TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kolelitiasis
2.1.1 Definisi
Kolelitiasis merupakan penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan dalam kandung empedu atau di dalam duktus
koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar terbentuk akibat
batu kolestrol yang terbentuk dalam kandung empedu dan dapat
berpindah ke saluran empedu ekstra empedu dan dapat juga
terbentuk secara primer maupun sekunder. Terdapat tiga jenis batu
yaitu batu kolestrol, batu pigmen dan batu bilirubin, yang terdiri
dari kalsium bilirubinat, dan batu campuran.3
2.1.2 Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika srikat
sekitar 20% penduduk dewasa , diikuti oleh orang kulit putih, dan
orang afro-afrika, Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam
kandung empedu dan jarang dibentuk dalam bagian saluran
empedu dengan insidensi kejadian banyak terjadi batu akibat
kolestrol. Di negara-negara Barat, prevalensi GD diketahui adalah
sebesar 7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada wanita. Di ras Asia ,
angka kejadiannya adalah sebesar 3-15%, sementara pada ras
Afrika hampir tidak ada (kurang dari 5%) dan ras Cina sebesar
4,21-11%. Prevalensi GD juga diketahui tinggi pada kelompok-
kelompok etnis tertentu, seperti 73% pada wanita suku Indian
Pima, 29,5% dan 64,1% pada masing-masing laki-laki dan wanita
suku Indian Amerika, dan 8,9% dan 26,7% pada masing-masing
laki-laki dan wanita Meksiko Amerika. 3
3
2.1.3 Patogenesis
4
2.1.4 Gambaran klinis
Sebanyak 75% orang yang memiliki batu empedu tidak
memperlihtkan gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu
menyumbat aliran empedu, yang seringkali terjadi karena batu
yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus. Penderita batu
empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis akibat
komplikasi dari obstruksi batu. Bentuk akut ditandai dengan nyeri
hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan
atas, nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan. Penderita
dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar – mondir atau
berguling ke kanan dan ke kiri atas tempat tidur. Nausea dan
muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung berjam – jam atau
kembali kambuh setelah remisi partial sering disebut dengan nyeri
kolik. Gejala kolesistitis kronis mirip dengan kosstitis akut, tetapi
beratnya nyeri dan tanda – tanda fisik kurang nyata. Pasien
memiliki riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu ati, atau
flatulen yang berlangsung lama. 3
Pada pemeriksaan fisik ditemukan murphy sign dengan
makna keluhan nyeri bertambah saat pasien menarik nafas.
Ditemukan pula nyeri tekan pada puctum maksium di daerah letak
anatomis kandung empedu. Kadang teraba hati agak membesar dan
sklera ikterik. , bila ditemukan adanya kolangitis dapat ditemui
trias charchot yaitu nyeri abdomen, ikterik dan demam dan
menggigil1
5
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
Leukositosis
Kenaikan biliribin
Fosfat alkali meningkat
Amilase lipase meningkat
Usg
Rontgen kolangipankreatikografi endoskopi retrograd
(ERCP) di papila vater berguna untuk pemeriksaan batu di
duktus koledokus. 1
2.1.6 Penatalaksanaan
Konservatif
6
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang
tinggi2.
c). Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat
populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada
saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksikolat.1 3
Penanganan operatif
a). Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untuk dekompesi dan drainase kandung
empedu yang terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen.
Tinmdakan ini dapat dilakukan pada pasien yang tiudak cukup
memungkinkan kondisinya untuk dilakukan operasi abdominal. Drainase
perkutaneus yang dituntun ultrasound dengan kateter pigtail merupakan
prosedur yang dipilih. Kateter dimasukkan melalui kawat penuntun yang
sebelumya telah dipasang menembus dinding abdomen, hepar, dan masuk
ke dalam kandung empedu. Dengan menggunakan kateter yang melewati
hepar, resiko terjadinya empedu yang merembes dari sekitar kateter dapat
dikurangi. Kandung empedu dapat dibuang jika ada indikasi biasanya
dengan tindakan laparoskopi
7
b) Open cholecystectomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk
cholecystectomy adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh cholecystitis
akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada
pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun
angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
kematian mencapai 0,5 %4.
c) Cholecystectomy laparoscopy
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan
waktu perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi
tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa
dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi
umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor Ductus cysticus dan trauma
Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik
laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas
olahraga.
d) Cholecystectomy minilaparotomy
Modifikasi dari tindakan cholecystectomy terbuka dengan insisi
lebih kecil dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah.4
8
2.2.1 Anestesi umum
Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau
umum
Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk
mengetahui apakah pernah dioperasi dan anestesi.
Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi
anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin
dihindari penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan
gangguan jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia
umum.
9
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar,
sering timbul gangguan sumbatan jalan napas atas
sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia
adalah regional, spinal, atau anestesi umum
endotrakeal.
Posisi pembedahan
o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesis umum endotrakea untuk
menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian juga
pembedahan yang berlangsung lama.
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan
dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian
adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan
o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan
alat elektrokauter.2 5
10
dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin
tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat
anestesika dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin
cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan
sebaliknya pada hipoventilasi.2 5
Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat
anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui
vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat
anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas
setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin
banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.2 5
Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah
arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk
sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
11
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung,
hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah
jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi
dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.2 5
Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal
adanya MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi
alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah
nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.
12
ii. Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan
lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan
apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya 2 5
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan laboratorium
13
Kebugaran untuk anestesia
Masukan oral
14
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.2 5
iii Premedikasi
15
Waktu dan cara pemberian premedikasi:
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
16
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis
2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB, domperidon 4mg 2 5
17
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
18
Induksi intravena
o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi
intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg
atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60
detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis
rendah bersifat anti-analgesi.
Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.
19
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak
< 3 tahun dan pada wanita hamil.
Propofol merupakan obat induksi pilihan
karena non emetogenik dan pemulihannya yang
baik. Propofol memberikan efek samping pasca
operasi yang lebih kecil.
Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium)
dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1
ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
20
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuskulardengan
dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien
tidur. 2 5
Induksi inhalasi
o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi,
asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum
tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau
10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada
prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia
penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat obat
21
inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan
sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium
lebih rendah dan kurang aritmogenik.
22
Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan
thiopental atau midazolam.
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur.
Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita
tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak
beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.
23
2.2.6 Rumatan Anestesi
24
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh
palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang
bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan
laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring
terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
25
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri
dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai
sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan
spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa
napas standar dan lainnya pipa tambahan yang
ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea
dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-
klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal
tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk
paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan
untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-
anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-
dewasa.
26
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi. 2 5
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
27
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas 2 5
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea 2 5
2.2.11 Ekstubasi
28
2.2.12 Penilaian Skor Aldrete
29
biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index
biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan
besarnya tekanan intraabdominal Pada pasien sehat yang akan
menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac
output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum
15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg.
Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac
output sebesar 10 30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi
head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas
tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek
hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung,
tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya
meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian
jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk
kedalam thoraks.Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2 O/18
mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya
vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan
menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada
beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi
dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan
pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai
dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down
sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah
dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki
dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami
penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat
sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian
obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
30
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan
deksmedetomidin dan obat penghambat β mengurangi perubahan
hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara signifikan.
Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik 6
Respon neurohumoral
Mediator –mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR
selama pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin.
Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi
system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin.
Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin
angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan
menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi
31
peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.Katekolamin,
system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua
dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien
yang menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan
fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi
CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya
pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur
laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan
intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga
curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat.
Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg
penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok
dibandingkan posisi anti tredelenburg.Selama prosedur Laparoskopi,
efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang
peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama
beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun
keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu
operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan
berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat
dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari
pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan
intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance
dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space. 6 7
32