Anda di halaman 1dari 18

PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan


Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif
menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik
ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan
secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui
pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan
sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan
martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke
kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis,
rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang
pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
“pendidikan untuk/ tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan”.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan
merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon
terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural
itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya
seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Bank, salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan
telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan
pendidikan mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah
pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai
penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar
sesama (as inclusive and cementing movement).

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam


program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata
kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus
seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan
peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari
kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada
akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam
masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap
“peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik
pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas,
dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain;
pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang
berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada.
Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat
sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia,
meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan
dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur
kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan
terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik,
agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan
heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang
ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan
tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma,
keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak
memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa
kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya
pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.

Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya,


etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap
yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara,
sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan
demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu
menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah
kelompok.

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara


lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-
recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma
pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic
studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan
sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan
tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi
kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat
menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di
kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya
pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui
bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan
lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme,
agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses
pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan
proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan
masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan
berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan
suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya
dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara
lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman
tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan
global yang dia hadapi.
Multikulturalisme di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat
dihindarkan. Namun pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi
dengan keadaan sosial yang membaik. Bahkan banyak terjadinya ketidak teraturan
dalam kehidupan sosial di Indonesia pada saat ini yang menyebabkan terjadinya
berbagai ketegangan dan konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh adanya
globalisasi banyak terjadi krisis sosial-budaya yang terjadi di masyarakat. Misalnya
seperti merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan
kesantunan sosial. Semakin luasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit
sosial lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan dianggap tempat yang tepat untuk membangun
kesadaran multikulturalisme di Indonesia. Melalui pendidikan multikultural,
diharapkan dapat mewujudkan keteraturan dalam kehidupan sosial-budaya di
Indonesia.
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan multikultural.
Diantaranya adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mengartikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian,
James Banks (1993: 3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai
pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan
adanya kondisi tersebut kita mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa
toleransi.
Seperti definisi di atas, Muhaemin el Ma’haddi berpendapat bahwa pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan.
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap
kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-
kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
James Bank menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
1. Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok
untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran
/ disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami
implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.
4. Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa
yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang
toleran dan inklusif.
Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (objek)
dan sekaligus sebagai subjek pendidikan, oleh karena itu, dalam memahami hakikat
pendidikan perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik.
Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri, yaitu:
1. Peserta didik sedang dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan,
kemauan, dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan
potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.

Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif,


maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan
yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup
pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi
pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini,
kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti:
toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya
diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas,
multikulturalisme, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural
yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal
dengan lima pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme
2. Pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
3. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.
4. Pendidikan dwi-budaya.
5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

B. Pendekatan Pendidikan Multikultural


Merancang pendidikan dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan
permasalahan antar kelompok seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Hal ini
ditambah sulit lagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan
bersifat rasis.
Dalam kondisi seperti ini, pendidikan multikultural diarahkan sebagai advokasi
untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Adapun untuk mencapai sasaran
tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Dan beberapa pendekatan dalam
pendidikan multikultural tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan, atau
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok
etnik.
3. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat
sosialisasi kedalam kebudayaan baru. Pendidikan multikultural bagi pluralisme
budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan dengan logis.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan
kondisi secara proporsional.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai
pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan
apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta
didik.
Keempat pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-
individu yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama serta diikat
oleh kesatuan negara, kebudayaan, dan agama.
Masyarakat mempunyai peranan penting dalam perkembangan intelektual dan
kepribadian individu peserta didik. Sebab, masyarakat merupakan tempat yang
penuh alternatif dalam upaya memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis
multikultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung
jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multikultural. Hal ini
disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu
hal yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan di masa yang akan
datang.
C. Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak awal kemunculannya, pendidikan berbasis multikulturalisme atau
Multicultural Based Education, telah didefinisikan dalam banyak cara dan berbagai
perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan pendidikan
multikultural (multicultural education) seperti yang digunakan dalam konteks
kehidupan di negara-negara barat. Sejumlah definisi tersebut terikat dalam disiplin
ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosial, psikologi, dan lain sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process, and Content mengungkapkan definisi klasik mengenai Multicultural
Based Education yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama yaitu
menekankan esensi Multicultural Based Learning sebagai perspektif yang dialami
oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan
beragam secara kultur. Definisi ini juga merefleksikan pentingnya budaya, ras,
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian
dalam proses pendidikan.
Definisi lain mengartikan bahwa Multicultural Based Education adalah sebuah
visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak
didik. Multicultural Based Education manyiapkan anak didik untuk
berkewarganegaraan dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan
saling terkait.
Multicultural Based Education juga berkenaan dengan perubahan pendidikan
yang signifikan. Ia menggambarkan realitas sosial, ekonomi, dan politik secara luas
dan sistematis sehingga dapat mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam
sekolah dan luar sekolah. Multicultural Based Education memperluas kembali
praktek yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan
pendidikan optimal yang tertolak. Ia membahas pula seputar penciptaan lembaga-
lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis,
yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan, dan keunggulan.
D. Pentingnya Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda
seperti agama, suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya
menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam
kehidupan yang beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan
bangsa Indonesia menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan
dan keragaman masyarakatnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan
kepada anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru
bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan
dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada
anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya
lewat acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam
keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka
hidup dalam perbedaan dan keragaman.
Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di
Indonesia, yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan
orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi
perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai
senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam
kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah
masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk
menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi
pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat
dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip
seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam
masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan.
Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap
yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam
masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai
keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan
adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga
dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.Untuk
mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup
di Indonesia diperlukan pendidikan multicultural.
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar
budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk
demokrasi yang ada seperti sekarang.
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui
dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di
masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai
macam unsur sosial dan budaya. Dengan kata laun, pendidikan multikultural
dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya.
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,
bukan sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi
arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri
dari berbagai macam budaya.
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam
proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi
pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan
model masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya
sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada.
Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-
masing suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
berbagai konflik dari realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal
ini berarti bahwa pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat
kurang. Maka, penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann
berhasil apabila terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi,
tidak bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan
budaya, suku, bahasa, dan lain sebagainya.
Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural dikatakan berhasil
apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan
adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan
multikultural. Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi
yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu
muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan
multikultural juga signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak
meninggalkan akar budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan
dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’
serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik
tersebut hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta
didik tersebut memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan
beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik
perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak
melupakan asal budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap
tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan
memudahkan adanya persentuhan antar budaya. Tantangan dalam dunia
pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya untuk
mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak
ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung
jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut
akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu
membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat
ini. Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu
merupakan sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum
menjadi sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi
pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan
tertentu. Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural
dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti
sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori,
generalisasi, menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur,
proses, dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman
sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar
berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif.
Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan
sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan
keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan
dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat
sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan,
pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa
aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya
merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut
tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara
menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari
terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar
kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan,
kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya,
domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain
yang relevan.
5. Pentingnya Pembelajaran Multikultural pada PAUD
Pentingnya pemberian layanan pendidikan bagi anak usia dini te-lah
memperoleh perhatian dari pemerintah, sebagaimana dirumuskan di dalam
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di
dalam pasal 1 ayat 14 dinyatakan bahwa: pendidikan anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak se-jak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui pembe-rian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkem-bangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Selanjutnya
pasal 28 menyatakan bahwa pendi-dikan anak usia dini diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan
anak usia dini yang diseleng-garakan pada jalur pendidikan formal berbentuk
Taman Kanak-Kanak (TK), Raudlatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang
sederajat. Kemudian pada jalur pendidikan nonformal, pendidikan anak usia
dini diselenggara-kan dalam bentuk Kelompok Bermain (KB), Taman
Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; sedangkan pada jalur
pendidikan informal diselenggarakan dalam bentuk pendidikan keluarga atau
pendi- dikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kedua pasal tersebut me-
ngindikasikan bahwa:
(a) layanan pendidikan perlu diberikan kepada se-mua anak sejak usia dini;
(b) pendidikan formal dan pendidikan nonfor-mal secara sama perlu
memberikan kesempatan kepada anak usia dini untuk memperoleh akses
pendidikan secara layak; dan
(c) untuk mendu-kung keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan anak usia
dini perlu melibatkan masyarakat.
Pelibatan jalur pendidikan nonformal dalam penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini adalah didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Beberapa pertimbangan yang dimaksud itu antara lain:
(a) program yang ditawarkan lebih bersifat fleksibel, yakni program yang
dirancang oleh pendidikan nonformal menyesuaikan diri dengan kebutuhan,
minat, usia, dan kesempatan belajar masyarakat;
(b) melibatkan masyarakat di dalam pengelolaan program;
(c) mengutamakan pendekatan manusia (human approach) dalam
mengembangkan sumberdaya manusia; dan
(d) banyak anak usia dini dari golongan masyarakat kurang beruntung yang
belum memperoleh layanan pendidikan secara layak, sebagai akibat dari
kondisi ekonomi dan ketidak tahuan masyarakat terhadap pentingnya makna
pen-didikan bagi pengembangan potensi anak sejak usia dini, sehingga diper-
lukan pendekatan alternatif dalam memberikan layanan pendidikan.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan pentingnya pendidikan
multikultural diterapkan pada pendidikan nonformal dan pentinya revita- lisasi
nasionalisme melalui pendidikan anak usia dini, yaitu:
a. Masalah krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia setelah runtuh-nya
orde baru berakibat terjadinya disintegrasi sosial, kemiskinan, ke-sengsaraan
sosial, pelanggaran hukum, ketidakadilan, korupsi, kebang-krutan rohani
sehingga perbedaan kultural, pluralisme budaya tidak mendapat tempat yang
semestinya dan pada akhirnya semangat nasio-nalisme mengalami kelunturan.
Dalam kondisi yang demikian peran pendidikan sangat menentukan dalam
merevitalisasi watak calon pemimpin yang mempunyai jiwa nasionalisme yang
tinggi.
b. Pada masa lalu pluralisme kultur, perbedaan budaya, dan perbedaan ras,
suku, jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi kurang mendapat perhatian,
bahkan perbedaan yang ada terkadang dianggap suatu upaya menentang pusat
kekuasaan. Kondisi semacam itu pada era demokrasi sekarang ini perlu
direvitalisasi sehingga integrasi nasional tetap berdiri tegak di bumi Indonesia.
Untuk itu satuan pendidikan mempunyai tugas untuk mengembangkannya
melalui pendidikan multikultural.
c. Masalah disintegrasi wilayah, civil society, dan dwifungsi ABRI me-rupakan
sesuatu yang perlu terus dipecahkan agar integrasi nasional tetap terjaga, peran
masyarakat sipil semakin diperhitungkan, dan ABRI lebih terfokus pada
pengamanan negara.
d. Masalah hak asasi manusia merupakan masalah yang sangat krusial bagi
bangsa Indonesia, karena pada masa lalu hak asasi manusia ku- rang
diperhatikan, bahkan sangat terabaikan sehingga pada masa itu banyak terjadi
pelanggaran hukum dan HAM.
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras,
suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia
yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam
konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam
perubahan di masyarakat yang diakibatkan oleh masuknya berbagai macam budaya
baru dari luar negeri ke Indonesia. Melalui pendidikan multikultural yang
memperkenalkan budaya asli kepada peserta didik diharapkan agar peserta
didik tidak melupakan asal budayanya sendiri.
Namun demikian, pendidikan multikultural tidak hanya dipelajari dalam
pendidikan normal saja. Melainkan pendidikan multikultural itu harus
dipelajari oleh masyarakat luas, secara non formal melalui berbagai macam
diskusi, presentasi. Agar dapat terciptanya masyarakat Indonesia yang tentram dan
damai.
DAFTAR PUSTAKA

Fay, Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural


Approach. Oxrofd:Backwell.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S.
Hernandez, Hilda. 2002. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking
Context, Process, and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall.
Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan (Jakarta: LP3S, 2000).
Choril Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal.
191-196)
Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process, and Content (New Jersey & Ohio: Prentice Hall, 2002)
Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Semarang: Unnes Press, 2009, hal.
100)
Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural Approach
(Oxrofd:Backwell,1996, hal. 20
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasio-nal.
Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai