%. Hal ini disebabkan karena pada pH tersebut masih dalam
kisaran pH yang cocok untuk ikan sehingga kelangsungan hidupnya tinggi. Begitupun pada pH
gradual, tingkat kelangsungan hidupnya 100% dan angka kematiannya 0%.
Deterjen mengandung bahan kimia yang disebut surfaktan deterjen. Surfaktan adalah bahan kimia
organik sintetis yang banyak digunakan dalam deterjen, produk perawatan, dan bahan pembersih
dalam rumah tangga. Surfaktan di dalam perairan dapat menimbulkan rusaknya organ
kemoreseptor, berubah pola makan, pertumbuhan lambat dan tingkat kelangsungan hidup larva
yang rendah (Abel, 1974).
Bila ikan kepanasan maka ikan akan mengeluarkan lendir. Inilah yang membuat air detergen
mengental dipenuhi oleh lendir-lendir ikan tersebut. Selain itu, perbedaan konsentrasi juga
membuat ikan tersebut mengeluarkan lendir. Karena konsentrasi air detergen lebih tinggi daripada
konsentrasi cairan dalam tubuh ikan, maka terjadi proses osmosis (perpindahan cairan dari
konsentrasi yang lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi) untuk menyeimbangkan
konsentrasi antara air dan ikan. Hal ini mengakibatkan air detergen mengandung lendir dan tubuh
ikan akan meyusut karena terlalu banyak mengeluarkan cairan tubuhnya. (Brotonidjoyo. 2001)
Faktor-faktor lingkungan sering berfluktuasi, baik yang bersifat harian maupun musiman, kadang-
kadang ditemukan kondisi yang ekstrim. Fluktuasi faktor lingkungan akan mempengaruhi
kehidupan organisme, proses-proses fisiologis, tingkah lakunya dan mortalitas. Untuk
mengurangi pengaruh buruk dari lingkungannnya maka ikan melakukan adaptasi. Adaptasi adalah
suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap
kondisi baru (Anonim, 2011).
Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hewan memiliki toleransi dan resistensi
pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir variable lingkungan ini erat
kaitannya dengan faktor genetik dan sejarah hidup sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variable
lingkungan yang menyebabkan kematian bagi organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier
dimana suatu organisme masih dapat hidup disebut zone toleransi. Namun demikian posisi dari
zone-zone tersebut dapat berubah selama hidup suatu organism (Anonim, 2011).
Ikan akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk membuat keadaan
stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Mekanisme homeostasis ini terjadi
pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas membran
sel dan pembuangan sisa metabolism (Anonim, 2011).
Suhu ekstrim, perbedaan osmotik yang tinggi, racun, infeksi dan atau stimulasi sosial dapat
menyebabkan stress pada ikan. Jika terjadi stress, maka ikan akan merespon dengan cara:
1. Penurunan volume darah,
2. Penurunan jumlah leucosit,
3. Penurunan glikogen hati,
4. Peningkatan glukosa darah,
5. Menyusutnya diameter lambung
6. Menipisnya lapisar mukosa (Anonim, 2011).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Ikan ketika diberikan kondisi perairan (suhu, pH dan deterjen) yang berbeda-beda maka akan
memberikan respon tingkah laku yang berdeda-beda pula.
2. Ikan akan mengalami stres apabila terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi..
3. Jika air sudah tercemar oleh deterjen maka ikan tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang
lama karna zat yang terkandung pada surfaktan dalam deterjen dapat menimbulkan rusaknya
organ kemoreseptor, berubah pola makan, pertumbuhan lambat dan tingkat kelangsungan
hidup larva yang rendah serta mempengaruhi daya gerak ikan.
4. Titik kematian ikan biasanya terjadi pada pH 4 (asam) dan pH 11 (basa). Perairan yang kadar
asamnya tinggi (pH rendah) dapt menggangu proses fisiologi pada insang.
5.2 Saran
Adapun saran dalam pelaksanaan praktikum ini, yaitu :
1. Sebaiknya digunakan ikan yang memiliki besar yang sama antara sempel ikan yang satu
dengan yang lainnya.
2. Diperlukannya kelengkapan sarana dan prasarana praktikum sehingga kegiatan praktikum
dapat berjalan dengan lancar
3. Diperlukannya kerjasama yang kondusif antara rekan dalam satu kelompok maupun dengan
asdos sehingga pelaksanaan praktikum berjalan dengan baik.
4. Diperlukannya ketelitian dan keseriusan dalam melaksanakan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Cholik, F, et al. 2005. Akuakultur. Masyarakat Perikanan Nusantara. Taman Akuarium Air
Tawar. Jakarta.
Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan ke-5. Kanasius. Yogyakarta. 258 hlm.
Ghufran. 2009. Budidaya Perairan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 964 hlm.
Khoironi. 1996. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Merah (Oreochromi sp)
pada Suhu Media 28 – 0.250C dengan Salimitas 0, 10 dan 20 ppt. Skripsi. Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Lesmana, D.S dan D.Daelami. 2009. Panduan Lengkap Ikan Hias Air Tawar. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.