Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolelitiasis

2.1.1 Definisi
Kolelitiasis merupakan penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan dalam kandung empedu atau di dalam duktus
koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar terbentuk akibat
batu kolestrol yang terbentuk dalam kandung empedu dan dapat
berpindah ke saluran empedu ekstra empedu dan dapat juga
terbentuk secara primer maupun sekunder. Terdapat tiga jenis batu
yaitu batu kolestrol, batu pigmen dan batu bilirubin, yang terdiri
dari kalsium bilirubinat, dan batu campuran.3

2.1.2 Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika srikat
sekitar 20% penduduk dewasa , diikuti oleh orang kulit putih, dan
orang afro-afrika, Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam
kandung empedu dan jarang dibentuk dalam bagian saluran
empedu dengan insidensi kejadian banyak terjadi batu akibat
kolestrol. Di negara-negara Barat, prevalensi GD diketahui adalah
sebesar 7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada wanita. Di ras Asia ,
angka kejadiannya adalah sebesar 3-15%, sementara pada ras
Afrika hampir tidak ada (kurang dari 5%) dan ras Cina sebesar
4,21-11%. Prevalensi GD juga diketahui tinggi pada kelompok-
kelompok etnis tertentu, seperti 73% pada wanita suku Indian
Pima, 29,5% dan 64,1% pada masing-masing laki-laki dan wanita
suku Indian Amerika, dan 8,9% dan 26,7% pada masing-masing
laki-laki dan wanita Meksiko Amerika. 3

3
2.1.3 Patogenesis

Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat dalam


saluran empedu yang terdapat di saluran awal empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun
percabangan tersebut mungkin terdapat diluar parenkim hati. Batu
tersebut umumnya beru[a batu pigmen yang bewarna coklat, lunak
bentuknya mirip lumpur dan rapuh. Batu kandung empedu dapat
berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Du
dalam perjalannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu
berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbukan
peradangan dinding duktus sistikus dan striktur. 1 3

4
2.1.4 Gambaran klinis
Sebanyak 75% orang yang memiliki batu empedu tidak
memperlihtkan gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu
menyumbat aliran empedu, yang seringkali terjadi karena batu
yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus. Penderita batu
empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis akibat
komplikasi dari obstruksi batu. Bentuk akut ditandai dengan nyeri
hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran kanan
atas, nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan. Penderita
dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar – mondir atau
berguling ke kanan dan ke kiri atas tempat tidur. Nausea dan
muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung berjam – jam atau
kembali kambuh setelah remisi partial sering disebut dengan nyeri
kolik. Gejala kolesistitis kronis mirip dengan kosstitis akut, tetapi
beratnya nyeri dan tanda – tanda fisik kurang nyata. Pasien
memiliki riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu ati, atau
flatulen yang berlangsung lama. 3
Pada pemeriksaan fisik ditemukan murphy sign dengan
makna keluhan nyeri bertambah saat pasien menarik nafas.
Ditemukan pula nyeri tekan pada puctum maksium di daerah letak
anatomis kandung empedu. Kadang teraba hati agak membesar dan
sklera ikterik. , bila ditemukan adanya kolangitis dapat ditemui
trias charchot yaitu nyeri abdomen, ikterik dan demam dan
menggigil1

5
2.1.5 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk penegakan


diagnosa adalah:

 Leukositosis
 Kenaikan biliribin
 Fosfat alkali meningkat
 Amilase lipase meningkat
 Usg
 Rontgen kolangipankreatikografi endoskopi retrograd
(ERCP) di papila vater berguna untuk pemeriksaan batu di
duktus koledokus. 1

2.1.6 Penatalaksanaan

Konservatif

a) Lisis batu dengan obat-obatan


Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimptomatik
tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan
komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan
selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya
ringan sehingga penanganan dapat elektif.
Terapi disolusi dengan asam ursodeoksikolat untuk
melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu
pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga
dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm
dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun1
b). Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi
langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini

6
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang
tinggi2.
c). Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat
populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada
saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksikolat.1 3

Penanganan operatif
a). Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untuk dekompesi dan drainase kandung
empedu yang terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen.
Tinmdakan ini dapat dilakukan pada pasien yang tiudak cukup
memungkinkan kondisinya untuk dilakukan operasi abdominal. Drainase
perkutaneus yang dituntun ultrasound dengan kateter pigtail merupakan
prosedur yang dipilih. Kateter dimasukkan melalui kawat penuntun yang
sebelumya telah dipasang menembus dinding abdomen, hepar, dan masuk
ke dalam kandung empedu. Dengan menggunakan kateter yang melewati
hepar, resiko terjadinya empedu yang merembes dari sekitar kateter dapat
dikurangi. Kandung empedu dapat dibuang jika ada indikasi biasanya
dengan tindakan laparoskopi

7
b) Open cholecystectomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk
cholecystectomy adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh cholecystitis
akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada
pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun
angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
kematian mencapai 0,5 %4.
c) Cholecystectomy laparoscopy
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan
waktu perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi
tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa
dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi
umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor Ductus cysticus dan trauma
Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik
laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas
olahraga.
d) Cholecystectomy minilaparotomy
Modifikasi dari tindakan cholecystectomy terbuka dengan insisi
lebih kecil dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah.4

8
2.2.1 Anestesi umum

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara


sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur
bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang
tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran


2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka 2 5

2.2.2 Pilihan cara anestesi

 Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau
umum
 Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk
mengetahui apakah pernah dioperasi dan anestesi.
Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi
anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin
dihindari penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan
gangguan jiwa sebaikmya dilakukan dengan anestesia
umum.

9
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar,
sering timbul gangguan sumbatan jalan napas atas
sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia
adalah regional, spinal, atau anestesi umum
endotrakeal.
 Posisi pembedahan
o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesis umum endotrakea untuk
menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian juga
pembedahan yang berlangsung lama.
 Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan
dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian
adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
 Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
 Keinginan pasien
 Bahaya kebakaran dan ledakan
o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilah utama pada pembedahan dengan
alat elektrokauter.2 5

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:


 Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke
dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu
tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan
berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial

10
dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin
tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat
anestesika dalam alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin
cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan
sebaliknya pada hipoventilasi.2 5
 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat
anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui
vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat
anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas
setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin
banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.2 5
 Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah
arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk
sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

11
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung,
hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah
jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi
dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.2 5
 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal
adanya MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi
alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah
nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.

2.2.4 Tahapan tindakan anestesi umum


i. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan
faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien
dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu
sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan
bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 2 5

12
ii. Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan
lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan
apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya 2 5

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum


tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai


dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto thoraks.2 5

13
Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk


menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran


fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society
of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia
tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.

 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,


biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam. 2 5

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi


isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

14
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.2 5

iii Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya


adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum
induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin,
H2 antagonis 2 5

15
Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam,


secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada
kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan
yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat
akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum
dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi
bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB

16
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis
2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB, domperidon 4mg 2 5

2.3.5 INDUKSI ANASTESI

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar


menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan


jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun


tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway)


atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong


atau tercabut.

17
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya. 2 5

Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian


pelumpuh otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai
karenan beberapa alasan :
 adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi
 perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea,
dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama
pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah,
menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan
pasien yang tidak diinginkan
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi
lambung selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma
lambung saat insersi trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan
dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral
saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan
keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia,
hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak
dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan
posisi pasien.

18
 Induksi intravena
o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi
intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg
atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60
detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis
rendah bersifat anti-analgesi.
 Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.

19
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak
< 3 tahun dan pada wanita hamil.
Propofol merupakan obat induksi pilihan
karena non emetogenik dan pemulihannya yang
baik. Propofol memberikan efek samping pasca
operasi yang lebih kecil.
 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium)
dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1
ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

20
 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuskulardengan
dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien
tidur. 2 5
 Induksi inhalasi

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen


monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan

o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi,
asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum
tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau
10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada
prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia
penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat obat

21
inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan
sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium
lebih rendah dan kurang aritmogenik.

o Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan
dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi
terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
o Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan
intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
o Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah
(MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan
takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti
isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
o Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

22
 Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan
thiopental atau midazolam.

 Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur.
Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita
tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak
beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.

 Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg


(Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi
tidak menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja.
o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1
mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek
kerjanya -2 menit.
o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
 Cegukan (hiccup)
 Dinding perut kaku
 Ada tahanan pada inflasi paru 2 5

23
2.2.6 Rumatan Anestesi

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau


dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan
(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi
total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan
O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau
enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan. 2 5

2.2.7 Tatalaksana Jalan Nafas

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:


1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring

24
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh
palatum durum dan palatum molle dan dibagian belakang
bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan
laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring
terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

A. Manuver tripel jalan napas


Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus
mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat
dan jalan napas bebas, sehingga gas atau udara lancer
masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat
dipasang jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-
pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung
(naso-pharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi
atau system anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya
dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif
tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut
atau hidung.

25
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri
dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai
sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan
spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa
napas standar dan lainnya pipa tambahan yang
ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea
dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-
klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal
tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk
paru. Laringoskop merupakan alat yang digunakan
untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-
anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-
dewasa.

26
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi. 2 5

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

2.2.8 Indikasi Intubasi Trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam


trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi 2 5

2.2.9 Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot


2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat

27
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas 2 5

2.2.10 Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea 2 5

2.2.11 Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:


a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah
ringan dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari
sekret dan cairan lainnya. 2 5

28
2.2.12 Penilaian Skor Aldrete

Skor Aldrette adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan


pasien yang dilakukan anestesi umum selama observasi di ruang
pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh
tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang
digunakan pada saat observasi di ruang pulih adalah sebagai berikut 2 5

2.2.13 Efek fisiologi laparoskopi


Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2
menghasilkan pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2
dan peningkatan refleks tonus vagal yang bisa berkembang menjadi
aritmia. Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan
penekanan pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan
peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan penurunan
preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan

29
biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index
biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan
besarnya tekanan intraabdominal Pada pasien sehat yang akan
menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac
output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum
15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg.
Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac
output sebesar 10 30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi
head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas
tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek
hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung,
tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya
meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian
jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk
kedalam thoraks.Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2 O/18
mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya
vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan
menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada
beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi
dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan
pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai
dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down
sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah
dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki
dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami
penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat
sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian
obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau

30
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan
deksmedetomidin dan obat penghambat β mengurangi perubahan
hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara signifikan.
Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik 6

Efek Absorbsi Sistemik gas CO2


Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena
absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas
miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi
langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi
arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik
dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin.Hiperkarbia akan
menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko
aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume
tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks,
selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan
tekanan rata–rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada
pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan
kurangnya volume intravaskular.7

Respon neurohumoral
Mediator –mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR
selama pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin.
Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi
system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin.
Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin
angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan
menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi

31
peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.Katekolamin,
system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua
dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien
yang menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan
fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi
CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya
pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur
laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan
intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga
curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat.
Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg
penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok
dibandingkan posisi anti tredelenburg.Selama prosedur Laparoskopi,
efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang
peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama
beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun
keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu
operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan
berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat
dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari
pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan
intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance
dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space. 6 7

32

Anda mungkin juga menyukai