Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH PERKEMBANGAN PERENCANAAN BAHASA

Oleh Masnur Muslich*

Sebenarnya usaha perencanaan bahasa bukanlah merupakan hal baru.


Banyak negara lain telah menjalankannya dari zaman ke zaman. Perumusan
tatabahasa Yunani telah dilakukan pada zaman kerajaan Helenistik dan
Alexander. Sanskerta juga telah dikodifiksikan 2000 tahun sebelum Masehi
dengan tujuan agar tidak berubah demi kepentingan agama Hindu. Setelah
Revolusi Perancis di Eropa, revolusi bahasa berlaku di Norwegia, Yunani,
Belgia, Rumania, Hungaria, dan Bulgaria. Banyak usaha penyelaran dan
pembakuan bahasa dilakukan. Setelah Perang Dunia Pertama, Finlandia,
Estonia, Latvia, Lithuania, Islandia, dan Eirika juga melakukan usaha-usaha
demikian terhadap bahasamasing-masing. Bahasa Rusia berkembang setelah
Revolusi Rusia. Demikian juga, Turki menyerap ejaan Latin dan berbalik
haluan dari negara Arab ke Eropa, dalam usaha memodernkan bahasanya,
yang berlaku dalam revolusi total untuk modernisasi Turki.
Pada tahun 1582, Duke Casimo, setelah diyakinkan para penulis, telah
mendirikan Accademica della Cusca, yang bertujuan membersihkan bahasa
Italia dari pencemaran bahasa lain dan mempertahankan kemurniannya.
Kardinal Richelieu dalam usaha memusatkan kekuasaan di Perancis telah
mendirikan Academie Francaise pada tahun 1635, bertujuan untuk
membentuk rumusan yang lebih jelas mengenai bahasa dan tatabahasa
Perancis. Namun, dalam praktiknya, institusi ini lebih sekedar sebagai
simbolkekuasaan daripada menjalankan tugas sebagai perencana bahasa.
Hal ini dapat dilihat dari hasilnya yang hanya menerbitkan sebuah kamus
(pada tahun 1694) dan ejaan Perancis yang hanya diresmikan sekali pada
tahun 1835.
Setelah itu, Spanyol, Swedia, Hungaria mendirikan akademi
bahasa,masing-masing pada tahun 1713, 1739, dan 1830. Ketiga lembaga
ini tidak jauh berbeda dengan Academie Francaise. Meraka hanya
memfokuskan padaketepatan penulisan ejaan, dan kurang membantu dalam
hal pertumbuhan bahasa. Di negara-negara yang tidak mempunyai akademi,
ada juga para ahli yang secara individu membantu usaha penyelarasan
bahasa seperti yang dilakukan oleh Milton, Swift, Dryden, dan Defoe untuk
bahasa Inggris dan Jerman. Adamtias Korais (1748-1863) telah mencoba
membentuk bahasa Yunani murini dalampemakaian agama dan ilmu, dan
menjauhkan dari unsur-unsur peminjaman dari bahasa lain. Pada tahun 1614
Vuk Stefanuric Karadzic menulis tatabahasa untuk bahasa Yugoslavia, dan
pada tahun 1818 ia menerbitkan kamus. Ivan Aasen juga melakukan hal
yang sama untuk bahasa Norwegia dengan menghasilkan sebuah tatabahasa
(1964) dan sebuah kamus (1873).
Serangkaian usaha tersebut menandakan bahwa perencanaan bahasa
telah ada. Manusia telah meletakkan nilai-nilai tertentu terhadap bahasanya

1
dan merencanakan langkah-langkah yang mengarahkan agar masyarakat
penuturnya menggunakan bahasa sesuai dengan tujuan yang
dikehendakinya.
Pada zaman modern ini, dengan penduduk yang mempunyai ilmu
semakin bertambah dan peringkat intelektual yang meningkat, bahasa baku
yang maungkin tidakbegitu penting bagi kesusastraan, adalah semakin
penting dan diperlukan bagi ilmu pegetahuan dan teknologi. Di Turki, Kamal
taturk,dalam usahanya meningkatkan bahasa Turki,menukar ejaan dari
ejaan Arab ke ejaan Latin, supaya bahasa Turki bisa sebanding dengan
bahasa lain di dunia. Di Cekoslowakia, pada ahli yang ditunjuk pemerintah
telah giat berusaha untuk membakukan dan mengembangkan istilah untuk
bahasa Yunani dan Slowakia. Dalam kurun waktu lima tahun (1945-1950)
meraka telah berhasil menyusun tatabahasa dan sistem ejaan untuk kedua
bahasa tersebut. Di Skandinavia, setiap negara bagian membentuk lembaga
istilah dalam usaha meningkatkan kerja sama kebahasaan. Selanjutnya, di
Israel, lembaga bahasa Yahudi terus bekerja untuk merencanakan bahasa
bagi negaranya, sampai-sampai lembaga ini ditingkatkan menjadi akademi.
Hasilnya, bahasa Israel (Yahudi) yang tadinya merupakan bahasa kuno dan
mati, sekarang menjadi bahasa yang hidup dan modern.
Jadi, jelaslah bahwa usaha-usaha itu dilakukan demi meingkatkan
fungsi dana “daya peran” bahasa-bahasa tersebut agar dapat
mengungkapkan budaya ilmu yang semakin meningkat. Hal ini dilakukan
dalam upaya perencanaan kebudayaan secara makro. Sebab, telah disadari
bahwa setiap waktu ilmu dan budaya suatu bangsa terus berkembang dan
memerlukan bahasa yang lebih mampu dan mumpuni untuk menampung
perkembangan budaya terbut.

Pengertian Perencanaan Bahasa


Istilah “perencanaan bahasa” (language planning) semula digunakan
oleh E. Haugen (1959) di dalam artikelnya ketika ia melakukan perencanaan
bahasa terhadap bahasa Norwegia. Di dalam usaha tersebut, Haugen telah
mendefinisikan “perencanaan bahasa” sebagai segala usaha ang dilakukan
oleh lembaga tertentu untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan
bahasa dan melibatkan usaha pembinaan, pengaturan, dan pembakuan atas
bahasa sasaran.
Sebenarnya banyak ahli bahasa yang pernah membicarakan
perencanaan bahasa ini, bahkan ada pula di antara mereka yang
menggunakan istilah yang berlainan untuk maksud yang sama. R.A. Hall Jr.
(1951) telah menggunakan istilah “politik bahasa” (glottopolitics) yang
mengacu kepadapenerapan ilmu linguistik oleh suatu negara untuk
menentukan kaidah tertentu yang dipilih untuk mewujudkan keadaan dwi
bahasa di dalam daerah jajahan yang mempunyai budaya yang berbeda. G.P
Springer (1956) menggunakan istilah “perekayasaan bahasa” (language
engineering) yang mengacu pada usaha pengabjadan dan pembakuan
bahasa yang belum baku di Uni Soviet. S.T. Alisjahbana (1961) juga

2
menggunakan istilah ini untuk mengacu pada aktivitas yang dilakukan secara
sadar bagi pengembangan bahasa dalam koteks sosial, budaya, dan
perubahan teknologi secara luas. Juga, ada sarjana lain yang pernah
menggunakan istilah “perekayasaan bahasa” ini untuk mengacu kepada
aktivitas yang terencana melalui sekolah, gereja, radio, surat kabar, dan
juga perencanaan resmi untuk mempengaruhi penggunaan bahasa. R. Noss
(19670) menggunakan istilah “pembangunan bahasa” (language
development) dan “perencanaan bahasa” (language planning) di dalam
pembicaraan mengenai keadaan penggunaan bahasa dalam pendidikan di
Asia Tenggara. Istilah “perencanaan bahasa” juga digunakan oleh J. Rubin
dan B.H. Jernudd (1971) untuk mengacu kepada usaha suatu lembaga yang
bertujuan untuk melaksanakan perubahan sandi-sandi bahasa atau
pertuturan bahasa, atau kedua-duanya. J.A. Fishman (1968) juga
menggunakan istilah “perencanaan bahasa) dan “pembangunan bahasa”
untuk mengacu kepada langkah-langkah yang direncanakan dalam rangka
mencari penyelesaian atas masalah-masalah kebahasaan yang (pada
umumnya) dilaksnakan pada tingkat nasional.
Dalam kasus bahasa Indonesia, kita terbiasa menggunakan istilah
“perencanaan bahasa” sebagaimana yang digunakan oleh E. Haugen. Dalam
praktiknya, perencanaan bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi
dua aspek, sebagaimana konsep yang pernah disampaikan oleh J.V.
Neustupny (1974), yaitu perencanaan status dan perencanaan bahan.
Perencanaan status adalah perencanaan yang terkait dengan usaha
peningkatan status bahasa Indonesia. Misalnya, pemberian status bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan
bahasa resmi. Setelah itu, ditingkatkan lagi statusnya sebagai bahasa
oengantar pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa ilmu
pengetahuan, bahkan sebagai bahasa budaya bangsa Indonesia.
Perencanaan bahan adalah perencanaan yang terkait dengan aktivitas
penyusunan ejaan, pembakuan ucapan, pembentukan istilah, penyusunan
tatabahasa, penyusunan kamus, dan sebagainya. Semua langkah ini
dilakukan oleh pemerintah Indonesia (yang pelaksanaan yeknisnya
diserahkan kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) dengan
berbagai macam strategi dan kiatnya.

Berbagai Model Perencanaan Bahasa


Berdasarkan pengertian dan perspektif perencanaan bahasa dari
berbagai ahli tersebut, akhirnya muncul pula berbagai model perencanaan
bahasa. Model-model perencanaan bahasa ini sebagian besar dikembangkan
dari pengalaman mereka masing-masing ketika melaksanakan tugas
perencanaan bahasa di suatu negara. Berikut ini dikemukakan empat model
perencanaan bahasa, yaitu model Haugen, Ferguson, Kloss, dan Karam, yang
diharapkan bisa mewakili dari berbagai model yang ada.
a. Model Haugen (1959)

3
Berdasarkan pengalamannya di Norwegia, Haugen mengemukakakn
empat tahapan dalam perencanaan bahasa, yaitu pemilihan, penyandian,
pelaksanaan, dan peluasan.
1. Pemilihan. Tahap ini melibatkan pemilihan satu bahasa (atau lebih) atau
norma yang akan dibina untuk tujuan tertentu. Pada umumnya,
pembinaan ini bertujuan agar bahasa sasaran bisa menjalankan tugas
sebagai bahasa nasional. Norma adalah suatu konsep abstrak yang dipilih
atau dibentuk sebagai sasaran perencanaan. Bahasa baku, misalnya,
adalah norma yang dijadikan sasaran perencanaan bahasa.
2. Penyandian. Tahao ini melibatkan uasaha-uasaha yang terkait dengan
pembakuan bahasa,misalnya penyusunan ejaan, pembentukan istilah,
penyusunan tatatabahasa, penyusunan ungkapan, dan sebagainya. Uapay
pembakuan ini, kalau begitu, pada dasarnya adalah pengenalan sandi-
sandi bahasa yang berbagai ragam itu dan menentukan penggunaan
masing-masingnya.
3. Pelaksanaan. Tahap ini melibatkan aktivitas-aktivitas yang dilakuakn oleh
petugas (baik lembaga maupun individu) yang ditunjuk untuk
menyebarkan informasi dan melakukan pembinaan terkait dengan norma-
norma yang telah ditetapkan dan penyandian yang telah disusun.
4. Peluasan. Tahap ini berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan
bahasa sasaran, baik dari segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini
melibatkan proses pemodernan bahasa sasaran secara umum.

b. Model Ferguson (1968)


C.A. Ferguson mengemukakan bahwa dalam usaha perencanaan
bahasa terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan, yaitu pengabjadan,
pembakuan, dan pemodernan.
1. Pengabjadan. Pengabjadan adalah usaha agar bahasa sasaran
mempunyai abjad atau sistem ejaan yang sempurna. Kegiatan ini
dilakukan apabila bahasa sasaran belum mempunyai ejaan, atau
pembakuan atau perbaikan ejaan yang sudah ada.
2. Pembakuan. Pembakuan adalah proses menjadikan satu dialek atau
bahasa sebagai bahasa yang baku dibanding dengan dialek-dialek lain
lewat penggunaannya dalam bidang ilmiah, pemerintahan, atau situasi
resmi lainnya.
3. Pemodernan. Pemodernan adalah usaha-usaha pengembangan kosakata
dan pembinaan bentuk-bentuk wacana tertentu, biasanya wacana ilmiah.
Pembinaan kosakata ini melibatkan penciptaan istilah-istilah dan
ungkapan-ungkapan tertentu unuk menampung keperluan ilmiah atau
bidang-bidang lainnya.

c. Model Kloss (1969)

4
H. Kloss mengemukakan bahwa perencanaan bahasa mempunyai dua
dimensi, yaitu perencanaan status dan perencanaan bahan.
1. Perencanaan Status. Perencanaan status adalah usaha menentukan atau
memilih suatu dialek atau bahasa dari berbagai dialek atau bahasa yang
ada untuk dijadikan bahasa yang berstatus tertentu. misalnya menjadi
bahasa nasional, bahasa resmi, dan sebagainya.
2. Perencanaan Bahasa. Perencanaan bahasa adalah usaha yang terkait
dengan pembentukan istilah, pembakuan ejaan, pembakuan tatabahasa,
dan bagaimana penerapannya dalam praktik berbahasa.
Selain itu, Kloss juga mengemukakan satu unsur lagi, yaitu pembiayaan,
yang melibatkan aspek ekonomi, dan penngurusan di dalam perencanaan
bahasa. Sebagaimana perencanaan bahasa pada umumnya, unsur
pembiayaan dan pengurusan adalah penting.

d. Model Karam (1974)


F.X. Karam mengemukakan satu model perecanaan bahasa (dalam
bentuk diagram) yang dapat menjelaskan siklus pelaksanaan perencanaan
bahasa. Model yang dimaksukan adalah sebagai berikut.

Penilaian

Perencanaan Pelaksanaan Masyarakat


Pengguna

Diagram 1: Pelaksanaan Perencanaan Bahasa

Kalau mengiktui model ini, pelaksanaan perencanaan bahasa dilakukan pada


tingkat nasional oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia,
misalnya, dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Lembaga ini akan melakukan tiga tugas, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian. Komponen penialain, menurut Karam, sangat penting karena
untuk mengetahui apakah langkah-langkah yang telah dilakukan berhasil
atau belum.
Jadi, dapat dilihat bahwa perencanaan bahasa melibatkan usaha:
pengumpulan data lewat penyelidikan atau penelitian baik menyangkut
materi bahasa maupun budaya atau pemakaian bahasa; penyusunan

5
perencanaan menyeluruh yang mungkin bisa dilakukan; dan pembuatan
perencanaan awal yang diperlukan untuk menentukan keputusan mengenai
pemilihan dan pembentukan norma bahasa. Upaya-upaya ini dilakukan
setelah ada kepastian atau penentuan bahasa tertentu sebagai bahasa
nasional. Pelaksanaan melibatkan penyandian (coding) norma-norma bahasa
dan penyebarluasan hasil penyandian. Penilaian akan melibatkan penafsiran
terhadap hasil (rumusan) perencanaan dan pelaksanaan perencanaannya.
Proses ini merupakan “refleksi diri” terhadap lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah dan pelaksanan di lapangan, agar pada masa selanjutnya bisa
lebih meningkatkan setiap tahapan kerjanya.
Kita memahami bahwa suatu masyarakat bahasa atau komunitas
bahasa akab berubah mengikuti perkembangan dan keperluan zaman.
Kondisi ini diikuti oleh perkembangan bahasa masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, siklus dan proses perencanaan akan dilakukan terus-menerus
sebagaimana model yang terlihat pada diagram berikut.

Penentuan Norma Penyandian Penyebaran


Awal

Penentuan Norma Masyarakat Bahasa

Perubahan Bahasa
dan Budaya

Diagram 2: Siklus Perencanaan Bahasa

Daftar Pustaka:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1961. “langauge Engineering Moulds Indonesian
Language.” Dalam The Linguistics Reporter, 3 (3).
Ferguson, C.A. 1968. “Language Development.” Dalam Fishman, et.al.
Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and
Sons.

6
Fishman, J.A. 1968. “Nationality-Nationism and Nation-Nationism.” Dalam
Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York:
John Wiley and Sons.
Hall, Robert A. Jr. “American Linguistics”. Dalam Archivum Linguisticum, IV,
1951, Hlm. 1-16.
Haugen, E.. 1959. ”Planning for Standard Language in Modern Norway.”
Dalam Anthropological Linguistics, I (3): 8 – 21.
Karam, Francis X. 1974. “Toward A Definition of Language Planning.” Dalam
Fishman, Joshua A. (ed.). Advanced in Language Planning. The
Hague: Mouton. Hlm. 112.
Kloss, Heinz. 1969. Research Possibilities On Group Bilingualism: A Report.
International Center for Research On Bilingualism, Quebec.
Neustuphy, J.V. 1974. “Basic Types of Treatment of Language Problems.”
Dalam J.A. Fishman, Joshua A. (ed.). Advances in Language Planning.
The Hague: Mouton. Hlm. 37-48
Noss, R. 1967. Language Policy and Higher Education, Vol III, Part 2 of
Higher Education and Development in Southeast Asia. Paris: UNESCO
and Internatioan Association of Universities.
Rubin, J & B. H. Jernudd. 1971. Can Language be Planned? Sociolinguistics
Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu, Hawaii: East
West Cantre Book.
Springer, George P. 1956. Early Soviet Theories in Communication.
Cambridge: MIT

*
Drs. Masnur Muslich, MSi. adalah dosen Universitas Negeri Malang – Indonesia. Kini (Juni – Desember 2006)
diperbantukan di Faculty of Humanities and Social Sciences, Princes of Songkhla University (PSU), Campus Pattani,

Anda mungkin juga menyukai