Referat GBS
Referat GBS
PENDAHULUAN
1
sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada ekstremitas bawah.3 Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% anak - anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis.2,3 Di samping itu, kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan
dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi,
hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter
yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10
– 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30% dari pasien.1,3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi polineuropati
akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan disfungsi saraf kranial dan
sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi akut ini menyebabkan sistem kekebalan
tubuh manusia menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dan
menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf tersebut.2
2.2 Etiologi
Etiologi dari penyakit GBS belum diketahui secara pasti, namun sejumlah
besar penelitian mengindikasikan bahwa penyebabnya adalah inflamasi autoimun
neuropati perifer, yang dipicu oleh berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun
virus, dan vaksinasi.
Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi citomegelovirus,
Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri seperti mycoplasma pneumoni dan
lyme disease. Campylobacter Jejuni mungkin adalah bakteri yang paling banyak
dihubungkan dengan SGB.
Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun bakteri pada
manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit ini terlihat berkorelasi dengan
adanya antibodi serum pada myelin saraf perifer sehingga menyebabkan terjadinya
peradangan dan kerusakan mielin.3,4
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy adalah
infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area segmental sarafnya
mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda degenerasi
3
akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama halnya pada saraf
sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi di perifer,
mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen, major histocompatibility
complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori faktor, berbagai sitokin proinflamasi
seperti interferon gama (IFN) dan tumor necrosis faktor alpha (TNF α) dan reseptor
sitokin. Ini akan mengawali aktivasi daripada komplemen, yang mengikat ikatan
antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai terjadinya vesikulasi dari myelin.
Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1 minggu sesudah kerusakkan myelin
terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen berikatan
dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh pembentukkan
kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi akson dari serat
motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi. 1,2,8
4
Gambar 2.2 Patogenesis Guillain Barre Syndrome
5
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah
reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan
Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/ turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip dengan
AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali terdapat pada
dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia dan
oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam waktu 1-3
bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada
mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering
dijumpai juga gangguan sensorik.
6
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi
yang terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal
dari infiltrasi sel monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute
inflammatory demyelinating polyradiculopathy), mielin lebih dominan
mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal
5
neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.
Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai
dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat
oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja
terkena. Pasien mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks
fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. 6
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi pada masing-masing individu, mulai dari kelemahan sampai
pada quadriplegia flaksid.6,5
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot
respiratorik dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi
mekanik. Umumnya, kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan
progresi gejala yang cepat, kelemahan PUNanggota gerak atas, disfungsi
otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya mencapai puncak
pada minggu kedua, diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang
bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala
disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,
biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor.
Kerusakan tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan
dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial
palsy.6,5
7
Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang
signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang
biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita
biasanya berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala
sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe
AMSAN (Acute motor-sensory axonal neuropathy).5,6
Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi
terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada
50 – 89% pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat,
dalam, seperti aching atau crampin/kaku pada otot yang terserang, sering
memburuk pada malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik.
Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50%
5,6
pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Gejala otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi
instabilitas tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia
jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, facial flushing, retensi urin,
gangguan hidrosis dan penurunan motilitas gastrointestinal. Hipertensi
terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari
pasien.5,6 Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur.
8
Tabel 2.1. Skala disabilitas Guillane Barre Syndrom menurut Hughes dkk.
0 Sehat
6 Kematian
2.6 Diagnosis
9
tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada penderita.
Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
10
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan
saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase,
kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan
untuk diagnosis GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan,
pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang
menyingkirkan diagnosis.10,11
a. Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataksia.
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general.
b. Gejala tambahan
1. Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4 minggu.
2. Biasanya simetris.
3. Adanya gejala sensoris yang ringan.
4. Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
5. Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
6. Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
7. Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah
progresivitas berhenti, penyembuhan umumnya fungsionil dapat
kembali
11
c. Pemeriksaan CSS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /µl
d. Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 9,10
12
terdapat paralisis umum yang mendadak dan boleh menyebabkan
paralisis otot respirasi.
d. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan
kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai
dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia;
yang jarang terjadi pada pasien GBS.
e. Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot
pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu
yang menempel pada kulit.
f. Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan
mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan
peningkatan serum asam aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat
keterlibatan paralisis otot respirasi, namun hasil pemeriksaan urin
dalam batas normal.
g. Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah
tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase
syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
h. Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala
meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
13
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,
dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demielinasi saraf pada kultur jaringan.8,9,10
14
motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni,
prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan
keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang
dapat dijumpai 2-4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan
tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang
tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih
dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.11
15
memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan
pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan
kerusakan pada barier darah-saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS
10,11
dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien
dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya
tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat
digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan, terutama bila temuan
klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar. 11
16
dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau
tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. 10,11
2.9 Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
mengatakan bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai
monoterapi. Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak
mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian
metylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan
imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam
waktu jangka panjang.12,13 Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang
diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk
daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris
dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari
selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak
didapatkan perbedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan
maupun outcome yang lainnya.14
17
Plasmaparesis
Plasmaferesis diindikasikan pada kasus yang nonambulatory, atau
yang penyakitnya berlangsung secara agresif. Derajat penyakit SGB
didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes (Tabel 2). Pada SGB berat,
pasien memiliki skala lebih dari sama dengan 4.
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor
humoral, seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan
mediator inflamasi non-spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi
pertama pada GBS yang menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya
perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat bantu napas,
dan lama perawatan yang lebih singkat.3,14 Plasmaferesis dilakukan 3-5
kali dalam kurun waktu 5-10 hari, dengan dosis 40-55 ml/kg/kali. Bahan
pengganti plasma yang digunakan adalah albumin atau fresh frozen
plasma (FFP). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan
menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan
kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian
dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5%
albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi
ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-
14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila
dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). 14 Keterbatasan
plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter double-lumen
besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal. Komplikasi yang
mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsis,
trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis
penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan
masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC,
18
elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter
koagulasi abnormal.14
Imunoglobulin Intravena
Pemberian IVIg diduga dapat menetralisasi antibodi mielin yang
beredar dengan berperan sebagai antibodi anti–idiotipik, menurunkan
sitokin proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta
mempercepat proses mielinisasi. Dosis yang diberikan 0,4-0,5
gram/kg/kali selama 4-5 hari berturut-turut dengan total dosis 2 gram/kg.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih mudah didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus serta efek samping dan komplikasi yang sifatnya
lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral
dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody
dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam
diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada
GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group
dua decade silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg
dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS
tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmaparesis.15 Pada
penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan
oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada
kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat
mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat
diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6
hari.12 Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan
ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan
jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan
19
yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif
50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150-200 cc/jam. Efek samping ringan
berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan
nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan
dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan pre-
medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi
meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak
kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat
dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial
akibat sindrom hiperviskositas.15
20
penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan
untuk memulihkan kekuatan otot penderita.16
Diagnosis:
Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS
Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG
Berikan perawatan yang terbaik:
Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi yang fatal,
terutama:
Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, frekuensi respirasi),
diawali setiap 2 – 4 jam, pada fase stabil setiap 6 – 12 jam
Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan ileus)
Cek disfungsi menelan
Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk hindari
opioid
Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru
Pencegahan dekubitus dan kontraktur
Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIG dan PE:
Indikasi untuk memulai IVIg atau PE
Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan =
ketidakmampuan SGB skala 3
Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah munculnya gejala
IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari, (tidak diketahui apakah 1,0 g/kg untuk 2 hari adalah
unggul)
PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume plasma
Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang (skala 2) atau
pasien MSF
Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan sekunder sesudah
awalnya membaik atau stabil (terapi mengalami fluktuasi): diterapi dengan 0,4
g/kg untuk 5 hari
Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada pasien yang berlanjut
menjadi buruk.
Adakah indikasi untuk masuk ICU:
Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan respirasi
(kapasitas vital < 20 ml/kg)
Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik)
Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang tinggi
Disfungsi autonom berat
Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasii untuk ventilasi
artificial
Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang lambat
Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
21
Rehabilitasi dan kelelahan:
Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.
2.10 Prognosis
Secara keseluruhan SGB mempunyai prognosis yang baik, sekitar 90
sampai 95% penderita akan mengalami penyembuhan sempurna 6 sampai 12
bulan. Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada
fase akut dimana dapat terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung.
Walaupun mempunyai prognosis baik tapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa, 95% terjadi penyembuhan
tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan, bila dengan keadaan antara lain: 3,4,7,
a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relative normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. Progesifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 – 60 tahun.
Tiga puluh persen pasien SGB mengalami kelemahan residual sesudah 3
tahun. Tiga persen mengalami relaps lemah otot dan sensasi tertusuk-tusuk
bertahun-tahun sesudah serangan awal.
22
BAB III
LAPORAN KASUS
No. ID dan Nama Peserta : / dr. Nyoman Try Yuliani Pertiwi, S.Ked
No. ID dan Nama Wahana: / RSUD Karangasem
Topik: Guillane Barre Syndrome
Tanggal (kasus) : 18 Maret 2019
Nama Pasien : NKA
Pendamping: dr. Ni Made
Supartiasih
Tempat presentasi: Ruang Komite Medik RSUD Karangasem
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan
pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Perempuan, 36 tahun, Ibu rumah tangga, suku Bali, mengeluh
kelemahan pada ekstremitas bawah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan muncul secara
tiba – tiba saat pasien sedang berjalan. Keluhan lemas dikatakan menjalar dari tungkai
bawah hingga terasa kram pada bagian perut dan kesemutan pada kedua tangan. Pasien
dikatakan dapat menggerakan kedua kakinya namun pasien tidak dapat berjalan sendiri
dan memerlukan bantuan. Pasien juga merasakan kesemutan pada bagian kedua
tungkai dan kedua tangan sejak keluhan lemas muncul. Keluhan kesemutan dikatakan
terus menerus dan belum membaik. Keluhan ini merupakan yang pertama kali
dirasakan oleh pasien. Kelemahan pada bagian wajah dan bicara pelo disangkal oleh
pasien.
Pasien sempat berobat ke dokter spesialis saraf di Denpasar dan diberikan
rujukan ke RSUP Sanglah, setelah itu pasien di opname di RSUP Sanglah selama tiga
minggu dan dijadwalkan kontrol pada tanggal 18 Maret 2019 di RSUD Karangasem.
Pasien menyangkal riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan tertentu.
23
membahas: diskusi
Gambaran klinis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan, 36 tahun, Ibu rumah tangga, suku Bali datang untuk kontrol
ke poliklinik RSUD Karangasem setelah pulang rawat inap di RSUP Sanglah 3 hari
sebelumnya. Pasien memiliki keluhan awal kelemahan kedua tungkai yang terjadi
secara tiba – tiba pada tanggal 20 Februari 2019, keluhan dikatakan terjadi saat pasien
sedang berjalan. Kedua tungkai pasien dikatakan lemas, terasa kaku dan berat ketika
digerakan hingga pasien memerlukan bantuan saat berjalan (dipapah). Keluhan lemas
tersebut cukup mengganggu kegiatan sehari-hari pasien karena pasien selalu
membutuhkan bantuan ketika berjalan, pasien dapat menggerakan dan menggangkat
kakinya ketika sedang duduk atau berbaring tetapi pasien tidak dapat berjalan karena
kaki terasa lemas dan berat. Keluhan tersebut dikatakan menyebar dari kedua tungkai
bawah dan menjalar ke atas. Dalam hitungan hari kelemahan pada kedua tungkai
pasien menjalar hingga bagian perut yang menimbulkan efek kram pada perut. Selain
keluhan lemas, pasien juga merasakan kesemutan pada kedua tungkai yang menyebar
hingga kedua tangan. Keluhan kesemutan ini dikatakan terus menerus hingga saat ini.
Keluhan lemas dan kesemutan tidak membaik dengan istirahat.
Keluhan lain seperti kelemahan pada wajah, sesak nafas disangkal oleh pasien.
Keluhan ini merupakan yang pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien tidak pernah
berobat ke dokter atau rumah sakit secara rutin karena penyakit tertentu. Pasien
memiliki riwayat penyakit gastritis akut sejak 4 bulan yang lalu dan saat ini keluhan
nyeri uluhati disangkal.
Pasien berdomisili di Denpasar ketika keluhan pertama muncul, keluhan awal
muncul pada tanggal 20 Februari 2019 berupa kelemahan pada kedua tungkai setelah
keluhan muncul pasien berobat ke praktik dokter spesialis saraf di Denpasar dan
diberikan rujukan ke RSUP Sanglah. Pada tanggal 22 Februari pasien datang ke
24
Sanglah dengan membawa rujukan dari dokter spesiali saraf dengan diagnosis suspek
Guillane Barre Syndrome dan memerlukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Setelah itu pasien rawat inap di RSUP Sanglah selama tiga minggu. Riwayat terhadap
obat-obatan atau makanan disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien sempat berobat ke dokter spesialis saraf di Denpasar pada tanggal 20
Februari 2019 dan diberikan rujukan ke RSUP Sanglah. Pasien masuk rumah sakit
Sanglah pada tanggal 22 Februari dan rawat inap selama tiga minggu. Pasien di ijinkan
pulang dari rumah sakit pada tanggal 15 Maret dan kontrol ke poliklinik saraf RSUD
Karangasem pada tanggal 18 Maret 2019.
25
Tinggi : 160 cm
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu axila : 36,5oC
Thorax :
Cor :
Inspeksi : Tak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II MCL S
Batas kanan ICS II PSL D
Batas kiri ICS II MCL S
Auskultasi : S1S2, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-
26
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Genitalia : Tidak dievaluasi
Ekstrimitas : Hangat di keempat ekstremitas, edema (-)
Kulit : Kesan normal
Pemeriksaan Khusus
Rangsangan selaput otak :
27
Kaku kuduk : Tidak ada
Tanda Kernig : Tidak ada
Brudzinski I : Tidak ada
Brudzinski II : Tidak ada
Saraf otak
Kanan Kiri
Nervus I
Subjektif : Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Objektif : Normal Normal
Nervus II
Visus :
Kampus : Normal Normal
Hemianopsia : Tidak ada Tidak ada
Melihat warna : Normal Normal
Skotom : Tidak ada Tidak ada
Fundus : Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Nervus III,IV,VI
Kedudukan bola mata : Ditengah Ditengah
Pergerakan bola mata : Normal Normal
Nistagmus : Tidak ada Tidak ada
Celah mata : Normal Normal
Ptosis : Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bentuk : Bulat, regular Bulat, regular
Ukuran : 3 mm 3 mm
Reflek pupil
Langsung :+ +
Konsensuil :+ +
Akomodatif :+ +
Marcus-gunn :- -
28
Tes Wartenberg :- -
Nervus V
Motorik : Normal Normal
Sensorik : Normal Normal
Reflek kornea :+ +
Reflek korneo-mandibuler :- -
Reflek bersin : Tidak dikerjakan Tidak dikerjakan
Reflek nasal-bacterew : Tidak dikerjakan Tidak dikerjakan
Reflek maseter :-
Trismus :-
Reflek menetek :-
Reflek snout :-
Nyeri tekan :-
Nervus VII Kanan Kiri
Otot wajah saat istirahat : Normal Normal
Mengangkat alis : Normal Normal
Mengerutkan dahi : tertarik keatas tertarik keatas
Menutup mata : Normal Normal
Meringis : Normal
Mencucu : Normal
Gerakan involunter : Tidak ada
Indera pengecap : Kesan Normal
Sekresi air mata : Tidak dikerjakan
Test chvostek :-
Refleks glabela :-
Nervus VIII
Pendengaran : Normal Normal
Tes garpu tala : Tidak dikerjakan
Keseimbangan : TDE
Tes Romberg : TDE
Vertigo :-
29
Nervus IX,X,XI,XII
Langit-langit lunak : Simetris
Menelan : Normal
Disartri : Tidak ada
Disfoni : Tidak ada
Lidah :
Tremor, fasikulasi atropi : Tidak ada
Ujung lidah saat istirahat : normal
Ujung lidah saat dijulurkan : normal
Reflek muntah :+
Mengangkat bahu : Normal
Fungsi m. strenokleidomastoid : Normal
Inervasi simpatik dan para simpatik : Normal
30
Fleksi panggul : 4 4
Ekstensi panggul : 4 4
Fleksi lutut : 4 4
Ekstensi lutut : 4 4
Plantar fleksi : 4 4
Dorsi fleksi : 4 4
Parestesia : + +
KESIMPULAN :
- Polineuropati tipe campuran sesuai gambaran Guillane Barre Syndrome.
31
- Warna jernih / jumlah sel 10 sel/mm 3 / Glukosa 60 mg/dL / pandy (-) / nonne (-) /
protein 24.20 mg/dL
Diagnosis Kerja
Terapi
Farmakologi ( saat rawat inap di Sanglah ) :
o methylprednisolone 250 mg setiap 6 jam (IV) (tappering off)
o ranitidine 50 mg setiap 8 jam (IO)
o sucralfat 15 mg setiap 8 jam (IO)
o plasmaparesis I : tanggal 01/03/2019
o plasmaparesis II : tanggal 04/03/2019
o plasmaparesis III : tanggal 08/03/2019
o plasmaparesis IV : tanggal 11/03/2019
o plasmaparesis V : tanggal 13/03/2019
obat pulang :
o Mecobalamin 500 mg tiap 12 jam (IO)
o Omeprazole 20 mg tiap 12 jam (IO)
o Parasetamol 1000 mg tiap 8 jam (IO) (bila perlu)
KIE
‒ Penjelasan kepada pasien mengenai penyakitnya.
‒ Penjelasan kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya.
‒ Istirahat yang cukup sangat diperlukan untuk kesembuhan penyakit
‒ Melatih gerakan aktif dan pasif dirumah dan teratur melakukan fisioterapi
Assesment:
Guillane Barre Syndrome
Diagnosis ditegakkan dengan mempertimbangkan faktor temuan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik penderita, dan pemeriksaan penunjang.
TEORI KASUS
Pasien memiliki keluhan awal
ANAMNESIS
Gejala yang terlihat berupa: kelemahan kedua tungkai yang terjadi
- Paralisis akut yang dimulai dengan rasa
secara tiba – tiba pada tanggal 20
32
Februari 2019, keluhan dikatakan terjadi
baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti
saat pasien sedang berjalan. Kedua
secara cepat oleh paralisis ke empat
tungkai pasien dikatakan lemas, terasa
ekstremitas yang bersifat ascendens.
- Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. kaku dan berat ketika digerakan hingga
- Refleks fisiologis akan menurun dan
pasien memerlukan bantuan saat berjalan
kemudian menghilang sama sekali.
- (dipapah).
Kerusakan saraf motorik biasanya
Keluhan lemas tersebut cukup
dimulai dari ekstremitas bawah dan
mengganggu kegiatan sehari-hari pasien
menyebar secara progresif, dalam hitungan
karena pasien selalu membutuhkan
jam, hari maupun minggu ke ekstremitas
bantuan ketika berjalan, pasien dapat
atas, tubuh dan saraf pusat
- Riwayat infeksi sebelumnya terutama menggerakan dan menggangkat kakinya
infeksi saluran pernafasan dan pencernaan, ketika sedang duduk atau berbaring tetapi
Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu pasien tidak padat berjalan karena kaki
neuropati inflamasi yang disebabkan oleh terasa lemas dan berat. Keluhan tersebut
reaktivitas silang antara antigen dan antibodi dikatakan menyebar dari kedua
saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu tungkai bawah dan menjalar ke atas.
yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, Dalam hitungan hari kelemahan pada
yang memiliki struktur dinding bakteri yang kedua tungkai pasien menjalar hingga
mirip dengan gangliosida. Molekular bagian perut yang menimbulkan efek
mimikri ini akan menciptakan antibodi anti- kram pada perut. Selain keluhan lemas,
gangliosida yang akan menyerang saraf.. pasien juga merasakan kesemutan
pada kedua tungkai yang menyebar
hingga kedua tangan. Keluhan
kesemutan ini dikatakan terus menerus
hingga saat ini. Keluhan lemas dan
kesemutan tidak membaik dengan
istirahat.
Riwayat infeksi sebelumnya disangkal
oleh pasien, pada empat bulan
sebelumnya pasien hanya mengalami
gejala peningkatan asam lambung.
33
.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan Neurologi Pada pasien dilakukan pemeriksaan :
34
perpanjangan distal latensi (75%), konduksi konduksi (+)
N. Peroneus : latensi distal normal,
blok (58%) dan penurunan kecepatan
amplitude menurun, KHS normal, blok
konduksi motor (50%).
konduksi (+)
N. Tibialis : latensi distal normal,
amplitude normal, KHS melambat, blok
konduksi (+)
TATALAKSANA
Pada pasien diberikan terapi sebagai
Kortikosteroid
berikut:
Pemberian kortikosteroid sebagai
1. Kortikosteroid
monoterapi tidak mempercepat
methylprednisolone 250 mg setiap 6 jam
penyembuhan secara signifikan. Selain itu,
(IV) (tappering off)
pemberian metylprednisolone secara
2. Plasmaparesis
intravena yang berkombinasi dengan
plasmaparesis I : tanggal 01/03/2019
imunoterapi juga tidak memberikan plasmaparesis II : tanggal 04/03/2019
plasmaparesis III : tanggal 08/03/2019
manfaat secara signifikan dalam waktu
plasmaparesis IV : tanggal 11/03/2019
jangka panjang. plasmaparesis V : tanggal 13/03/2019
obat pulang :
Mecobalamin 500 mg tiap 12 jam (IO)
Plasmaparesis
Omeprazole 20 mg tiap 12 jam (IO)
Plasmaferesis diindikasikan pada kasus Parasetamol 1000 mg tiap 8 jam (IO)
35
yang nonambulatory, atau yang (bila perlu)
penyakitnya berlangsung secara agresif.
Derajat penyakit SGB didasarkan pada
skala disabilitas dari Hughes (Tabel 2).
Pada SGB berat, pasien memiliki skala
lebih dari sama dengan 4.
Plasmaparesis merupakan terapi pertama
pada GBS yang menunjukkan
efektivitasnya, berupa adanya perbaikan
klinis yang lebih cepat, minimal
penggunaan alat bantu napas, dan lama
perawatan yang lebih singkat.
Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengan immunoglobulin
intravena (IVIg) lebih menguntungkan
dibandingkan dengan terapi plasmaparesis
karena efek samping dan komplikasi yang
sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat
memodulasi respon humoral dalam
menghambat autoantibody dan menekan
produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga
kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
dalam diredam.
36
KIE
‒ Penjelasan kepada pasien mengenai penyakitnya.
‒ Penjelasan kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya.
‒ Istirahat yang cukup sangat diperlukan untuk kesembuhan penyakit
‒ Melatih gerakan aktif dan pasif dirumah dan teratur melakukan fisioterapi
BAB IV
SIMPULAN
37
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan
wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter.
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor pencetus yang terlibat,
diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan
sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.
Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan
serebrospinal, elektromiografi dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,
serta prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat
degenerasi aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk Guillain–Barré
Syndrome meliputi plasmaparesis dan IVIg serta terapi suportif. Tujuan utama
penatalaksanaan GBS adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penegakan
diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik. Komplikasi
yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.
DAFTAR PUSTAKA
38
5. Viktill, K.K and Blix, N.S. 2007. Classification of Drug Related Problems.
Topical issues article in The Journal of the Norwegian Medical Association,
Vol.127, page 3073 – 3076
6. Wilhems, D.B., et al. 2014. Deletion of Prostaglandin E2 Synthesizing Enzymes
in Brain Endothelial Cells Attenuates Inflammatory Fever. The Journal of
Neuroscience, Vol. 34 (35) : 11684 –11690
7. Walling A D, Dickson G. Guillain barre syndrome. American Family Physician.
2013; 87(3): 191-97 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.aafp.org/afp/2013/0201/p191.pdf
8. Winer, J.B. 2010. Guillain - Barré Syndrome. Clinical Variants and Their
Pathogenesis. Journal of Neuroimmunology, Vol. 231, page 70 – 72
9. Yuki, N and Hartung, H.P. 2012. Guillain - Barré Syndrome. The New England
Journal of Medicine, Vol. 366, page 2294 – 2304
10. Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome. New York : Theime Medical
Publisher.
11. Davids, HR. 2008. Guillain-Barre Syndrome.
(http://emedicine.medscape.com/article /315632-overview.html)
12. Burnts, T. 2008. Guillain-Barre Syndrome. (http://www.thieme-connect.com/
ejournals/html/sin/doi/10.1055/s-2008-1062261.html)
13. Japardi I. 2002. Sindroma Guillan-Barre. (http://library.usu.ac.id/download/fk/
bedah-iskandar%20japardi46.pdf)
14. Inawati. 2010. Sindrom Guillan Barre (GBS). (http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/
archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM
%20GUILLAIN%20BARRE.pdf)
15. Israr, Y., dkk. 2009. Sindroma Guillaine-Barre. (http://www.Files-of-DrsMed.tk/
guillaine_barre_syndrome_files_of_drsmed.pdf)
16. Saharso D. 2006. Sindroma Guillan-Barre (SGB),
(http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-
mvib207.html)
39
17. Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan
Diagnosis, (https://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-
barre-syndrome-gbs-patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/ )
40