Anda di halaman 1dari 19

Program puskesmas penanggulangan penyakit menular

Penyakit adalah adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan
ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya. Untuk
menyembuhkan penyakit, orang-orang biasa berkonsultasi dengan seorang dokter.
Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari orang yang satu ke
orang yang lain) baik secara langsung maupun melalui perantara. Suatu penyakit dapat berpindah
dari satu orang ke orang yang lain karena adanya penyebab penyakit (agent), pejamu (host) dan
cara penularan (route of transmission). Agent penyakit menular dapat berupa virus, riketsia,
bakteri, protozoa, jamur dan cacing. Agar agent penyebab ini bias bertahan maka harus terjadi
perkembangbiakan, berpindah dari satu host ke host yang lain, mencapai host yang baru dan
menginfeksi host yang baru. Cara penularan yang dapat dilakukan dengan kontak, inhalasi (air
bone infection), kontaminasi (melalui makanan dan minuman), penetrasi pada kulit dan infeksi
melalui plasenta.

Beberapa jenis penyakit yang menular:

 Anthrax  Impetigo
 Beguk  Influenza
 Batuk rejan (pertusis)  Kolera
 Beri-beri  Lepra
 Cacingan  Malaria
 Cacar Air (varicella)  Penyakit Meningokokus
 Campak  Penyakit tangan, kaki dan mulut
 Chikungunya  Rabies
 Demam campak  Radang lambung dan usus
 Demam berdarah  Rubeola
 Demam kelenjar  Rubella
 Diare  Tetanus
 Disentri Amuba  Tuberkulosis
 Eritema infektiosum (Parvovirus B19)  Kutu
 Hepatitis A  Konjungtivitis
 Hepatitis B  Kurap
 Hepatitis C  Kudis
 Skarlatina

 Flu Burung

Macam penyakit menular:


 Penyakit karantina atau wabah (UU No.1 dan 2 tahun 1962): Kolera, Pes,
Demam kuning, Deman bolak-balik, Tifus Bercak Wabah, Poliomielitis dan
Difteri).
 Penyakit menular dengan potensi wabah tinggi: DBD, Diare, Campak, Pertusis dan
Rabies, Avian Influenza, HIV/AIDS.
 Penyakit menular dengan potensi wabah rendah: malaria, meningitis,
frambusia, keracunan, influenza, ensefalitis, antraks, tetanus neonatorum
dan tifus abdominalis.
 Penyakit menular yang tidak berpotensi wabah : kecacingan, lepra, TBC, Sifilis, Gonore
dan Filariasis.

Penyakit tidak menular adalah penyakit yang tidak disebabkan oleh kuman, tetapi
disebabkan karena adanya problem fisiologis atau metabolisme pada jaringan tubuh manusia.
Penyakit-penyakit tersebut contohnya ialah; batuk, seriawan, sakit perut, dan sebagainya.
Pengalaman menunjukkan bahwa penyakit menular yang terdapat di dalam wilayah kerja
Puskesmas di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok penyakit menular
sesuai dengan sifat penyebarannya di dalam masyarakat wilayah tersebut, ialah:
1. Penyakit menular yang secara endemik berada diwilayah, yang pada waktu tertentu dapat
menimbulkan wabah, yang dapat dikelompokkan ke dalam penyakit-penyakit menular
potensial wabah.
2. Penyakit menular yang berada di wilayah dengan endemisitas yang cukup tinggi sehingga
jika tidak diawasi dapat menjadi anacaman bagi kesehatan masyarakat umum.
3. Penyakit- penyakit menular lain yang walaupun endemisitasnya tidak terlalu tinggi di
dalam masyarakat, tetapi oleh karena sifat penyebarannya dianggap sangat
membahayakan masyarakat, maka penyakit-penyakit ini perlu diawasi keberadaannya.
Dalam upaya pencegahan terjadinya wabah dan penularan penyakit dalam program
Puskesmas dilaksanakan program P4M (Pencegahan, Pemberantasan, Pembasmian, Penyakit
Menular) dengan tujuan eradikasi penyakit sampai ke akarnya. Kemudian diganti menjadi P3M
(Pencegahan, Pencegahan Penyakit menular) dan P2M & PLP (Pemberantasan Penyakit Menular
& Penyehatan Lingkungan Pemukiman).
Penyakit dapat dibedakan menjadi :
a. Penyakit menular
b. Penyakit infeksi
c. Penyakit Kontak
d. Penyakit karantina
e. Penyakit endemi
f. Penyakit epidemi (wabah)
g. Penyakit Pandemi

Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan agent / hasil toxin yang berasal dari
reservoir dan ditularkan ke host yang rentan. Mata rantai penularan terdiri dari :
a. Agent / hasil toksin
b. Reservoir (sumber penularan)
c. Transmisi (cara penularan)
d. Host / penjamu

Kejadian Luar Biasa (KLB) ialah kejadian kesakitan dan atau kematian yang menarik
perhatian umum dan mungkin menimbulkan ketakutan dikalangan mayarakat, atau yang menurut
pengamatan epidemiologik dianggap adanya peningkatan yang berarti dari kejadian
kesakitan/kematian tersebut pada kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Termasuk
dalam KLB ialah kejadian kesakitan atau kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit baik
yang menullar maupun tidak menular dan kejadian bencana alam yang diserati wabah penyakit.
Secara operasional suatu kejadian dapat disebut KLB bila memenuhi satu atau lebih
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih.
2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu kecamatan
menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata
sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut.
3. Angka rata-rata bulanan dalam satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit
menular disuatu kecamatan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan
dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama pula.
4. Case fatality rate dari suatu penyakit menular tertentu dalam suatu kurun waktu tertentu
(hari, minggu, bulan) di suatu kecamatan menujukkan kenaikan 50% atau lebih bila
dibandingkan dengan CFR penyakit yang sama dalam kurun waktu yang sama periode
sebelumnya di kecamatan tersebut.
5. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam satu periode tertentu,
dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular yang
sama daam tahun yang lalu dengan periode yang sama menunjukkkan kenaikan dua kali atau
lebih.
6. Khusus penyakit-penyakit kolera, pes, DBD/DSS :
a. Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita tersebut diatas, di suatu daerah
endemik yang sesuai dengan ketentua-ketentuan di atas.
b. Terdapatnya satu atau lebih penderita kematian menular tersebut diatas, di suatu
Kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas
selama 4 minggu berturut-turut.
7. Apabila kesakitan atau kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat.
8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit yang sebelumnya tidak ada. Khusus untuk
kasus AFP (Acute Flaccid Paralysis) dan Tetanus neonatorum ditetapkan sebagai KLB bila
ditemukan satu kasus atau lebih.
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU No.4 Tahun 1984
tentang wabah penyakit menular)

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dilaksanakan dengan upaya-upaya :


1. Pengobatan, dengan memberikan pertolongan penderita, membangun pos-pos kesehatan di
tempat kejadian dengan dukungan tenaga dan sarana obat yang memadai termasuk rujukan.
2. Pemutusan rantai penularan atau upaya pencegahan misalnya, abatisasi pada KLB DBD,
kaporisasi pada sumur-sumur yang tercemar pada KLB diare, dsb.
3. Melakukan kegiatan pendukung yaitu penyuluhan pengamatan. Pemantauan dan logistik.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit (P2P) terdiri dari kegiatan pengamatan
penyakit, pencegahan termasuk imunisasi serta penanggulangan dan pemberantasan penyakit.
Berbagai cara pencegahan dapat diterapkan salah satunya dengan membangkitkan kekebalan pada
masyarakat melalui pelayanan yang dalam pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam program-
program pelayanan perolrangan seperti KIA, UKS, dan kegiatan imunisasi di luar gedung
Puskesmas. Mengingat pentingnya pelayanan imunisasi ini, maka cakupan imunisasi di dalam
masyarakat perlu dimonitor dengan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) imunisasi Puskesmas
menurut distribusi desa.
Ada beberapa cara penularan penyakit menular, yaitu :
1. Penularan secara kontak, baik kontak langsung maupun kontak tidak langsung.
2. Penularah memalui vehicle seperti melalui makanan dan minuman yang tercemar.
3. Penularan melalui vektor.
4. Penularan melalui suntikan, transfusi, tindik, tato.
5. Penularan melalui hubungan seksual.
Surveilans epidemiologi penyakit dapat diartikan sebagai kegiatan pengumpulan data atau
informasi melalui pengamatan terhadap kesakitan atau kematian dan penyebaran serta faktor-
faktor yang mepengaruhinya secara sistematik, terus-menerus dengan tujuan untuk perencanaan
suatu program, mengevaluasi hasil program, dan sistem kewaspadaan dini.
Untuk dapat memonitor atau mengamati distribusi penyakit menular di dalam masyarakat wilayah
kerja Puskesmas, dilakukan pencatatan peristiwa kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh
penyakit menular tersebut. Untuk pemantauan penyakit menular tertentu yang menjadi masalah
kesehatan di wilayah Puskesmas disajikan dalam PWS mingguan Penyakit (contoh PWS
[Formulir W2] penyakit campak, diare, DBD, dll). Dengan penggunaan PWS penyakit sara
mingguan ini dapat dikenali atau diketahui secara dini kenaikan atau distribusi suatu penyakit
menular tertentu menurut tempat dan waktu.

Anmal:
1. Apa saja tugas dari paramedis Puskesmas?
Paramedis adalah profesi medis, biasanya anggota layanan medis darurat, yang terutama
menyediakan perawatan gawat darurat dan trauma lanjut prarumah sakit. Menurut UU Tahun 1964
No. 18 Tentang Wajib Kerja Tenaga Para Medis Pasal 1, maka tenaga paramedis dimaksud tenaga
kesehatan Sarjana Muda, menengah dan rendah, antara lain :
1. di bidang farmasi :asisten apoteker dan sebagainya,
2. di bidang kebidanan : bidan dan sebagainya,
3. di bidang perawatan : perawat, phisie-terapis dan sebagainya,
4. di bidang kesehatan masyarakat :penilik kesehatan, nutrisionis dan lain-lain,
5. di bidang-bidang kesehatan lain (umpama untuk laboratorium, analis).
Paramedis bertugas mempersiapkan perawatan gawat darurat segera, krisis intervensi, stabilisasi
penyelamatan hidup, dan mengangkut pasien yang sakit atau terluka ke fasilitas perawatan gawat
darurat dan bedah seperti rumah sakit dan pusat trauma bila memungkinkan.
Berikut ini peran utama paramedis sesuai fungsi profesi dari masing-masing petugas :
1. Bidan : pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), pelaksana asuhan kebidanan
2. Perawat Umum : pendamping tugas dokter umum, pelaksana asuhan keperawatan umum
3. Perawat Gigi : pendamping tugas dokter gigi, pelaksana asuhan keperawatan gigi
4. Petugas Gizi : pelayanan penimbangan dan pelacakan masalah gizi masyarakat
5. Sanitarian : pelayanan kesehatan lingkungan pemukiman dan institusi lainnya
6. Sarjana Farmasi : pelayanan kesehatan obat dan perlengkapan kesehatan 7. Sarjana Kesehatan
Masyarakat : pelayanan administrasi, penyuluhan, pencegahan dan pelacakan masalah kesehatan
masyarakat.

2. Berapa jumlah ideal penduduk untuk satu poskesdes dan puskesmas? RAGU
Polindes (Pos Bersalin Desa) adalah bangunan yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah
dan partisipasi masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan pemondokan ibu
bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa. Di samping pertolongan persalinan juga
dilakukan pelayanan antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan masyarakat dan
kompentensi teknis bidan tersebut. Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) adalah wujud upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat yang dibentuk oleh, untuk dan bersama masyarakat
setempat atas dasar musyawarah, dengan bantuan dari tenaga profesional kesehatan dan dukungan
sektor terkait termasuk swasta dalam kerangka desa siaga demi terwujudnya desa sehat. Kesehatan
yang dilaksanakan adalah pelayanan kesehatan dasar, mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif yang dipadukan dengan upaya kesehatan lain yang berwawasan kesehatan dan
berbasis masyarakat setempat. Kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya didukung oleh unsur-
unsur tenaga, sarana, prasarana dan biaya yang dihimpun dari masyarakat, swasta, pemerintah.
3. Bagaimana cara dr. Indah melakukan pendidikan-promkes di kecamatan Harumba ya
ng minim fasilitas pendidikan?
4. Pada keadaan apa dokter Puskesmas harus merujuk pasien?
Tata cara Pelaksanaan Sistem Rujukan :
Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk, dengan memenuhi
syarat :
a) Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi
b) Hasil pemeriksaan pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak
mampu diatasi
c) Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus
disertai pasien bersangkutan
d) Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu
Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak
yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan dengan rincian beberapa prosedur sebagai berikut
:
1. prosedur standar merujuk pasien
2. prosedur standar menerima rujukan pasien
3. prosedur standar memberi rujukan balik pasien
4. prosedur standar menerima rujukan balik pasien

1. Prosedur standar merujuk pasien


a. prosedur klinis
(1). Melakukan anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk menentukan
diagnosa utama dan diagnosa banding.
(2). Memberikan tindakan pra rujukan sesuai kasus
(3). Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan
(4)untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis / paramedis yang berkompeten
dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien
(5)apabila pasien diantar dengan kendaraan puskesmas keliling atau ambulans, agar petugas dan
kendaraan tetap menunggu pasien di IGD tujuan sampai ada kepastian pasien tersebut mendapat
pelayanan dan kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.
b. Prosedur Administratif
(1) dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan
(2) membuat catatan rekam medis pasien
(3) memberi informed consent (persetujuan / penolakan rujukan)
(4) membuat surat rujukan pasien rangkap 2 lembar pertama dikirim ke tempat rujukan bersama
pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.Mencatat identitas pasien pada
buku regist rujukan pasien. (5) menyiapkan sarana transportasi dan sedapat mungkin menjalin
komunikasi dengan tempat rujukan.
(6)pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah diselesaikan administrasi yang bersangkutan

2. Prosedur standar menerima rujukan pasien


a. prosedur klinis
1. segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien rujukan.
2. Setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan elektif untuk perawatan selanjutnya atau
meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk dirujuk lanjut.
3. Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.

b. proseduradministrative
1. menerima, meneliti dan menandatangani surat rujukan pasien yang telah diterima untuk
ditempelkan di kartu status pasien
2. apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima pasien sesuai aturan
masing masing sarana.
3. Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada kartu catatan medis dan
diteruskan ke tepat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien.
4. Membuat inform consent
5. Segera membrikan informasi tentang keputusan tindakan / perawatanyang akan dilakukan
kepata petugas atau keluarga pasien yang mengantar
6. Apabila tidak sanggup menangani merujuk ke RSU yang lebih mampu dengan mebuat surat
rujukan rangkap 2.
7. Mencatat indentitas pasien

3. Prosedur standar membalas rujukan pasien


a. Prosedur Klinis
1. Rumah Sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib mengembalikan pasien ke
RS / Puskesmas / Polindes / Poskesdes pengirim setelah dilakukan proses antaralain:
a. Sesudah pemeriksaan medis, diobati dan dirawat tetapi penyembuhan selanjutnyaperlu di follow
up oleh Rumah Sakit / Puskesmas / Polindes / Poskesdes pengirim.
b. Sesudah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatan klinis, tetapipengobatan dan
perawatan selanjutnya dapat dilakukan di RumahSakit / Puskesmas / Polindes / Poskesdes
pengirim.
2. Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosa bahwa kondisi pasien sudahmemungkinkan
untuk keluar dari perawatan Rumah Sakit / Puskesmas tersebut dalam keadaan:
a. Sehat atau Sembuh.
b. Sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan.
c. Belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke tempat lain
d. Pasien sudah meninggal
3. Rumah Sakit / Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus memberikanlaporan/informasi
medis/balasan rujukan kepada RumahSakit/Puskesmas/Polindes/Poskesdes pengirim pasien
mengenai kondisi klinis terahir pasien apabila pasien keluar dari Rumah Sakit / Puskesmas b.
Prosedur Administratif:
1. Puskesmas yang merawat pasien berkewajiban memberi surat balasan rujukan untuk setiap
pasien rujukan yang pernah diterimanya kepada RumahSakit/Puskesmas/Polindes/Poskesdes yang
mengirim pasien yang bersangkutan.
2. Surat balasan rujukan boleh dititip melalui keluarga pasien yang bersangkutan dan untuk
memastikan informasi balik tersebut diterima petugas kesehatan yang dituju, dianjurkanberkabar
lagi melalui sarana komunikasi yang memungkinkan seperti telepon,handphone, faksimili dan
sebagainya

4. Prosedur standar menerima balasan rujukan pasien


a. Prosedur Klinis:
1. Melakukan kunjungan rumah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik.
2. Memperhatikan anjuran tindakan yang disampaikan oleh Rumah Sakit / Puskesmas
yangterakhir merawat pasien tersebut
3. Melakukan tindak lanjut atau perawatan kesehatan masyarakat dan memantau (followup)
kondisi klinis pasien sampai sembuh.
b. Prosedur Administratif:
1. Meneliti isi surat balasan rujukan dan mencatat informasi tersebut di buku register pasien
rujukan, kemudian menyimpannya pada rekam medis pasien yang bersangkutandan memberi
tanda tanggal / jam telah ditindaklanjuti.
2. Segera memberi kabar kepada dokter pengirim bahwa surat balasan rujukan telahditerima.

5. Bagaimana cara penularan dari tipus perut?


Faktor-Faktor yang Memengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia merupakan sumber penularan Salmonella typhi. Terjadinya penularan karena kontak
langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita Tifus abdominalis atau carrier kronis.
Transmisi bakteri Salmonella terutama masuk bersama makanan atau minuman yang tercemar
kotoran manusia. Selain itu, transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental dari
seorang ibu yang mengalami bakterimia (beredarnya bakteri dalam darah) kepada bayi dalam
kandungan atau tertular saat dilahirkan dari seorang ibu yang merupakan carrier Tifus abdominalis
dengan rute fekal oral. Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi carrier
kronis dan mengekspresikan mikroorganisme selama beberapa tahun.Kasus Mary Mallon
merupakan salah satu kasus yang membuktikan bahwa bukan hanya formite yang dapat menjadi
media penyebaran penyakit. Hasil penyelidikan George Soper (1900) mengatakan bahwa
perhatian khusus perlu diberikan pada carrier tifus kronik yang menyebabkan dan menyebarkan
penyakit.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lubis, R (2000) di RSUD DR. Soetomo
Surabaya dengan desain case control, menemukan bahwa kejadian Tifus abdominalis beresiko
20,8 kali lebih besar (OR) pada orang dengan higiene perorangan yang kurang. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control mengatakan bahwa
kebiasaan jajan diluar Universitas Sumatera Utara mempunyai resiko 3,65 lebih besar terkena
penyakit Tifus abdominalis pada anak dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan beresiko lebih besar terkena penyakit Tifus abdominalis dengan Ods Ratio sebesar
2,7.

b. Faktor Agent
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini hanya dapat menginfeksi tubuh
manusia. Jumlah Salmonella typhi yang tertelan akan mempengaruhi masa inkubasi, semakin
banyak bakteri yang tertelan maka akan semakin singkat masa inkubasi Tifus abdominalis.

c. Faktor Environment
Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama
daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higiene dan sanitasi yang
rendah. Penyebaran penyakit akan semakin meningkat apabila disertai dengan kondisi tepat
tinggal yang tidak sehat, kepadatan penduduk serta standar higiene industri pengolahan makanan
yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lubis, R (2000) di RSUD DR.
Soetomo Surabaya dengan desain case control, menemukan bahwa kejadian Tifus abdominalis
beresiko 6,4 kali lebih besar (OR) pada kualitas air minum yang tercemar coliform.

Sumber Penularan
Ada dua sumber penularan dari Salmonella typhi, yaitu:
1. Penderita Tifus abdominalis Yang menjadi sumber utama infeksi Tifus abdominalis adalah
manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang
menderita sakit maupun yang sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan
penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan
ginjalnya.
2. . Karier Tifus abdominalis
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca Tifus abdominalis, tanpa disertai gejala klinis. Pada
penderita Tifus abdominalis yang telah sembuh setelah 2-3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feses atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada Tifus
abdominalis sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis,
batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid
gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab
yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit Poliomyelitis, Hepatitis B dan
Meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit
Cacar air, Campak dan virus Hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit
menular tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu,
yang masa penularannya kemungkinan Universitas Sumatera Utara hanya sampai tiga bulan
umpamanya kelompok Salmonella, Hepatitis B dan pada Difteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada
penyakit Tifus abdominalis dan Hepatitis B.

6. Bagaimana perencanaan tingkat puskesmas (promotif dan preventif) terhadap kasus?


KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN DEMAM TIFOID
1.1 Kebijakan Kebijakan Pengendalian demam tifoid adalah sebagai berikut :
1. Pengendalian demam tifoid berdasarkan pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing masing daerah ( local area specific)
2. Pengendalian demam tifoid dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja
secara multi disiplin, lintas program dan lintas sector. 3. Pengendalian demam tifoid dilaksanakan
secara terpadu untuk pencegahan primer (termasuk didalamnya imunisasi), sekunder dan tertier.
4. Pengendalian demam tifoid dikelola secara profesional, berkualitas, merata dan terjangkau oleh
masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya.
5. Penguatan Sistem Surveilans demam tifoid sebagai bahan informasi bagi pengambil kebijakan
dan pelaksanaan program
6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian demam tifoid harus dilaksanakan secara efektif dan efisien
melalui pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya dengan pemantapan sistem
, prosedur, bimbingan dan evaluasi.
Kebijakan Program Tifoid sebagai berikut :
1. Pengendalian Tifoid berdasarkan pada kemampuan daerah dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat.
2. Pengendalian Tifoid dengan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja, lintas program dan
lintas sektor.
3. Pengendalian Tifoid dengan preventif, promotif dan kuratif.
4. Penguatan sistem surveilans tifoid berguna untuk mengetahui besaran masalah sehingga dapat
ditentukan arah pengendalian
5. Pelaksanaan kendali manajemen perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit demam tifoid.

1.2 Strategi Strategi dalam pengendalian demam tifoid sebagai berikut :


1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) sehingga terhindar dari penyakit demam tifoid. 2. Mendorong dan memfasilitasi
pengembangan potensi dan peran serta masyarakat untuk penyebarluasan informasi tentang
pengendalian Demam Tifoid.
3. Peran serta LSM,Media cetak dan Media elektronik , program penyehatan lingkungan, program
kesehatan ibu dan anak, usaha kesehatan sekolah, dan lintas program lainnya untuk melakukan
penyuluhan dan pelatihan cara hidup bersih dan sehat serta dibutuhkan peran swasta untuk
pengendalian demam tifoid.
4. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat,
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang imunisasi demam tifoid secara mandiri dan
menatalaksana tifoid secara benar dan tuntas agar tidak menjadi carrier.
5. Meningkatkan dan mengembangkan sistem surveilans demam tifoid di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan.
6. Pembagian tugas pusat, provinsi, kabupaten dan dokter koordinator dalam melakukan kendali
manajemen demam tifoid.

1.3 Kegiatan
1. Advokasi, Sosialisasi, Pemberdayaan dan Mobilisasi Ada 4 teknik yang digunakan untuk
mendapatkan dukungan dari penentu kebijakan dan sasaran termasuk masyarakat yaitu: Advokasi,
Sosialisasi, Pemberdayaan, dan Mobilisasi.
a. Advokasi
Advokasi adalah suatu upaya melalui proses yang bijak menggunakan informasi yang akurat dan
tepat yang bertujuan untuk merubah atau memperbaiki kebijakan publik terkait dengan program
yang akan dikembangkan atau ditingkatkan pencapaiannya.
Oleh karena itu, advokasi dalam rangka pengendalian tifoid merupakan upaya yang
dilakukan melalui proses strategis dan terencana yang menggunakan informasi yang akurat dan
teknik yang tepat dengan tujuan untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari penentu
kebijakan, pengambil keputusan, pemangku kepentingan, pemilik dana untuk memperbaiki atau
merubah kebijakan publik dalam pengendalian tifoid. Tujuan Advokasi Pengendalian Tifoid
adalah memberikan pemahaman kepada para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, agar
mereka memahami masalah yang dihadapi terkait pengendalian tifoid sedemikian rupa sehingga
mereka tertarik dan mau untuk mengatasinya dengan memilih salah satu atau beberapa tindakan
dari beberapa alternatif yang mungkin dilakukan melalui suatu tindak lanjut yang ditunjang oleh
adanya dukungan kebijakan, komitmen pelaksanaan, penyediaan sumberdaya (manusia, sarana
dan dana) yang dibutuhkan untuk pengendalian tifoid. Dukungan kebijakan merupakan dukungan
nyata yang diberikan oleh pembuat keputusan terhadap pengendalian tifoid misalnya tersedianya
anggaran pada APBN, APBD, dan pembiayaan dari sumber yang tidak mengikat. Pentingnya
advokasi tentang pengendalian demam tifoid berkaitan dengan beberapa hal berikut ini:
a. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
tetapi penyakit tersebut masih terabaikan dalam penatalaksanaannya.
b. Penyakit ini dapat menurunkan produktifitas kerja, meningkatkan angka ketidak hadiran anak
sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang cukup lama.
c. Penyakit ini dapat sembuh sempurna tetapi jika tidak ditatalaksana dengan baik maka akan
menyebabkan seseorang menjadi carier dan sebagai agen penularan terhadap masyarakat lain serta
dapat menimbulkan komplikasi yang menyebabkan kematian
d. Penyakit ini sangat mudah untuk dicegah dengan perubahan perilaku masyarakat

Proses advokasi: Haruslah menggunakan pendekatan yang cerdas (smart) dan tepat membahas
masalah yang sesuai dan disampaikan dengan cara yang baik dan benar didukung oleh data-data
yang akurat sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi.

b. Sosialisasi
Sosialisasi biasanya diarahkan kepada pemangku kepentingan, tenaga kesehatan, organisasi/tokoh
masyarakat yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tentang masalah yang
berkaitan dengan pengendalian tifoid, sehingga terpacu untuk mengambil tindakan sesuai tugas
pokok dan fungsinya, dan terlibat secara aktif dalam mengatasi masalah secara keseluruhan.
Sosialisasi kepada tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dapat dilakukan melalui kegiatan
lokakarya mini Puskesmas.

c. Pemberdayaan
Pemberdayaan dilakukan terhadap organisasi dan tokoh masyarakat dengan maksud agar mereka
mampu memahami masalah pengendalian tifoid, sekaligus mampu memberdayakan masyarakat
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat menjaga kondisi sanitasi dan lingkungan yang selalu
bersih dan pada akhirnya masyarakat mampu mengatasi masalahnya secara mandiri.

d. Mobilisasi Mobilisasi merupakan upaya yang melibatkan seluruh elemen masyarakat secara
besar-besaran agar memahami masalah yang dihadapi dan di fasilitas untuk mau bertindak secara
bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dilakukan secara menyeluruh dalam bentuk gerakan
masyarakat dalam pengendalian tifoid. Metode yang digunakan bisa beragam tergantung situasi
dan kondisi, bisa dalam bentuk: seminar, lobi, dialog, negosiasi, debat, petisi/resolusi dan
mobilisasi.
2. Surveilans Epidemiologi
a. Pengertian : Surveilans epidemiologi adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu
definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta
pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan
pengolahan data. Sistem Surveilans Epidemiologi adalah tatanan prosedur penyelenggaraan
surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan
laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program
kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota,
Propinsi dan Pusat. (Kepmenkes RI NOMOR 1116/MENKES/SK/VIII/2003). Data kegiatan
surveilans tifoid dapat memberikan informasi adanya distribusi orang, tempat dan waktu.
Distribusi orang antara lain meliputi jenis kelamin, kelompok umur dan pekerjaan yang
mempunyai risiko demam tifoid, distribusi tempat antara lain meliputi RT, RW, Desa/Kelurahan,
Kecamatan dan lainnya, dan distribusi waktu antara lain meliputi jam, hari, minggu, bulan, tahun
dan lainnya. Dengan mengetahui gambaran permasalahan tifoid di masyarakat, maka para
pengambil keputusan di bidang kesehatan dapat menetapkan cara penanganan yang tepat
berdasarkan hasil analisa dan telaah yang tepat. Data-data surveilans juga dapat digunakan sebagai
alat pengukur mutu pelayanan kesehatan.Dalam sistem surveilans dikembangkan definisi kasus
yang sama diterapkan diseluruh jajaran pelayanan, di mana setiap penyakit dapat dijumpai.
Pengumpulan data surveilans dilaksanakan dengan menggunakan protokol standar yang disebut
komponen surveilans, yang tergantung dari cara atau sistem surveilans yang dipakai.

b. Jejaring Sistem Surveilans (Kepmenkes no 1116, 2003)


Penyelenggara jejaring kerja surveilans epidemiologi kesehatan adalah unit penyelenggara
surveilans epidemiologi kesehatan baik di unit-unit utama Pusat dan UPT ( Unit Pelaksana Tehnis)
Pusat, pusat-pusat penelitian dan pengembangan, pusat-pusat data dan informasi, Dinas Kesehatan
Provinsi dan UPT Dinas Kesehatan Provinsi, serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan UPT
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, pada kondisi normal maupun KLB atau wabah. Sebagai bentuk
kemitraan, penyelenggaraan jejaring ini juga melibatkan unsur lintas sektor seperti kementerian
yang terkait dengan bidang kesehatan, perguruan tinggi, badan internasional, regional dan
bilateral, organisasi profesi, masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat atau media dan
sebagainya. Setiap simpul jejaring surveilans melaksanakan tugas pokok dan fungsi
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan sesuai dengan peraturan perundangan dan
pedoman teknis masing-masing. Dalam hal penyelenggaraan jejaring kerja tersebut, tiap simpul
jejaring dapat memberikan dan /atau menerima data dan informasi yang diperlukan dari simpul
lain melalui mekanisme yang telah diatur. Jejaring Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan cek
dipermenkes.

c. Tujuan Surveilans Tifypoid Adapun tujuan surveilans tifoid tersebut diantaranya adalah :
1. Mengetahui besaran masalah tifoid di Indonesia
2. Mendapatkan Data Dasar Endemi Pada dasarnya data surveilans demam tifoid digunakan untuk
mengkuantifikasikan rate dasar dari demam tifoid yang endemis. Penentuan endemisitas tifoid
sebagai berikut:
• Endemisitas rendah kurang dari 1/100.000
• Endemisitas intermediate 1/100.000 - 100/100.000
• Endemisitas High > 100/100.000 Berdasarkan uraian diatas maka Indonesia termasuk dalam
endemisitas intermediate (81,Dengan demikian dapat diketahui seberapa besar risiko yang
dihadapi oleh setiap penduduk. Pada saat ini demam tifoid adalah endemik, dan ini diluar dari
KLB yang telah dikenal. Oleh karena itu kegiatan demam tifoid harus dimaksudkan untuk
menurunkan angka laju endemik tersebut.

3. Mengindentifikasi KLB Bila angka endemik telah diketahui, maka dapat segera mengenali bila
terjadi suatu penyimpangan dari angka dasar tersebut, yang kadang mencerminkan suatu kejadian
luar biasa (ìout breakî).
4. Mengevaluasi Sistem Pengendalian Setelah permasalahan teridentifikasi , upaya pencegahan
dan pengendalian telah dijalankan, surveilans harus tetap dilaksanakan secara berkesinambungan
agar permasalahan yang ada benar-benar telah terkendali.

5. Mengevaluasi Ketajaman Diagnostik Secara Klnis Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
sarana dengan sarana yang sangat terbatas, umumnya diagnosis hanya berdasarkan pada gejala
dan tandatanda klinis yang ditemui pada pasien.
Banyak penyakit infeksi yang memberikan gejala dan tanda-tanda mirip dengan demam tifoid atau
dengan adanya perubahan mikrobiologis sehingga menimbulkan perubahan tanda dan gejala klinis
yang selama ini dikenal maka perlu dilakukan evalusi terus menerus dengan membandingkan data
diagnosis klinis dengan data yang dikonfirmasi dengan biakan mikrobiologis. Namun berhubung
sensitifitas biakan mikrobiologis yang berasal dari sediaan darah juga tidak terlalu tinggi maka
interpretasi dapat dilakukan dengan membandingkan trend.

d. Metode Surveilans
Penemuan Kasus demam tifoid secara pasif di fasilitas pelayanan kesehatan dari tingkat
puskesmas sampai tingkat rumah sakit propinsi. Pada surveilans secara pasif, pasien yang
memenuhi kriteria definisi tifoid seperti tersebut di atas dicatat sesuai dengan definisi yang
dipakai (suspek untuk pasien yang hanya mendapat diagnosis secara klinis, probable untuk yang
memenuhi kasus klinis dengan titer Widal 1/320, sedang pasti atau konfirm untuk kasus yang
memberikan hasil biakan mikrobiologis yang positif). Pada sarana pelayanan tingkat dasar maka
sebagian besar kasus yang tercatat adalah kasus suspek, untuk sarana pelayanan tingkat dua
dimana pemeriksaan serologi dimungkinkan maka kemungkinan dapat tercatat kasus probable,
sedang di rumah sakit besar dengan sarana laboratorium mikrobiologi dapat mengumpulkan data
kasus yang pasti, atau konfirm.

e. Sasaran Surveilans
Menurut sasarannya maka surveilans demam tifoid dapat dibedakan menjadi beberapa macam :
• Sarana pelayanan kesehatan dasar yaitu: Puskesmas
• Sarana pelayanan kesehatan tingkat II seperti rumah sakit Kabupaten. • Sarana pelayanan
kesehatan tingkat lanjut seperti rumah sakit di propinsi yang memiliki sarana laboratorium
mikrobiologi.

3. Penguatan Manajeman Sumber Daya Manusia (SDM) Penguatan manajemen dan infrastruktur
sangat diperlukan dalam pengendalian demam tifoid. Penguatan manajemen dilakukan antara lain
penguatan sumber daya manusia serta penyediaan sarana dan prasarana termasuk pengelolaan
logistik. Sumber Daya Manusia (SDM) sangat diperlukan dalam pengembangan program
pengendalian penyakit demam tifoid.Kebijakan desentralisasi kesehatan juga meningkatkan
kompleksitas pengembangan SDM, diantaranya tingginya rotasi dan tidak meratanya distribusi
SDM. Dengan demikian dibutuhkan upaya pemerataan penempatan SDM, dan peningkatan mutu
SDM melalui pelatihan. Tujuan yang ingin dicapai adalah: a. Ketersediaan SDM Kesehatan secara
kuantitas dan kualitas b. Tersedianya sistem penunjang yang memotivasi SDM kesehatan
menggunakan kompetensi mereka untuk menyelenggarakan pelayanan promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif dalam pengendalian demam tifoid c. Terselenggaranya pelatihan dan on the job
training (kalakarya) berkesinambungan. d. Penguatan program pendidikan dokter, perawat,
laboratorium dan tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam pengendalian demam tifoid. e.
Monitoring dan supervisi kinerja SDM kesehatan dalam pengendalian demam tifoid.
4. Upaya Pencegahan
a. Peningkatan Higiene dan Sanitasi
1) Sanitasi Lingkungan Salah satu upaya pencegahan penularan demam tifoid adalah perbaikan
sanitasi lingkungan. Dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor, mitra terkait serta peran
serta aktif seluruh lapisan masyarakat melalui :
• Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, yaitu tidak mencemari
lingkungan, memutus kontak dengan vector dan tidak menyebarkan bau.
• Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir dengan benar.
• Pengelolaan makanan dan minuman serta penyimpanan dengan benar.
• Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang benar sehingga tidak mencemari lingkungan.
• Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.
• Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan, terlaksana dengan baik dan
berkesinambungan.
• Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat serta selalu menjaga kondisi sanitasi dan
lingkungan bersih.

2) Higiene dan Sanitasi Makanan Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan
makanan.
Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang utama dalam pencegahan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain menerapkan prinsip hygiene dan sanitasi
makanan dengan pengendalian titik kritis pada pengelolaan makanan, mulai dari pemilihan bahan
makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan matang,
pengangkutan makanan matang, dan penyajian makanan. Titik-titik kritis yang mungkin terjadi
pada setiap langkah pengelolaan makanan harus dapat dikendalikan untuk menjamin makanan
matang yang disajikan memenuhi persayaratan hygiene dan sanitasi, sebagai berikut :
a) Memilih bahan makanan yang baik, bermutu, dan berkualitas sesuai dengan jenis bahan
makanan.
b) Menyimpan bahan makanan pada tempat, suhu dan waktu yang tepat serta menerapkan sistem
FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).
c) Mengolah bahan makanan dengan tepat sesuai urutan dan sampai masak sempurna.
d) Menyimpan makanan matang pada wadah/tempat dan suhu yang tepat. Makanan matang yang
harus disimpan dalam keadaan dingin, beku maupun dalam keadaan hangat/panas.
e) Apabila makanan matang sebelum disajikan perlu dilakukan pengangkutan maka diangkut
dengan menggunakan wadah dan alat yang tepat, tertutup, terlindung, dan aman dari pencemaran.
f) Menyajikan makanan pada waktu yang tepat dengan memperhatikan tempat penyajian,
pewadahan, suhu dan waktu tunggu (lamanya waktu mulai dari makanan matang sampai dengan
makanan dikonsumsi).
Perlu diingat 5 (lima) kunci keamanan makanan (WHO) :
a) Gunakan bahan makanan yang baik
b) Gunakan air bersih
c) Masak bahan makanan dengan sempurna
d) Pisahkan makanan matang dengan makanan mentah
e) Simpan makanan matang pada suhu yang tepat. Peningkatan pengawasan dan pembinaan
tempattempat pengelolaan makanan, yaitu jasa boga/catering, rumah makan, restauran, kantin,
depot, warung makan, makanan jajanan siap saji dan depot air minum, mulai dari tempat
bangunan, peralatan, penjamah makanan serta bahan dari makanannya.

3) Higiene perorangan Higiene perorangan merupakan salah satu faktor pencegahan dan
perlindungan diri terhadap penularan demam tifoid. Oleh karena itu perilaku hidup bersih dan
sehat harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun
harus dilakukan sesering mungkin, khususnya sebelum memegang makanan, setelah BAB, setelah
keluar dari toilet, setelah melakukan kegiatan, setelah memegang binatang peliharaan, setelah
mengganti popok bayi, dan sebagainya. Syarat utama bagi penjamah makanan adalah sehat
jasmani dan rohani, tidak menderita penyakit menular serta berperilaku hidup bersih dan sehat.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun dalam rangka pencegahan dan
perlindungan terhadap penularan demam tifoid dan penyakit menular lainnya.

b. Pencegahan dengan Imunisasi


Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar perlindungan diri dari penularan tifoid. Sampai
saat ini vaksin tifoid baru diprioritaskan untuk pelancong, tenaga laboratorium mikrobiologis dan
tenaga pemasak/penyaji makanan di restoran-restoran. Namun mengingat demam tifoid dengan
angka kesakitan cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid sudah harus dipertimbangkan
pemberiannya sejak anak-anak setelah mengenal jajanan yang tidak terjamin kebersihannya. Di
Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni :
∞ Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab Vaccine). Diberikan secara subkutan.
Menurut evaluasi yang telah dilaksanakan, daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya efek
samping pada tempat suntikan.
∞ Vaksin dengan Salmonella yang dilemahkan (T4 - 212). Diberikan peroral, selang sehari 3 kali
dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun (pada anak). ∞ Vaksin berisi komponen Vi basil
Salmonella. Diberikan secara suntikan intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi
diperkirakan 60 - 70 %. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun dan booster dilakukan setiap 3
tahun.
c. Pencegahan Karier
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti
melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna,
maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat.

Masalah rumit yang sering timbul sehubungan penanganan kasus tifoid yang tidak optimal adalah
Karier (Carrier), Relaps dan Resistensi.
• Karier tifoid adalah seseorang yang mengandung basil Salmonella dan menjadi sumber infeksi
(penular) untuk orang lain. Karier terjadi pada penderita yang tidak diobati dengan adekuat, atau
ada faktor-faktor predisposisi pada penderita sehingga basil susah dimusnahkan dari tubuh.
Seseorang disebut karier bila basil kultur feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit,
dan disebut karier kronik bila basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Bagi penderita yang tidak
diobati dengan adekuat, insidens karier dilaporkan 5-10 % dan kurang lebih 3% menjadi karier
kronik.
• Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis demam tifoid setelah 2 minggu masa
penyembuhan. Relaps terjadi sehubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat, baik dosis atau
lama pemberian antibiotika. Relaps dapat timbul dengan gejala klinis lebih ringan atau lebih berat.
• Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan antimikroba yang lazim dipakai. Resisten
timbul karena adanya perubahan atau mutasi genetika kuman, tanpa perubahan patogenitas dan
virulensinya. Tifoid resisten terhadap kloramfenikol sering diambil sebagai standar penelitian
karena obat ini adalah obat yang menjadi pilihan utama untuk tifoid (drug of choice). Dalam
perkembangannya, sejak tahun 50’an telah dilaporkan tifoid resisten di Mexico, Vietnam dan India
dan hingga saat ini, tifoid resisten dengan kloramfenikol makin meningkat, bahkan pernah ada
laporan peningkatan resisten dari 16% s/d 81% dalam 1 tahun dalam satu lokasi. Resisten makin
berkembang pada anti mikroba lain seperti Ampisillin, Kotrimoksazol dan Quinolone (Multi drug
resistance Salmonella typhi/MDRST).

Beberapa faktor yang menunjang kejadian resisten: o Pemakaian antibiotika yang bebas oleh
masyarakat (tanpa resep) o Pemakaian antibiotika oleh dokter tanpa pedoman dan tanpa kontrol o
Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang tepat o Dosis yang tidak tepat o Lama pemberian
yang kurang tepat o Ada penyakit lain (komorbid) yang menurunkan imunitas, serta kelainan-
kelainan yang merupakan predisposisi untuk karier tifoid, dll. Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat direkomendasikan beberapa langkah-langkah strategis yang bermanfaat untuk mengatasi
ketiga permasalahan tifoid ini, diantaranya :
o Terlaksananya monitoring dan kontrol yang ketat terhadap pemakaian antibiotika yang bebas
(tanpa resep) oleh masyarakat.
o Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien, memiliki standar medis
penatalaksanaan tifoid (Pedoman Tatalaksana Klinis) dan konsisten mengimplementasikannya.
o Setiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki aturan-aturan pemakaian antibiotika yang terpola
dengan baik,yang memiliki kepekaan yang dibuat secara berkala (antibiogram) serta menetapkan
antibiotika yang dipergunakan sebagai terapi empiris lini pertama dan kedua, baik untuk dewasa
maupun anak.
o Terhadap setiap kasus tifoid, agar dilakukan :
• Perawatan yang adekuat
• Penggunaan antibiotika dengan efikasi dan daya pencegahan karier yang baik
• Dosis dan lama pemberian yang tepat
• Pengawasan kemungkinan terjadinya karier dengan biakan feses secara serial.
Sekurangkurangnya pada saat pulang, 4 minggu dan 3 bulan kemudian dilaksanakan biakan
lanjutan untuk mendeteksi karier.
• Bila ada kasus karier berikan tatalaksana yang tepat sesuai pedoman.

5. Upaya Promosi
Penyakit tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat tetapi sebagian besar masyarakat masih
belum mengetahui tentang penyakit tersebut seperti gejala, cara pencegahan, dan penanggulangan
yang benar, sehingga masih diperlukan upaya promosi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
dan perilaku dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Upaya peningkatan promosi
kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling, kampanye dan penyebaran informasi
dengan menggunakan berbagai media KIE baik berupa media cetak maupun media elektronik.
Untuk mempercepat penyebarluasan informasi tersebut dapat juga dilakukan kerja sama dengan
media massa seperti majalah, koran, televisi, radio, website dan jejaring sosial lainnya yang
mengeluarkan informasi mengenai pencegahan dan pengendalian demam tifoid. Penyuluhan dapat
dilakukan di Puskesmas dan di masyarakat melalui Posyandu, UKS, Rapat PKK, Karang taruna
dan sebagainya serta melalui media Komunikasi baik cetak maupun elektronik.

Daftar Pustaka:
1. http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/Bayu%20Jurnal%20(03-
05-13-09-39-04).pdf
2. http://eprints.undip.ac.id/44813/3/BAB_II.pdf
3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/38885/Chapter%20ll.pdf?
sequence=3&isAllowed=y
4. file:///C:/Users/Hp-11/Downloads/197483018-Demam-Tifoid-2013-fh9.pdf

Anda mungkin juga menyukai