Anda di halaman 1dari 31

Status Ujian

Konjuctivitis

Afif Naufal Akbarsyah, S.Ked.


71 2015 033

Penguji
dr. H. Ibrahim. SpM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul:


Hifema

Oleh
Afif Naufal Akbarysah, S.Ked
71.2015.033

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode November -
Desember 2016.

Palembang, Desember 2016


Pembimbing,

dr. Hj. Ratna Juwita, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan referat,
yang berjudul “Hifema” ini kepada dr. Hj. Ratna Juwita, Sp.M dan terakhir, bagi
semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, rela maupun
tidak rela, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima
kasih atas bantuannya hingga referat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang
telah diberikan mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam referat ini masih banyak kekurangan baik
dalam penulisan maupun isi referat. Karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi sempurnanya referat ini. Penulis berharap referat ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Desember 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….v

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Mata............................................................................................ 3
2.2 Definisi ..................................................................................................... 10
2.3 Epidemiologi ........................................................................................... 10
2.4 Etiologi ..................................................................................................... 10
2.5 Klasifikasi ................................................................................................ 14
2.6 Patofisiologi .............................................................................................. 15
2.7 Manifestasi Klinis .................................................................................... 17
2.8 Penegakkan Diagnosis ............................................................................. 18
2.9 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 19
2.10 Tatalaksana............................................................................................... 19
2.11 Komplikasi ................................................................................................ 22
2.12 Prognosis.................................................................................................. 24

BAB III. KESIMPULAN


Kesimpulan …………………………………………………………………… 25

DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Struktur Bola Mata.......................................................................................... 3
2. Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar ........................................... 7
3. Vaskularisasi pada Bola Mata ....................................................................... 8
4. Vaskularisasi pada Segmen Anterior .............................................................. 9
5. Klasifikasi Hifema Berdasarkan Tampilan Klinis ......................................... 15
6. Mekanisme Perdarahan Akibat Trauma Tumpul Mata ................................... 15
7. Hifema pada 1/3 Bilik Mata Depan dan ½ Bilik Mata depan ........................ 18

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma okuli merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan dan
kebutaan pada satu mata yang dapat dicegah.Trauma okuli dapat dibagi menjadi
trauma tajam, trauma tumpul, trauma kimia, trauma termal, trauma fisik,
extraocularforeignbody,dan trauma tembus berdasarkan mekanisme trauma.Trauma
okuli dapat terjadi diberbagai tempat, di rumah tangga, di tempat kerja,maupun di
jalan raya.1 2
Prevalensi trauma okuli di Amerika Serikat sebesar 2,4 juta pertahun dan
sedikitnya setengah juta di antaranya menyebabkan kebutaan. Di dunia, kira-kira
terdapat 1, 6juta orang yang mengalami kebutaan, 2,3 juta mengalami penurunan
fungsi penglihatan bilateral, dan 19 juta mengalami penurunan fungsi penglihatan
unilateral akibat trauma okuli. Berdasarkan jenis kelamin, beberapa penelitian yang
menggunakan data dasar rumah sakit maupun data populasi, menunjukkan bahwa
laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi. 2
Prevalensi kebutaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui
dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran pada
tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab
kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar
1,5%. 2
Secara umum trauma okuli dapat mengenai jaringan dibawah ini secara terpisah
atau menjadi gabungan trauma jaringan mata. Berbagai jenis trauma okuli dibagi
seperti trauma kimia (ditandai dengan mata terasa sakit atau panas dan dapat merah
disertai kelopak sembab), pendarahn subkonjuctiva (pecahnya pembuluh darah pada
permukaan sklera, tidak sakit dan penglihatan normal), aberasi kornea (rasa sakit
disertai mata berair), fraktur orbita (sakit terutama pada pergerakan bola mata,

1
penglihatan ganda, hifema, sakit penglihatan terganggu), laserasi konjuctiva (sakit,
merah dan kelilipan), laserasi kornea (penglihatan turun dan sakit), benda asing pada
kornea (rasa kelilipan,mata berair, penglihatan terganggu, silau), dan retinopati solar
(penglihatan menurun).6
Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata depan
dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal dari iris atau badan
siliar yang robek. Hifema disebabkan oleh robekan pada segmen anterior bola mata
yang kemudian dengan cepat akan berhenti dan darah akan diabsorbsi dengan cepat.
Hal ini disebut hifema primer. Apabila karena suatu sebab misalnya adanya gerakan
badan yang berlebihan, maka akan timbul perdarahan sekunder atau hifema sekunder
yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.4
Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan
intraokuler, kornea terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan
katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang
signifikan maka setiap dokter harus memperhatikan diagnosis, evaluasi dan
tatalaksana yang tepat bagi hifema untuk mencegah komplikasi yang lebih serius.1,5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan.
Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah; (1) sklera/kornea, (2)
koroid/badan siliar/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat
yang protektif dan kuat disebelah luar, sklera yang membentuk bagian putih mata.3 9

Gambar 1 Struktur Bola Mata

Lapisan bola mata: 6 10


1. Tunika Fibrosa
Tunika fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan
bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera terdiri atas jaringan fibrosa
padat dan berwarna putih. Di posterior, sklera ditembus oleh n.opticus. Lamina
kribrosa adalah daerah sklera yang ditembus oleh serabut-serabut n.opticus,
merupakan daerah yang relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata
oleh peningkatan tekanan liquor cerebrospinalis di dalam tonjolan tubular
spatium subarachnoidea, yang terdapat di sekeliling n.opticus. Jika tekanan
intraokular meningkat, lamina kribrosa akan menonjol ke luar yang

3
menyebabkan diskus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop. Kearah
depan sklera bersambungan dengan kornea yang disebut limbus.
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah
depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:
a. Epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan ini menghambat
pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi
rekuren.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
b. Membran bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
 Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamella yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sadangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

4
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membran Descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.
 Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 μm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium berlapis satu,bentuk heksagonal, besar
20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus dan saraf nasosiliar. Saraf siliar longus berjalan supra koroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman kemudian
melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai
kepada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

2. Tunika Vaskulosa Pigmentosa


Dari belakang ke depan disusun oleh:
a. Koroid
Terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vascular.
b. Korpus siliar (badan siliar)
Korpus siliar ke arah posterior bersambung dengan koroid dan ke
anterior terletak di belakang batas perifer iris terdiri atas korona siliaris,
prosesus siliaris dan muskulus siliaris.

5
 Korona siliaris adalah bagian posterior korpus siliaris dan
permukaannya mempunyai alur-alur dangkal disebut striae siliaris.
 Prosesus siliaris adalah lipatan-lipatan yang tersusun secara radial,
dan pada permukaan posteriornya melekat ligamentum
suspensorium iridis
 M. siliaris terdiri atas serabut-serabut otot polos meridianal dan
sirkular. Serabut meridianal berjalan ke belakang dari area taut
korneosklera menuju ke prosesus siliaris. Serabut-serabut sirkular
berjumlah sedikit dan terletak di sebelah dalam serabut
meridianal.
c. Iris dan pupil
Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang
di tengahnya yaitu pupil. Iris membagi ruang di antara lensa dan kornea
menjadi kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior. Serat-serat
otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.

COA terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris. Pada


bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan siliar.
Bagian dalam jalinan ini yang menghadap ke bilik mata depan dikenal sebagai
jalinan uvea. Bagian luar jalinan ini yang terletak dekat kanalis schlemm
dikenal sebagai jalinan korneoskleral. Serat-serat longitudinal otot siliaris
menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut. Kanal schlemn merupakan kapiler
yang dimodifikasi yang mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu
lapisan sel. Pada dinding sebelah dalam terdapat lubang-lubang sebesar 2 U
sehingga terdapat hubungan langsung antara trabekula dan kanal schlemn. Dari
kanal schlemn, keluar saluran kolektor, 20-30 buah, yang menuju ke pleksus
vena di dalam jaringan sclera dan episkelera dan vena siliaris anterior di badan
siliar.

6
Gambar 2. Anatomi bilik mata depan dan jaringan sekitarnya

3. Tunika Nervosa (retina)


Retina terdiri atas pars pigmentosa di sebelah luar dan pars nervosa di
dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada koroid dan permukaan dalamnya
berkontak dengan korpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan
organ reseptornya. Pinggir anteriornya membentuk cincin berombak disebut ora
serata, yang merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian anterior retina bersifat
non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris
di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi prosesus siliaris dan bagian
belakang iris.
Pada pertengahan bagian posterior retina terdapat daerah lonjong
kekuningan disebut makula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat
yang paling jelas. Di tengahnya terdapat lekukan disebut fovea sentralis.
N.opticus meninggalkan retina kira-kira 3 mm medial dari makula lutea melalui
diskus optikus. Diskus optikus agak cekung pada bagian tengahnya, yaitu
merupakan tempat n.opticus ditembus oleh a.sentralis retina. Pada diskus

7
optikus tidak terdapat sel-sel batang dan kerucut sehingga tidak peka terhadap
cahaya dan disebut sebagai “bintik buta”.
Vaskularisasi Bola Mata
Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri
ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian
intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya
melewati canalis opticus menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah
arteri centralis retina, yang memasuki nervus optikus sebesar 8-15 mm di
belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah arteri
lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas,
cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior
langus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak mata, dan arteri
supra orbitalis serta supra troklearis.

Gambar 3 Vaskularisasi pada Bola Mata

8
Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian
nervus optikus. Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar,
beranastomosis satu dengan yang lain, dan arteri siliaris anterior membentuk
sirkulus arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-
cabang muskularis dan menuju ke musculus rectus. Arteri ini
memvaskularisasi sklera, episklera, limbus, konjungtiva, serta ikut
membentuk sirkulus arteriosus major iris.4,7
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmica superiot
dan inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae, vena siliaris
anterior, dan vena sentralis retina. Vena oftalmica berhubungan dengan sinus
kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan dengan fleksus pterigoideus
melalui fisura orbitalis inferior.3 8

Gambar 4 Vaskularisasi pada Segmen Anterior

9
2.2. Definisi
Hifema didefinisikan sebagai keberadaan sel darah merah di kamera okuli
anterior (anterior chamber). Apabila keberadaan sel darah merah sangat sedikit
sehingga hanya terbentuk suspensi sel-sel darah merah tanpa pembentukan lapisan
darah, keadaan ini disebut sebagai mikrohifema. 9
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk hifema akan
terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh
ruang bilik mata depan. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang
terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai epifora dan
blefarospasme. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah
bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. 1,6

2.3 Epidemiologi 11
Penelitian menemukan 33% dari seluruh trauma mata yang serius
menimbulkan hifema, 80% hifema terjadi pada pria. Perkiraan rata-rata kejadian di
Amerika Utara adalah 17-20/100.000 populasi/tahun. Sering pada pasien yang
berumur kurang dari 20 tahun dan pertengahan 30 tahun. Perbandingan antara pria
dan wanita adalah 3:1. Penyebab tersering akibat benda tumpul. Olah raga penyebab
dari 60% pada populasi anak muda. Penggunaan pelindung mata (lensa polikarbonat
dengan bingkai keras) dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian hifema.
Sekitar 57% pasien trauma mata dengan hifema berlanjut pada kerusakan segmen
posterior dari mata tersebut. Dalam hal ini maka perlu tindakan evaluasi dalam
menilai seberapa besar akibat trauma pada segmen posterior mata.

2.4 Etiologi 15
Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:
1. Hifema traumatik
2. Hifema iatrogenik
3. Hifema spontan

10
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan hifema
akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada umumnya
disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan anak-anak,
pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul yang menghantam bagian
depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya perubahan bola mata berupa
kompresi diameter anteroposterior serta ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intraokular secara transien yang
mengakibatkan terjadinay penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan
badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan
mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera oculi anterior).
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari
proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi intraoperatif
maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan struktur kaya
pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema iatrogenik.
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya
anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua jenis
hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya proses
neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan hematologi.
1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun sikatriks.
Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti retina
yang mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan
faktor tumbuh vaskular (misal: VEGF)2 yang oleh lapisan kaya pembuluh
darah (seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan pembentukan
pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah yang baru pada
umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami ruptur maupun
kebocoran. Kondis ini meningkatkan kerentanan terjadinya perdarahan bilik
mata depan.
2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya
juga melibatkan neovaskularisasi3 seperti yang telah dijelaskan pada poin
pertama.

11
3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand yang mana
terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor anti-
pembekuan. Dengan demikian terjadi proses kecenderungan berdarah.
4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti aspirin
dan warfarin.

Gambar 1 – Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan distorsi
dimensi antero-posterior dan ekuatorial yang mengakibatkan perubahan tekanan
intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur pembuluh darah.
berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:
1. Hifema traumatik
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan
hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada
umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil,
mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul
yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya
perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta

12
ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan
terjadinya penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan badan
silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini akan
mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (kamera okuli
anterior).
2. Hifema iatrogenik
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan
komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini
dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi
yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema
iatrogenik.
3. Hifema spontan
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya
anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan
kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik mata depan
akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun adanya gangguan
hematologi.
 Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemi, maupun
sikatriks. Pada kondisi ini, adanya kelainan pada segmen posterior
mata (seperti retina yang mengalami iskemi, maupun diabetik
retinopati) akan mengeluarkan faktor tumbuh vaskular (misal:
VEGF) yang oleh lapisan kaya pembuluh darah (seperti iris dan
badan silier) dapat mengakibatkan pembentukan pembuluh darah
baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah yang baru pada
umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami
ruptur maupun kebocoran. Kondisi ini meningkatkan kerentanan
terjadinya perdarahan bilik mata depan.
 Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada
umumnya juga melibatkan neovaskularisasi seperti yang telah
dijelaskan pada poin pertama.

13
 Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand
yang mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan
dan faktor anti-pembekuan.Dengan demikian terjadi proses
kecenderungan berdarah.
 Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi,
seperti aspirin dan warfarin.

2.5 Klasifikasi1,9

a) Berdasarkan penyebab hifema dibagi menjadi:


1. hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan siliar akibat trauma
pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi
mata)
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan siliar, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah merah atau pembuluh darah (mis:
juvenile xanthogranuloma)
5. Hifema akibat neoplasma (mis: retinoblastoma)

b) Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2, yaitu;


1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke-2
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma

c) Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard):3


1. Grade 1: darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2. Grade II: darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)
3. Grade III: darah mengisi jampir total COA (14%)
4. Grade IV: darah memenuhi seluruh COA (8%)

14
Gambar 5 Klasifikasi Hifema Berdasarkan Tampilan Klinis

2.6 Patofisiologi1,3,4

Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus,


dan perubahan dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler
secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada bilik mata. Perdarahan
biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri
utama dan cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar.

Gambar 6 Mekanisme Perdarahan Akibat Trauma Tumpul Mata

15
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin
juga menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh
darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris
dan merusak sudut COA. Tetapi dapat pula terjadi secara spontan atau pada patologi
vaskuler okuler. Darah ini dapt bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan
dalam kornea.
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme
hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokuler, spasme pembuluh
darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan
menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke
bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung 4-7 hari. Setelah itu
fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka
plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin
akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi.
Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan debris
peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uvea
skleral.
Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer.
Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya
timbul pada hari ke-5 setelah trauma. Perdarahan biasanya lebih hebat daripada yang
primer. Oleh karena itu sesorang dengan hifema harus dirawat sedikitya 5 hari.
Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi dari bekuan darah terjadi
terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk
regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut COA menuju kanal schlemm sedangkan sisanya akan diabsorbsi
melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim
fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam
lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi berwarna kuning dan disebut

16
hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisi kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai
glaukoma.
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang
berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini
menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut
mata dapat terjadi pada 85% pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya
galukoma sekunder dikemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang dengan
bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi
perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea
dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil
seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10% kasus. Tanda lain yang dapt
ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan
ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan dan robekan), dan ruptur koroid. Atropi papil
dapt terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.

2.7 Manisfestasi klinis,13

Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan


adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA
(dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal, penderita
mengeluh nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), sering disertai
blefarospasme, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargi, disorientasi
atau somnolen.
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk,
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang COA. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra

17
ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
glaukoma. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi
(midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor
pupil.

2.8 Penegakan Diagnosis8


Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan
adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA,
kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari
conjunctiva dan pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan
ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen.

Gambar 7 Hifema pada 1/3 bilik mata depan dan pada ½ bilik mata depan

Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat
dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang
COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis),
dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor pupil.
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah
mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung
dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera
anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder.

18
Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan
trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera
anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan
mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.

2.9 Pemeriksaan Penunjang1,8


a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus
dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b) Konfrontasi: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glaukoma.
c) Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO
normal atau meningkat ringan.

2.10 Tatalaksana 16
Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi
yang terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Demikian pula hal-hal inilah
yang menjadi parameter dalam menentukan apakah pasien perlu dirawat atau hanya
berobat jalan saja. Untuk kasus ringan, penatalaksanaan dapat meliputi terapi
konservatif, seperti:
1. Membatasi aktivitas pasien
2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover
3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala adalah
untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan tidak
menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam evaluasi
harian COA tentang resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan kemajuan
pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan posisi optimal dalam mencegah
kontak sel-sel darah merah dengan korena dan trabekula Fontana.
4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal ini
juga sesuai dengan poin pertama.

19
5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan
asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair
penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID)
sebab dapat menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan perdarahan
sekunder.
6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan
intraokular, serta regresi hifema.

Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk


mengatasi peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian antiglaukoma
topikal, seperti timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog prostaglandin),
serta brimonidin (agonis reseptor 2 tipe perifer). Kesemua agen ini bertujuan untuk
mengurangi produksi akueous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan
intraokular. Apabila masih tinggi, dapat dicobakan pemberian inhibitor enzim
karbonat-anhidrase (CAI) topikal. Tekanan yang belum terkontrol mengindikasikan
pemberian agen lain, yakni CAI sistemik (melalui oral), yakni asetazolamid dengan
dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini terutama digunakan apabila
tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan masih tinggi adalah
pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali sehari
atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per oral. Hal
ini penting apabila tekanan intraokular tetap di atas 35 mmHg meskipun hal-hal di
atas telah dicobakan pada pasien.
Untuk mencegah perdarahan sekunder, dapat diberikan asam aminokaproat /
ACA yang merupakan agen anti-plasmin. Plasmin merupakan enzim yang melisiskan
bekauan darah sehingga dapat mengakibatkan perdarahan ulang. Asam aminokaproat
yang pertama kali diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg dan diberikan setiap 4 jam
(dengan maksimal 30 g setiap hari) melalui oral. Agen ini diberikan selama 5 hari dan
terbukti secara klinis sangat menurunkan kejadian perdarahan sekunder,
dibandingkan dengan pemberian plasebo. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa
asam aminokaproat 50 mg/kg juga sama efektifnya dengan pemberian 100 mg/kg.
Pemberian asam aminokaproat terutama diindikasi pada hifema dengan kurang dari

20
75% COA sebab pada kondisi yang lebih dari ini mencegah lisis dari bekuan darah
dianggap tidak efektif dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder.
Penelitian lanjutan juga menunjukkan pemberian asam aminokaproat secara
topikal juga sama efektifnya, sehingga apabila tersedia agen topikal, agen ini lebih
dianjurkan diberikan secara topikal. Steroid juga terbukti dapat menunjukkan risiko
perdarahan sekunder.4
Pasien diindikasikan rawat inap jika:
1. Pasien mengalami hifema derajat Ii atau lebih, sebab berpotensi terjadinya
perdarahan sekunder
2. Merupakan sickle cell trait
3. Terjadi trauma tembus okuli
4. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan
5. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma

Dalam pasien rawat, perlu dilakukan pemantauan secar a intensif seperti tajam
penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati
apakah terdapat indikasi bedah pada pasien.
Pasien akan menjalani bedah apabila terdapat:
1. Corneal blood staining
2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg lebih
dari 24 jam
3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini
perlu dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun
sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal
4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari
atau lebih meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal
5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan
intraokular lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari meskipun sudah
mendapatkan terapi medik secara maksimal

2.11 Komplikasi 4 5
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah
perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping komplikasi

21
dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan
iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hifema.
1. Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada hifema. Hal
ini disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih berat dibandingkan
hifema awal, yakni dapat mengakibatkan hifema total. Perdarahan sekunder
umumnya terjadi pada hifema derajat 3 dan 4, dan secara umum terjadi pada 22%
kasus hifema, dengan rentang antara 6,5% hingga 38%4. Perdarahan sekunder
disebabkan oleh lisis dan retraksi dari bekuan darah dan fibrin yang telah berfungsi
secara stabil untuk menyumbat pembuluh darah yang mengalami ruptur atau
kebocoran. Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk, dengan
penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau 6/15) yang
mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan dengan yang tidak
mengalami komplikas ini (79,5% vs 64%).
Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan sekunder adalah:
 Sickel cell trait
 Tajam penglihatna saat presentasi <20/200 (6/60)
 Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II
 Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti pada penderita
angina pektoris)
 Penanganan hifema yang lebih dari dua puluh empat jam

2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Adanya darah
dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah
menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma
sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut
bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
3. Hemosiderosis kornea

22
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel
darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke
dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti.
Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai
glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak
selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama
(2 tahun). Insidensinya ± 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan
kebutaan.
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini
akibat dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat
terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi
bedah pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada
pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau
lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama
akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian
bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata
tertutup.
5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.
6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea, uveitis.
Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang mungkin juga
masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada funduskopi gambaran

23
fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak.Hifema
dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih
baik dan tekanan intraokular masih normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA
dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intra okular sehingga mata
terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit
bertambah karena tekanan intra okular lebih meninggi dan penglihatan lebih menurun
lagi.

2.12 Prognosis 16
Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam
penglihatan pasien. Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam penatalaksanaan
pasien dengan hifema.
Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan:
1. Kerusakan struktur mata lain
2. Perdarahan sekunder
3. Komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik

Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk mencapai


tajam penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni grade II memiliki
kemungkinan 60%, sedangkan pada hifema total kemungkinan tajam penglihatan
minimal 6/12 relatif rendah, yakni sekitar 35%.

BAB III
KESIMPULAN

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus
yang jernih.

24
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena
bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi
karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma),
dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).
Penegakan diagnosis hifema berdasarkan adanya riwayat trauma, terutama
mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik
ditemukan adanya perdarahan pada COA, kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia,
penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat
dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau
somnolen.
Penatalaksanaan hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu
perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan
tindakan operasi. Tindakan ini bertujuan untuk : menghentikan perdarahan,
menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder, mengeliminasi darah dari bilik depan
bola mata dengan mempercepat absorbsi, mengontrol glaukoma sekunder dan
menghindari komplikasi yang lain, dan berusaha mengobati kelainan yang
menyertainya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumarsono, Contusio Oculi. 2005. Available at


http://www.portalkalbe/kalbe_ContusioOculi.html. (Diakses tanggal 07
Oktober 2016)

2. Sukartini D, dkk, 2010. The Relation of Onset of Trauma and Visual Acuity
on Traumatic Patient, Vol.7. Jurnal Oftalmologi Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Hal 85

25
3. Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. 1993. Jakarta : Abadi, hal : 314-315.

4. Sheppard J, Crouch E. Hyphema. 2008. Available at


http://emedicine.medscape.com/ophthalmology#anterior. (Diakses tanggal 07
Oktober 2016)

5. Rahman A, 2009. Trauma Tumpul Okuli. Available at http://belibis-


a17.com/2009/10/11/trauma-tumpul-okuli/. (Diakses tanggal 07 Oktober
2016).

6. Ilyas, Sidarta. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3, 2010. Jakarta : FKUI,
hal. 264-265.

7. Riordan-Eva P. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughan & Asbury


Oftalmologi Umum. Edisi 17. 2009. Jakarta: EGC..Hal: 7-19.

8. Ausburger, James. Trauma Mata dan orbita. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Edisi 17. 2009. Jakarta: EGC..Hal: 377-378

9. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Surabaya : FK Unair. Hal:137-139.
10. Snell R. Kepala dan Leher. Dalam: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran.6th ed.Jakarta: EGC.2006.p.684-700.
11. A.Gharaibeh, HI Savage, RW Scherer, dkk. Medical intervention for
traumatic hyphema (Review).USA: The Cochrane Library.2013.
12. Bruce James,dkk. Lecture Notes Oftalmologi. 9th ed. Surabaya: Erlangga
Medical Series.2005.
13. A.Gharaibeh, HI Savage, RW Scherer, dkk. Medical intervention for
traumatic hyphema (Review).USA: The Cochrane Library.2013.

14. Lenihan P, Hitchmoth D. Traumatic Hyphema: A Teaching Case Report.


Maine: Optomrtic Education.2014;39:3.p.110-118.

15. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology. A systematic approach. Seventh


edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011

16. Crouch Jr ER, Crouch ER. Trauma: ruptures and bleeding. In: Tasman W,
Jaeger E. Duane’s ophtalmology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006

26

Anda mungkin juga menyukai