Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh :

Nugra Daary Razsky G 1840312246


Adnan Yunaidi Latif 1840312409

Preseptor :
dr. Sadeli M, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PARIAMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PARIAMAN
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin pada otot dan
hati serta kegagalan dari sel beta pankreas. Penyakit DM ini telah banyak
menimbulkan permasalahan di masyarakat dan berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia serta berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang
cukup besar.1 Diantara penyakit degeneratif, diabetes melitus merupakan salah satu
penyakit tidak menular yang diperkirakan jumlahnya akan meningkat di masa
mendatang. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kemakmuran di negara
berkembang, peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup
terutama di kota-kota besar. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan pada tahun
2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.2
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal
jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun
2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.3 Menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia
untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasarkan data IDF 2014, tahun 2015
diperkirakan 9,1 juta orang penduduk didiagnosis DM. Dengan angka tersebut,
Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia.
Untuk dapat mengurangi angka penderita diabetes melitus, maka diperlukan
adanya tatalaksana yang komprehensif yang mencakup preventif, promotif, kuratif
dan rehabilitatif. Bagi dokter pelayanan primer, diabetes melitus tipe 2 merupakan
kompetensi 4A artinya dokter dapat mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan
secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu penting untuk mengetahui dan

2
membahas kasus pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi pada makalah
ini.2

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini membahas kasus pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan
hipertensi secara komprehensif.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai kasus pasien diabetes melitus tipe 2 dan hipertensisecara komprehensif.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan


Melalui penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat untuk informasi dan
pengetahuan tentang tatalaksana diabetes melitus tipe 2.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolik yang ditandai


dengan hiperglikemi kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun
keduanya.Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, danpembuluh darah.4
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik. Meskipun kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat
tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Walaupun
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas,diabetes mellitus tipe 2 dianggap
sebagai non insulin dependent diabetes mellitus yang berarti glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan sekitar 75% dari penderita DM type
II ini dengan kondisi obesitas atau kegemukan serta biasanya diketahui DM setelah
usia 30 tahun.4

2.1.2 Epidemiologi

Secara global, pada tahun 2011, diperkirakan 366 juta orang menderita DM,
dengan jumlah tipe 2 yang sekitar 90% kasus.5,6 Jumlah penderita DM tipe 2
meningkat di setiap negara dengan 80% penderita DM tinggal di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Prevalensi diabetes mellitus di Afrika adalah
3,2%, dan 40.895 orang (2,0%) berada di Ethiopia.7 Meskipun Tipe 2 DM
didiagnosis secara luas pada orang dewasa, frekuensinya meningkat tajam pada
kelompok usia anak-anak selama dua dekade terakhir. Diabetes mellitus tipe 2
sekarang mewakili 8-45% dari semua kasus diabetes baru yang dilaporkan di antara
anak-anak.8 Prevalensi DM tipe 2 pada populasi anak-anak lebih tinggi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki, sama seperti di kalangan perempuan daripada
laki-laki.9 Usia rata-rata onset DM tipe 2 adalah 12-16 tahun.

4
Periode ini bertepatan dengan masa pubertas, ketika keadaan fisiologis
resistensi insulin berkembang. Dalam keadaan fisiologis ini, DM tipe 2 berkembang
hanya jika fungsi sel beta yang tidak adekuat dikaitkan dengan faktor risiko lainnya
(misalnya obesitas).8 Setelah usia pubertas, tingkat kejadian secara signifikan turun
pada wanita muda, namun tetap relatif tinggi pada pria dewasa muda hingga usia
29-35 tahun.10 Saat ini sebanyak 50% penderita diabetes tidak terdiagnosis. Risiko
terkena diabetes tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia, obesitas, dan
kurangnya aktivitas fisik. Kejadiannya meningkat dengan cepat, dan pada tahun
2030 jumlah ini diperkirakan hampir sekitar 552 juta . Diabetes melitus terjadi di
seluruh dunia, namun lebih umum (terutama tipe 2) di negara-negara yang lebih
maju, di mana mayoritas pasien berusia antara 45 dan 64 tahun. Namun,
peningkatan prevalensi terbesar diperkirakan terjadi di Asia dan Afrika.

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko diabetes mellitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi diantaranya ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga
dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4000
gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu kurang dari
2500 gram. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya berat
badan lebih, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, hipertensi, diet
yang tidak sehat/ tidak seimbang, riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
gula darah puasa terganggu, dan merokok. 5,6

5
Tabel 2.1 Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe II

DM tipe 2 terdiri dari 80% sampai 90% dari semua kasus DM. Kebanyakan
individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas intra-abdominal (visceral),
yang berkaitan erat dengan adanya resistensi insulin. Selain itu, hipertensi dan
dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol HDL rendah;
hiperlipidemia postprandial) sering ditemukan pada individu-individu ini. Ini
adalah bentuk diabetes mellitus yang paling umum dan sangat terkait dengan
riwayat keluarga diabetes, usia lanjut, obesitas dan kurang olahraga. Hal ini lebih
sering terjadi pada wanita, terutama wanita dengan riwayat diabetes gestasional,
dan pada kulit hitam, Hispanik dan penduduk asli Amerika.11

6
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pancreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pankreas
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,
produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal.
Obesitas, terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul-
pinggang), adalah sangat umum di DM tipe 2 (≥80% dari pasien mengalami
obesitas). Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati
normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas mengimbanginya
dengan meningkatkan produksi insulin.12
Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia, pulau
pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. Ini ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial. Penurunan
lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan hepatik memimpin produksi
glukosa untuk diabetes yang nyata dengan hiperglikemia puasa. Pada akhirnya,
kegagalan sel beta terjadi. Meskipun kedua resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin berkontribusi pada patogenesis DM tipe 2, kontribusi relatif dari masing-
masing bervariasi dari individu ke individu.12

Abnormalitas Metabolik
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara
efektif pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur yang
menonjol dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas.
Resistensi insulin relative karena beredarnya tingkat insulin yang supranormal akan

7
menormalkan glukosa plasma Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa
oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa hepatik; kedua efek
berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia.12,13 Peningkatan output glukosa
hepatik terutama menyumbang peningkatan tingkat GDP, sedangkan penurunan
hasil penggunaan glukosa perifer di hiperglikemia postprandial. Pada otot rangka,
ada penurunan lebih besar dalam penggunaan glukosa nonoxidative (pembentukan
glikogen) dari pada metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. metabolisme
glukosa pada jaringan independen insulin tidak diubah dengan DM tipe 2.12,13

Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin
awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk menjaga toleransi
glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan selektif melibatkan
glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk penrunan pada fase sekretori
pertama. Respon terhadap secretagogues nonglucose lainnya, seperti arginin, yang
diawetkan, tapi fungsi beta keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM
tipe 2. Kelainan pada pengolahan proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi
proinsulin di DM tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin adalah progresif. Alasan
penurunan kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah
bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta. Massa sel beta turun
sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid polipeptida atau
amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit amyloid fibril ditemukan di
pulau dariindividu dengan berdiri lama DM tipe 2. Apakah deposit amyloid pulau
seperti peristiwa primer atau sekunder tidak diketahui. Lingkungan metabolik
diabetes juga dapat berdampak negatif terhadap fungsi islet. Misalnya,
hiperglikemia kronik paradoks merusak fungsi islet (toksisitas glukosa) dan
mengarah ke memburuknya hiperglikemia.Peningkatan kontrol glikemik sering
dikaitkan dengan peningkatan fungsi islet. Selain itu, ketinggian kadar asam lemak
bebas (lipotoxicity) dan lemak dari makanan juga dapat memperburuk fungsi pulau.
Mengurangi GLP-1 tindakan dapat berkontribusi untuk sekresi insulin
berkurang.12,13

8
Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena
kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk
sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa
dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak
berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan
diabetes yang nyata.12,13

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus Tipe II


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.12
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.12
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang
tidak adekuat.9 Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan
pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga
diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai
respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini
juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa
lapar meningkat (polifagi).14
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke

9
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus terus-
menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan
filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan
kolapsnya sirkulasi. Perubahan volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel
yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.14

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus tipe 2

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM
pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat.8
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi,

10
riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr,
kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.8
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.8

Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi4

2.1.7 Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe II


Tujuan Tatalaksana Diabetes Melitus, yaitu :
- Menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah.

11
- Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus, yaitu
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.15
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.15
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

12
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.15
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari15:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

13
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah± 25 g/hari.
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus
Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm -100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI -10 %

14
 Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain15:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan
69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB.Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan
1200-1600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,

15
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani.15

Tabel 2.3Aktivitas Sehari-hari

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.15

Obat Hipoglikemik Oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan15:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang.Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.15

16
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.15
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin:
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.15
2) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) serta memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh
diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek

17
samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti
halnya gejala dispepsia.15
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan: penghambat Alfa
Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,
irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 2.4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

18
Obat Antihiperglikemia Suntik
a. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

19
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan
ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg
perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan
efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24
jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.

20
21
c. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan
kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin
kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-
10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan
prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-
hati.

Prinsip pemberian terapi:


 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C<7,5% maka pengobatan non
farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C
3 bulan, bila tidak mencapai target <7% maka dilanjutkan dengan
monoterapi oral

22
 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C 7,5%- 9% diberikan modifikasi
gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Pemilihan obat perlu
pertimbangan keawaman (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung),
efektivitas, ketersediaan, toleransi pasien, dan harga. Obat monoterapi dapat
dikelompokkan menjadi
 Bila obat monoterapi tidak bias mencapai target HbA1C<7% dalam waktu
3 bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang
terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain
yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda
 Bila HbA1C sejak awal >9% maka bias langsung diberikan kombinasi 2
macam obat, jika tidak mencapai target kendali maka diberikan kombinasi
3 macam obat.
 Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan insulin basal plus/bolus atau premix
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
 Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
 Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa
darah pada waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka
pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.

23
Gambar 2.2. Algoritma Pengelolaan DM tipe II tanpa Dekompensasi

24
25
2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus tipe 2
Komplikasi diabetes melitus biasanya melibatkan mikrovaskular,
makrocaskular dan neuropati.

1. Risiko Kardiovaskular10
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 terdapat beberapa keabnormalan lipid
yaitu:
 Peningkatan LDL
 Penurunan HDL
 Peningkatan level trigliserida
Abnormalitas dari nilai lipid tersebut akan meningkatkan risiko aterosklerosis
2. Penurunan Fungsi Kognitif
Pada penelitian cross sectional yang dilakukan pada 350 pasien usia 55 tahun
atau lebih dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan 363 kontrol pasien
usia 60 tahun atau lebih tanpa diabetes melitus, didapatkan hasil bahwa pada
pasien diabetes lebih tinggi risiko atrofi otak daripda lesi serebrovaskular

26
yang gambarannya seperti fase preklinis penyakit Alzheimer. Diabetes tipe 2
sering dihubungkan dengan atrofi hipokampus temporal, frontal dan atrofi
limbik.

Selain pembagian diatas, komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
10

a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia ditandai dengan
menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Pada keadaan ini biasanya ditemukan whipple’s triad:
- terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- kadar glukosa darah yang rendah
- gejala berkurang dengan pengobatan
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa:
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia,
gelisah, paresthesia, widened pulde-
palpitasi, pressure
Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Cortical-blindness,
pusing, confusion, hipotermia, kejang,
perubahan sikap, koma
gangguan kognitif,
pandangan kabur,
diplopia

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:

27
a. Hipoglikemia Ringan
- Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
- Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat
lain yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah
- Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon
kenaikkan glukosa darah.
- Glukosa 15-20 gr (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air dapat
diberikan pada pasien hipoglikemia yang masih sadar.
- Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan 15
menit pemberian upaya terapi.
- Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.

b. Hipoglikemia Berat
- Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan
dextrose 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
- Periksa gluksa darah 15 menit setelah pemberian iv tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 20%
- Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah settiap 1-2 jam kalau
masih terjadi hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose 20% dapat
diulang.

2. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat


secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non
Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis

28
1. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah
pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke
2. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada
penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan),
neuropati, dan amputasi

2.1.9 Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu: 10
1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus
diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM
misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa
konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik,
pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi
kesehatan.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM,
tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor

29
tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini
hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani
teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu
gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.
Selain itu perlu diketahui dua faktor risiko diabetes melitus berupa yang tidak
dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi:
Tidak bisa dimodifikasi Dapat dimodifikasi
- Ras dan etnik - Berat badan lebiH (IMT ≥ 23
- Riwayat keluarga dengan DM kg/m2
- Umur: risiko untuk menderita - Kurangnya aktivitas fisik
intolerasni glukosa meningkat - Hipertensi (>140/90)
seiring dengan meningkatnya usia. - Dislipidemia (HDL <35 mg/dl
Usia >45 tahun harus dilakukan dan/atau trigliserida >250 mg/dl
pemeriksaan DM - Diet tidak sehat dengan tinggi
- Riwayat melahirkan bayi dengan glukosa dan rendah serat
berat >4000 gram atau riwayat
mendeirta diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan BBLR,
kurng dari 2,5 kg

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai
dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar
utama pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b. perencanaan makanan c.
latihan jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut
dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut
menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin
terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli

30
sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi
dan lain-lain.

31
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas
• Nama : Ny Ramu
• Umur : 72 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Kampuang Gelapung Ulakan-Tapak
• Pekerjaan : Tidak bekerja
• Agama : Islam
• No RM : 158996

Anamnesis
Pasien masuk ke bangsal Penyakit Dalam RSUD Pariaman pada tanggal 20
Desember 2018 dengan
Keluhan Utama
Badan terasa lemah, letih dan lesu sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Badan terasa lemah, letih dan lesu sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
- Pasien tidak bisa beraktivitas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
- Kedua anggota gerak bagian kanan tampak kurang aktif dibandingkan
anggota gerak kiri sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
- Pasien merasa gatal diseluruh badan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
- Mulut pasien mencong ke kanan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
- Pasien berbicara pelo sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
- Pasien mengeluhkan anggota gerak terasa kebas seperti kesemutan
- Nafsu makan menurun ada
- Riwayat perdarahan tidak ada
- BAK tidak ada keluhan

32
- BAB tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi yang baru diketahui sejak 1 tahun yang lalu, TD sistolik
rata-rata 160 mmHg, TD tertinggi 180mmHg, pasien kontrol rutin dan
minum obat amlodipin.
- Riwayat DM sebelumnya tidak diketahui
- Riwayat stroke ringan ada 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat adik pasien menderita sakit diabetes melitus dan telah meninggal.
- Riwayat anak menderita stroke ada
Riwayat kebiasaan
Pasien tidak merokok, pasien tidak bekerja kesehariannya dengan menjaga cucu.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis kooperatif
Tekanan darah : 145/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,9° C
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 45 kg
Keadaan gizi : baik (BMI 20 kg/m2)
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada
Anemis : tidak ada

33
Keadaan spesifik
Kulit
Teraba hangat, warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi
normal, ikterus (-), sianosis(-), spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-),
pertumbuhan rambut normal berwarna putih.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, dan inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformitas (-), rambut hitam putih, lurus,
tidak mudah dicabut
Mata
Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung
(-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), Tophi (-), nyeri tekan
processus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (+), atrofi papil (-), gusi berdarah (-
), stomatitis (-),bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada,
JVP (5-1) cmH2O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada normochest, spider nevi (-).
Paru Depan
I : Statis (simetris kanan dan kiri)
dinamis (pergerakan dinding dada kiri sama dengan kanan)

34
P : Fremitus kanan dan kiri sama
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: Suara nafas vesikuler di kedua lapangan paru, ronkhi (-/-),
wheezing (-).
Paru Belakang
I : Statis (simetris kanan dan kiri)
dinamis (pergerakan dinding dada kiri sama dengan kanan)
P : Fremitus kanan dan kiri sama
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: Suara nafas bronkovesikuler di kedua lapangan paru, ronkhi (-/-),
wheezing (-).
Jantung
I : Iktus kordis terlihat 1 jari lateral LMCS RIC VI
P : Iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI, luas 2 jari, kuat angkat
P : Batas atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas jantung
kiri 1 jari lateral LMCS RIC VI
A: BJ1 dan BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : tampak membuncit
P:
(superfisial): supel (-), nyeri tekan (-), teraba massa (-)
(profunda) : hepar dan lien tidak teraba, ballottement ginjal (-)
Shifting dullness (-), nyeri tekan dan nyeri ketok CVA (-)
P : timpani
A: BU (+) normal
Alat kelamin
Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan kanan kurang aktif, edema (-
), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat
(-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), eritema palmaris
(-), sianosis (-).

35
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan kanan kurang aktif, edema
pretibia (-) pada kedua tungkai, jaringan parut (-), pigmentasi
normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), akral pucat
(-), sianosis (-), ulkus (-), bengkak (-), kemerahan (-)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin
Hb : 14,2 gr/dl
Leukosit : 8.240/mm3
Trombosit : 241.000/mm3
Hematokrit : 39,91
Kesan: Dalam batas normal
Gula Darah Rondum : 264
Pemeriksaan 20-5-2019
GDP : 226
GDPP : 231
Pemeriksaan Urinalisa 20-5-2019
pH : 6 Urabilin : normal
Berat Jenis : 1.025 Silinder : granuler (+)
Protein : ++ positif dua Kristal : - negatif
Reduksi : + positif satu Epitel : gepeng
Bilirubin : - negatif Nitrit : + positif
Leukosit : 1-3 / LPB Bakteri : + positif
Eritrosit : >100 / LPB
Kesan : Proteinuria , Hematuria

Diagnosis Kerja
- Diabetes Melitus Tipe 2 baru diketahui
- Hipertensi Stage II
Penatalaksanaan
Nonfarmakologis
- Diet ML RG II DJ II
- Oksigen 3l/i nasal kanul

36
- Balance cairan
Farmakologis
- IVFD easprimer 500cc/24 jam
- Injeksi lasix 2 ampul
- Injeksi ceftazidime 2x1 gr iv
- Amlodipin 1x10 mg po
- Candesartan 1x16 mg po

Pemeriksaan penunjang
Kimia klinik
- GDS : 99mg/dl
- Na/K/Cl : 141/5,1/114 Mmol/l
- Ur/Cr : 131/11,4 mg/dl
- Alb/glb : 4,0/3,2 g/dl
- PT/APTT : 12,1/15,7 detik
Kesan: Hiperkalemia, Ur/Cr meningkat, APTT memanjang
Rontgen Thorax

37
Kesan: kardiomegali, bendungan paru, bronkopneumonia
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

Follow up
Hari, tanggal Follow up
Jumat, 21 S/ - sesak napas (+)
Desember 2018 - Batuk (+), berdahak
- Demam (-)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 160/90mmHg
Nadi : 88x /menit
Nafas : 25x / menit
Suhu : 36,50 C
Mata: Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Mulut: lidah pucat (+)

38
Paru: Suara nafas bronkovesikular, Rhonki +/+, Wheezing -/-
Jantung: BJ1 dan 2 reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen: tampak membuncit, shifting dullness (+), BU(+)
normal
Ekstremitas: edem +/+ pada ektremitas bawah
A/ - CHF Fc III irama sinus ec HHD
- HAP
- CKD stage V ec penyakit ginjal hipertensi on HD rutin
- Hipertensi stage 2 ec esensial
- Anemia sedang ec penyakit kronis
- Trombositopenia
P/ - Diet ML RG II DJ II
- Oksigen 3l/i nasal kanul
- Balance cairan
- IVFD easprimer 500cc/24 jam
- Injeksi lasix 2 ampul
- Injeksi ceftazidime 2x1 gr iv
- Amlodipin 1x10 mg po
- Candesartan 1x16 mg po

BAB 4
DISKUSI

Seorang laki-laki umur 53 tahun datang ke IGD RSUP Dr.M.Djamil dengan


keluhan sesak napas semakin meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai sistem, bisa dari kardiak maupun
nonkardiak. sesak napas kardiak dapat disebabkan oleh gagal jantung maupun efusi
perikard. Sesak napas nokardiak dapat ditimbulkan oleh kelainan paru seperti asma,
PPOK, efusi pleura, kelainan metabolik seperti asidosis, kelainan darah seperti

39
anemia. Pada pasien ini sesak napasnya meningkat dengan aktivitas, ini merupakan
ciri pada sesak napas akibat gagal jantung, namun juga bisa pada PPOK. setelah
ditelusuri lagi, pasien juga mengeluhkan sesak napas tiba-tiba hingga terbangun
saat tidur dimalam hari akibat sesaknya, dan juga pasien lebih nyaman tidur dengan
bantal ditinggikan bahkan tidur dengan posisi duduk. Keadaan-keadaan tersebut
mengarahkan kepada sesak napas akibat kegagalan jantung. Sesak napas akibat
PPOK dapat disingkirkan karena tidak ada sesak yang menciut.
Pasien juga mengeluhkan kedua kaki sembab sejak  1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena sudah terjadi bendungan akibat gagal
jantung yang dialami oleh pasien. Selain itu pasien merasakan lemah letih sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Kemungkinan pasien mengalaminya akibat
anemia akibat penyakit ginjal kronik, karena pasien sudah dikenal menderita CKD
stg V dan rutin menjalani hemodialisa.
Batuk berdahak warna putih sejak  4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengalami batuk setelah dirawat di rumah sakit (pasien sempat dirawat setelah
menjalani hemodialisis). Hal ini mengarahkan kita pada Hospital Acquired
Pneumonia (HAP). Pneumonia merupakan suatu peradangan paru yang disebbakan
oleh infeksi mikroorganisme baik bakteri, virus maupun jamur. Hospital Acquired
Pneumonia merupakan pneumonia yang terjadi 48 jam setelah masuk rumah sakit.
Pasien riwayat hipertensi yang baru diketahui sejak 1 tahun yang lalu, TD
sistolik rata-rata 160 mmHg, TD tertinggi 270mmHg, pasien kontrol rutin dan
minum obat amlodipin. Empat bulan yang lalu pasien mulai mendapatkan herbeser.
Pasien tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Berdasarkan riwayat hipertensi
yang dialami pasien, kemungkinan gagal jantungnya terjadi akibat hipertensi
tersebut. Pada orang-orang yang menderita hipertensi, ventrikel kirinya akan
menjadi hipertrofi, kemudian lama kelamaan menjadi dilatasi dan akhirnya terjadi
regurgitasi dari ventrikel kiri ke atrium kiri hingga sampai ke paru dan jantung
kanan. Hal itulah yang menjadi mekanisme gagal jantung akibat hipertensi.
Berdasarkan NYHA, pasien termasuk kedalam functional class III karena sudah
merasa sesak saat melakukan aktivitas minimal dan merasa nyaman jika
beristirahat.

40
Pada rontgen thorax didapatkan kesan kardiomegali dan juga bendungan paru.
Hal tersebut sesuai dengan gagal jantung yang dialami oleh pasien. bendungan paru
itulah yang menjadi penyebab pasien tidur lebih nyaman dengan bantal ditinggikan.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan secara nonfarmakologis dan
farmakologis. Pada penatalaksanaan nonfarmakologis, pasien diberikan diet
rendagh garam dan diet jantung. Kemudian juga dilakukan penghitungan balance
cairan mengingat pasien sudah kelebihan banyak cairan. Pada penatalaksanaa
farmakologis diberikan injeksi lasix untuk mengurangi bendungan di paru maupun
di tungkai. Selain itu juga diberikan injeksi ceftazidime 2x1 gr iv untuk menangani
HAP nya. Amlodipin 1x10 mg dan candesartan 1x16 mg diberikan per oral untuk
mengontrol hipertensinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed AM (2002) History of diabetes mellitus. Saudi Med J 23: 373-378.


2. Diabetes mellitus history- from ancient to modern times.
3. American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1,
January 2015. USA
4. Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196
5. Soltesz G, Patterson CC, Dahlquist G; EURODIAB Study Group (2007)
Worldwide childhood type 1 diabetes incidence--what can we learn from
epidemiology? Pediatr Diabetes 8 Suppl 6: 6-14.
6. Global burden of diabetes. International Diabetes federation. Diabetic atlas
fifth edition 201, Brussels. Yach D, Hawkes C, Gould CL, Hofman KJ (2004)

41
The global burden of chronic diseases: overcoming impediments to prevention
and control. JAMA 291: 2616-2622.
7. Mayfield J (1998) Diagnosis and classification of diabetes mellitus: new
criteria. Am Fam Physician 58: 1355-1362, 1369-70
8. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
9. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia.
Perkeni. 2015.
10. medscape: Khardori R. 2018. Type 2 Diabetes melitus. Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#a1
11. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
12. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM,
Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin.
Philadelphia. Pg 425-448, 2005
13. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine
Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia
Edisi 6. Jakarta;2014; hal.1259
14. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes
Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
15. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus
statement of the American Diabetes Association and the European Association
for the Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11

42

Anda mungkin juga menyukai