Anda di halaman 1dari 130

PEMBERIAN TERAPI KOMPRES JAHE DAN MASSAGE

TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN


KEPERAWATAN NY. Y DENGAN OSTEOARTRITIS DI
PANTI SASANA TRESNA WREDHA DHARMA
BHAKTI WONOGIRI

DISUSUN OLEH :

RATNA BUDIARTI
NIM.P.13042

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN TERAPI KOMPRES JAHE DAN MASSAGE
TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN NY. Y DENGAN OSTEOARTRITIS DI
PANTI SASANA TRESNA WREDHA DHARMA
BHAKTI WONOGIRI

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH :
RATNA BUDIARTI
NIM.P.13042

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016

i
ii
iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena

berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Tulis Ilmiah dengan judul “Aplikasi Tindakan Kompres Jahe dan Massage

Terhadap Intensitas Nyeri pada Asuhan Keperawatan Ny.Y dengan Osteoartritis

di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti Wonogiri”.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat

bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada yang terhormat:

1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku ketua STIKes Kusuma Husada

Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di

STIKes Kusuma Husada Surakarta.

2. Ns. Meri Oktariani, M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan

yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes

Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji yang telah membimbing

dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman

dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.

3. Ns. Alfyana Nadya Rachmawati, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi

DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat

menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.

iv
4. bc. Yeti Nurhayati M. Kes, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai

penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-

masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi

demi sempurnanya studi kasus ini.

5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada

Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya

serta ilmu yang bermanfaat.

6. Kedua orang tuaku, Bapak H. Suroto dan Ibu Hj. Tutik Astiningrum Purnomo

S.Pd, yang selalu mendoakan, menyayangi dengan sepenuh hati, serta menjadi

inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma

Husada, yang selalu menyemangati dalam masa pendidikan di STIKes

Kusuma Husada Surakarta ini dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.

Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, 12 Mei 2016

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………………………….. ii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………… iii

KATA PENGANTAR ……………………………………………… iv

DAFTAR ISI ………………………………………………………... vi

DAFTAR TABEL …………………………………………………... viii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. ix

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….. x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ……………………………………………… 1


B. Tujuan penulisan …………………………………………… 4
C. Manfaat penulisan ………………………………………….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori ………………………………………………. 6


1. Lansia ……………………………………………………. 6
2. Osteoarthritis ……………………………………………. 8
3. Asuhan keperawatan ……………………………………. 21
4. Nyeri …………………………………………………….. 32
5. Kompres hangat ………………………………………… 50
6. Massage …………………………………………………. 51
7. Jahe ……………………………………………………… 54
B. Kerangka Teori ……………………………………………… 57
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET

A. Subjek aplikasi riset …………………………………………… 58

vi
B. Tempat dan waktu …………………………………………….. 58
C. Media dan alat yang digunakan………………………………... 58
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset …………………. 59
E. Alat ukur evaluasi tindakan berdasarkan riset ……………….... 60
BAB IV LAPORAN KASUS

A. Identitas klien ……………………………………………… . 62


B. Pengkajian ………………………………………………….. 62
C. Perumusan masalah ……………………………………….... 71
D. Perencanaan ………………………………………………… 72
E. Implementasi ……………………………………………….. 74
F. Evaluasi …………………………………………………….. 81
BAB V PEMBAHASAN

A. Pengkajian ………………………………………………….. 88
B. Perumusan masalah ……………………………………….... 94
C. Perencanaan ………………………………………………… 99
D. Implementasi ……………………………………………….. 101
E. Evaluasi …………………………………………………….. 108
BAB VI KESIMPULAN

A. Kesimpulan ………………………………………………… 111


B. Saran ……………………………………………………….. 116
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri ………………………… 44

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Visual Analog Scale ……………………………………… 41

Gambar 2.2 Numeric Rating Scale …………………………………… 42

Gambar 2.3 Faces Pain Rating Scale ………………………………… 43

Gambar 4.1 Genogram Keluarga Ny.Y ……………………………… 63

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Usulan Judul

Lampiran 2. Lembar Konsultasi

Lampiran 3. Lembar Surat Pernyataan

Lampiran 4. Lembar Jurnal Utama

Lampiran 5. Lembar Asuhan Keperawatan

Lampiran 6. Lembar Log Book

Lampiran 7. Lembar Pendelegasian

Lampiran 8. Lembar Observasi

Lampiran 9. Lembar SOP Kompres Jahe dan Massage

Lampiran 10. Lembar Daftar Riwayat Hidup

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam

kehidupan manusia. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses

yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan

proses menurunkan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari

dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2008).

Kekuatan muscular mulai merosot sekitar usia 40 tahun dengan suatu

kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun.

Usia, Perubahan gaya hidup, dan penggunaan sistem musculoskeletal

adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Kerusakan otot terjadi

karena penurunan jumlah serabut otot dan atrofi secara umum pada organ dan

jaringan tubuh (Stanley, 2006).

Osteoartritis (penyakit pengapuran sendi) adalah penyakit sendi

degeneratif yang umumnya terjadi pada dewasa madya dan lansia dengan

gangguan pada sendi dan mempunyai gejala utama nyeri kronik. Nyeri yang

terjadi pada pasien osteoartritis merupakan nyeri muskuloskletal yang termasuk

ke dalam nyeri kronis (Sarafino, 2006).

Dari 5 juta penduduk Inggris, 80% dari penderita osteoartritis adalah

berusia diatas 70 tahun. Demikian juga dari 40 juta penduduk di Amerika,

diperkirakan 70-90% penderita osteoartritis adalah usia 75 tahun. Secara umum

1
2

prevalensi penyakit sendi di Indonesia sangat tinggi sebesar 30,3%. Pada usia

45-54 pravelensinya sebesar 46,3%, usia 55-64 sebesar 56,4%, usia 65-74

sebesar 62,9%, usia lebih dari 75 sebesar 65,4% (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, DepKes RI 2008 dalam Bachtiar 2010). Secara

khusus prevalensi osteoartritis di Indonesia juga cukup tinggi 5% pada usia

<40 tahun, 30% pada usia40-60 tahun dan 65% pada usia >61 tahun

(Handayani 2008 dalam Bachtiar 2010). Pravelensi osteoartritis usia di bawah

70 tahun di Malang Jawa Timur juga cukup tinggi sekitar 21,7% menyerang

pada usia 49-60 tahun, terdiri dari 6,2% pria dan 15,5% wanita (Koentjoro,

2010).

Nyeri menurut IASP (International Association for the Study of Pain)

adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Herdman, 2012).

Tehnik nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri

pada osteoartritis diantanya yaitu dengan stimulasi kulit (massage kutaneus

atau pijat, kompres panas atau dingin, akupuntur, stimulasi kontralateral),

stimulasi elektrik saraf kulit transkutan, tehnik distraksi, tehnik relaksasi dan

istirahat. Tindakan nonfarmakologi itu dapat dilakukan sendiri di rumah dan

caranya sederhana. Selain itu tindakan nonfarmakologi ini dapat digunakan

sebagai pertolongan pertama ketika nyeri menyerang. Penggunaan panas

memberikan efek mengatasi dan menghilangkan sensasi nyeri, tehnik ini juga

memberikan reaksi fisiologis antara lain meningkatkan respon inflamasi,


3

meningkatkan aliran darah dalam jaringan, dan meningkatkan pembentukan

edema (Tamsuri, 2006).

Massage adalah stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada

punggung dan bahu, atau dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh

dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing bagian tubuh untuk

mencapai hasil relaksasi yang maksimal (Tamsuri, 2006).

Remedial massage (pijat penyembuhan) adalah suatu pijatan yang

dilakukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan beberapa macam

penyakit dengan menggunakan sentuhan tangan dan tanpa memasukkan obat

kedalam tubuh yang bertujuan untuk meringankan atau mengurangi keluhan

atau gejala pada beberapa macam penyakit yang merupakan indikasi untuk

dipijat (Bambang, 2011).

Jahe (Zingiber officinale Rosc) termasuk dalam daftar prioritas WHO

sebagai tanaman obat yang paling banyak di gunakan di dunia. Rimpangnya

yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid terbukti berkhasiat mengurangi

peradangan dan nyeri sendi. Jahe menekan sintesis prostaglandin melalui

inhibisi cyclooxygenase-1 daan cyclooxygenase-2, hasil penemuan selanjutnya

menyatakan bahwa jahe juga menekan biosintesis leukotrin dengan

menghambat 5-lipoxygenase, dan dalam penelitian sebelumnya dinyatakan

bahwa dua inhibitor cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase memiliki riwayat

terapeutik lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

NSAIDs (Grzanna dkk, 2005).


4

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengaplikasikan tindakan pemberian terapi kompres jahe dan massage

terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan osteoartritis.

2. Tujuan khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan

Osteoartritis.

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien

dengan Osteoartritis.

c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan

Osteoartritis.

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan

Osteoartritis.

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan Osteoartritis.

f. Penulis mampu menganalisis efek dari pemberian terapi kompres jahe

dan massage terhadap intensitas nyeri pada pasen penderita

Osteoartritis.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Menambah ilmu pengetahuan tentang pengaruh pemberian kompres jahe

dan massage terhadap intensitas nyeri pada penderita Osteoartritis.

2. Bagi Institusi pendidikan


5

Menambah referensi perpustakaan dan sebagai sumber bacaan tentang

terapi kompres jahe dan massage pada osteoartritis serta dapat dijadikan

sebagai bahan kegiatan praktikum bagi mahasiswa keperawatan dalam

upaya mengontrol nyeri pada penderita Osteoartritis secara

nonfarmakologis.

3. Bagi Lansia

Lansia akan lebih termotivasi untuk melakukanterapi kompres

menggunakan jahe dan massage sebagai tehnik pengobatan

nonfarmakologi yang bahannya mudah didapatkan serta menggunakan

cara yang sederhana.

4. Bagi Panti Sasana TresnaWredha

Pihak Panti Sasana Tresna Wredha dapat menerapkan tehnik

nonfarmakologi kompres jahe dan massage sebagai alternatif pengobatan

pada penderita Osteoartritis.

5. Praktek keperawatan

Dapat digunakan sebagai salah satu cara alternatif atau intervensi mandiri

yang dilakukan perawat klinis dalam penatalaksanaan Osteoartritis untuk

membantu menurunkan nyeri dengan Osteoartritis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Lansia

a. Definisi

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1), (2), (3), dan

(4) UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia

lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Usia lanjut

dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai

usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan

keperawatan, baik bersifat promotif maupun preventif, agar dapat

menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan

bahagia (Maryam, 2008).

b. Batasan Lanjut Usia

Menurut badan kesehatan dunia (World Health Organization)

dalam Yuli Reni (2014), yang dikatakan lanjut usia tersebut dibagi

menjadi tiga kategori yaitu:

1) Usia lanjut (elderly) 60-74 tahun.

2) Usia tua (old) 75-89 tahun.

3) Usia sangat lanjut (very old) lebih dari 90 tahun.

6
7

Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia membagi

lanjut usia sebagai berikut:

a) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) keadaan ini

dikatakan sebagai masa virilitas.

b) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.

c) Kelompok usia lanjut (lebih dari 65 tahun) yang dikatakan sebagai

masa senium.

c. Ciri-ciri Lansia

Ciri-ciri yang dijumpai di usia lanjut menurut Wahyunita dan

Fitrah (2010), meliputi :

1) Secara fisik : penglihatan dan pendengaran menurun, kulit tampak

mengendur, aktivitas tubuh menurun, penumpukan lemak di bagian

perut dan panggul.

2) Secara psikologis : merasa kurang percaya diri, sering merasa

kesepian, merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak berguna,

tipe optimis, dependen (ketergantungan), tipe marah/frustasi

(kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), putus asa

(benci pada diri sendiri).

2. Osteoartritis

a. Definisi

Osteoartritis merupakan gangguan sendi yang tersering dalam

proses penuaan kelainan ini paling sering dirasakan pada lansia


8

(Robbins, 2007). Osteoartritis (juga disebut penyakit degeneratif

sendi, hipertrofi artritis, artritis senescent dan osteoartrosis) adalah

gangguan yang berkembang secara lambat, tidak simetris, non

inflamasi yang terjadi pada sendi-sendi yang dapat digerakkan,

khususnya pada sendi-sendi yang menahan berat tubuh (Stanley,

2006).

Osteoartritis (penyakit pengapuran sendi) merupakan kelainan

sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan,

terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis dengan

karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya

tulang-tulang baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang

membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan biokimia,

metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan

hialin rawan, jaringan sub kondrial dan jaringan tulang yang

membentuk persendian (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi, 1999).

Dapat disimpulkan bahwa osteoartritis (penyakit pengapuran

sendi) adalah suatu penyakit degeneratif, yang menyebabkan nyeri dan

kekakuan pada sendi yang sering diderita pada tahap menua yaitu pada

usia diatas 60 tahun sehingga membuat sendi-sendi menjadi sulit untuk

digerakkan dan apabila tidak digerakkan akan memperparah keadaan

(Yuli Reni, 2014).


9

b. Etiologi

Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap,

namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis menurut

Bambang (2011) dalam Yuli Reni (2014) antara lain :

1) Umur.

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis,

faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya

orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur.

Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur

dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Penderita

osteoartritis khususnya osteoartritis genu (lutut) meningkat pada

usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik maupun radiologik.

Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan

bertambahnya umur dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar

air, dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.

2) Jenis Kelamin.

Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi,

dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan

tangan dan leher. Secara keseluruhan dibawah usia 45 tahun

frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita,

tetapi diatas 50 tahun frekuensi osteoartritis lebih banyak pada

wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal

pada pathogenesis osteoartritis.


10

3) Genetik

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis

misal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada

sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih

sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya

perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada

ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.

4) Suku

Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis

nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku

bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-

orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih

sering dijumpai pada orang-orang Amerika asli dari pada orang

kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara

hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan

pertumbuhan.

5) Kegemukan

Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan

meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada

wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan

dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga

dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).


11

6) Pengausan (wear and tear)

Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat

merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan

proses degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya.

7) Trauma

Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah

trauma yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan

biomekanik sendi tersebut.

8) Akibat penyakit radang sendi lain

Infeksi (artritis rematoid, infeksi akut, infeksi kronis)

menimbulkan reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak

matriks rawan sendi oleh membran sinovial dan sel-sel radang.

9) Joint Mallignment

Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan,

maka rawan sendi akan membal dan menyebabkan sendi menjadi

tidak stabil/seimbang sehingga mempercepat proses degenerasi.

10) Penyakit endokrin

Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam

proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong

sehingga merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia,

dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan

produksi proteaglikan menurun.


12

11) Deposit pada rawan sendi

Hemokromatosis, penyakit wilson, akronotis, kalsium

pirofosfat dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer,

asam hemogentisis, kristal monosodium urat/pirofosfat dalam

rawan sendi.

Kelainan yang dapat ditemukan pada tulang rawan sendi,

tulang, membran synovial, kapsul sendi, badan lepas (loos bodies),

efusi, nodus heberden dan bouchard (Chairuddin, 2003 dalam

Nurarif, dkk, 2013).

c. Patofisiologi

Penyakit sendi degenerative (osteoartritis) merupakan suatu

penyakit kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-

akan merupakan proses penuaan, rawan sendi mengalami kemunduran

dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian

tepi sendi.

Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit

yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut

diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim

lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang

membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan

kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi

yang harus menanggung berat badan, seperti panggul, lutut dan

kolumna vertebralis. Sendi inter falang distal dan proksimasi.


13

Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan

terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang

dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang

digunakannya sendi tersebut. Perubahan-perubahan degeneratif yang

mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera

sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan

sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat

intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur pada ligamen

atau adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya

mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang

menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang

menyebabkan nyeri, kaki krepitasi, deformitas, adanya hipertropi atau

nodulus (Soeparman, 1995 dalam Yuli Reni, 2014).

d. Manifestasi klinis

Tanda dan Gejala dari Osteoartritis menurut Yuli Reni (2014) antara

lain :

a) Rasa nyeri pada sendi

Merupakan gambaran primer pada Osteoartritis, nyeri akan

bertambah apabila sedang melakukan suatu kegiatan fisik.

b) Kekakuan dan keterbatasan gerak

Biasanya akan berlangsung 15 – 30 menit dan timbul setelah

istirahat atau saat memulai kegiatan fisik.


14

c) Peradangan

Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan

dalam ruang sendi akan menimbulkan pembengkakan dan

peregangan simpai sendi yang akan menimbulkan nyeri.

d) Mekanik

Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas

lama dan akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada

hubungannya dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana

rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya berlokasi pada

sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada

osteoartritis coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah

lateril, dan tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada waktu dingin,

akan tetapi hal ini belum dapat diketahui penyebabnya.

e) Pembengkakan sendi

Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena

pengumpulan cairan dalam ruang sendi biasanya teraba panas

tanpa adanya kemerahan.

f) Deformitas

Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.

g) Gangguan fungsi

Timbul akibat ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.

e. Penatalaksanaan

Menurut Yuli Reni (2014) Penatalaksanaan osteoartritis, antara lain:


15

1) Pencegahan

a) Penurunan berat badan

b) Pencegahan cedera

c) Screening sendi paha

d) Pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat kerja

2) Terapi Farmakologi

Obat-obat antiinflamasi nonsteroid bekerja sebagai analgetik dan

sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki

atau menghentikan proses patologis osteoartritis.

a) Acetaminophen

Merupakan obat pertama yang direkomendasikan oleh dokter

karena relatif aman dan efektif untuk mengurangi rasa sakit.

b) NSAIDs (Nonsteroid Anti Inflammatory Drugs)

Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Efek

samping, yaitu menyebabkan sakit perut dan gangguan fungsi

ginjal.

c) Topical pain

Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan

langsung pada kulit yang terasa sakit.

d) Tramadol

Tidak mempunyai efek samping seperti yang ada pada

acetaminophen dan NSAIDs.


16

e) Mild narcotic painkillers

Mengandung analgesik seperti codein atau hydrocodone yang

efektif mengurangi rasa sakit pada penderita osteoartritis.

f) Corticosteroids

Efek mengurangi rasa sakit.

g) Hyaluronic acid

Merupakan glycosaminoglycan yang tersusun oleh

disaccharides of glucuronic acid dan N-acetyanglucosamine.

Disebut juga viscosupplementation. Digunakan dalam

perawatan pasien osteoartritis. Dari hasil penelitian yang

dilakukan, 80% pengobatan dengan menggunakan hyaluronic

acid mempunyai efek yang lebih kecil dibandingkan

pengobatan dengan menggunakan placebo. Makin besar

molekul hyaluronic acid yang diberikan, makin besar efek

positif yang dirasakan karena hyaluronic acid efektif

mengurangi rasa sakit.

h) Glucosamine dan chondroitin sulfate

Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoartritis pada lutut.

3) Terapi nonfarmakologi

a) Olahraga

Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang tidak terlalu

berat dan tidak menyebabkan bertambahnya kompresi atau


17

tekanan atau trauma pada sendi, yaitu misalnya berenang dan

menggunakan sepeda statis.

Olahraga selain berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan

kaku juga bermanfaat untuk mengontrol berat badan.

b) Proteksi/perlindungan sendi

Sendi dijaga dari berbagai aktivitas sehari-hari dan pekerjaan

yang dapat menambah stres/tekanan pada sendi.

Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme

tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktifitas yang

berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat

listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu

diperhatikan. Beban pada lutut yang berlebihan karena kaki

yang tertekuk (pronatio).

c) Terapi konservatif

Terapi panas digunakan untuk mengurangi rasa sakit, membuat

otot-otot sekitar sendi rileks dan memperlancar peredaran

darah. Terapi panas dapat diperoleh dari kompres dengan air

hangat/panas, sinar IR (Infra Red) dan alat-alat terapi lain.

Sedangkan terapi dingin digunakan untuk mengurangi bengkak

pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat diperolah dari

kompres dengan air dingin.

Selain itu bisa dengan massage/pijat, sebaiknya dilakukan oleh

orang yang ahli dibidangnya. Tujuan massage tersebut adalah


18

untuk membuat rileks otot-otot yang spasme dan membantu

melancarkan sirkulasi darah.

d) Diet

Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang

gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis.

Pengurangan berat badan seringkali dapat mengurangi

timbulnya keluhan dan peradangan.

Pemberian vitamin C, D, E dan Beta karoten, vitamin-vitamin

tersebut bermanfaat untuk mengurangi laju perkembangan

osteoartritis.

e) Fisioterapi

Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis,

meliputi terapi panas dan dingin dan program latihan yang

tepat. Pemakaian panas yang diberikan sebelum latihan untuk

mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi yang masih

aktif sebaiknya diberi kompres dingin dan obat gosok jangan

dipakai sebelum pemanasan. Program latihan bertujuan untuk

memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya

atropik pada sekitar sendi osteoartritis.

4) Operasi

Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan

kerusakan sendi yang nyata dengan nyeri yang menetap dan

kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteomy untuk


19

mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement

sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi,

pembersihan osteofit.

5) Akupuntur

Dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.

f. Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang pada osteoartritis dalam Yuli Reni

(2014), antara lain:

1) Laboratorium

a) Ig (IgG dan IgM) meningkat menunjukkan proses autoimun

b) LED meningkat

c) Protein C reaktif : positif pada masa inkubasi

d) SDP meningkat pada proses inflamasi

2) Foto Rontgent

Menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai

penyempitan rongga sendi.

3) Serologi

Cairan sinovial dalam batas normal

4) Tes-tes khusus

a) Tes Ballotement (menggoyang-goyangkan obyek didalam

cairan)

Caranya : recessus, suprapatellaris dikosongkan dengan

menekannya dengan satu tangan, sementara itu dengan jari


20

tangan lainnya patella ditekan ke bawah, apabila terdapat

(banyak) cairan pada sendi lutut (akibat OA) maka patella

seperti terangkat sehingga sedikit ada gerakkan ke atas bawah

dan kadang terasa seolah-olah patella “mengetik” pada dasar

keras itu.

b) Tes Fluktuasi

Caranya : ibu jari dan jari telunjuk dari satu tangan diletakkan

di sebelah kiri dan kanan patella. Bila kemudia recessus

suprapatellaris itu dikosongkan menggunakan tangan lainnya,

maka ibu jari dan jari telunjuk tadi seolah-olah terdorong oleh

perpindahan cairan dalam sendi lutut.

c) Tes lekuk

Caranya : dengan memakai punggung tangan, kita mengusapi

“lekuk kecil” disebelah medial patella kearah proximal,

sehingga dikosongkan dari cairannya. Kalau kemudian kita

melaksanakan gerakkan mengusap yang sama pada patella

bagian lateral, maka lekuk kecil yang medial itu akan kelihatan

terisi cairan.

3. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Identitas
21

Identitas klien yang biasa di kaji pada penyakit sistem

muskuloskeletal adalah usia, karena ada beberapa penyakit

muskuloskeletal banyak terjadi pada klien diatas usia 60 tahun.

2) Keluhan utama

Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit

muskuloskeletal seperti osteoartritis klien mengeluh nyeri pada

persendian yang terkena, adanya keterbatasan gerak yang

menyebabkan keterbatasan gerak yang menyebabkan keterbatasan

mobilitas.

3) Riwayat penyakit sekarang

Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang

diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan

sampai klien dibawa ke Rumah sakit, dan apakah pernah

memeriksakan diri ke tempat lain selain rumah sakit umum serta

pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana

perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian.

4) Riwayat penyakit dahulu

Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit

muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang

berhubungan dengan adanya riwayat penyakit muskuloskeletal,

penggunaan obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan

merokok.
22

5) Riwayat penyakit keluarga

Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita

penyakit yang sama karena faktor genetik/keturunan.

6) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan umum

Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan

muskuloskeletal biasanya lemah.

b) Kesadaran

Kesadaran klien biasanya Composmentis dan Apatis.

c) Tanda-tanda vital :

(1) Suhu meningkat (>37oC).

(2) Nadi meningkat (N : 70-82x/menit).

(3) Tekanan darah meningkat atau dalam batas nornal.

(4) Pernafasan biasanya mengalami normal atau meningkat.

d) Pemeriksaan Review Of System (ROS)

(1) Sistem pernafasan

Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih

dalam batas normal.

(2) Sistem sirkulasi

Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal,

sirkulasi perifer, warna, dan kehangatan.


23

(3) Sistem persarafan

Kaji adanya hilangnya gerakan/sensasi, spasme otot,

terlihat kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan

mata/kejelasan melihat, dilatasi pupil. Agitasi (mungkin

berhubungan dengan nyeri/ansietas).

(4) Sistem perkemihan

Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin,

disuria, distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan

kebersihannya.

(5) Sistem pencernaan

Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi

bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, adanya

nyeri tekan abdomen.

(6) Sistem muskuloskeletal

Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada

area jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan

otot, kontraktur, atrofi otot, laserasi kulit dan perubahan

warna.

e) Pola Fungsi kesehatan

Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa

dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian,

ketidakmampuan mobilisasi.
24

(1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan

kesehatan.

(2) Pola nutrisi

Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan

elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan

menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan.

(3) Pola eliminasi

Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih,

defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi,

dan penggunaan kateter.

(4) Pola tidur dan istirahat

Menggambarkan pola tidur, istirahat,dan persepsi terhadap

energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah

tidur, dan insomnia.

(5) Pola aktivitas dan latihan

Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan,

dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama,

dan kedalaman pernapasan.

(6) Pola hubungan dan peran

Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien

terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal,

pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan.


25

(7) Pola sensori dan kognitif

Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi

sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,

perasaan, dan pembau. Pada klien katarak dapat ditemukan

gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan

memfokuskan kerja mata, dan merasa diruang gelap.

(8) Pola konsep diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi

terhadap kemampuan kosep diri. Konsep diri

menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran diri,

identitas diri.

(9) Pola seksual dan reproduksi

Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.

(10) Pola mekanisme koping

Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres.

(11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan

termasuk spiritual.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri berhubungan dengan agen cidera (biologis, kimia, fisik,

psikologis), ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada

persendian, ekspresi wajah meringis.


26

2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan berhubungan

dengan nyeri dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler,

kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau

kontraktur.

3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit,

trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien

mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur

dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya,

keputusan atau tidak ada kekuatan), mengatakan perubahan dalam

kehidupan.

c. Intervensi Keperawatan

1) Nyeri berhubungan dengan agen injury (biologi, kimia, fisik,

psikologis) ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada

persendian, ekspresi wajah meringis.

a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24

jam diharapkan klien dapat mengontrol nyeri (Pain Control)

dengan kriteria hasil :

(1) Klien dapat mengetahui penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi

nyeri dan tindakan pencegahan nyeri.

(2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri.

(3) Menunjukkan tingkat nyeri.


27

(4) Klien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

(5) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

(6) Ekspresi wajah tenang.

b) Intervensi :

(1) Manajemen Nyeri (Pain Management)

(a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri, meliputi :

lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi.

Rasional : untuk mengetahui penyebab nyeri, kualitas

nyeri, lokasi nyeri, skalanyeri dan waktu terjadinya

nyeri (durasi)

(b) Berikan posisi nyaman

(c) Observasi isyarat-isyarat nonverbal dari

ketidaknyamanan

(d) Ajarkan penggunaan tehnik nonfarmakologi (misal:

relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi,

aplikasi panas-dingin, massage).

(2) Pemberian Analgetik (Analgetic Administration)

(a) Monitor vital sign

(b) Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.

2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan berhubungan

dengan nyeri dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler,


28

kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau

kontraktur).

a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24

jam diharapkan klien dapat menunjukkan tingkat mobilitas

dengan kriteria hasil :

(1) Klien menunjukkan pergerakkan sendi.

(2) Klien menunjukkan penggunaan alat bantu secara benar

dengan pengawasan.

(3) Klien meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika

diperlukan.

(4) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

b) Intervensi :

(1) Terapi aktivitas: ambulasi (Excercise Therapy Ambulation)

(a) Ajarkan dan bantu klien untuk berpindah sesuai

kebutuhan (misal: dari tempat tidur ke kursi).

(b) Pantau penggunaan alat bantu mobilitas (misal: tongkat,

walker, kruk, atau kursi roda).

(c) Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.

(d) Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM

aktif/pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan

kekuatan dan ketahanan otot.


29

(2) Terapi aktifitas : mobilisasi sendi (Excercise Therapy :

Joint mobility)

(a) Kolaborasi dengan terapi fisik dalam pengembangan

program latihan.

(b) Jelaskan pada klien dan keluarga tentang maksud dan

rencana latihan.

(c) Bantu klien untuk mengatur posisi yang optimal dalam

ROM aktif/pasif.

(d) Motivasi klien untuk latihan ROM aktif/pasif dan

merencanakan jadwal latihan.

3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit,

trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien

mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur

dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya,

keputusan atau tidak ada kekuatan), mengatakan perubahan dalam

kehidupan.

a) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24

jam diharapkan klien menunjukkan citra tubuh yang positif

dengan kriteria hasil :

(1) Klien mendemonstrasikan penerimaan terhadap perubahan

bentuk tubuh.

(2) Klien mengungkapkan kepuasan terhadap penampilan dan

fungsi tubuh.
30

(3) Mengungkapkan pengakuan terhadap perubahan aktual

pada penampilan tubuh.

b) Intervensi :

(1) Peningkatan citra tubuh (Body Image Enhanchement)

(a) Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan nonverbal

klien tentang tubuh klien.

(b) Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah

dikaitkan kedalam citra tubuh klien.

(c) Pantau frekuensi pernyataan yang mengkritik diri.

(d) Dorong klien untuk mengeksplorasi perubahan yang

dialaminya.

(e) Bantu klien agar dapat menerima bantuan dari orang

lain.

d. Evaluasi Keperawatan

1) Diagnosa keperawatan : nyeri akut/kronis

a) klien menunjukkan kemampuan menggunakan tehnik

nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dan tindakan

pencegahan nyeri.

b) klien mampu mengenal tanda-tanda pencetus nyeri untuk

mencari pertolongan.

c) klien melaporkan nyeri berkurang.

d) klien mengungkapkan kenyamanan setelah nyeri berkurang.

e) klien menunjukkan tanda vital dalam batas normal.


31

f) klien menunjukkan ekspresi wajah tenang.

2) Diagnosa keperawatan : Hambatan mobilitas fisik

a) Klien menunjukkan penampilan yang seimbang.

b) Klien menunjukkan penampilan posisi tubuh.

c) Klien dapat melakukan pergerakan sendi.

d) Klien dapat melakukan perpindahan.

e) Klien dapat berjalan.

f) Klien menggunakan alat bantu secara benar dengan

pengawasan.

g) Klien mau meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika

diperlukan.

h) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

3) Diagnosa keperawatan : Gangguan citra tubuh

a) Klien mendemonstrasikan penerimaan perubahan bentuk tubuh.

b) Klien puas dengan kemampuan dan fungsi tubuh.

c) Klien mau menyentuh bagian tubuh yang mengalami

gangguan.

d) Klien dapat melakukan hubungan sosial yang dekat.


32

4. Nyeri

a. Definisi

Nyeri menurut IASP (International Association for the Study of

Pain) adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan

potensial (Herdman, 2012).

Nyeri akut yaitu pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual

atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa

(International Association for the Study of Pain) awitan tiba-tiba atau

lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat

diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan.

Sedangkan nyeri kronis merupakan nyeri yang memiliki awitan yang

tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi

secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau

diprediksi dan berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012)

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Faktor yang memperberat/memperingan nyeri. Perawat perlu

mengkaji faktor-faktor yang dapat memperberat nyeri pasien. Misalnya

peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stres dan yang lainnya,

sehingga dengan demikian perawat dapat memberikan tindakan yang

tepat untuk menghindari peningkatan respon nyeri pada klien.

Demikian halnya perawat perlu untuk mengetahui apakah klien


33

mempunyai cara-cara sendiri yang efektif untuk menghilangkan atau

menurunkan nyerinya, seperti mengubah posisi, melakukan tindakan

ritual, menggosok/massage bagian tubuh yang sakit, meditasi atau

mengompres dingin atau hangat.

Macferry dan Pasero (1999) menyatakan bahwa hanya klienlah

yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan.

Oleh karena itulah dikatakan klien sebagai expert tentang nyeri yang ia

rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi

dan reaksi masing-masing individu terhadap nyeri. Seorang perawat

harus menguasai dan memahami faktor-faktor tersebut agar dapat

memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan

terhadap klien yang mengalami masalah nyeri. Faktor-faktor tersebut

antara lain:

1) Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam

mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil

mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur

pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang

belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan

mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada

kedua orang tuanya ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak

terkadang segan untuk mengungkapkan keberadaan nyeri yang ia


34

alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang harus mereka

terima nantinya.

Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan

pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya

nyeri. Sering kali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu.

Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia

menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh nyeri dada tidak

selalu mengindikasikan serangan jantung, nyeri dada dapat timbul

karena gejala arthritis pada spinal dan gejala gangguan abdomen.

Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka

rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan

konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.

2) Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara

signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya

yang menganggap bahwa seorang laki-laki harus lebih berani dan

tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi

yang sama ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian

terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh

terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron

menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan

estrogen meningkatkan pengenalan/ sensitivitas terhadap nyeri.


35

Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh

personal, sosial, budaya dan lain-lain.

3) Kebudayaan

Perawat sering kali berasumsi bahwa cara berespon pada

setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka

mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri.

Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis

dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam

mengontrol nyeri, akibatnya pemberian therapi bisa jadi tidak

cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang

menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri

sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan

intervensi.

4) Makna Nyeri

Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang

wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan

nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena

dipukul oleh suaminya.

5) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan

tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang

dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan


36

nyeri yang berat. Dalam kaitannya dalam kualitas nyeri, masing-

masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti

tertusuk-tusuk, nyeri tumpil, berdenyut, terbakar, dan lain-lain,

sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan

nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.

6) Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap

nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya

pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon

nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk

menghilangkan nyeri, seperti relaksi, teknik imajinasi terbimbing

(guided imagery), dan masase.

7) Ansietas (kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks,

ansietas yang dirasakan seseorang sering kali meningkatkan

persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan

ansietas. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker kronis

dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin

meningkatkan persepsi nyerinya.

8) Keletihan

Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan

sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu.


37

9) Pengalaman Sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi

pengalaman yang telah dirasakan oleh individu tidak berarti bahwa

individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa

yang mendatang. Seseorang yang biasa merasakan nyeri akan lebih

siap dan mudah mengantisipasi nyeri dari pada individu yang

mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri.

10) Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan

dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau

teman trerdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien,

kehadiran orang terdekat akan menimbulkan kesepian dan

ketakutan (Prasetyo, 2010).

c. Intensitas nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat

subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang

sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran subyektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan

berbagai alat pengukur nyeri seperti skala visual analog, skala

numerik, skala nyeri deskriptif atau skala nyeri Wong-Bakers

(Tamsuri, 2006).
38

d. Pemeriksaan nyeri

Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang

perawat di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh

klien. Donovan & Girton (1984) mengidentifikasi komponen-

komponen tersebut diantaranya:

1) Penentuan ada tidaknya nyeri

Dalam melakukan pengkajia terhadap nyri, perawat harus

mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun

dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau

luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata.

Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru

menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.

2) Karakteristik nyeri (metode P, Q, R, S, T)

a) Faktor pencetus (P: Provocate)

Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus

nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan

observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera.

Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka

perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan

menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan

nyeri.
39

b) Kualitas (Q: Quality)

Karakteristik subjektif nyeri yang lain adalah kualitas nyeri itu

sendiri. Karena tidak terdapat perbendaharaan kata nyeri yang

khusus atau umum, dalam penggunaan yang umum, kata-kata

yang seorang klien pilih untuk mendeskripsikan nyeri dapat

diterapkan pada suatu hal dengan jumlah berapapun.

Pengkajian akan lebih akurat apabila klien mampu

mendeskripsikan sensasi yang dirasakannya setelah perawat

mengajukan pertanyaan terbuka. Nyeri yang dirasakan klien

sering kali tidak dapat dijelaskan. Pada kesempatan selanjutnya

klien dapat memilih istilah yang lebih deskriptif (Potter &

Perry, 2005). Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif

yang diungkapkan oleh klien, sering kali klien mendeskripsikan

nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul, berdenyut,

berpindah-pindah, seperti tertindih, prih, tertusuk dan lain-lain,

dimana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam

melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.

c) Lokasi (R: Regio)

Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien

untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang dirasakan tidak

nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik,

maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri

dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit
40

apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar). Dalam

mendokumentasikan hasil pengkajian tentang lokasi nyeri,

perawat hendaknya menggunakan bahasa anatomi atau istilah

yang deskriptif. Sebagai contoh pernyataan “nyeri terdapat di

kuadran abdomen kanan atas” adalah pernyataan yang lebih

spesifik dibandingkan “klien menyatakan bahwa nyeri terasa

pada abdomen”.

d) Keparahan (S: Severe)

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat

keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali

diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,

sedang, atau parah. Alat VDS (Verbal Descriptor Scale, VDS)

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk

mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical

Rating Scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat

pendeskripsi kata.

e) Durasi (T: Time)

Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan,

durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan:

“kapan nyeri mulai dirasakan?”, “sudah berapa lama nyeri

dirasakan?”, apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu

yang sama setiap hari?”, seberapa sering yeri kambuh?”, atau

dengan kata-kata lain yang semakna.


41

Persepsi nyeri dapat diukur dengan menggunakan alat ukur

intensitas nyeri. Alat yang digunakan untuk mengukur

intensitas nyeri adalah dengan memakai skala intensitas nyeri.

Adapun skala intensitas nyeri yang dikemukan Perry dan Potter

(2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015) adalah :

3) Skala Analog Visual

Skala Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS) merupakan suatu

garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini

memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi

tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan. Skala analog visual

merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena

pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada

dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Gambar 2.1
Visual Analog Scale

4) Skala NRS (Numeric Rating Scale)

Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka-

angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan

angka 10 menunjukkan nyeri yang paling hebat. Skala ini

merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya


42

1 cm diberi tanda. Skala ini ddapat


apat dipakai pada klien dengan nyeri

yang hebat atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka

yang ditunjukkan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji

efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.

Menurut Potter & Perry (2005) dalam Manurung (2013),


(2

skala ini dapat dipersepsikan sebagai berikut :

Gambar 2.2
Numeric Rating Scale

Keterangan:

Skala nyeri 0 : bebas nyeri

Skala nyeri 11-3


3 : nyeri sangat ringan hampir tidak terasa sampai

nyeri ringan berangsur-angsur


angsur meningkat, rasa

sakit bertambah dan rasa sakit sekali-kali


sekali sudah

mulai mengganggu namun masih dapat

beradaptasi.

Skala nyeri 44-6 : nyeri sedang sampai dengan sedang


dang kuat, secara

obyektif pasien mulai terlihat mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,

masih dapat mengikuti perintah dengan baik.

Skala nyeri 77-9


9 : nyeri kuat sampai dengan nyeri kuat sekali.
43

Secara obyektif pada awalnya pasien terkadang

tidak dapat mengikuti perintah tapi masih repon

terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri

sampai dengan tidak dapat mendeskripsikan

nyerinya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi

nafas panjang dan distraksi.

Skala nyeri 10 : nyeri sangat berat pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi perilaku memukul, emosi tidak

terkontrol (Manurung, 2013 )

5) Skala Faces Pain Rating Scale (FPRS)

FPRS/skala wajah, merupakan skala nyeri dengan model gambar

kartun dengan enam tingkatan nyeri dan dilengkapi dengan angka

dari 0 sampai dengan 5. Skala ini biasanya digunakan untuk

mengukur skala nyeri pada anak. Adapun pendeskripsian skala

tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3
Faces Pain Rating Scale
44

Keterangan :

a) 0 = tidak menyakitkan

b) 1 = sedikit sakit

c) 2 = lebih menyakitkan

d) 3 = lebih menyakitkan lagi

e) 4 = jauh lebih menyakitkan lagi

f) 5 = benar-benar menyakitkan

e. Respon fisiologis nyeri

Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang

otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagian

dari respon stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf

otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung

terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ visceral

(misal infark miokard, kolik akibat kandung empedu, atau batu ginjal)

maka system saraf simpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis

yang timbul akibat nyeri antara lain:


45

Tabel 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri

Respon fisiologis terhadap nyeri

Repon Simpatik Peningkatan frekuensi pernapasan


Dilatasi saluran bronkiolus
Peningkatan frekuensi denyut
jantung
Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatan tekanan darah,)
Peningkatan kadar glukoa darah
Diaforesis
Peningkatan tegangan otot
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas saluran cerna

Respon parasimpatik Pucat


Ketegangan otot
Penurunan denyut jantung atau
tekanan darah
Pernapasan cepat dan tidak teratur
Mual dan muntah
Kelemahan atau kelelahan

Perawat perlu untuk mengkaji klien berkaitan dengan adanya

perubahan-perubahan pada respon fisiologis terhadap nyeri diatas

untuk mendukung diagnosa dan membantu dalam memberikan terapi

yang tepat.

1) Respon Perilaku

Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri

bermacam-macam. Perawat perlu belajar dan mengenal berbagai

respon perilaku tersebut untuk memudahkan dan membantu dalam

mengidentifikasi masalah nyeri yang dirasakan pasien.

Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien

antara lain: merubah posisi tubuh, mengusap/memijat bagian yang

sakit, menggeretakkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis,


46

mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis, mengerang,

mengaduh, menjerit, meraung.

2) Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien

Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan

dalam kegiatan sehari-harinya. Pengkajian pada perubahan

aktivitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan

klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari,

sehingga perawat juga mengetahui sejauh mana ia dapat membantu

dalam progam aktivitas pasien. Perubahan-perubahan yang perlu

dikaji antara lain: perubahan pola tidur (apakah nyeri menggangu

pola tidur klien), pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari misal:

makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan pola

interaksi terhadap orang lain (apakah nyeri mengganggu dalam

berinteraksi terhadap prang disekitarnya).

3) Persepsi klien tentang nyeri

Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap

nyeri, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia alami

dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri atau lingkungan

disekitarnya.

4) Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri

Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam

beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji

cara-cara apa saja yang biasanya klien gunakan untuk menurunkan


47

nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan apakah

bisa digunakan saat klien menjalani perawatan dirumah sakit.

Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat

memasukkannya dalam rencana tindakan (Prasetyo, 2010).

f. Klasifikasi nyeri

1) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan

Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai

nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi

dalam waktu (durasi) dari 1 detik sampai dengan kurang dari enam

bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam

waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut umumnya terjadi pada

cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang

cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat).

Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan

bermanfaat untuk mengindikasikan adanya cedera atau penyakit

pada tubuh. Nyeri kronis umunya timbul tidak teratur, intermitten,

atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua

kelompok besar, yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis

nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah nyeri yang menetap

atau menahun dan penyembuhannya tidak dapat diprediksi

meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada beberapa

kasus sulit ditemukan). Nyeri kronis dapat menyebabkan klien

merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis
48

mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan

kelelahan mental dan fisik.

2) Klasifikasi Berdasarkan Lokasi

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam

jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral,

nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom). Nyeri

superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti

laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi

yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam. Nyeri

somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada

otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri

bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan

iskemia. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh

kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan

durasinya cukup lama. Sensani yang timbul biasanya tumpul. Nyeri

sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke

jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien

seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau

kesepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten

atau konstan. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan

oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsi

berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya

masih ada. Contohnya adalah pada klien yang menjalani operasi


49

pengangkatan payudara atau pada amputasi ekstremitas. Nyeri alih

(referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri

viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri

dibeberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena

masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke

dalam medula spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut

saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. nyeri yang timbul

biasanya pada beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal

nyeri.

3) Berdasarkan organ

Berdasarkan pada organ tempat timbulnya, nyeri dapat

dikelompokkan dalam: nyeri organik, nyeri neurogenik, dan nyeri

psikogenik. Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan karena

adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri

umumnya mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit,

atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ. Nyeri

neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada

neuralgia, Nyeri ini dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri

psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis.

Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis daripada

gangguan organ. Klien yang menderita memang “benar-benar”

mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek


50

psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien (Tamsuri,

2007).

5. kompres Hangat

a. Definisi

Kompres hangat adalah tindakan memberikan rasa hangat untuk

memenuhi kebutuhan rasa nyaman mengurangi atau membebaskan

nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot dan memberikan rasa

hangat pada daerah tertentu (Hidayat, 2008).

kompres air hangat juga dapat meningkatkan aliran darah untuk

mendapatkan efek analgetic dan relaksasi otot sehingga proses

inflamasi berkurang (lemone & Burke 2010). Air hangat yang

digunakan biasanya bersuhu 40,5o celcius sampai 43o celcius

kemudian diletakkan pada kain kemudian dikompreskan pada daerah

sendi yang mengalami nyeri selama 20 menit, ganti kompres per 5

menit agar tetap hangat (Kusyati, 2006).

b. Tujuan

Menurut Gabriel (1998) dalam Fauziyah (2013), tujuan dari

kompres air hangat adalah sebagai berikut:

1) Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran daerah di

jaringan tersebut

2) Pada otot, panas memiliki efek menurunkan ketegangan

3) Meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi

peradangan serta adanya dilatasi pembuluh darah yang


51

mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan

tekanan kapiler. Tekanan O2 dan CO2 di dalam darah akan

meningkat sedangkan pH darah akan mengalami penurunan

sehingga dapat merelaksasikan sendi yang mengalami nyeri dan

ketegangan.

6. Massage

a. Definisi

Massage adalah stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan

pada punggung dan bahu, atau dilakukan pada satu atau beberapa

bagian tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing

bagian tubuh untuk hasil relaksasi yang maksimal (Tamsuri, 2006).

Dapat disimpulkan massage adalah suatu pijatan yang bertujuan untuk

mengurangi keluhan nyeri dengan cara menggunakan sentuhan tangan

dan dan merelaksasikan otot tanpa memberikan obat.

Remedial massage (pijat penyembuhan) adalah suatu pijatan yang

dilakukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan beberapa

macam penyakit dengan menggunakan sentuhan tangan dan tanpa

memasukkan obat kedalam tubuh yang bertujuan untuk meringankan

atau mengurangi keluhan atau gejala pada beberapa macam penyakit

yang merupakan indikasi untuk dipijat (Bambang, 2011).


52

b. Tehnik Remedial Massage

a) Eflaurage atau gosokan

Eflaurage adalah suatu gerakan dengan mempergunakan

seluruh permukaan telapak tangan melekat pada bagian-bagian

tubuh yang digosok. Bentuk telapak tangan dan jari-jari

menyesuaikan dengan bagian tubuh yang digosok. Tangan

menuju arah jantung.

b) Petrisage atau pijatan

Petrisage adalah suatu gerakan pijatan dengan

mempergunakan empat jari merapat berhadapan dengan ibu jari

yang selalu lurus dan supel. Gerakan seolah-olah akan

memisahkan otot dari tulang selaputnya atau dari otot yang lain

dengan meremas otot yang sedikit ditarik.

c) Shacking atau Goncangan

Shacking adalah suatu gerakan goncangan dengan

mempergunakan satu tangan atau kedua belah tangan dan

biasanya dilakukan di bagian otot-otot paha, tungkai bawah,

kaki, tengkuk, bahu, lengan atas dan bawah, tangan dan bagian

perut. Bagian yang dilakukan shacking harus lemas dan rileks

dahulu.
53

d) Tapotemen atau pukulan

Tapotemen adalah suatu gerakan pukulan dengan

menggunakan satu tangan atau kedua belah tangan yang

dipukul-pukulkan pada obyek pijat secara bergantian.

e) Friction atau gerusan

Friction adalah suatu gerakan gerusan kecil-kecil yang

dilakukan dengan mempergunakan ujung tiga jari (jari telunjuk,

jari tengah, dan jari manis) yang merapat, ibu jari, ujung siku,

pangkal telapak tangan dan yang bergerak berputar-putar

searah atau berlawanan arah dengan jarum jam.

f) Vibration atau getaran

Vibration adalah suatu gerakan getaran yang dilakukan

dengan mempergunakan ujung jari-jari atau seluruh permukaan

telapak tangan.

g) Stroking atau mengurut

Stroking adalah suatu gerakan mengurut dengan

menggunakan ujung-ujung tiga jari yang merapat (jari telunjuk,

jari tengah, dan jari manis).

h) Skin rolling atau melipat dan menggeser kulit

Skin rolling adalah suatu gerakan melipat atau menggeser

kulit. Sikap pertama seperti mencubit, kemudian kulit

digeserkan, jari-jari menekan bergerak maju dan ibu jari

menekan mendorong dibelakang.


54

c. Efek massage

Pada terapi massage dapat memberikan efek menurunkan

kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan massage pada otot akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga dapat memblok atau

menurunkan impuls nyeri. Pijat yang dilakukan oleh orang yang ahli

dapat membantu menangani beberapa masalah otot. Manfaat utama

yang diberikan pada terapi pijat adalah efek relaksasinya, dan pijat bisa

sangat membantu orang yang memiliki masalah yang berhubungan

dengan stres (Kim, 2007).

7. Jahe

a. Farmakologi

Jahe (Zingiber officinale Rosc) termasuk dalam daftar prioritas

WHO sebagai tanaman obat yang paling banyak digunakan didunia.

Rimpangnya yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid terbukti

berkhasiat mengurangi peradangan dan nyeri sendi. Jahe menekan

sintesis prostaglandin melalui inhibisi cyclooxygenase-1 daan

cyclooxygenase-2, hasil penemuan selanjutnya menyatakan bahwa jahe

juga menekan biosintesis leukotrin dengan menghambat 5-

lipoxygenase, dan dalam penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa dua

inhibitor cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase memiliki riwayat

terapeutik lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan dengan NSAIDs (Grzanna dkk, 2005).


55

b. Kandungan

Zingerol, gingerol, dan shogaol merupakan kandungan dari jahe

yang bermanfaat untuk mengurangi nyeri Osteoartritis. Jahe memiliki

sifat pedas, pahit, dan aromatic dari oleoresin. Oleoresin memiliki

potensi antiinflamasi dan antioksidan yang kuat. Kandungan air dan

minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang

dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin sehingga dapat menembus

kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga sirkulasi perifer

(Swarbick & Boylan, 2002 dalam Hadi, 2013).

c. Manfaat

Jahe memiliki banyak kegunaan, yaitu 10 dehydrogingerdione

(rimpang) penekan prostaglandin, 10 gingerdione (rimpang) penekan

prostaglandin, 6 gingerol (rimpang) merangsang keluarnya ASI,

penghambat enzim siklo oksigense, penekan prostaglandin, alpha-

linolenic (rimpang) anti perdarahan diluar haid, merangsang kekebalan

tubuh, merangsang produksi getah bening (Dwiyanto, 2009).

d. Efek farmakologi

Pada serangkaian kasus, jahe dapat mengurangi nyeri dan

kekakuan pada satu atau lebih sendi pada pasien. Bahkan mampu

mengurangi obat-obat antiartritis. Untuk penanganan rematoid artritis

dan osteoartritis, dosis yang dianjurkan 510-1000 mg/hari serbuk jahe.

Pemberian ekstra jahe 1gr/hari selama 4 minggu lebih efektif


56

dibandingkan dengan plasebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen

dalam meredakan nyeri pada Osteoartritis (Leach & Kumar, 2008).

e. Efek merugikan jahe

Didalam evidence synthesis, Leach & Kumar (2008) menyatakan

bahwa ada dua penelitian yang melaporkan efek merugikan jahe

seperti rasa panas pada lambung (6,9%), perubahan rasa (7,5%),

dispepsia, nausea dan konjungtivitis masing-masing (1,5%). Namun

dmikian tidak ada kejadian-kejadian berat yang merugikan hingga

menyebabkan penderita masuk rumah sakit untuk mendapatkan

pertolongan atau kematian (Arif, 2010).


57

B. Kerangka Teori

Penyebab dari osteoartritis antara lain :

- Umur
- Jenis Kelamin
- Genetik penyakit degeneratif penyebab nyeri dan
- Suku kekakuan pada sendi yang sering diderita
pada tahap menua (usia diatas 60 tahun)
- Kegemukan atau obesitas
membuat sendi-sendi menjadi sulit untuk
- Pengausan (wear and tear) digerakkan dan apabila tidak digerakkan
- Trauma akan memperparah keadaan.
- Akibat penyakit radang sendi lain
- Joint Mallignment
- Penyakit Endokrin Penatalaksanaan :
- Deposit rawan sendi
- Pencegahan (penurunan
berat badan, pencegahan
cedera, screening sendi
paha)
- Terapi Farmakologi
- Terapi Konservatif
- Terapi Non Farmakologi
- Fisioterapi
- Operasi
- Akupuntur

Nyeri Hambatan Gangguan


Mobilitas Pola Tidur
Fisik

Pemberian Terapi Kompres Jahe


dan Massage

Gambar 2.4
Kerangka Teori
BAB III

METODE PENYUSUNAN

(a) Subjek aplikasi riset

Subjek yang akan digunakan pada aplikasi riset ini adalah pada pasien

yang sudah terdiagnosa osteoartritis yang berusia 60 tahun keatas dan

mengalami kekakuan dan nyeri sendi osteoartritis yang berdomisili di Panti

Sasana Tresna Wredha Wonogiri.

(b) Tempat dan waktu

Aplikasi penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada tanggal 4-16

januari 2016 di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bhakti Wonogiri.

(c) Media dan alat yang digunakan

Dalam aplikasi riset ini menggunakan media dan alat-alat yang antara lain:

i. Baskom 2 buah berisi air hangat

ii. Bak steril berisi 3 buah kain dengan ukuran yang sesuai.

iii. Pengalas

iv. 100 gram jahe segar diparut

v. Baby oil

vi. Handscoon

vii. Skala nyeri Numerik

58
59

Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka-

angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan bebas nyeri dan angka 10

menunjukkan nyeri yang paling hebat dan tidak terkontrol. Skala ini

merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm

diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat

atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan

oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi

pereda rasa nyeri.

(d) Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset

Langkah- langkah Tindakan (Kusyati, 2006) :

1) Dekatkan alat-alat kedekat pasien

2) Perhatikan privacy klien

3) Cuci tangan

4) Atur posisi klien yang nyaman

5) Mengkaji skala nyeri sebelum diberi kompres jahe dan massage

menggunakan skala nyeri numerik.

6) Pasang pengalas dibawah daerah yang akan dikompres/massage

7) Jahe tersebut diparut dan dicelupkan sebentar di air hangat bersuhu 40o

celcius sampai 50o celcius kemudian diletakkan pada kain kemudian

dikompreskan pada daerah sendi yang mengalami nyeri selama 20 menit,

ganti kompres per 5 menit agar tetap hangat, dalam 5 menit ada 3 kali

penggantian kompres.
60

8) tehnik massage menggunakan tehnik pijatan ((petrisage


petrisage) yaitu ibu jari

berdampingan, melakuka
melakukan
n pijatan tekanan secara bergantian. Pijatan

dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah lipatan

lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan pijatan ulang

dengan dosis 3 kali ulangan, bergantian dengan tehnik gerusan (friction)


(

kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara bergantian.

Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan bawah

lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan

gerusan ulangan, dengan dosis 3 kali ulangan dilakukan selama 10 menit

dengan posisi tengkurap.

9) Bereskan semua alat


alat-alat untuk disimpan kembali

10) Cuci tangan

(e) Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset

Skala ini berbentuk garis hori


horizontal
zontal yang menunjukkan angka-angka
angka dari

0 – 10, yaitu angka 0 menunjukkan bebas nyeri dan angka 10 menunjukkan

nyeri yang paling hebat dan tidak terkontrol.. Skala ini merupakan garis

panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini

dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru

mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat


61

digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.

Menurut Potter dan Perry (2005) dalam Manurung (2013), skala ini dapat

dipersepsikan sebagai berikut :

Keterangan:

Skala nyeri 0 : bebas nyeri

Skala nyeri 1-3 : nyeri sangat ringan hampir tidak terasa sampai nyeri ringan

berangsur-angsur meningkat, rasa sakit bertambah dan rasa

sakit sekali-kali sudah mulai mengganggu namun masih

dapat beradaptasi.

Skala nyeri 4-6 : nyeri sedang sampai dengan sedang kuat, secara obyektif

pasien mulai terlihat mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, masih dapat mengikuti perintah

dengan baik.

Skala nyeri 7-9 : nyeri kuat sampai dengan nyeri kuat sekali. Secara obyektif

pada awalnya pasien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih repon terhadap tindakan, dapat

menunjukan lokasi nyeri sampai dengan tidak dapat

mendeskripsikan nyerinya, tidak dapat diatasi dengan alih

posisi nafas panjang dan distraksi.

Skala nyeri 10 : nyeri sangat berat pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi perilaku memukul, emosi tidak terkontrol

(Manurung, 2013).
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Identitas Klien

Pengkajian dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016 pukul 10.00 WIB

menggunakan metode pengkajian Auto Anamnensa dan Allo Anamnensa. Dari

hasil pengkajian didapatkan hasil identitas pasien sebagai berikut pasien

bernama Ny.Y, berumur 65 tahun, agama islam, tidak bersekolah, pekerjaan

buruh, alamat eromoko, Wonogiri, dengan diagnosa medis Osteoartritis

(pengapuran sendi). Penganggung jawab terhadap Ny.Y adalah Ny.L berumur

70 tahun yang merupakan kepala Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bhakti

Wonogiri.

B. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pengkajian dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016 di Panti Sasana

Tresna Wredha Dharma Bhakti Wonogiri. Ketika dilakukan pengkajian

terhadap klien tentang riwayat keperawatan, keluhan utama yang

dirasakan klien adalah nyeri dan kaku pada kedua lututnya sudah lebih

dari 1 tahun. Riwayat pengkajian sekarang Ny.Y mengatakan merasa

nyeri pada lutut dan kakuselama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada

pagi hari waktu bangun tidur, rasa nyeri cenut-cenut (seperti ditekan

dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 6 biasanya nyeri

62
63

hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit, untuk mengurangi

nyeri biasanya pasien diberi obat dari dokter yang ada dipanti seperti

neuralgin tablet atau mengoleskan balsem pada kedua lututnya yang

nyeri. Hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 140/80

mmHg, respiratory rate 16 kali permenit, heart rate 90 kali permenit dan

suhu 36,6 derajad celcius. Pasien tampak sering memegangi dan

mengelus kedua lututnya, pasien tampak meringis menahan nyeri.

Terkadang kaki pasien tampak gemetaran terlebih sehabis terlalu lama

berjalan. Pasien juga tampak kesulitan menggerakkan lutut dan kakinya,

pasien tampak berjalan lambat dan berpegangan pada dinding atau benda-

benda disekitarnya, serta terdapat perubahan bentuk tulang sehingga

pasien berjalan agak membungkuk. Pasien juga mengatakan sulit tidur,

tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, tidurnya

kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul, wajah pasien

tampak mengantuk, tampak warna kehitaman atau kantung mata, dan

pasien terlihat sering menguap.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian penyakit dan pengobatan, pasien mengatakan

sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pada masa kanak-kanak.

Pasien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya.

Pasien hanya memiliki masalah penyakit persendian yaitu pengapuran

sendi (osteoartritis) yang sudah ia derita selama lebih dari 1 tahun yang

menyebabkan rasa nyeri pada lututnya, dulunya saat masih muda pasien
64

sering bekerja keras menggendong pakan ternak (rumput) dalam jumlah

banyak dengan jarak yang lumayan jauh, namun lama kelamaan timbul

gejala-gejala pengapuran sendi, pasien mengatakan sebelumnya belum

pernah dirawat dan baru sekali ini dirawat di panti Wredha Dharma

Bhakti Wonogiri karena dijemput dari pihak panti. Pasien mengatakan

belum pernah operasi. Pasien juga tidak memiliki riwayat seperti alergi

terhadap obat-obatan, makanan, dan lainnya.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang

mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes

melitus, asma, dan lain-lain ataupun penyakit menular seperti HIV/AIDS,

Hepatitis, dan lain-lain.

Genogram :

Gambar 4.1
Genogram Ny. Y
65

Keterangan :

: Perempuan

: Laki-laki

: Perempuan meninggal

: Laki-laki meninggal

: Pasien (Ny.Y 65 tahun dengan Osteoartritis)

: tinggal serumah

4. Riwayat Kesehatan Lingkungan

Pada pengkajian riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan

lingkungan tempat tinggalnya bersih dan jauh dari polusi. Penerangan

cukup, sirkulasi udara cukup, pembuangan air serta sampah baik, lantai

kamar tidur dan kamar mandi tidak licin.

5. Pola Kesehatan Fungsional

Pada pengkajian pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pasien

mengatakan kesehatan itu penting dan mahal. Jika pasien ada keluhan atau

merasa sakit, segera diperiksakan ke dokter yang ada di panti serta taat

minum obat yang sudah diberikan oleh dokter.

Pada pengkajian pola nutrisi dan metabolisme pasien mengatakan

sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari, dengan menu nasi, sayur, lauk,

buah dan minum air putih kurang lebih 8 sampai 10 gelas sehari, kadang

juga teh atau susu. pasien makan 1 porsi habis dan tidak ada keluhan

apapun. Dan selama sakit pasien tetap makan seperti biasa yaitu makan 3

kali sehari, dengan menu nasi, sayur, lauk, buah dan minum air putih
66

kurang lebih 8 sampai 10 gelas sehari, kadang juga teh atau susu. pasien

makan 1 porsi habis dan tidak ada keluhan apapun.

Pada pengkajian pola eliminasi, pasien mengatakan sebelum sakit

pasien buang air kecil sebanyak kurang lebih 6 kali dalam sehari, 1 kali

buang air kecil sebanyak 1 gelas belimbing, air kencing berwarna kuning

jernih, dan tidak ada keluahan saat buang air kecil. Pasien juga

mengatakan sebelum sakit pasien buang air besar sebanyak 1 kali sehari di

pagi hari, bentuknya lunak, berwarna kuning kecoklatan dan tidak ada

keluhan saat buang air besar. Dan selama sakit pasien buang air kecil

sebanyak kurang lebih 6 kali dalam sehari, 1 kali buang air kecil kurang

lebih sebanyak 1 gelas belimbing, air kencing berwarna kuning jernih dan

tidak ada keluhan saat buang air kecil. Pasien mengatakan selama sakit

pasien buang air besar seperti biasa saat sebelum sakit yaitu sebanyak 1

kali sehari di pagi hari, bentuknya lunak, berwarna kuning kecoklatan dan

tidak ada keluhan saat buang air besar.

Pada pengkajian pola aktifitas dan latihan, sebelum sakit pasien

mengatakan dapat beraktivitas dengan normal dan mandiri. Sedangkan

selama sakit pasien mengatakan aktivitasnya menjadi terganggu, walaupun

tetap bisa melakukan aktivitasnya secara mandiri namun terkadang rasa

nyeri kambuh jika terlalu banyak pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan,

skala nyeri 6.

Pada pengkajian pola istirahat dan tidur, pasien mengatakan

sebelum sakit pasien tidur selama kurang lebih selama 8 jam sehari, pasien
67

mengatakan jarang tidur siang, pasien tidur dengan nyaman dan nyenyak,

dan tidak ada gangguan saat tidur. Dan selama sakit pasien mengatakan

sulit tidur, tidur malam selama kurang lebih 5 jam sehari, pasien tidak

tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas, dan kadang

terbangun jika nyeri timbul.

Pada pengkajian pola kognitif dan perseptual, pasien mengatakan

sebelum sakit pasien tidak merasakan nyeri. Dan selama sakit pasien

mengatakan nyeri dan kaku pada kedua lututnya selama lebih dari 1 tahun.

Hasil pengkajian nyeri Provoking, Quality, Region, Scale, dan Time

(PQRST) yaitu Provoking, pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi

hari waktu bangun tidur, Quality pasien mengatakan rasa nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), Region pasien mengatakan nyeri pada

kedua lututnya (patella dextra dan sinistra), Scale pasien mengatakan

skala nyeri 6, dan Time pasien mengatakan rasa nyeri hilang timbul

dengan durasi kurang lebih 5 sampai 10 menit.

Pada pengkajian pola persepsi dan konsep diri pasien mengatakan,

sebelum sakit, pasien mengatakan keadaannya sebelumnya sehat,pasien

mensyukuri seluruh anggota tubuhnya, pasien mengatakan pasien dihargai

oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya, pasien melakukan kegiatan

sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, pasien juga mengatakan ia

merupakan seorang perempuan berusia 65 tahun dan belum menikah. Dan

selama sakit pasien mengatakan tetap mensyukuri seluruh anggota

tubuhnya, pasien mengatakan bahwa ia sedang sakit dan ingin segera


68

sembuh, pasien mengatakan tetap dihargai oleh masyarakat sekitar tempat

tinggalnya, pasien mengatakan kegiatan sehari-harinya yaitu sebagai

pasien di panti jompo, di panti tersebut pasien ikut membantu petugas

panti menyiapkan tempat sholat, mencuci piring, dan lain sebagainya,

pasien juga mengatakan ia merupakan seorang perempuan berumur 65

tahun dan belum menikah.

Pada pengkajian pola hubungan dan peran, pasien mengatakan

sebelum sakit hubungannya dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya

baik, dan selama sakit pasien mengatakan hubungannya dengan pasien

yang lain tetap baik-baik saja.

Pada pengkajian pola seksualitas dan reproduksi, pasien

mengatakan sebelum sakit ia belum pernah menikah dan tidak memiliki

riwayat gangguan reproduksi. Dan selama sakit tetap sama yaitu belum

pernah menikah dan tidak memiliki riwayat gangguan reproduksi.

Pada pola pengkajian mekanisme koping, pasien mengatakan

sebelum sakit jika ada masalah sering dipendam sendiri karena pasien

tinggal sendiri, sedangkan selama sakit dan dirawat di panti pasien

mengatakan jika ada masalah ia bercerita kepada teman satu kamarnya

atau dengan pengurus panti.

Pada pengkajian pola nilai dan keyakinan pasien mengatakan ia

beragama islam, sebelum sakit pasien selalu menjalankan sholat 5 waktu

dengan normal, sedangkan selama sakit pasien mengatakan tetap sholat 5


69

waktu berjamaah dengan penghuni panti lainnya walaupun sambil duduk

karena tidak bisa berdiri terlalu lama.

Pada pengkajian pemeriksaan fisik keadaan umum pasien

composmentis (kesadaran penuh). Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital

didapatkan hasil tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit,

pernafasan 16 kali permenit, suhu 36,6 derajad celcius. Pada pemeriksaan

fisik kepala didapatkan hasil bentuk kepala mesochepal, rambut bersih

dan beruban, serta kulit kepala yang bersih dan tidak ada bekas luka. Pada

pemeriksaan fisik mata didapatkan mata tampak sayu, tampak warna

kehitaman atau kantung mata, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak

ikterik, palpebra tidak udem, pupil isokor, refleks terhadap cahaya positif,

dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada pemeriksaan fisik

hidung didapatkan hasil hidung kanan dan kiri simetris, bersih, tidak

terdapat sekret ataupun polip, dan tidak terpasang alat bantu pernafasan.

Pada pemeriksaan fisik mulut didapatkan hasil gigi dan mulut bersih, ada

beberapa gigi yang tanggal, tidak terdapat stomatitis, mukosa bibir

lembab. Pada pemeriksaan fisik telinga didapatkan hasil telinga kanan dan

kiri simetris, bersih, dan tidak terdapat serumen. Pada pemeriksaan fisik

leher didapatkan hasil bentuk leher simetris, tidak ada pembesaran

kelenjar tiroid, tidak kaku kuduk, dan juga tidak ada distensi vena

jugularis.
70

Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil, inspeksi bentuk dada

simetris, ekspansi paru kanan dan kiri sama, tidak menggunakan otot

bantu pernafasan, hasil palpasi didapatkan hasil pemeriksaan vocal

fremitus kanan dan kiri sama, hasil perkusi didapatkan suara paru kanan

dan kiri sonor, dan hasil auskultasi yaitu vesikuler, tidak terdapat suara

nafas tambahan. Pada pemeriksaan fisik jantung, hasil inspeksi

didapatkan hasil bentuk dada simetris, ictus cordis tidak tampak. Palpasi

didapatkan hasil ictus cordis teraba di intercosta 5 mid clavicula sinistra,

perkusi pekak, auskultasi bunyi jantung I dan II murni reguler. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan hasil inspeksi perut datar, tidak ada

bekas luka. Auskultasi didapatkan bising usus 15 kali permenit. Perkusi

didapatkan hasil suara kuadran I redup, kuadran II, III, dan IV timpani.

Palpasi hasilnya tidak ada nyeri tekan di keempat kuadran.

Pada pemeriksaan perineum dan genitalia, didapatkan hasil bersih,

dan tidak terpasang selang kateter. Pada pemeriksaan rektum hasilnya

bersih dan tidak ada hemoroid. Pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan

hasil kekuatan otot kanan dan kiri 5 (gerakan normal penuh menentang

gravitasi dengan penahanan penuh), ROM kanan dan kiri aktif, capillary

refile kurang dari 3 detik, terdapat perubahan bentuk tulang (pasien

berjalan agak membungkuk), dan perabaan akral hangat. Pada

pemeriksaan ekstremitas bawah didapatkan hasil yaitu kekuatan otot

kanan dan kiri skala4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan

sedikit penahanan), ROM kanan dan kiri aktif, capillary refile kurang dari
71

3 detik, terdapat perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak

membungkuk), dan perabaan akral hangat.

C. Perumusan masalah keperawatan

Hasil pengkajian secara wawancaradan observasi kepada pasien, penulis

menekankan beberapa masalah antara lain :

1. Masalah utama yang dikeluhkan pasien dan menjadi prioritas diagnosa

keperawatan paling utama adalah nyeri kronis berhubungan dengan

kondisi muskuloskeletal kronis. Ditandai dengan data subjektif pasien

mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri

bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale

skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10

menit. Sedangkan data objektif didapatkan pasien tampak meringis

menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya,

pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali

permenit, respirasi 16 kali permenit.

2. Masalah keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola tidur yang

berhuhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Ditandai

dengan data subjektif pasien mengatakan tidur malam selama kurang

lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang

puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Dan data objektifnya wajah

pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil


72

pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman atau

kantung mata.

3. Masalah keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik yang

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data

subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya,

kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul

pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data objektifnya kaki

pasien tampak gemetaran, pasien berjalan lambat, pasien tampak kesulitan

menggerakkan kakinya, tampak perubahan bentuk tulang (pasien berjalan

agak membungkuk), kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri

skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan sedikit

penahanan).

D. Rencana Keperawatan

Tujuan yang dibuat penulis berdasarkan masalah keperawatan adalah

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan

masalah dapat teratasi dengan kriteria hasil menggunakan metode SMART

(Specific, Measurable, Achievable, Rasional, Timing) dan intervensi

keperawatan menggunakan ONEC (Observation, Nursing needed Education

and Colaboration), intervensi keperawatan pada Ny. Y adalah :

1. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis.

Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24

jam, diharapkan pasien dapat mengontrol dan menyatakan rasa nyaman


73

setelah nyeri berkurang dengan kriteria hasil : pasien melaporkan bahwa

nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, menyatakan rasa

nyaman setelah nyeri berkurang, mampu mengontrol nyeri, mampu

mengenali nyeri, tanda vital dalam batas normal. Rencana keperawatan

yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu kaji secara komprehensif tentang

nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dengan rasional

untuk mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri,

monitor tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui tanda-tanda

vital pasien, lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage

dengan rasional untuk menurunkan intensitas nyeri secara non

farmakologi, berikan posisi nyaman dengan rasional mengurangi rasa

nyeri, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan rasional untuk

mengurangi rasa nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat

analgetik dengan rasional dapat mengurangi nyeri.

2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat

nyeri). Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

3 x 24 jam diharapkan masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi

dengan kriteria hasil: jumlah jam tidur dalam batas normal 6 sampai 8 jam

per hari, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat. Rencana keperawatan

yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu monitor atau catat kebutuhan tidur

pasien setiap hari dan jam dengan rasional untuk mengetahui jumlah jam

tidur yang dibutuhkan pasien, ciptakan lingkungan yang nyaman dengan

rasional agar pasien mampu meningkatkan tidur atau istirahat, diskusikan


74

dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien dengan rasional agar

pasien lebih mudah untuk tidur, kolaborasi pemberian obat tidur dengan

rasional untuk membantu meningkatkan tidur pasien.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal. Tujuannya adalah setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien menunjukkan tingkat

mobilitas, dengan kriteria hasil: pasien meningkat dalam aktifitas fisik,

pasien mampu melakukan mobilitas secara mandiri. Rencana keperawatan

yang akan dilakukan pada Ny. Y yaitu kaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi dengan rasional untuk mengetahui tingkat mobilisasi yang

dimiliki pasien, berikan alat bantu jika pasien memerlukan dengan

rasional untuk memudahkan pasien dalam melakukan kegiatan, dampingi

dan bantu pasien saat mobilisasi dengan rasional untuk membantu

memudahkan pasien dalam melakukan mobilisasi, ajarkan pasien tentang

teknik ambulasi/ROM dengan rasional untuk melatih kemapuan

pergerakan pasien, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk

mengawasi aktifitas pergerakan pasien.

E. Implementasi atau Tindakan Keperawatan

Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 04 Januari 2016

pada pukul 10.00 WIB yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri

PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda

vital, dengan respon subjektifpasien mengatakan nyeri dan kaku pada lutut
75

selama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur,

kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras), nyeri pada kedua

lututnya, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10

menit dan respon objektif yaitu pasien tampak meringis menahan nyeri, pasien

tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya, hasil pemeriksaan tanda-

tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16

kali permenit. Pukul 10.30 WIB melakukan pemberian kompres jahe dan

massage dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan

kompres jahe dan dipijat pada bagian yang nyeri, dan respon objektif pasien

tampak tenang saat diberi kompres jahe dan massage pada kedua lututnya.

Pukul 11.20 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan tindakan

kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien mengatakan masih

nyeri, hanya terasa sedikit hangat dan respon objektif yaitu pasien tampak

masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat, skala nyeri masih

skala 6.

Pukul 11.25 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap

hari dan jam dengan respon subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur

malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan

tidurnya kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Respon

objektifnya wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering

menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman

atau kantung mata. Pukul 11.30 WIB menciptakan lingkungan yang nyaman

dengan respon subjektif pasien mengatakan menyukai suasana yang sepi dan
76

tenang saat tidur, dan respon objektif yaitu pasien masih tampak mengantuk

dan menguap. Pukul 11.40 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi dengan respon subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku

pada kedua lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama,

jika nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan respon

objektif yaitu kaki pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan

menggerakkan kakinya, pasien tampak berjalan lambat, tampak perubahan

bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk), kekuatan otot ekstremitas

bawah kanan dan kiri skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi

dengan sedikit penahanan). Pukul 11.50 WIB mendampingi dan membantu

pasien saat mobilisasi dengan respon subjektif pasien mengatakan tidak mau

dibantu dan ingin berjalan secara mandiri, pasien mengatakan capek jika

berdiri atau berjalan terlalu lama. Dan respon objektifnya yaitu pasien tidak

mau dibantu saat berjalan ke dapur ia lebih memilih berjalan dengan

berpegangan pada dinding dan benda-benda yang ada disekitarnya.

Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016

pada pukul 10.00 WIB yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri

PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dengan respon subjektif

pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya masih terasa, nyeri

bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale skala

nyeri 6, dan time rasa nyeri hilang timbul, durasi 5 sampai 10 menit, dengan

respon objektif pasien masih tampak sesekali mengelus dan mengurut


77

lututnya. Pukul 10.30 WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage

dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberi kompres jahe dan

dipijat pada kedua lututnya, setelah kompres dan dipijat pasien mengatakan

rasanya nyaman, nyeri berkurang, lututnya terasa hangat, dan tidak terlalu

kaku saat digerakkan. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang dan

merasa nyaman saat dikompres. Pukul 11.25 WIB mengobservasi nyeri

setelah mengaplikasikan tindakan kompres jahe dan massage dengan respon

subjektif pasien mengatakan lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari

sebelumnya menjadi skala 5 dan durasi 1 sampai 5 menit, setelah diberi

kompres dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang. Respon

objektifnya yaitu pasien tampak senang karena nyeri lututnya berkurang, skala

nyeri menjadi skala 5.

Pukul 11.30 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan

respon subjektif pasien mengatakan bersedia diajari relaksasi nafas dalam,

setelah diberikan tindakan pasien mengatakan nyeri bisa dikendalikan sedikit-

sedikit, pasien merasa nyaman, respon objektifnya pasien tampak tenang dan

bisa mengikuti arahan dari perawat, setelah diberi tindakan relaksasi nafas

dalam pasien tampak bisa melakukan tehnik relaksasi nafas dalam. Pukul

11.40 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan

jam dengan respon subjektif pasien mengatakan tidur malam selama kurang

lebih 5 sampai 6 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan masih

mengantuk dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Respon objektifnya wajah

pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, mata tampak
78

sayu, tampak warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 11.50 WIB,

mendiskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien, dengan

respon subjektif pasien mengatakan biasanya ia tidur dengan posisi bagian

bawah lututnya diganjal dengan selimut agar lebih nyaman sedangkan respon

objektifnya pasien tampak tiduran kamarnya. Pukul 12.15 WIB mengajarkan

pasien tentang teknik ambulasi/ROM dengan respon subjektif pasien

mengatakan bersedia diajari tehnik ambulasi/ROM tersebut. Respon objektif

pasien tampak antusias mengikuti arahan dari perawat, kedua lutut pasien

tampak lebih mudah digerakkan (kaku berkurang).

Tindakan keperawatan pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 10.00 WIB

yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking,

Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda vital dengan respon

subjektif pasien mengatakan nyeri sudah mendingan, nyeri bertambah pada

pagi hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan

dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 5, dan rasa nyeri hilang

timbul, durasi 1 sampai 5 menit, dengan respon objektif pasien tampak tenang

dan tidak tampak mengurut-ngurut lututnya, tanda-tanda vital tekanan darah

130/90 mmHg, nadi 76 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Pukul 10.30

WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan respon

subjektif pasien mengatakan bersedia dikompres dan dipijat, dan merasa

nyaman, hangat, dan lebih enakan setelah diberi tindakan kompres jahe dan

dipijat. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang saat diberi

kompres jahe dan massage, setelah tindakan pasien tampak tidak merasakan
79

nyeri. Pukul 11.30 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan

tindakan kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien

mengatakan lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya,

setelah diberi kompres dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang.

Respon objektifnya yaitu pasien tampak senang, nyeri berkurang menjadi

skala 4 dan durasi 1 sampai 5 menit. Pukul 11.45 WIB memonitor atau

mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam dengan respon subjektif

pasien mengatakan tidur malam selama kurang lebih 5 sampai 6 jam, pasien

tidak tidur siang, pasien bisa tidur malam karena nyeri berkurang. Respon

objektifnya pasien terlihat tidak menguap, mata tidak tampak sayu, tampak

warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 11.55 WIB menciptakan

lingkungan yang nyaman dengan respon subjektif pasien mengatakan ia bisa

tidur sedikit-sedikit karena lingkungan tenang dan nyeri berkurang, dan respon

objektifnya pasien tidak tampak mengantuk dan menguap, masih tampak

warna kehitaman pada kantung mata. Pukul 12.15 WIB berkolaborasi dengan

pengurus panti untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien dengan respon

subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien,

respon objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak

seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan

kegiatan atau aktifitas.

Tindakan keperawatan pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 10.00 WIB

yaitu mengkaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking,

Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor tanda-tanda vital dengan respon
80

subjektif pasien mengatakan nyeri sudah mendingan, nyeri bertambah pada

pagi hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan

dengan keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 4, dan rasa nyeri hilang

timbul, durasi 1 sampai 5 menit, dengan respon objektif pasien tampak tenang

dan tidak tampak mengurut-ngurut lututnya, tanda-tanda vital tekanan darah

130/80 mmHg, nadi 72 kali permenit, respirasi 20 kali permenit. Pukul 10.30

WIB melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan respon

subjektif pasien mengatakan bersedia dikompres dan dipijat, dan merasa

nyaman, hangat, nyeri berkurang, dan lebih enakan setelah diberi tindakan

kompres jahe dan dipijat. Dan respon objektifnya yaitu pasien tampak tenang

saat diberi kompres jahe dan massage, setelah tindakan pasien tampak tidak

merasakan nyeri.

Pukul 11.30 WIB mengobservasi nyeri setelah mengaplikasikan tindakan

kompres jahe dan massage dengan respon subjektif pasien mengatakan lebih

enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya, setelah diberi kompres

dan dipijat rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang. Respon objektifnya

yaitu pasien tampak senang, nyeri berkurang menjadi skala 3 dan durasi 1

sampai 5 menit. Pukul 11.45 WIB memonitor atau mencatat kebutuhan tidur

pasien setiap hari dan jam dengan respon subjektif pasien mengatakan

tidurnya semalam sudah enakan, lebih nyenyak dari hari sebelumnya karena

nyerinya tidak kambuh, jumlah jam tidur malam 7 jam, pasien tidak tidur

siang. Respon objektifnya pasien terlihat tidak menguap, dan tidak tampak

mengantuk, mata tidak tampak sayu, tidak tampak warna kehitaman atau
81

kantung mata. Pukul 11.55 WIB menciptakan lingkungan yang nyaman

dengan respon subjektif pasien mengatakan ia bisa tidur dengan nyenyak

karena lingkungan tenang dan nyeri tidak kambuh, dan respon objektifnya

pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap, tidak

tampak warna kehitaman atau kantung mata. Pukul 12.15 WIB berkolaborasi

dengan pengurus panti untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien dengan

respon subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas

pasien, respon objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan

tampak seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat

melakukan kegiatan atau aktifitas, pasien tampak mendengarkan saat

diingatkan oleh petugas panti.

F. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan setelah keperawatan pada hari itu

juga, penulis melakukan evaluasi dengan metode wawancara dan observasi

terhadap pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Hari senin tanggal 04 Januari 2016 jam 12.30 WIB diagnosa

keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis

menggunakan SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) diperoleh

hasil sebagai berikut subjektif pasien mengatakan masih nyeri, hanya terasa

sedikit hangat, provoking pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari

waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),

region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 6, time nyeri hilang timbul,
82

dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit dan objektif yaitu pasien tampak

masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat, skala nyeri masih

skala 6. Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu

kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region,

Scale, Time), lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage, ajarkan

teknik relaksasi nafas dalam. Pukul 12.50 WIB diagnosa keperawatan

gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri)

menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)

diperoleh hasil sebagai berikut, subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur

malam selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan

tidurnya kurang puas, dan kadang terbangun jika nyeri timbul, objektifnya

wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil

pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman atau kantung

mata. Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu

monitor/catat kebutuhan tidur pasien tiap hari dan jam, diskusikan dengan

klien dan keluarga tentang teknik tidur klien.

Pukul 12.40 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal dengan menggunakan metode

SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai

berikut subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua

lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri

timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. objektif yaitu kaki

pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya,


83

pasien tidak bersedia dibantu berjalan, ia memilih berjalan sendiri dengan

berpegangan pada dinding atau benda-benda yang ada disekitarnya, tampak

perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk) kekuatan otot

ekstremitas bawah skala 4 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan

sedikit penahanan). Analisa masalah belum teratasi. Planning intervensi

dilanjutkan yaitu ajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM.

Hari Selasa, tanggal 05 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa

keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis

menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)

diperoleh hasil sebagai berikut, subjektif pasien mengatakan setelah

pengaplikasian tindakan kompres jahe dan massage pasien merasa nyaman,

nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya, lututnya terasa hangat, dan tidak

terlalu nyeri dan kaku saat digerakkan, lebih enakan dan nyeri dan provoking

nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri

5, dan time nyeri hilang timbul. Objektifnya pasien tampak senang, nyeri

berkurang menjadi skala 5, tampak tenang dan bisa mengikuti arahan dari

perawat, setelah diberi tindakan relaksasi nafas dalam pasien tampak bisa

melakukan tehnik relaksasi nafas dalam. Analisa masalah teratasi sebagian.

Planning lanjutkan intervensi yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri

PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), lakukan aplikasi

pemberian kompres jahe dan massage, monitor tanda-tanda vital. Pukul 12.50

WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang


84

kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,

Objective, Analise, Planning) diperoleh hasil sebagai berikut subjektif pasien

mengatakan masih mengantuk, pasien mengatakan lebih nyaman jika tidur

dengan posisi bawah lututnya diganjal dengan selimut, dengan objektif pasien

tampak tiduran dikamarnya. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning

intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien setiap hari

dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman. Pukul 12.40 WIB diagnosa

keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,

Analise, Planning) diperoleh hasil sebagai berikut subjektif pasien

mengatakan bersedia diajari tehnik ambulasi/ROM. objektif pasien tampak

antusias mengikuti arahan dari perawat, kaku berkurang. Analisa masalah

teratasi sebagian. Planning intervensi dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan

tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien.

Hari Rabu, tanggal 06 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa

keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal

kronis menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning)

hasil sebagai berikut subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian

tindakan kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari

hari-hari sebelumnya, rasanya hangat dan kaku berkurang dan provoking

pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur,

quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada

kedua lututnya, scale nyeri 4, time nyeri hilang timbul, durasi 1 sampai 5
85

menit. Objektifnya yaitu pasien tampak senang, nyeriberkurang menjadi skala

4, hasil tanda-tanda vital tekanan darah 130/90 mmHg, nadi76 kali permenit,

respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning

intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST

(Provoking, Quality, Region, Scale, Time), lakukan aplikasi pemberian

kompres jahe dan massage, berikan posisi nyaman jika nyeri timbul kembali.

Pukul 12.55 WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan

dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan metode

SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai

berikut subjektif pasien mengatakan ia bisa tidur sedikit-sedikit karena

lingkungan tenang dan nyeri berkurang, dan respon objektifnya pasien tidak

tampak mengantuk dan menguap, mata tidak tampak sayu, masih tampak

warna kehitaman pada kantung mata. Analisa masalah teratasi sebagian.

Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien tiap

hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman.

Pukul 12.45 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletaldengan menggunakan metode

SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai

berikut subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas

pasien, objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak

seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan

kegiatan atau aktifitas. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi

dilanjutkan yaitu kolaborasi, dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi


86

aktifitas pergerakan pasien, ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih

pergerakan pasien.

Hari Kamis, tanggal 07 Januari 2016 pukul 12.30 WIB diagnosa

keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis

menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) hasil

sebagai berikut subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian tindakan

kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari

sebelumnya, rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang, provoking pasien

mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri

bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri

3, time nyeri hilang timbul. Objektif yaitu pasien tampak senang, berkurang

menjadi skala 3, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 76

kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah teratasi sebagian.

Planning intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara komprehensif tentang nyeri

PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), berikan posisi nyaman jika

nyeri timbul kembali.

Pukul 12.55 WIB diagnosa keperawatan gangguan pola tidur

berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) dengan menggunakan

metode SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil

sebagai berikut mengatakan ia bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak

kambuh, dan respon objektifnya pasien tampak lebih segar, tidak tampak

mengantuk dan menguap, tidak tampak warna kehitaman atau kantung mata.
87

Analisa masalah teratasi. Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat

kebutuhan tidur pasien tiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman.

Pukul 12.45 WIB diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal dengan menggunakan metode

SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai

berikut subjektif pengurus panti mengatakan bersedia mengawasi aktifitas

pasien, objektif pengurus panti tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak

seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan

kegiatan atau aktifitas, pasien tampak mendengarkan saat diingatkan oleh

petugas panti. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi

dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi

aktifitas pergerakan pasien dan ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih

pergerakan pasien.
BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai pemberian terapi kompres jahe

dan massage terhadap intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Ny. Y dengan

osteoartritis di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti Wonogiri.

Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian antara penilitian

jurnal dan teori dengan kasus yang terjadi di lapangan. Proses asuhan keperawatan

seperti pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang komprehensif meliputi

biologis, psikologis, sosial, dan spiritual melalui tahap pengkajian, perumusan

masalah, rencana tindakan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

A. Pengkajian

Tahap pengkajian adalah tahap proses mengumpulkan data yang

relevan dan kontinyu tentang respon manusia, status kesehatan, kekuatan, dan

masalah klien. Tujuan dari pengakajian adalah untuk memperoleh informasi

tentang keadaan kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan dan

kesehatan klien, menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang

tepat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya (Darmawan, 2012).

Pengkajian terhadap Ny. Y dengan osteoartritis di Panti Sasana Tresna

Wredha Dharma Bakti Wonogiri menggunakan metode komunikasi secara

langsung dengan klien (autoanamnensa), maupun tak langsung

(alloanamnensa), dan observasi yaitu dengan mengamati perilaku dan

88
89

keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang dialami

klien. Pengkajian tersebut dimulai dari biodata pasien, riwayat kesehatan,

riwayat medis masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial, dan

pemeriksaan fisik. Selanjutnya data dasar tersebut digunakan untuk

menentukan diagnosis keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah klien

(Darmawan, 2012).

Hasil pengkajian didapatkan keluhan utama pada kasus Ny. Y adalah

pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya selama lebih dari 1 tahun.

Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny.Y dengan kasus osteoartritis telah

sesuai dengan teori yang ditemukan oleh penulis. Osteoartritis (penyakit

pengapuran sendi) merupakan suatu penyakit sendi degeneratif, yang

menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi yang sering diderita pada tahap

menua yaitu pada usia diatas 60 tahun sehingga membuat sendi-sendi menjadi

sulit untuk digerakkan dan apabila tidak digerakkan akan memperparah

keadaan (Yuli Reni, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan pada pasien

perempuan dengan osteoartritis menunjukkan bahwa seorang yang yang

berumur minimal 65 tahun beresiko 19 kali menderita osteoartritis lutut

dibandingkan mereka yang berumur 35 tahun (Knee Osteoarthritis, 2010).

Dari data pengkajian dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan

antara teori dan kenyataan yang terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami

oleh Ny.Y.

Pasien juga mengatakan dulunya saat masih muda pasien sering bekerja

keras menggendong pakan ternak (rumput) dalam jumlah banyak dengan jarak
90

yang lumayan jauh, namun lama kelamaan timbul gejala-gejala pengapuran

sendi.

Dari data pengkajian dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan

antara teori dan kenyataan yang terjadi pada etiologi osteoartritis yang dialami

oleh Ny.Y. Yang menerangkan bahwa pemakaian sendi yang berlebihan

secara teoritis dapat merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu

pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang dikandungnya (Reni

Yuli, 2014).

Hasil pengkajian pada tanggal 04 Januari 2016 keluhan utama pada

kasus Ny. Y adalah pasien mengatakan nyeri dan kaku pada lututnya selama

lebih dari 1 tahun. Klien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu

bangun tidur, quality rasa nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),

region nyeri pada kedua lututnya, scale skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul

dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit. Menurut klasifikikasinya nyeri pada

Ny. Y tergolong nyeri kronis dimana nyeri kronis memiliki awitan yang tiba-

tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi secara

konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan

berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012).

Seperti yang dijelaskan pasien bahwa ia mengalami nyeri dan kaku pada

kedua lututnya, dalam buku Bambang (2011) osteoartritis yang diderita Ny. Y

merupakan jenis osteoartritis genu (lutut) yaitu suatu penyakit sendi

degeneratif yang umum terjadi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago

sendi lutut, yang merupakan suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi
91

yang tidak diketahui penyebabnya, namun ada beberapa etiologi yang

berkaitan dengan timbulnya osteoartritis antara lain: umur, prevalensi dan

beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya

umur. Osteoartritis hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur

dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Penderita

osteoartritis khususnya osteoartritis genu (lutut) meningkat pada usia lebih

dari 65 tahun, baik secara klinik maupun radiologik. Sedangkan nyerinya

bertambah ketika pada pagi hari dan sore hari, hal ini juga sesuai dengan buku

Bambang (2011) yang menyatakan bahwa nyeri pada osteoartritis, biasanya

nyeri mempunyai irama diurnal, nyeri akan menghebat pada pagi hari waktu

bangun tidur atau pagi hari dan sore hari.

Nyeri yang dirasakan Ny. Y tergolong nyeri sedang karena skala nyeri

yang dirasakan skala 6 (agak mengganggu). Nyeri pada pasien diukur dengan

Numeric Rating Scale (NRS), skala ini berbentuk garis horizontal yang

menunjukkan angka-angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri atau bebas nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang paling hebat.

Skala ini merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1

cm diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat

atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh

klien dapat digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa

nyeri. Keterangan skala 0 adalah tidak nyeri atau bebas nyeri, skala 1-3 adalah

nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, skala 4-6

adalah nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat


92

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik, skala 7-9 adalah nyeri berat, secara obyektif klien

terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat

diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, skala 10 nyeri sangat

berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul (Potter &

Perry, 2005).

Nyeri merupakan salah satu manifestasi klinis dari osteoartritis, hal ini

sudah sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa Perubahan-perubahan

degeneratif yang diakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya

cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan

sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik

dan ekstrinsik sehingga menyebabkan gangguan pada ligament atau adanya

perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang

rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi

penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki krepitasi,

deformitas, dan adanya hipertropi atau nodulus (Soeparman, 1995 dalam Yuli

Reni, 2014). Berdasarkan tanda dan gejala, masalah paling utama pada

pasien-pasien dengan osteoartritis adalah nyeri baik bersifat akut maupun

kronis akibat adanya proses degradasi pada tulang rawan dan proses inflamasi

pada daerah sinovium (Doengoes dkk, 2008). Dari data pengkajian dapat

disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dan kenyataan yang

terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami oleh Ny.Y.


93

Pengkajian pada pola istirahat tidur, klien mengatakan tidur malam

selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan

tidurnya kurang puas dan kadang terbangun jika nyeri timbul. Dan data

objektifnya Pasien wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering

menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna kehitaman

atau kantung mata. Klien yang mengalami nyeri akan berpengaruh pada

perubahan pola istirahat tidur (Potter dan Perry, 2005). Dari data pengkajian

dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dan kenyataan

yang terjadi pada gejala osteoartritis yang dialami oleh Ny.Y.

Hasil pengkajian yang didapatkan dari wawancara terhadap Ny. Y

dengan osteoartritis pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang pada

keluhan utama ditemukan masalah pasien merasa nyeri dan kaku pada lutut,

hal ini sudah sesuai dengan teori menurut Yuli Reni (2014) yaitu keluhan

utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit muskuloskeletal

seperti osteoartritis, hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami

atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi

tersebut, adanya keterbatasan gerak yang menyebabkan terjadinya

keterbatasan mobilitas, sehingga muncul diagnosa hambatan mobilitas fisik.

Gangguan mobilitas fisik dapat timbul akibat dari nyeri yang ditandai dengan

keterbatasan rentang gerak sendi (Doengoes dkk, 2008). Hasil pengkajian

kekuatan otot pada Ny. Y yang terjadi pada ekstremitas bawah (kaki) kanan

dan kiri mengalami penurunan kekuatan otot yaitu kekuatan otot 4 (gerakan

normal penuh menentang gravitasi dengan sedikit penahanan), sedangkan


94

ekstremitas yang lain tidak mengalami masalah dengan kekuatan otot 5.

Penurunan otot disebabkkan karena nyeri yang bersifat kronis pada pasien

osteoartritis sehingga membuat semakin lama kekuatan otot semakin

berkurang (Brunner dan Suddart, 2002). Hasil pemeriksaan ekstremitas

terdapat perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk).

Berdasarkan hasil dari pengkajian pada Ny. Y dengan osteoartritis telah

sesuai dengan teori dengan yang ditemukan oleh penulis.

B. Perumusan masalah

Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respon

individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual

dan potensial atau proses kehidupan. Tujuannya adalah mengarahkan rencana

asuhan keperawatan untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap

penyakit dan menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan,

2012).

Menurut Carpenito (2002) dalam Setiadi (2012), bahwa terdapat 5 tipe

diagnosa yaitu actual, risiko, kemungkinan, kesejahteraan, dan sindrom.

Diagnosa aktual adalah menyajikan keadaan yang secara klinis telah di

validasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi, karena

nyeri dapat mengganggu kebutuhan rasa aman dan nyaman serta merupakan

masalah yang paling utama maka harus didahulukan daripada kebutuhan yang

lain.
95

Berdasarkan data-data yang didapatkan penulis dari hasil pengkajian

pada tanggal 05 sampai 07 Januari 2016 pada Ny. Y di Panti Sasana Tresna

Wredha Dharma Bhakti Wonogiri, dapat disimpulkan bahwa klien

mempunyai masalah keperawatan nyeri kronis berhubungan kondisi

muskuloskeletal kronis, gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang

kontrol tidur, dan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal.

Masalah keperawatan pertama yaitu nyeri kronis berhubungan

dengankondisi muskuloskeletal kronis (Herdman, 2015). Nyeri Menurut IASP

(International Association for the Study of Pain) dalam Herdman (2012)

merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau digambarkan

dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Sedangkan Nyeri yang dialami Ny. Y

merupakan nyeri akibat kondisi muskuloskeletal yang kronis yang

diakibatkan oleh penyakit osteoartritis yang dideritanya selama lebih dari 1

tahun. Sesuai teori bahwa nyeri kronis merupakan nyeri yang memiliki awitan

yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi

secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau

diprediksi dan berlangsung lebih dari 6 bulan (Herdman, 2012). Pada Ny. Y

batasan karakteristik yang ditemukan meliputi data subyektif pasien

mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri

bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality rasa nyeri cenut-cenut

(seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale skala
96

nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5 sampai 10 menit.

Sedangkan data objektif didapatkan klien tampak meringis menahan nyeri,

pasien tampak memegangi dan mengelus kedua lututnya, pemeriksaan tanda-

tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16

kali permenit. Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa

diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai

dengan buku (Herdman, 2015).

Analisa masalah keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola tidur

berhubungan dengan kurang kontrol tidur. Ditandai dengan data subjektif

pasien mengatakan sulit tidur, tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien

tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas dan kadang

terbangun jika nyeri timbul, dan data objektifnya wajah pasien tampak

mengantuk dan pasien terlihat sering menguap, hasil pemeriksaan fisik mata

tampak sayu, tampak warna kehitaman atau kantung mata. Gangguan pola

tidur dapat di definisikan sebagai gangguan jumlah dan kualitas tidur

(penghentian kesadaran alami, periodic) yang dibatasi waktu dalam jumlah

dan kualitas (Wilkinson, 2007).

Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai

dengan batasan karakteristik menurut Wilkinson (2007) yang menyebutkan

bahwa karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih

lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang

kesulitan untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat

dengan baik. Batasan karakteristik lain yang mungkin muncul (Non-Nanda)


97

yaitu lingkaran gelap dibawah mata, penurunan rentang perhatian, aek datar,

sering menguap, tidur terganggu, tidak bergairah, dan perubahan mood.

Berdasarkan batasan karakteristik maka etiologi yang dapat diambil oleh

penulis yaitu kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Berdasarkan data tersebut

diatas penulis menyimpulkan bahwa diagnosa yang diangkat sudah sesuai

dengan batasan karakteristik yang sesuai dengan buku (Herdman, 2012).

Analisa masalah keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data

subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya,

kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul

pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data objektifnya kaki

pasien tampak gemetaran, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya,

tampak perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk),

kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri skala 4 (gerakan normal

penuh menentang gravitasi dengan sedikit penahanan).

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik

tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Batasan

karakteristiknya antara lain: penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak

balikan posisi, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misal:

meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku,

fokus pada ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit), dispnea setelah

beraktivitas, perubahan cara berjalan, keterbatasan kemampuan melakukan

keterampilan motorik halus, keterbatasan tentang gerak sendi, tremor akibat


98

pergerakan, pergerakan lambat dan pergerakan tidak berkoordinasi (Herdman,

2012). Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa

diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai

dengan buku (Herdman, 2012).

Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri kronis berhubungan

dengan kondisi muskuloskeletal kronis sebagai diagnosa pertama. Alasan

penulis memprioritaskan masalah nyeri kronis sebagai prioritas pertama,

karena berdasarkan pada keaktualan masalah yang sesuai dengan tipe-tipe

diagnosa keperawatan. Apabila diagnosa nyeri kronis berhubungan dengan

ketunadayaan fisik kronis tidak ditegakkan padahal terdapat data-data yang

mendukung untuk ditegakkannya diagnosa tersebut maka individu akan

merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan respon fisik dan

psikis. Respon psikis meliputi perubahan keadaan umum, ekspresi wajah,

nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan apabila nyeri berada pada derajat

berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok. Respon psikis

akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat menekan sistem imun

dan peradangan, serta menghambat penyembuhan. Respon yang lebih parah

akan mengarah pada ancaman merusak diri (Rustinawati, 2013).

Setelah itu barulah menyusul diagnosa keperawatan kedua yaitu

gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri)

karena jika nyeri sudah bisa teratasi maka secara otomatis akan

mempengaruhi pola tidur pasien karena sesuai dengan hasil pengkajian yaitu

subjektif klien mengatakan tidur malam selama kurang lebih 5 jam, pasien
99

tidak tidur siang, pasien mengatakan tidurnya kurang puas dan kadang

terbangun jika nyeri timbul, hal ini sesuai dengan teori bahwa klien yang

mengalami nyeri akan berpengaruh pada perubahan pola istirahat tidur (Potter

dan Perry, 2005).

Dan diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan

dengan gangguan muskuloskeletal, hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri

yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang

digunakannya sendi tersebut, kesimpulannya jika masalah utama yaitu nyeri

bisa diatasi maka hambatan mobilitas fisik pada pasienpun akan teratasi.

C. Rencana tindakan

Perencanaan adalah suatu proses didalam pemecahan masalah yang

merupakan keputusan awal tentang sesuatu yang akan dilakukan, bagaimana

dilakukan, kapan akan dilakukan, dan siapayang akan melakukan dari semua

tindakan keperawatan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus

keperawatan pada klien atau kelompok, untuk membedakan tanggung jawab

perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria

guna pengulangan dan evaluasi keperawatan untuk menyediakan kriteria dan

klasifikasi pasien. Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnose

keperawatan nyeri kronis, gangguan pola tidur dan hambatan mobilitas fisik

berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) dengan menggunakan

metode ONEC (Observasi, Nursing Intervention, Education, Collaboration).

Tujuan dan kriteria hasil ini disusun berdasarkan NOC (Nursing Output
100

Classification) dengan menggunakan metode SMART (Spesific, Measurable,

Achievable, Realistic, Time) (Dermawan, 2012). Kriteria hasil merupakan

gambaran tentang faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk bahwa tujuan

telah tercapai dan digunakan dalam membuat pertimbangan (Hidayat, 2010).

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang pertama yaitu nyeri kronis

berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis, penulis menyusun

perencanaan antara lain: (Pain management) : kaji secara komprehensif

tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor

tanda-tanda vital, lakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage,

ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, dan kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat analgetik (NIC dalamYuli Reni, 2014).

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang kedua yaitu gangguan pola

tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur, penulis menyusun

perencanaan antara lain: (Sleep enhancement): monitor atau catat kebutuhan

tidur pasien setiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman,

diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien, dan

kolaborasi pemberian obat tidur (NIC dalam Nurarif dkk, 2013).

Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, penulis

menyusun perencanaan antara lain: (Excercise Tharapy) : kaji kemampuan

pasien dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan

pasien tentang teknik ambulasi/ROM untuk melatih pergerakan pasien, dan


101

kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas

pergerakan pasien (NIC dalam Yuli Reni, 2014).

D. Implementasi keperawatan

Tindakan keperawatan atau implementasi adalah sekumpulan atau

serangkaian pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan oleh perawat

untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status

kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil dalam rentang

yang diharapkan (Dermawan, 2012).

Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny. Y sama dengan yang

ada di intervensi pada diagnosa pertama yaitu nyeri kronis berhubungan

kondisi muskuloskeletal kronis dengan mengkaji secara komprehensif tentang

nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor tanda-tanda

vital, melakukan aplikasi pemberian kompres jahe dan massage, dan

mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

Tindakan yang pertama yaitu mengkaji secara komprehensif tentang

nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time) dan memonitor

tanda-tanda vital dengan respon subjektif pasien mengatakan nyeri dan kaku

pada lutut selama lebih dari 1 tahun, mengatakan nyeri bertambah pada pagi

hari waktu bangun tidur, kualitas nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan

keras), nyeri pada kedua lututnya, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul dengan

durasi sekitar 5 sampai 10 menit dan respon objektif yaitu pasien tampak

meringis menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus kedua


102

lututnya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg,

nadi 90 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Dalam teori, observasi

karakteristik nyeri dilakukan untuk mengetahui pemicu nyeri, kualitas nyeri,

lokasi nyeri, intensitas nyeri dan waktu serangan nyeri (Saputra, 2013).

Setelah melakukan mengkaji secara komprehensif dan memonitor

tanda-tanda vital untuk mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala, dan

waktu nyeri, dan untuk mengetahui tanda-tanda vital pasien.

Penulis lalu melakukan pemberian kompres jahe dan massage dengan

tujuan untuk menurunkan intensitas nyeri secara non farmakologi dengan

respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan kompres jahe dan

dipijatpada bagian yang nyeri, dan respon objektif pasien tampak nyaman saat

diberi kompres jahe dan massage pada kedua lututnya.

Rangsangan panas yang dihasilkan kompres hangat jahe akan

meningkatkan suhu lokal pada kulit yang akan mengakibatkan kulit menjadi

pucat karena timbul vasokontriksi akan segera diikuti vasodilatasi sehingga

timbul kemeraha-merahan. Apabila terjadi dilatasi pembuluh darah kulit

maka hal ini akan diteruskan ke pembuluh darah di jaringan yang lebih dalam

sehingga sirkulasi darah membaik. Membantu penyerapan zat algogen

mengaktifkan ion segera juga menurunkan aksi potensial dengan

menghambat serabut saraf Aß sehingga nyeri berkurang. Pada level spinal

akan terjadi mild heating yang merangsang saraf afferent Aß dan propiceptor

memblok A delta dan C di medula spinalis. Pengurangan nyeri supra spinal

terjadi panas tinggi merangsang hipotalamus menghasilkan endorphin


103

menurunkan nyeri. Efek pada jaringan kapsul meningkatkan kadar air terjadi

kelenturan kapsul ligamen dan fasia nyeri menurun, efek panas pada jaringan

otot rileksasi ketegangan intra muskuler menurun dan mampu mengatasi

iskemik jaringan sehingga nyeri menurun (Anwar, 2012 dalam Yuliastari,

2012).

Selain itu penggunaan kompres hangat jahe memberikan efek fisiologis

dengan cara menurunkan nyeri sendi pada tahap transduksi (proses

konversienergi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi

energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor),

pada tahapan ini jahe memiliki kandungan gingerol yang mengandung

siklooksigenase yang bisa menghambat terbentuknya prostaglandin sebagai

mediator nyeri, sehingga terjadi penurunan nyeri sendi. Sehingga jahe dapat

digunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan non farmakologis untuk

menurunkan nyeri sendi (Izza,2014).

Massage sendiri memberikan efek menurunkan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan massage pada otot akan merangsang serabut

berdiameter besar, sehingga dapat memblok atau menurunkan impuls nyeri.

Pijat yang dilakukan oleh orang yang ahli dapat membantu menangani

beberapa masalah otot. Manfaat utama yang diberikan pada terapi pijat adalah

efek relaksasinya, dan pijat bisa sangat membantu orang yang memiliki

masalah yang berhubungan dengan stres (Kim, 2007).

Terapi kompres jahe dan massage diberikan dengan menggunakan air

hangat bersuhu 40o celcius sampai 50o celcius kemudian jahe sebanyak 100
104

gram di parut dan di dicelupkan sebentar di air hangat yang sudah disiapkan

kemudian diletakkan pada kain lalu dikompreskan pada daerah sendi yang

mengalami nyeri selama 20 menit, ganti kompres per 5 menit agar tetap

hangat.

Sedangkan massage yang digunakan yaitu remedial massage (pijat

penyembuhan) yaitu suatu pijatan yang dilakukan untuk membantu

mempercepat proses pemulihan beberapa macam penyakit dengan

menggunakan sentuhan tangan dan tanpa memasukkan obat ke dalam tubuh

yang bertujuan untuk meringankan atau mengurangi keluhan atau gejala pada

beberapa macam penyakit yang merupakan indikasi untuk dipijat (Bambang,

2011). Tehnik remedial massage yang digunakan antara lain tehnik petrisage

(pijatan) dan friction (gerusan) dan dilakukan selama 10 menit dengan posisi

tengkurap. Tehnik massage petrisage merupakan suatu gerakan dengan

menggunakan ibu jari berdampingan, melakukan pijatan tekanan secara

bergantian. Pijatan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan

bawah lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan

pijatan ulang dengan dosis 3 kali ulangan. Sedangkan friction dengan

menggunakan kedua ibu jari berdampingan untuk melakukan gerusan secara

bergantian. Gerusan dimulai dari atas lipatan lutut, tengah lipatan lutut, dan

bawah lipatan lutut. Kemudian melakukan gosokan kuat untuk melakukan

gerusan ulangan, dengan dosis 3 kali ulangan (Bambang, 2011). Setelah

mengaplikasikan tindakan kompres jahe dan massage dengan respon subjektif

pasien mengatakan nyeri berkurang dan lutut terasa hangat dan respon
105

objektif yaitu pasien tampak merasa nyaman, skala nyeri berkurang menjadi

skala 5. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi kompres jahe dan

massage efektif menurunkan skala dan intensitas nyeri klien osteoartritis

sesuai dengan jurnal dimana dalam jurnal disebutkan hasil penelitian

menyatakan bahwa terdapat penurunan intensitas nyeri saat diberikan

tindakan kompres jahe dan massage pada pasien dengan osteoartritis.

Hasil analisa pada tindakan kompres jahe dan massage ini yaitu dalam 4

hari pengelolaan ini penulis mendapatkan data sebagai berikut pada hari

pertama didapatkan hasil sebelum diberi terapi kompres jahe dan massage

yaitu skala 6 dan durasi nyeri pasien 5 sampai 10 menit dan setelah diberi

terapi nyeri masih skala 6 dan durasi masih 5 sampai 10 menit. Skala nyeri

pada hari pertama belum pengalami perubahan karena penulis menerapkan

aplikasi kompres jahe dan massage sesuai jurnal utama, dalam jurnal tersebut

dituliskan bahwa pemberian ekstrak jahe 1 gr/hari selama 4 minggu lebih

efektif dibandingkan dengan plasebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen

dalam meredakan nyeri pada osteoartritis (Leach & Kumar, 2008).

Namun pada kenyataannya terdapat kesenjangan dalam jurnal tersebut

dengan aplikasi pada asuhan keperawatan dilapangan. Respon pasien di hari

pertama pemberian terapi kompres jahe dan massage yaitu subjektif pasien

mengatakan masih nyeri, hanya terasa sedikit hangat dan respon objektif yaitu

pasien tampak masih merasakan nyeri, tetapi tampak nyaman saat dipijat,

skala nyeri masih skala 6.


106

Dan berdasarkan konsultasi dengan pembimbing maka diperkenankan

memakai jurnal pendamping, yang dalam jurnal tersebut bertema “Pemberian

Kompres Hangat Memakai Jahe Untuk Meringankan Skala Nyeri Pada Pasien

Asam Urat Di Desa Kedungwungu Kecamatan Tegowanu Kabupaten

Grobogan”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan jahe 100 gram yang diparut dan

di letakkan diatas kain yang sudah di celupkan pada air hangat yang bersuhu

40-50oC setelah itu di kompres pada daerah yang nyeri selama 20 menit.

Penelitian ini dilakukan 3 hari dengan hasil bahwa rata-rata skala nyeri

sebelum dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 6,00 (nyeri sedang),

setelah dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 3,67 (nyeri ringan).

Berdasarkan data tersebut diatas maka hari selanjutnya dilakukan terapi

kompres jahe dan massage sesuai dengan cara pada jurnal pendamping.

Hari kedua pemberian terapi kompres jahe dan massage yaitu subjektif

pasien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 5 dengan durasi 5 sampai

10 menit. Hari ketiga pemberian terapi kompres jahe dan massage

yaitusubjektif pasien mengatakan skala nyeri berkurang menjadi 4 dengan

durasi 1 sampai 5 menit. Dan dihari terakhir pemberian terapi kompres jahe

dan massage yaitu subjektif pasien mengatakan skala nyeri berkurang

menjadi 3 dengan durasi 1 sampai 5 menit.

Berdasarkan data tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa terdapat

kesesuaian pada jurnal dan kasus yang ada pada Ny.Y. dalam jurnal

disebutkan bahwa penelitian ini dilakukan 3 hari dengan hasil bahwa rata-rata

skala nyeri sebelum dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 6,00
107

(nyeri sedang), setelah dilakukan kompres hangat memakai jahe adalah 3,67

(nyeri ringan).

Setelah tindakan pemberian kompres jahe dan masage selanjutnya

pasien diajari untuk melakukan relaksasi nafas dalam yang bertujuan untuk

mengontrol nyeri. Ketika seseorang mengalami gangguan rasa nyeri, maka

akan meningkatkan sensitivitas saraf simpatis yang menyebabkan ketegangan

pada otak dan otot seseorang. Dengan penggunaan teknik relaksasi, maka

saraf simpatis akan dihambat, sementara saraf parasimpatis meningkatkan

sehingga mengakibatkan ketegangan otak dan otot seseorang akan berkurang.

Dengan mengaktifkan saraf-saraf parasimpatis akan menyebabkan pasien

merasakan nyeri berkurang (Solehati dan Kokasih, 2015).

Diagnosa keperawatan kedua, implementasi yang dilakukan yaitu

memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari, menciptakan

lingkungan yang tenang, dan mendiskusikan dengan klien dan keluarga

tentang tehnik tidur klien.

Diagnosa keperawatan ketiga, implementasi yang dilakukan mengkaji

kemampuan pasien dalam mobilisasi, mendampingi dan membantu pasien

saat mobilisasi, mengajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM untuk

melatih pergerakan pasien, dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain

untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien (NIC dalam Yuli Reni, 2014).
108

E. Evaluasi Tindakan

Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan

keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien telah ditetapkan dengan

respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk

menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi

tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien dan

sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan

kesehatan (Dermawan,2012).

Hasil evaluasi yang sudah didapatkan pada senin 04 Januari 2016

sampai dengan tanggal 07 Januari 2016, diagnosa keperawatan nyeri kronis

berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis menggunakan metode

SOAP (Subjective, Objective, Analise, Planning) hasil sebagai berikut

subjektif pasien mengatakan setelah pengaplikasian tindakan kompres jahe

dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang dari hari-hari sebelumnya,

rasanya hangat, nyeri dan kaku berkurang, provoking pasien mengatakan

nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri bertambah pada

pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan

dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 3, time nyeri

hilang timbul. objektif yaitu pasien tampak senang karena nyeri lututnya

berkurang menjadi skala 3, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/90

mmHg, nadi 76 kali permenit, respirasi 16 kali permenit. Analisa masalah

teratasi sebagian. Planning intervensi dilanjutkan yaitu kaji secara

komprehensif tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale,


109

Time), berikan posisi nyaman jika nyeri timbul kembali. Diagnosa

keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur

(akibat nyeri) dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,

Analise, Planning) didapatkan hasil sebagai berikut subjektif mengatakan ia

bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak kambuh, dan respon objektifnya

pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap, tidak

tampak warna kehitaman atau kantung mata. Analisa masalah teratasi.

Planning intervensi dilanjutkan yaitu monitor/catat kebutuhan tidur pasien

tiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang nyaman. Diagnosa keperawatan

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal

dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Analise,

Planning) didapatkan hasil sebagai berikut subjektif pengurus panti

mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien, objektif pengurus panti

tampak mengawasi aktifitas pasien dan tampak seringkali mengingatkan

pasien untuk lebih berhati-hati saat melakukan kegiatan atau aktifitas, pasien

tidak tampak gemetaran, pasien tampak mendengarkan saat diingatkan oleh

petugas panti. Analisa masalah teratasi sebagian. Planning intervensi

dilanjutkan yaitu kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi

aktifitas pergerakan pasien dan ajarkan tehnik ambulasi/ROM untuk melatih

pergerakan pasien.

Kesimpulan atau hasil akhirnya yaitu masalah keperawatan nyeri

kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis pada hari pertama

pengkajian yaitu skala 6 dan durasi 5 sampai 10 menit dan setelah 4 hari
110

implementasi hasilnya nyeri berkurang menjadi skala 3 dengan durasi 1

sampai 5 menit. Untuk masalah keperawatan gangguan pola tidur pada saat

pengkajian didapatkan pasien tidur kurang lebih hanya 5 jam dalam sehari,

masih tampak mengantuk saat bangun, dan tampak sering menguap, tampak

warna kehitaman atau kantung mata, dan setelah 4 hari pengimplementasian

hasilnya pasien mengatakan bisa tidur dengan nyenyak karena nyeri tidak

kambuh, pasien tampak lebih segar, tidak tampak mengantuk dan menguap,

tidak tampak warna kehitaman atau kantung mata. Masalah keperawatan

hambatan mobilitas fisik pada saat pengkajian didapatkan pasien mengatakan

merasa nyeri dan kaku pada kedua lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan

atau berdiri terlalu lama, jika nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan

kedua kakinya dan setelah 4 hari diberikan implementasi hasilnya aktifitas

meningkat dan kaki tidak tampak gemetaran.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan intervensi berbasis riset yang telah dilakukan penulis pada

Ny. Y dengan osteoartritis di Panti Sasana Tresna Wredha Dharma Bakti

Wonogiri pada tanggal 04 sampai dengan 07 Januari 2016 dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengkajian

Setelah penulis melakukan pengkajian pada Ny.Y Masalah

keperawatan pertama yang muncul yaitu nyeri kronis berhubungan

dengan kondisi muskuloskeletal kronis, didapatkan data pasien

mengatakan nyeri dan kaku pada lutut selama lebih dari 1 tahun, nyeri

bertambah pada pagi hari waktu bangun tidur, quality nyeri cenut-

cenut (seperti ditekan dengan keras), region nyeri pada kedua lututnya,

scale skala nyeri 6, time nyeri hilang timbul dengan durasi sekitar 5

sampai 10 menit. Sedangkan data objektif didapatkan klien tampak

meringis menahan nyeri, pasien tampak memegangi dan mengelus

kedua lututnya, pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80

mmHg, nadi 90 kali permenit, respirasi 16 kali permenit.

Masalah keperawatan yang kedua gangguan pola tidur yang

berhuhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri). Ditandai

dengan data subjektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur malam

111
112

selama kurang lebih 5 jam, pasien tidak tidur siang, pasien mengatakan

tidurnya kurang puas dan kadang terbangun jika nyeri timbul, dan data

objektifnya wajah pasien tampak mengantuk dan pasien terlihat sering

menguap, hasil pemeriksaan fisik mata tampak sayu, tampak warna

kehitaman atau kantung mata.

Masalah keperawatan ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik yang

berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal. Ditandai dengan data

subjektif pasien mengatakan merasa nyeri dan kaku pada kedua

lututnya, kakinya gemetaran jika berjalan atau berdiri terlalu lama, jika

nyeri timbul pasien kesulitan menggerakkan kedua kakinya. Dan data

objektifnya kaki pasien tampak gemetaran, pasien tampak berjalan

lambat, pasien tampak kesulitan menggerakkan kakinya, tampak

perubahan bentuk tulang (pasien berjalan agak membungkuk),

kekuatan otot ekstremitas bawah kanan dan kiri skala 4.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada Ny. Y adalah nyeri

kronis berhubungan dengan kondisi muskuloskeletal kronis, gangguan

pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur (akibat nyeri) ,

dan hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal.

3. Intervensi keperawatan

Penulis merumuskan rencana tindakan keperawatan sesuai dengan

masalah keperawatan yang muncul, yaitu nyeri kronis, dengan tujuan


113

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam

diharapkan masalah keperawatan teratasi dengan kriteria hasil pasien

melaporkan bahwa nyeri berkurang, mengatakan rasa nyaman setelah

nyeri berkurang, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Rencana

keperawatan untuk menyelesaikan masalah nyeri yaitu (Paint

management) : kaji secara komprehensif tentang nyeri PQRST

(Provoking, Quality, Region, Scale, Time), monitor tanda-tanda vital,

lakukan teknik variasi untuk mengurangi nyeri secara (aplikasi

pemberian kompres jahe dan massage), ajarkan teknik relaksasi nafas

dalam, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik.

Rencana keperawatan yang dilakukan penulis untuk

menyelesaikan masalah gangguan pola tidur yaitu monitor atau catat

kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam, ciptakan lingkungan yang

nyaman, diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur

klien, dan kolaborasi pemberian obat tidur.

Rencana keperawatan yang dilakukan penulis untuk

menyelesaikan masalah hambatan mobilitas fisik yaitu kaji

kemampuan pasien dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat

mobilisasi, ajarkan pasien tentang teknik ambulasi/ROM, dan

kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengawasi aktifitas

pergerakan pasien.
114

3. Implementasi

Implementasi yang telah penulis lakukan untuk mengatasi masalah

keperawatan yang pertama yaitu, mengkaji secara komprehensif

tentang nyeri PQRST (Provoking, Quality, Region, Scale, Time),

monitor tanda-tanda vital, melakukan pemberian kompres jahe dan

massage, dan mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

Untuk masalah keperawatan yang kedua gangguan pola tidur,

memonitor atau mencatat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam,

menciptakan lingkungan yang nyaman, dan mendiskusikan dengan

klien dan keluarga tentang teknik tidur klien.

Untuk masalah keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas

fisik, mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, mendampingi

dan membantu pasien saat mobilisasi, mengajarkan pasien tentang

teknik ambulasi/ROM, dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain

untuk mengawasi aktifitas pergerakan pasien.

4. Evaluasi

Untuk diagnosa pertama pasien mengatakan setelah pengaplikasian

tindakan kompres jahe dan massage lebih enakan dan nyeri berkurang

dari hari-hari sebelumnya, rasanya hangat dan kaku berkurang dan

provoking pasien mengatakan nyeri bertambah pada pagi hari waktu

bangun tidur, quality nyeri cenut-cenut (seperti ditekan dengan keras),

region nyeri pada kedua lututnya, scale nyeri 3, time nyeri hilang

timbul, durasi 1 sampai 5 menit. objektif yaitu pasien tampak senang


115

karena nyeri lututnya berkurang menjadi skala 3 dan durasi 1 sampai 5

menit, hasil tanda-tanda vital Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 72

kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dapat disimpulkan masalah

teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan. Untuk diagnosa kedua

pasien mengatakan ia bisa tidur karena lingkungan tenang dan nyeri

berkurang, dan respon objektifnya pasien tidak tampak mengantuk dan

menguap, mata tidak tampak sayu, tidak tampak warna kehitaman

pada kantung mata. dapat disimpulkan masalah teratasi dan intervensi

dilanjutkan. Dan untuk untuk diagnosa ketiga pengurus panti

mengatakan bersedia mengawasi aktifitas pasien, objektif kaku pada

kaki pasien berkurang, pengurus panti tampak mengawasi aktifitas

pasien dan tampak seringkali mengingatkan pasien untuk lebih berhati-

hati saat melakukan kegiatan atau aktifitas dapat disimpulkan masalah

teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan.

5. Analisa praktek jurnal

Setelah diberikan tindakan kompres jahe dan massage, selama 4

hari, nyeri osteoartritis pada Ny. Y yang diukur dengan menggunakan

skala numerik intensitasnya berkurang. Dihari pertama

pengimplementasian didapatkan skala nyeri 6, durasi nyeri 5 sampai

10 menit dan dihari keempat pengimplementasian intensitas atau skala

nyeri turun menjadi skala 3, dan durasi berkurang menjadi 1 sampai 5

menit. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemberian tehnik kompres

jahe dan massage memang berpengaruh terhadap intensitas nyeri.


116

B. Saran

1. Bagi Pasien

Diharapkan agar klien dapat melakukan pemberian kompres jahe dan

massage ketika nyeri muncul.

2. Bagi Rumah Sakit atau Panti Wredha

Diharapkan pemberian tehnik kompres jahe dan massage menjadi

salah satu alternatif untuk menurunkan intensitas nyeri yang dapat

diimplementasikan pada pasien dengan masalah persendian salah

satunya osteoartritis.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan aplikasi berbasis riset ini dapat menjadi referensi bagi

institusi keperawatan tentang pemberian tehnik kompres jahe dan

massage terhadap intensitas nyeri. Diharapkan institusi pendidikan

dapat mengembangkan tehnik kompres jahe dan massage ini untuk

memperluas wawasan.

4. Bagi Penulis

Diharapkan dapat memberi pengalaman baru dalam melakukan

intervensi berbasis riset berdasarkan jurnal. Penulis dapat mengetahui

manfaat pemberian tehnik kompres jahe dan massage bagi pasien yang

mengalami osteoartritis.
117

5. Bagi peneliti lain

Peneliti lain dapat melakukan penelitian tentang terapi kompres jahe

dan massage tidak hanya untuk mengatasi penyakit osteoartritis saja

namun juga untuk mengatasi berbagai macam penyakit lainnya.


118

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Tamsuri. 2006. Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. EGC. Jakarta.

Bachtiar, A. 2010. Pengaruh Ekstrak Jahe (ZINGIBER OFFICINALE) Terhadap Tanda Dan
Gejala Osteoartritis Pada Pasien Rawat Jalan di puskesmas Pandan Wangi Kota
Malang. Program Magister Ilmu Keperawatan kekhususan KMB. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Depok.

Bambang. 2011. Remedial Massage : Panduan Pijat penyembuhan bagi Fisioterapis,


praktisi, dan Instruktur. Nuha Medika. Yogyakarta.

Brunner dan Suddart. 2002. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Wolters Kluwer Health.

Carpenitto, Lynda Juall. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa : Monica
Ester, Edisi 8. EGC. Jakarta.

Darmawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan : Penerapan Konsep Dan Kerangka Kerja.
Gosyen Publishing. Yogyakarta.

Davies, Kim. 2007. Nyeri Tulang dan Otot. Erlangga. Jakarta.

Dwiyanto, dkk. 2009. Ramuan Tradisional. Mitra Sejati. Yogyakarta.

Grzanna, etal. 2005. Ginger : an herbal medicinal product with broad anti-inflammatory
actions. Journal of Medicinal Food, 8(2), 125-32. 16 januari 2010. CINAHL Batabase.

Haghighi, M., Khalvat, A., Toliat, T., dan Jallaei, S. 2005. Comparing the Effects
of Ginger (Zingiber Officinale) Extract and Ibuprofen on Patients with Osteoarthritis.
Archives of Iranian medicine. Volume 8. No. 4: Hal 267-271.

Herdman, T.H. 2012. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. John, Willey, inc.
USA terjemahan Sumarwati, M. Dan Subekti, N.B. 2012. EGC. Jakarta.

Izza, Syarifatul. 2014. Perbedaan Efektifitas Pemberian Kompres Air Hangat dan Pemberian
Kompres Jahe Terhadap Penurunan Nyeri Sendi pada Lansiadi Unit Rehabilitasi
Sosial Wening Wardoyo Ungaran.Skripsi. Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi
Waluyo Ungaran, KabupatenSemarang.

Knee Osteoartritis Risk Factors. 2010. Data on knee osteoartritis risk factors published by
researchers at Harvard University. Clinical Trials Week. 15 Maret. Pg. 478. Proquest
Database.

Koentjoro, SL. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan Derajat
Osteoartritis Lutut menurut Kellgren dan Lawrence. Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran. Fakultas Kedokteran UNDIP. Semarang.

Kusyati, dkk. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium. EGC. Jakarta.


119

Leach, MJ & Kumar, S. 2008. The Clinical Effectiveness Of Ginger (Zingiber Officinale) in
Adults with Osteoartritis. International Journal Of Evidence Based Health Center.

Lemone & Burke. 2010. Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client Care. Third
Edition. Addison Wesley Nursing. California.

Masyhurrosyidi, Hadi. 2013. Pengaruh Kompres Hangat Rebusan Jahe terhadap Tingkat
Nyeri Subkutan dan Kronis Pada Lanjut Usia dengan Osteoartritis lutut di Puskesmas
Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa Timur. Program Keperawatan Fakultas Ilmu
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal.
EGC. Jakarta.

Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. EGC. Jakarta.

Nurarif, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Jilid 2. MediAction. Yogyakarta.

Perry & Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4. EGC. Jakarta.

R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi. 1999. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.

Reni Yuli Aspiani. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC,
dan NOC Jilid 1. CV Trans Info Media. Jakarta.

Robbins & Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi 2. EGC. Jakarta.

Rusnoto, dkk. 2015. Jurnal Pemberian Kompres Hangat Memakai Jahe terhadap Nyeri Pada
Pasien Yang Terkena Asam Urat Di Desa Kedungwungu Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan. Program Studi Keperawatan STIKES Muhammadiyah Kudus.
Kudus.

Sarafino, EP. 2006. Health Pshycology Byopsichosocial Interactions. Fifth Edition. John
Wiey & Sons Inc. USA.

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Stanley, M, dkk. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC. Jakarta.

Sisi Maryam, S dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba. Jakarta.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Diagnosa NANDA,
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Buku Kedokteran. ECG. Jakarta.

Yuliastari Aminurul. 2012. Pengaruh Kompres Panas dengan Kompres Dingin Terhadap
Pengurangan Nyeri pada Osteoarthritis Sendi Lutut. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universiats Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai