Anda di halaman 1dari 6

LEMBAGA KEUANGAN

REVIEW ARTIKEL

ISLAMIC BANKING AND RISK: THE IMPACT OF BASEL II

Dosen Pengampu : Dr. Dessy Isfianadewi, M.M.

Oleh :

Ilham Aditya Perdana

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2017/2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Regulasi Basel telah ditetapkan oleh Komite Basel yang mengatur tentang Pengawasan
Perbankan untuk memupuk stabilitas keuangan. Bank harus memiliki jumlah minimum modal
untuk menutupi risiko kredit, risiko buku perdagangan dan risiko operasional. Beberapa
metode perhitungan diusulkan untuk risiko yang berat. Dalam kerangka pedoman Basel II
terdapat persyaratan modal berbasis risiko, risiko ditimbang untuk setiap aset untuk
mendapatkan jumlah modal yang cocok dengan profil risiko bank yang sebenarnya.

Standar Basel I dibentuk pada tahun 1988 untuk memperkenalkan persyaratan modal
minimum untuk bank. Kerangka standar Basel II diadopsi pada tahun 2004 untuk mereformasi
Basel I dan mulai diberlakukan pada tahun 2006. Basel II memiliki sekitar tiga pilar yaitu, Pilar
1 mengacu pada persyaratan modal minimum, Pilar 2 dikhususkan untuk pengawasan
prudensial dan ditujukan untuk memperkuat kekuatan otoritas regulator, dan Pilar 3
berhubungan dengan disiplin pasar.

Peneliti berargumen bahwa bank-bank Islam juga tunduk pada kerangka peraturan ini
ketika diterapkan di satu negara. Dengan semakin berkembangnya regulasi keuangan
internasional mulai dari kecukupan modal hingga aturan akuntansi, lembaga keuangan Islam
harus mematuhi aturan yang sama seperti bank konvensional.

Pertanyaan yang peneliti coba bahas dalam artikel |adalah apakah standar Basel II
memengaruhi fitur risiko bank syariah. Implementasi aturan tersebut dapat memiliki jenis
dampak yang berbeda pada bank-bank Islam dan konvensional. Mengingat disebutkan
sebelumnya bahwa bank-bank Islam juga haruslah tunduk dengan standar Basel II ini.

Penelitian Sebelumnya

Di satu sisi, beberapa argumen mendukung hipotesis bahwa bank-bank Islam


cenderung dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi. Pertama, profit-loss sharing (PLS) dapat
meningkatkan ketidakpastian pengembalian penabung dan, dengan demikian, dapat
meningkatkan kemungkinan membawa bank pada risiko, seperti yang ditekankan oleh Beck
dkk. pada 2013. Di sisi lain, ada banyak argumen yang mendukung hipotesis bahwa bank
syariah memiliki risiko lebih rendah daripada bank konvensional. Seperti yang peneliti sajikan
dalam artikel yaitu, penelitian Baele dkk pada 2014 yang memberikan bukti yang mendukung
argumen ini dalam perbandingan tingkat kelalaian antara pinjaman Islam dan pinjaman
konvensional pada semua pinjaman bisnis yang diberikan di Pakistan dari 2006 hingga 2008.
Mereka menemukan bahwa tingkat kelalaian jauh lebih rendah untuk pinjaman syariah
daripada pinjaman konvensional. Mereka menafsirkan temuan ini berdasarkan pada konflik
yang dialami oleh peminjam mengenai keyakinan agama mereka ketika gagal membayar
pinjaman Islam.

Penelitian Čihák dan Hesse pada 2010 membandingkan stabilitas keuangan antara
bank-bank Islam dan konvensional untuk sampel lintas negara dari 474 bank dari 19 negara
selama periode 1993–2004. Dalam analisis univariat dan multivariat, mereka menemukan
bahwa bank-bank Islam besar kurang stabil daripada bank-bank konvensional besar, sementara
bank-bank Islam kecil lebih stabil daripada bank-bank konvensional kecil. Oleh karena itu,
perbedaan dalam risiko bank antara bank-bank Islam dan konvensional akan mendukung satu
jenis tergantung pada ukuran bank. Mereka juga mengamati bahwa bank-bank Islam kecil lebih
stabil daripada bank-bank Islam besar. Dengan demikian, selama bank Islam tetap kecil,
mereka akan memiliki keuntungan dalam stabilitas keuangan. Para penulis menyatakan bahwa
mungkin lebih rumit bagi bank-bank Islam untuk memantau pinjaman mereka ketika mereka
menjadi lebih besar karena standarisasi yang lebih rendah dari pengaturan PLS.

Penelitian Abedifar dkk pada 2013 memberikan perbandingan risiko yang lebih luas
antara bank-bank Islam dan konvensional untuk sampel lintas negara dari 553 bank di 24
negara antara 1999 dan 2009. Mereka mempertimbangkan risiko insolvensi dengan skor-z dan
risiko kredit dengan rasio cadangan kerugian pinjaman terhadap pinjaman bruto, ketentuan
kehilangan pinjaman terhadap pinjaman bruto, dan kredit macet terhadap pinjaman bruto.
Selain itu, mereka juga mengukur kemampuan bank syariah untuk menarik sewa lebih tinggi
daripada bank konvensional dengan mempertimbangkan proksi untuk suku bunga: margin
bunga bersih dan suku bunga implisit. Mereka mengamati bahwa bank syariah memiliki risiko
kredit yang lebih rendah daripada bank konvensional. Mereka menemukan bahwa bank-bank
Islam kecil memiliki risiko kepailitan yang lebih rendah daripada bank konvensional kecil,
sejalan dengan hasil penelitian Čihák dan Hesse.

Kesimpulan dapat ditarik dari perbedaan antara bank Islam dengan bank konvensional
jika dilihat dari segi lebih tinggi atau rendahnya risiko. Bukti empiris menyebutkan bahwa bank
Islam kecil cenderung memiliki risiko yang lebih rendah namun untuk bukti mengenai bank
Islam besar masih belum cukup jelas.
METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian
kuantitatif. Peneliti mempertimbangkan periode 2007–2013. Sampel mencakup 24 negara di
mana bank syariah aktif, yang meliputi 411 bank konvensional dan 147 bank syariah. Fokus
pada penelitian ini adalah untuk menyelidiki peran standar Basel II pada hubungan antara
perbankan dan risiko syariah. Variabel yang dijelaskan adalah risiko bank. Untuk mengukur
risiko insolvensi dengan skor-z (Z-score), yang biasa digunakan dalam studi empiris untuk
mengukur stabilitas bank. Berikut merupakan rumus nya :

Selanjutnya, penelitian ini kemudian menggunakan tiga ukuran terkait dengan risiko
kredit yaitu, rasio cadangan kerugian pinjaman terhadap pinjaman bruto (Loan loss reserves)
adalah indikator utama untuk mengukur risiko kredit, Selain itu, menggunakan dua indikator
risiko kredit alternatif antara lain, rasio kerugian pinjaman terhadap pinjaman bruto (Loan loss
provision) dan rasio kredit yang terganggu terhadap pinjaman bruto (Impaired loans).

Informasi tentang keberadaan standar Basel II dikumpulkan dari survei “Peraturan


Bank dan Pengawasan” yang dilakukan oleh Bank Dunia, survei Lembaga Stabilitas Keuangan
(FSI) dari situs web BIS dan bank sentral untuk negara sampel.

Peneliti melakukan regresi efek acak untuk menguji dampak penerapan Basel II pada
profil risiko bank. Spesifikasi ini dimotivasi oleh penggunaan data panel dan fakta bahwa
variabel penjelas Islami konstan dari waktu ke waktu. Persamaan yang diuji adalah sebagai
berikut :
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesimpulan utama pada penelitian ini adalah bahwa standar Basel II berkontribusi
untuk membuat bank syariah lebih berisiko dibandingkan bank konvensional. Mereka
mengurangi risiko insolvensi bank-bank konvensional tetapi meningkatkannya untuk bank-
bank Islam. Mereka memperluas risiko kredit, ketika diukur dengan rasio cadangan kerugian
pinjaman, untuk kedua jenis bank tetapi ke tingkat yang lebih tinggi untuk bank-bank Islam.
Menafsirkan temuan ini dengan fakta bahwa peraturan perbankan konvensional tidak secara
eksplisit dirancang untuk mengurangi risiko yang diambil oleh bank-bank Islam. Akibatnya, ia
berkontribusi untuk mengurangi kebangkrutan dan risiko kredit sebagian besar untuk bank
konvensional dan, dengan demikian, memperlebar jurang risiko antara bank konvensional dan
bank syariah dengan mengorbankan yang terakhir.

Selain itu, aturan Basel II tentang disiplin pasar diharapkan memainkan peran yang
lebih kuat di bank konvensional, sejalan dengan fakta bahwa bank syariah harus mematuhi
prinsip-prinsip agama pada transparansi.

Temuan lainnya adalah bahwa penerapan standar Basel II cenderung membuat bank
syariah lebih berisiko daripada bank konvensional dan apakah temuan ini berdiri terlepas dari
ukuran bank. Temuan pada penelitian ini adalah bahwa dampak yang berbeda dari standar
Basel II pada risiko bank untuk bank-bank Islam dan konvensional tidak dipengaruhi oleh
ukuran bank. Tidak seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan Čihák dan Hesse pada 2010.

Peneliti melakukan tiga estimasi baru. Pertama, mereka menyertakan variabel dummy
negara untuk mengontrol perbedaan negara dan menghapus empat variabel kontrol tingkat
negara (pertumbuhan PDB, peraturan hukum, inflasi, HHI). Mereka kemudian menguji
pengaruh dari perbedaan lintas negara yang konstan pada hasil. Kedua, mereka secara
bersamaan mempertimbangkan variabel dummy negara dan empat variabel kontrol tingkat
negara. Ketiga, kita lewati semua variabel negara. Peneliti hanya melakukan spesifikasi dengan
istilah interaksi Islam × Basel II karena ketertarikan peneliti pada tanda dan signifikansi dari
koefisien ini. Untuk tiga spesifikasi baru dari variabel-variabel negara, mereka mengamati
bahwa istilah interaksi secara signifikan negatif dengan skor-Z, secara signifikan positif dengan
cadangan kerugian Pinjaman, dan tidak signifikan dengan penyisihan kerugian Pinjaman dan
kredit yang terganggu. Oleh karena itu, temuan kunci menemukan bahwa standar Basel II
membuat bank syariah lebih berisiko daripada bank konvensional tidak dipengaruhi oleh set
variabel negara.
KESIMPULAN

Temuan menyimpulkan bahwa standar Basel II memberikan pengaruh pada praktik


perbankan Islam karena pada dasarnya standar tersebut tidaklah diperuntukkan bagi praktik
perbankan Islam. Bank Islam dengan penerapan standar Basel II ditemukan lebih berisiko,
tidak peduli bank Islam itu kecil atau besar.

Anda mungkin juga menyukai