Anda di halaman 1dari 45

MINI CLINICAL EXAMINATION

“NY.NS P2A1 USIA 49 TAHUN POST TAH BSO ATAS INDIKASI


MIOMA UTERI, KISTA OVARI BILATERAL”

Oleh :

Anindita Farhana Balqis 1820221082

Pembimbing :

dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp. An-KAO

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

MINI CLINICAL EXAMINATION

“NY.NS P2A1 USIA 49 TAHUN POST TAH BSO ATAS INDIKASI


MIOMA UTERI, KISTA OVARI BILATERAL”

Disusun oleh:

Anindita Farhana Balqis 1820221082

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Telah disetujui,

Pada tanggal, April 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp.An-KAO


NIP 19791110 201212 1 00
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas

1. Nama : Ny. NS

2. Umur : 49 Tahun

3. Pendidikan : MTS

4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

5. No. CM : 02094536

6. Tanggal Masuk RSMS : 22 April 2019

7. Tanggal Operasi : 23 April 2019

8. Tindakan : TAH BSO

9. Diagnosis : Ny. Ns P2A1 Usia 49 Tahun Mioma


Uteri, Kista Ovarium Bilateral

B. Laporan Pre Operatif

1. Subjektif

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kebidanan RSMS pada tanggal 22 April 2019


dengan keluhan terdapat perdarahan yang hebat, terus-menerus setiap hari
sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, keluhan ini dirasakan sejak
tahun 2010 dan sering mengalami perdarahan sampai pasien melakukan
transfusi, keluhan ini membaik ketika pasien meminum obat dari dokter
dan memburuk setiap datang menstruasi. Perdarahan ini diikuti dengan
terdapatnya benjolan di perut bawah yang semakin lama semakin
membesar. Sakit perut diakui pasien, selain keluhan diatas pasien juga
mengaku nyeri ulu hati. Mual, muntah, pusing, lemas disangkal.
Pasien mengaku keluhan ini datang sejak tahun 2010, dan mulai rutin
melakukan transfusi darah dari tahun 2014. Pasien juga mengaku ketika
muda sering mengalami menstruasi yang tidak teratur, terkadang dalam 1
bulan pasien dapat menstruasi 2x dengan lama 3 minggu. Pasien juga
mengaku mulai tahun 2010 mestruasinya mulai tidak teratur kembali
dalam 1 bulan 2x menstruasi dan dalam sehari tidak terhitung berapa
pembalut yang sudah diganti. Pasien datang ke RSMS tanggal 11 April
2019 untuk melakukan USG dan pasien kembali kontrol pada tanggal 22
April 2019 dan disarankan untuk melakukan tindakan pengangkatan
tumor.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

1) Penyakit Jantung : disangkal

2) Penyakit Paru : disangkal

3) Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

4) Penyakit Ginjal : disangkal

5) Penyakit Hipertensi :diakui sejak tahun 2014 dan


terkontrol

6) Riwayat Alergi : diakui sejak tahun 2014 post


transfusi, pasien mengaku tidak bisa makan makanan ikan atau
makanan laut

7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal

8) Riwayat Asma : disangkal

9) Riwayat Operasi : disangkal

10) Riwayat Trauma : disangkal

11) Riwayat Anemia : diakui

12) Riwayat Trnsfusi : diakui

13) Riwayat minum obat : Amlodipine 5mg, HCT, Captopril


c. Riwayat Penyakit Keluarga

1) Riwayat Kista ovarium : diakui, Ibu Ny. Ns

2) Penyakit Jantung : disangkal

3) Penyakit Paru : disangkal

4) Penyakit Diabetes Melitus : disangkal

5) Penyakit Ginjal : disangkal

6) Penyakit Hipertensi : disangkal

7) Penyakit Alergi : disangkal

8) Riwayat Asma : disangkal

9) Riwayat Penyakit Hati : diakui, Ayah Ny. NS

d. Riwayat Menstruasi

1) Menarche : 13 tahun

2) Lama Haid : + 5 hari

3) Siklus Haid : 30 hari

4) Dismenore : diakui

5) Jumlah Haid : 5-6x per hari

e. Riwayat Menikah

Pasien menikah 1x sejak berusia 18 tahun

f. Riwayat Obstetri

1) Laki-laki 29 tahun lahir di Bidan secara spontan dengan BBL 3100


gram

2) Laki-laki 18 tahun lahir di Bidan secara spontan dengan BBL 2900


gram

g. Riwayat KB
Pasien menggunakan suntik KB setiap 3 bulan, dan sebelumnya KB pil 1
bulan

h. Riwayat Ginekologi

1) Riwayat Operasi : tidak ada

2) Riwayat Keputihan : ada, keputian kadang


berwarna kuning, tidak berbau

3) Riwayat Kuret : pada tahun 2014

4) Riwayat Pendarahan Pervaginam : perdarahan hebat


dimulai 2 minggu SMRS

i. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama


suami dan kedua anaknya dirumah. Suaminya bekerja sebagai pegawai
swasta dengan penghasilan ± Rp5.000.000,00. Suami pasien merokok.
Pola makan pasien 3x dalam sehari dengan lauk pauk dan sayur-sayuran,
pasien menyukai makanan yang berlemak. Seperti gorengan, nasi padang,
dan jeroan hewan.

2. Objektif

KU/ Kesadaran : CM/ E4V5M6

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Laju nadi : 82X/menit

Laju pernafasan : 19x/menit

Suhu : 36.5 C

Berat badan : 70 kg

Tinggi badan : 151 cm

Antopometri : 30,7 kg/m2 (Obese II)


Airway:
Clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 3 jari, TMD 6 cm, mallampati (I), gitang
(-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan napas (-), massa leher (-)

Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA (-)/(-), SI (-)/(-), RC (+)/(+), isokor 3mm/3mm
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : discharge (-), sianosis (-)
- Leher : deviasi trakea (-)
- Thoraks : simetris, jejas (-)
P/ SDV (+)/(+), RBK (-)/(-), RBH (-)/(-), Whz (-)/(-)
C/ S1 > S2, M (-), G (-)
- Abdomen : datar, BU (+) N, defans muscular (-), NT (-), teraba
benjolan sebesar bola di regio hypogastric dan iliaca dextra
sinistra
- Ekstremitas : AH (+)/(+)//(+)/(+), Edema (-)/(-)//(-)/(-)

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 22 April 2019


Hematologi
Hemoglobin : 9.8 L
Leukosit : 5660
Hematokrit : 32 L
Eritrosit : 5.0 x 106
Trombosit : 228.000
PT : 9.7 L
APTT : 38.0 H
Kimia Klinik
SGOT :8L
SGPT : 19
Ureum Darah : 22.30
Kreatinin Darah : 0.95
Glukosa Sewaktu : 139
Elektrolit
Natrium : 141
Kalium : 3.3 L
Klorida : 105

4. Pemeriksaan EKG 22 April 2019

5. Pemeriksaan RO Thorax 22 April 2019


Assesment
P2A1 Usia 49 Tahun Mioma Uteri, Kista Ovarium Bilateral

Usulan ASA : ASA II


Rencana Operasi : TAH BSO
Rencana Anestesi : RA SAB

Planning
Pro TAH BSO tanggal 22 April 2019
Informed Consent
Puasa 7 jam
Inf RL
PRC 2 Kolf
C. Laporan Durante Operasi

Tanggal operasi : Selasa, 23 April 2019


Jam mulai anestesi : 11.00 WIB
Jam selesai anestesi : 13.30 WIB
Kondisi prainduksi
- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4V5M6
- Tekanan darah : 160/90 mmHg
- Heart rate : 80 x/menit, reguler, isi tekanan cukup
- RR : 19 x/menit, reguler, pola napas thorakoabdominal
- Suhu : 36.5 0C
Teknik Anestesi
- Anestesi : Regional Anestesi
- Regional Anestesi : SAB
- Posisi Pasien : duduk
- Area Penyuntikan : L3-L4
- Jarum : spinocaine nomor 27
- Obat Anestesi Lokal : bupivacaine 20 mg
- Keterangan Blok : total blok

Monitoring Durante Operasi


- Tekanan darah, SpO2, dan HR :
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
11.00 160/90 100% 80
11.05 140/90 100% 81
11.10 130/80 100% 95
11.15 120/80 100% 81
11.20 122/80 100% 45
11.25 123/71 100% 47
11.30 111/57 100% 81
11.35 115/57 100% 60
11.40 121/64 100% 64
11.45 123/67 100% 78
11.50 120/70 100% 75
11.55 110/80 100% 87
12.00 112/86 100% 82
12.15 122/76 100% 79
12.30 119/85 100% 76
12.45 110/70 100% 89
13.00 118/70 100% 86
13.15 129/70 100% 67
13.30 130/77 100% 78

- Obat yang masuk :


a. Ondansetron 4 mg
b. Bupivacaine 20 mg
c. Fentanyl 25 mikogram
d. Ketorolac 30 mg
e. Efedhrine 10
f. Asam tranexamat 500mg
g. Vitamin K 20 mg
h. Adona

- Cairan yang masuk :


a. Ringer lactate 500 cc
b. Nacl 1500 cc
c. Tutofusin 500 cc
d. Hes 500 cc

- Transfusi PRC 2 Kolf


- Perdarahan : 700 cc
- Urine output : 100 cc bewarna kuning cerah
Normal urin pasien : 0,5 - 1 cc x 70 kg : 35-70 cc/jam
Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance (M) : 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) : Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) : 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I : ½ PP + M + SO
Jam II : ¼ PP + M + SO
Jam III : Jam II
50 Menit : 5/6 Jam I
EBV : 70 x BB
Perhitungan (BB= 85 Kg):
Maintenance (M) : 2 x 70 kg : 140 cc
Stress operasi (SO) : 6 x 70 kg : 420 cc
Pengganti Puasa : 7 x 140 cc : 980
EBV : 70 x 70 kg : 4.900 cc
Lama operasi (190 menit)
Kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : ½ PP + M + SO
: ½ 980 + 140 + 420
: 1,050 cc
Jam 2 : ¼ PP + M + SO
: ¼ 980 + 140 + 420
: 805 cc
Jam 3 : 400

Total kebutuhan cairan durante op 2,255 cc

Output durante operasi

Jumlah perdarahan = 700 cc


Urine outpur = 100 cc
Total output durante operasi = 800 cc
Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi
Output Cairan Input Cairan
Maintanace + Stress Operasi Durante operasi = 3.000 cc
= 800 cc
Input cairan D.O. = 3.000 cc
Kebutuhan durante operasi
190 menit : 2.255 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


3.055 cc 3.000 cc
Balance Cairan: -055 cc

D. Monitoring Post Op

1. Anamnesa dan Pemeriksaan

Hari,
Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Rabu, 24 S: Pasien mengeluhkan P2A1 usia 49 - IVFD RL 20 TPM
April 2019 perut terasa nyeri, dan tahun mioma - Inj Ceftriaxone 2x1
pkl 14.00 pinggang terasa sakit. uteri, kista gr
mual muntah disangkal ovarium - Inj Kalnex 3x1 amp
bilateral post iv
O: TAH BSO; - Inj Ranitidin 3x1
TD : 120/70 mmHg adesiolisis;ligasi amp iv
Nadi : 88 x/menit arteri uterina
RR : 19 x/menit dextra et sinistra
S: 36.7 C H+1
Kamis, 25 S: pasien mengeluhkan P2A1 usia 49 - IVFD RL 20 TPM
April 2019 yeri perut bawah serta tahun mioma - Inj Ceftriaxone 2x1
pkl 14.00 pinggang uteri, kista gr
ovarium - Inj Kalnex 3x1 amp
O: bilateral post iv
TD : 110/70 mmHg TAH BSO; - Inj Ranitidin 3x1
Nadi : 80 x/menit adesiolisis;ligasi amp iv
RR : 19 x/menit arteri uterina
S: 36.4 C dextra et sinistra
H+2

2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium RSMS Post Op tanggal 24 April 2019

Hematologi
Hemoglobin : 9.0 L
Leukosit : 12670 H
Hematokrit : 28 L
Eritrosit : 3.6 x 106 L
Trombosit : 228.000
MCH : 25.4 L
MCHC : 31.7 L
RDW : 16.4 H
MPV : 11.3
Hitung Jenis

Basofil : 0.1
Eosinofil : 0.0 L
Batang : 0.5 L
Segmen : 90.0 H
Limfosit : 4.5 L
Monosit : 4.9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mioma Uteri

1. Definisi

Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibrimioma, fibroid


ataupun leiomyoma, merupakann neoplasma jinak yang berasal dari otot
rahim dan jaringan ikat di rahim (Benson, P dan Pernll, 2009). Menurut
lokasinya, mioma terletak dilapisan luar, lapisan tengah dan lapisan dalam
rahim. Mioma uteri yang mengakibatkan infertilitas adalah mioma uteri
yang terletak dibagian dalam rahim (lapisan endometrium) mioma tumbuh
dan berkembang pada wanita reproduksi sehingga saat menopause mioma
uteri akan mengecil (Purwoastuti et al, 2015). Menurut The American
College of Obstetricians and Gynecologist mioma uteri dapat tumbuh
dengan cepat atau tetap kecil untuk waktu yang lama atau tumbuh perlahan
selama beberapa bulan bahkan tahun.

Mioma uteri merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi


pada wanita. Mioma uteri merupakan jenis tumor jinak yang paling umum
ditemukan dari berbagai jenis tumor jinak lainnya. Faktor penyebab mioma
uteri tidak diketahui secara pasti. Mioma jarang sekali ditemukan sebelum
usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi, dan hanya
bermanifestasi selama usia reproduksi (Adranansz G, 2011).

2. Epidemiologi

Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan


usia reproduktif, yaitu sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui
secara pasti. Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian
mioma uteri antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan
mioma uteri dengan estrogen. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih banyak
pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5
dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit
berwarna (Prawirohardjo, 2011). Sebuah penelitian di AS dari perempuan
yang dipilih secara acak usia 35-49 tahun, kejadian mioma uteri pada ras
Arfika-Amerika sebanyak 60% pada usia 35 tahun dan >80% pada usia 50
tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian menunjukkan 40% pada usia 35
tahun dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di Indonesia angka kejadian
mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien ginekologi yang
dirawat (Joedosapoetro, 200)

3. Klasifikasi

Menurut letak pertumbuhannya, mioma uteri diklasifikasikan menjadi tiga


yaitu :

Gambar 1. Klasifikasi Mioma Uteri (Ucla, 2018)

a. Mioma Submukosa

Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga


uterus. Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun
dengan ukuran besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan,
tetapi mioma submukosa meski berukuran kecil sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan tindakan
kuretase, ditemukan benjolan (currete bump) dan dengan pemeriksaan
histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor. Tumor jenis ini sering
mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma
submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai
tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan
nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami
torsi, nekrosis, infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus penderita
akan mengalami anemia dan sepsis karena proses tersebut.

b. Mioma Intramural

Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena


pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk
simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai
banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol
dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan
uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung
kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

c. Mioma Subserosa

Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol


pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh
di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.

d. Mioma Intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,
misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri
dari uterus sehingga disebut wondering/ parasitic fibroid. Jarang sekali
ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks
dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri
eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka akan
tampak bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang
tersusun sebagai kumparan (whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang
terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang
mioma ini.

2. Etiologi

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan
diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma
merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik
dari sebuah sel neoplastik tunggal. Tumor ini mungkin berasal dari sel otot
yang normal, dari otot imatur yang ada dalam miometrium atau dari sel
embrional pada dinding pembuluh darah uterus.
Apapun asalnya, tumor mulai dari benih- benih multipel yang sangat
kecil dan teratur pada miometrium. Benih-benih ini tumbuh sangat lambat
tetapi progresif (bertahun-tahun bukan dalam hitungan bulan) di bawah
pengaruh estrogen sirkulasi. Mula- mula tumor berada intramural, tetapi
ketika tumbuh dapat berkembang ke berbagai arah. Setelah menopouse,
ketika estrogen tidak lagi disekresi dalam jumlah yang banyak, mioma
cenderung mengalami atrofi (Llewellyn, 2001)
Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-
15. Ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi
terjadinya mioma uteri, yaitu (Parker WH, 2007) :

1. Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan
sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
2. Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan
mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil,
atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
3. Faktor ras dan genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka
kejadiaan mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor
ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita
mioma.
4. Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan
mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang
setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.

5. Gejala Klinis

tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35-50 pasien.
Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran
dan jumlah mioma. Gejala dan tanda paling sering adalah (ACOG, 2018):

1. Perdarahan uterus yang abnormal.

Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang


paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien
dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami
siklus perdarahan haid yang teratur atau tidak teratur. Menorrhagia dan atau
metrorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri. Perdarahan
abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

2. Nyeri Panggul

Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang disebabkan


oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma
yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan
mioma subserosum. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan
menekan tulang pelvik yang dapat menekan saraf sekitar sehingga
menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan
ekstremitas posterior.

3. Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan
terhadap organ sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan
gangguan berkemih, defekasi maupun dispareunia. Tumor yang besar juga
dapat menekan pembuluh darah vena pada pelvik sehingga menyebabkan
kongesti dan menimbulkan edema pada ekstremitas posterior.

4. Disfungsi Reproduksi

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih


belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri
mengalami infertilitas. Mioma yang terletak di daerah kornu dapat
meyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat
terjadinya oklusi tuba bilateral.

Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus


yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus.

Gangguan implntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma


akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena
kompresi massa tumor.

6. Diagosis

1. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma
lainnya, faktor resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri seperti (Paker WH, 2007)
 Umur: Kebanyakan wanita mulai didiagnosis mioma uteri pada
usia diatas 40 tahun.
 Menarche dini: Menarche dini ( < 10 tahun) meningkatkan
resiko kejadian mioma 1,24 kali.
 Ras: Dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan
Afrika-Amerika memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk
menderita mioma uteri dibandingkan dengan wanita Caucasian.
 Riwayat keluarga: jika memiliki riwayat keturunan yang
menderita mioma uteri, akan meningkatkan resiko 2,5 kali lebih
besar.
 Kehamilan: semakin besar jumlah paritas, maka akan
menurunkan angka kejadian mioma uteri.
 Obesitas: resiko mioma meningkat pada wanita yang memiliki
berat badan lebih atau obesitas berdasarkan indeks massa tubuh.
 Makanan: Dari beberapa penelitian yang dilakukan
menerangkan hubungan antara makanan dengan prevalensi atau
pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa daging sapi,
daging setengah matang (redmeat), dan daging babi
menigkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran hijau
menurunkan insiden mioma uteri. Tidak diketahui dengan pasti
apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubungan dengan
mioma uteri
 Kebiasaan merokok: Merokok dapat mengurangi insiden mioma
uteri. Diterangkan dengan penurunan bioaviabilitas esterogen
dan penurunan konversi androgen menjadi estrogen dengan
penghambatan enzim aromatase oleh nikotin.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat
diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang
tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit. Tumor teraba sebagai nodul
ireguler dan tetap, area perlunakan memberi kesan adanya perubahan-
perubahan degeneratif. Mioma lebih terpalpasi pada abdomen selama
kehamilan Perlunakan pada abdomen yang disertai nyeri lepas dapat
disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada
permukaan tumor (Muzakir, 2008). Pada pemeriksaan pelvis serviks
biasanya normal. Namun pada keadaan tertentu, mioma submukosa
yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada
osteum servikalis. Kalau serviks digerakkan, seluruh massa yang padat
bergerak. Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual
rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur
uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk
memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Pada
kasus yang lain pembesaran yang licin mungkin disebabkan oleh
kehamilan atau massa ovarium (Llewellyn, 2001) Mioma subserosum
dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus. Mioma
intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang
ditegakkan dengan pemeriksaan menggunakan sonde uterus. Mioma
submukosum kadang- kala dapat teraba dengan jari yang masuk
kedalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada pada
permukaan kavum uteri .
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Anemia akibat perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan
zat besi dapat terjadi. Pemeriksaaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah darah rutin terutama untuk mencari kadar Hb.
Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan keluhan pasien. Anemia
merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi.
Kadang beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya
hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian
tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoietin ginjal (Mirza, 2008)
 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaaan dengan USG akan didapatkan massa padat dan
homogen pada uterus. Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai
massa pada abdomen bawah dan pelvis dan kadang terlihat tumor
dengan kalsifikasi. Untuk menghindari kesalahan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan USG pada wanita dengan gangguan
perdarahan atau dengan nyeri perut bawah yang hebat. Pemeriksaan
untuk memperjelas pemeriksaan terhadap dinding dalam uterus
dapat dilakukan dengan sonohisterography yaitu dengan mengisi
cavum uteri dengan larutan saline selama pemeriksaan. Uterus
fibroid ini biasa didiagnosa banding dengan lapisan dinding uterus
yang akan menyebabkan dinding uterus menebal dan terjadi
pembesaran uterus. Dari pemeriksaan USG akan tampak sebagai
penebalan dilihat sebagai area bula dengan batas yang tegas.
Adenoma merupakan proses yang difus sehingga biasanya
dilakukan tindakan histerektomi (ACOG, 2018).

 HSG (Histerosalfingografi)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang
tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil. Histeroskopi
digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika
mioma kecil serta bertangkai sehingga dapat diangkat (ACOG,
2018).
 Sonohysterography
Sonohysterography adalah test di mana cairan dimasukan ke dalam
rahim melalui serviks. Ultrasonografi kemudian digunakan untuk
menunjukan bagian dalam rahim. Cairan memberikan gambaran
yang jelas tentang lapisan uterus (ACOG, 2018).
 MRI
Pemeriksaan ini lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran,
jumlah mioma uteri, namun biaya pemeriksaan lebih mahal. MRI
sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran mioma
tetapi jarang diperlukan. Mioma akan tampak sebagai massa gelap
berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI
dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan
jelas, termasuk mioma (ACOG, 2018).
 Rontgen
Untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada dapat menghambat
tindakan operasi (Marmi, 2010).
 ECG
Mendeteksi, kelainan yang mungkin terjadi yang dapat
mempengaruhi tindakan operasi (Marmi, 2010).

7. Tatalaksana
A. Medikamentosa
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologist
(2018), terapi obat adalah pilihan untuk beberapa wanita dengan diagnosis
mioma uteri, obat-obatan ini dapat mengurangi perdarahan berat.
Pengobatan ini mungkin tidak mencegah terjadinya pertumbuhan mioma.
Solusinya adalah pembedahan. Obat-obat yang digunakan, yaitu :
a. Pil KB dan jenis lain dari metode kontrasepsi hormonal, obat ini
sering digunakan untuk mengendalikan perdarahan hebat dan rasa
nyeri yang ditimbukan oleh mima uteri.
b. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonists, obat ini dapat
menghentikan siklus menstruasi dan dapat mengecilkan mioma uteri.
Kadang-kadang obat ini digunakan sebelum dilaksanakannya operasi
untuk mengurangi risiko perdarahan. Namun, karena agonis GnRH
memiliki banyak efek samping, obat ini digunakan hanya unuk
jangka pendek (kurang dari 6 bulan). Setelah seorang wanita berhenti
menggunakan obat agonis GnRH kemungkinan besar mioma uteri
akan kembali ke ukuran sebelumnya.
c. Progestin-releasing intrauterine device (IUD), pilihan terapi ini untuk
wanita dengan mioma uteri yang tidak merusak bagian dalam rahim.
Dapat mengurangi perdarahan yang berat dan rasa nyeri tetapi tidak
dapat mengobati mioma uteri.
B. Operatif
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologist
pengobatan operatif yang dilakukan, yaitu :
a. Miomektomi, adalah operasi pengambilan fibroid tanpa
pengangkatan uterus. Tindakan ini memungkinkan penderita dapat
memiliki anak. Fibroid biasanya tidak tumbuh kembali setelah
operasi.
b. Histerektomi, adalah pengangkatan rahim. Tindakann histerektomi
total tersebut dikenal dengan nama Total Abdominal Histerektomy
and Bilateral Salpingho Ophorectomy (TAH-BSO). TAH-BSO
adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus,
serviks, kedua tuba fallopi dan ovarium dengan melakukann insisi
pada dinding, perut pada malignan neoplasmic desease, leymioma
dan chronic endometriosis. Seorang wanita dengan mioma uteri tidak
lagi dapat memiliki anak setelah menjalani histerektomi.
8. Komplikasi
Komplikasi dari mioma uteri, yaitu (Prawirohardjo, 2011):
a. Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya
0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua
sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan
histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus
apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran
sarang mioma dalam menopause.
b. Torsi (Putaran Tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian
terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan,
gangguan akut tidak terjadi, hal ini harus dibedakan dengan suatu
keadaan di mana terdapat banyak mioma dalam rongga peritoneum.
Massa mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan
kerana gangguan sirkulasi darah sekitarnya, misalnya terjadi pada mioma
yang keluar dari kavum uteri menuju rongga vagina dapat menimbulkan
metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan yang
disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.
c. Komplikasi lain
Anemia akibat perdarahan, perlekatan pasca miomektomi, dan
dapat terjadinya ruptur uteri (apabila pasien hamil post miomektomi).

B. Kista Ovarium
1. Definisi

Kista Ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit reproduksi


yang banyak menyerang wanita. Kista atau tumor merupakan bentuk
gangguan yang bisa dikatakan adanya pertumbuhan sel-sel otot polos pada
ovarium yang jinak. Walaupun demikian tidak menutuo kemungkinan
untuk menjadi tumor ganas atau kanker. Perjalanan penyakit ini sering
disebut silent killer atau secara diam diam menyebabkan banyak wanita
yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terserang kista ovarium dan
hanya mengetahui pada saat kista sudah dapat teraba dari luar atau
membesar (Depkes RI, 2011). Kista ovarium sering terjadi pada wanita di
masa reproduksinya. Sebagian besar kista ovarium terbentuk karena
perubahan hormonal yang terjadi selama siklus haid, produksi dan
pelepasan sel telur dari ovarium. Kista ovarium adalah suatu kantong berisi
cairan seperti balon berisi air yang terdapat di ovarium kebanyakan kista ini
jinak, sementara sebagian kecil lainnya bisa berupa kista yang ganas. Kista
ovarium yang ganas disebut juga dengan kanker ovarium (Hadibroto, 2009).

2. Klasifikasi

Kista Ovarium dapat terjadi di bagian korpus luteum dan bersifat


non-neoplastik (Yamin, 2008). Ada pula yang bersifat neoplastik. Oleh
karena itu, tumor kista dari ovarium yang jjinak di bagi dalam dua golongan
yaitu golongan non-neoplastik dan neoplastik. Pembagian kista ovarium
berdasarkan neoplastik dan non neoplastik (Ginting M, 2010) :

a. Non Neoplastik

 Kista folikel

Kista ini berasal dari folikel yang menjadi besar semasa


proses atresia folliculi. Setiap bulan sejumlah besar folikel menjadi
mati, disertai kematian ovum, disusul dengan degenerasi dari epitel
folikel. Pada masa ini tampaknya sebagai kista-kista kecil. Tidak
jarang ruangan folikel diisi dengan cairan yang banyak, sehingga
terbentuklah kista yang besa, yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan klinis. Sering terjadi pada masa pubertas, sesudah
slpingektomi.

 Kista korpus luteum


Normalnya, korpus luteum lambat laun mengecil dan
menjadi korpus albikans, kadang-kadang korpus luteum
mempertahankan diri (persisten). Perdarahan yang sering terjadi di
dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan yang
berwarna merah coklat karena darah tua. Frekuensi kista luteum
lebih jarang daripada kista folikel, dan yang pertama bisa lebih bear
dari yang kedua.
 Kista Teka Lutein

Biasanya terjadi pada mola hidrosa, koriokarsinoma, dan


kadang-kadang tanpa adanya kelainan tertentu, ovarium dapat
membesar menjadi kistik. Kista biasaya bilateral dan bisa menjadi
sebesar kepalan tangan. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat
luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukan
luteinisasi, akan tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia.
Timbulnya kista ini adalah pengaruh hormon koriogonadotropin
yang berlebihan dan dengan hilangnya mola atau koriokarsinoma,
ovarium mengecil spontan.

 Kista inklusi germinal

Biasanya terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian


kecil dari epitel germinativum pada permukaan ovarium, besarnya
jarang melebihi diameter 1 cm. Kista ini biasanya kebetulan
ditemukan pada pemeriksaan histologi ovarium yang diangkat
sewaktu operasi.
 Kista endometrium
Kista ini endometriosis yang berlokasi di ovarium.
 Kista stein-levental

Biasanya kedua ovarium membesar dan bersifat polikistik,


permukaan licin, kapsul ovarium menebal dan tampak tunika yang
tebal dan fibrotik pada pemeriksaan mikroskopis.

b. Neoplastik
 Kistoma ovarii simpleks
Kista ini memiliki permukaan rata dan halus, biasanya
bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar, dinding
kista tipis dan cairan dalam kista jernih, terus berwarna kuning.
 Kistadenoma ovarii musinosum
Kemungkinan berasal dari suatu teratoma diamana di dalam
pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen lain. Tumor ini
mempunyai bentuk bulat, ovoid tidak teratur, dengan permukaan
rata berwarna putih kebirubiruan.
 Kistadenoma ovarii serosum
Berasal dari epitel permukaan ovarium, dinding luarnya
dapat menyerupai kista musinosum. Dinding dalam kista sangat
licin, sehingga pada kista yang kecil sukar dibedakan dengan kista
folikel biasa.
 Kista endometrioid
Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada
dinding dalam terdapat satu lapisan sel.

3. Faktor penyebab timbulnya kista ovarium

Penyebab timbulnya kista ovarium adalah terjadinya gangguan


pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofisis, atau indung telur itu
sendiri dan timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus
menstruasi. Menurut suwandy (2012), faktor penyebab timbulnya kista
ovarium yaitu :
a. riwayat kista ovarium terdahulu

b. siklus haid tidak teratur

c. menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)

d. penderita hipotiroid

e. penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi

4. Manifestasi Klinis

Sebagian besar wanita dengan kista ovarium jinak atau ganas dapat
tidak menimbulkan gejala dan diketahui secara kebetulan dengan
pemeriksaan usg atau pemeriksaan panggul rutin (Grabosch, 2018).
Biasanya timbul gejala umum yaitu terdapat tekanan atau nyeri panggul dan
perut bagian bawah, beberapa gejala kista ovarium (Grabosch, 2018):
 Nyeri atau terdapat ketidak nyamanan di perut bagian bawah
 Nyeri hebat akibat puntiran atau ruptur ditandai dengan nyeri
pannggul yang tiba-tiba, tajam dan unilateral; ini dapat dikaitkan
dengan trauma, olahraga, dan koitus. Ruptur kista dapat
menyebabkan tanda-tanda peritoneum, distensi abdomen, dan
perdarahan
 Ketidaknyamanan dengan hubungan intim, terutama penetrasi
yangdalam
 Perubahan buang air besar seperti sembelit
 Tekanan panggul dapat menyebabkan tenesmus atau frekuensi
buang air kecil
 Gangguan pada siklus menstruasi
 Pubertas dini dan menarche dini pada anak kecil
 Gangguan pencernaan seperti mulas, mudah kenyang, nyeri tekan,
konstipasi
 Endometrioma – ini berhubungan dengan endometriosis, yang
menyebabkan trias klasik periode nyeri dan berat dan dispareunia
 Takikardi dan hipotensi – ini mungkin hasil ari perdarahan yang
disebabkan oleh pecahnya kista
 Hiperpireksia, ini dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kista
ovarium, seperti torsi ovarium
 Adneksa atau nyeri tekan serviks

4. Diagnosis Klinik

a. Pemeriksaan ultrasonografi, tes ini menggunakan gelombang suara


untuk membuat gambar organ-organ internal. Alat yang disebut
transduser ditempatkan di vagina atau di perut. Tampilan yang
dibuat oleh gelombang suara menunjukkan bentuk, ukuran, dan
lokasi kista. Pandangan juga menunjukkan apakah kista itu dapat
atau diisi dengan cairan.
b. Tes darah, anda mungkin memiliki tes darah yang mengukur tingkat
zat yang disebut CA 125. Tingkat peningkatan CA 125, bersama
dengan temuan-temuan tertentu dari USG dan pemeriksaan fisik,
dapat meningkatkan kekhawatiran untuk kanker ovarium, terutama
pada wanita yang telah melewati masa menopause. Beberapa tes
darah lainnya juga dapat digunakan untuk membantu
mengidentifikasi apakah suatu massa pada ovarium
memprihatinkan untuk kanker ovarium.

C. TAH-BSO

1. Definisi

TAH-BSO atau Total Abdominal Hysterectomy with Bilateral


Salpingo-Oophorectomy adalah operasi untuk mengangkat rahim dan leher
rahim. Salpingo-ooforrktomi bilateral adalah pembedahan untuk
mengangkat ovarium dan saluran tuba. Histerektomi dan salpingo –
ooforektomi bilateral akan dilakukan selama satu prosedur. Operasi ini akan
mengangkat rahim, leher rahim, ovarium dan tuba falopi. Setelah
histerektomi, pasien tidak akan mengalami menstruasi atau hamil. Jadi TAH
BSO (Total Abdominal Hysterectomy dan Bilateral Salpingo
Oophorectomy) adalah salah satu tindakan operasi Gynecology yang
bertujuan untuk menghilangkan uterus, serviks dan kedua tuba falopi serta
ovarium.

2. Indikasi

Salah satu indikasi untuk dilakukannya TAH BSO yaitu pada pasien
yang menderita menometrorrhagia, menstruasi yang berlebihan atau tidak
teratur yang terjadi selama siklus menstruasi wanita. Menometrorrhagia
adalah salah satu keluhan pada keganasan seperti kanker serviks, fibroid
uteri, perbedaan hormon atau endometriosis. Jika tidak dionbati akan
menyebabkan anemia. Beberapa jenis penyakit yang mengharuskan TAH
BSO, yaitu (Cruz, 2013;Galan N, 2018):

a. Fibroids (tumor jinak yang tumbuh di dalam dinding otot rahim)


b. Kanker serviks, rahim, atau ovarium
c. Endommetriosis, kondisi berupa pertumbuhan sel endometrium di
bagian lain dari rahim
d. Adenomyeosis, kelainan di mana sel endometrium tumbuh hingga
ke dalam dinding rahim (sering juga disebut endometriosis interna)
e. Prolapsis uterus, kondisi di mana rahim turun ke vagina karena
ligamen yang kendur atau kerusakan pada otot panggul bawah
f. Inflamasi pelvis karena infeksi.

Setelah menjalani TAH BSO, seorang wanita tidak lagi


mendapatkan ovulasi dan menstruasi. Hal ini juga berarti berkurangnya
produksi hormon estrogen dan progeteron yang dapat menyebabkan
kekeringan pada vagina, keringat berlebihan, dan gejala-gejala lain yang
umumnya terjadi pada menopause normal. Wanita yang menjalani salpingo-
oporektomi bilateral atau pengangkatan kedua ovarium biasanya juga diberi
terapi pengganti hormon untuk menjaga tingkat hormon mereka (Cruz,
2013).
D. Anestesi
1. Anatomi Dalam Spinal Anestesi

Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebre, yaitu 7 vertebra


servikalis, 12 vertebra thorakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral dan 4
vertebra coccygeus. Disatukan oleh ligamentum vertebralis membentuk
kanalis spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya. Kanalis
spinalis terisi oleh medulla spinalis dan meningen, jaringan lemak, dan
pleksus venosus. Sebagian besar vertebra memiliki corpus vertebra, 2
pedikel dan 2 lamina (Snell, 2006).

Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh


vertebra dilapisi oleh beberapa ligamentum. Tiga ligamentum yang akan
dilalui pada prosedur spinal anestesi teknik midline adalah ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum (Snell,
2006) ligamentum interspinosum bersifat elastis, pada L3-L4, panjangnya
sekitar 6mm dan pada posisi fleksi maksimal menjadi 12mm. Ligamentum
flavum merupakan ligamentum terkuat dan tebal, di servikal tebalnya
sekitar 1,5-3mm, thorakal 3-6mm, sedangkan daerag lumbal sekitar 5-6mm.
Medula spinalis dibungkus oleh 3 jaringan ikat yaitu durameter, arakhnoid,
dan piameter yang membentuk 3 ruangan yaitu, ruangan epidural, subdural,
dan subarachnoid. Ruangan subarachnoid adalah ruangan yang terletak
antara arachnoid dan piameter. Ruangan subarachnoid terdiri dari trabekel,
saraf spinalis, dan cairan serebrospinal. Ruangan subdural merupakan suatu
ruangan yan batasnya tidak jelas, yaitu ruangan potensial yang terletak
antara dura dan membrane arachnoid. Ruangan epidural di definisikan
sebagai ruangan potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum
flavum. Medulla spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau
L2 pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada level
L3. Dibawah level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari
conus medularis yang sering disebut dengan cauda equine terendam dalam
cairan serebrospinal (Snell, 2006)

2. Spinal Anestesi
a. Definisi

Regional anesthesia lebih dipilih dibandingkan general anesthesia.


Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestetika local pada lokasi serat saraf yang menginervasi
regio tertentu, yaitu menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang
bersifat temporer (Mangku Gde, 2010). Jenis-jenis analgesia regional
adalah blok saraf, blok pleksus brachialis, blok spinal subarachnoid, blok
spinal epidural, dan blok regional intravena (mangku Gde,2010).

Anestesi blok subarachnoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah


tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang
subarachnoid di derah vertebra lumbalis yang kemudia akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebre thoracal 4 (Kristanto,
2004).

b. Indikasi (Mangku Gde, 2010; Butterworth et al, 2013)

 untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4


kebawah (daerah papila mmamae kebawah) dengan durasi
operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. Seperti :
• Bedah panggul
• Bedah ekstremitas bawah
• Tindakan sekitar rectum-perineum
• Bedah obstetric-ginekologi
• Bedah urologi
• Bedah abdomen bawah
 Setiap prosedur dimana anastesi regional akan menyebabkan
kondisi nyaman/memuaskan.
 Penyakit paru, dimana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh
pasien. Misalnya operasi tumor paha dengan pasien paru yang
sikapnya terpaksa tidur setengah duduk agar nafas tidak sesak.
 Riwayat reaksi yang tidak baik dengn anastesi umum, misalnya
muntah-muntah cukup lama, pulih sadar terlambat, dan lain-lain.
 Antisipasi masalah-masalah dengan rumatan jalan nafas atau
intubasi.
 Operasi darurat tanpa puasa yang adekuat.

c. Kontraindikasi

kontraindikasi pada teknik anestesi subarachnoid blok terbagi


menjadi dua yaitu kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif.

Kontraindikasi absolut :

• Infeksi pada tempat suntikan : infeksi pada sekitar tempat suntikan


bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
• Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare : karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia
• Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
• Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat
kedalam rongga subarachnoid, maka bisa makin menambah tinggi
tekanan intracranial, dan menimbulkan komplikasi neurologis
• Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang meninm : pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan
lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi
lainnya.
• Pasien menolak.
• Kurang berpengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia.

Kontraindikasi relatif

• Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan


apakah diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan
penyebaran infeksi
• Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal
• Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit
neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
• Kelainan psikis
• Bedah lama : masa kerja obat anestesi local adalah kurang lbih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
• Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi
kearah jantung akibat efek obat anestesi local
• Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
• Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit untuk
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
diakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

d. Obat Anestesi Spinal


Banyak anestesi lokal yang telah digunakan untuk anestesi spinal
dimasa lalu, tapi hanya beberapa yang masih digunakan dimasa sekarang.
Pemberian vasokontriksi tambahan (agonis α-adrenergik, epinefrin (0.1-0.2
mg)) dan opioid meningkatkan kualitas dan/atau memperpanjang durasi dari
anestesi spinal. Vasokonstriksi dapat menghambat pengambilan anestesi
lokal dari CSF dan mungkin memiliki efek analgetik lemah. Opioid dan
klonidin juga bisa diberikan untuk meningkatkan baik kualitas maupun
kuantitas blokade subaraknoid (Butterworth et al, 2013).
Anestesi lokal bergantung pada berat jenis CSF, dimana berat jenis
CSF pada suhu 37 C adalah 1.003-1.008. Cairan anestesi dapat bersifat
hiperbarik, isobarik, atau hipobarik. Hiperbarik berarti berat jenis cairan ini
lebih berat daripada CSF. Biasanya diberikan dextrose untuk membuat
cairan ini menjadi hiperbarik. Hipobarik berarti berat jenisnya lebih ringan
dibandingkan CSF, serta memungkinkan obat anestesi bergerak ke arah atas
(cephalad). Hipobarik dibuat dengan cara pemberian air steril tambahan ke
obat anestesi. Cairan isobarik berarti memiliki berat jenis yang sama dengan
CSF (Reese, 2007).
Bupivicaine hiperbarik dan tetracaine adalah agen anestesi spinal
yang paling banyak digunakan. Keduanya memiliki onset lambat (5-10
menit) dan memiliki durasi panjang (90-120 menit). Meskipun keduanya
menghasilkan level sensorik yang mirip, tetracaine lebih konsisten
menghasilkan blokade motorik dibandingkan dengan bupivicaine.
Pemberian epinefrin tambahan pada bupivicaine memperpanjang durasi
kerja secara sederhana. Akan tetapi, bila diberikan pada tetracaine akan
memperpanjang durasinya hingga 50% (Butterworth et al, 2013).
Lidokain dan prokain memiliki onset relatif cepat (3-5 menit) dan
durasi yang pendek (60-90 menit). Durasi obat-obatan ini hanya akan sedikit
diperpanjang dengan pemberian vasokonstriksi. Meskipun penggunakan
lidokain telah digunakan di seluruh dunia, penggunaannya oleh beberapa
tenaga medis ahli pada anestesi spinal sudah tidak lagi dilakukan karena
menyebabkan CES (cauda equina syndrome) dan transient neurological
symptomps. Pemberian dosis lidokain berulang diikuti dengan kegagalan
blokade harus dihindari. Beberapa penelitian menunjukan maldistribusi
lokal anestesi menyebabkan kegagalan spinal meskipun konsentrasi CSF
adekuat (Butterworth et al, 2013).
Tabel 4. Obat anestesi spinal (Butterworth et al, 2013)

Level anestesi juga bergantung pada posisi pasien selama injeksi dan
langsung setelah injeksi. Pada posisi duduk, blokade dapat tercapai bila
pasien duduk selama 3-5 menit setelah injeksi sehingga saraf lumbar dan
sakral terblokade. Bila pasien langsung berbaring setelah diinjeksikan,
obatnya akan bergerak ke daerah yg lebih tinggi (cephalad) ke wilayah yang
dependen terhadap curva thoracolumar. Anestesi hiperbarik bila
diinjeksikan dengan posisi decubitus lateral lebih bermanfaat untuk
prosedur ekstremitas bawah unilateral. jika anestesi regional dipilih untuk
prosedur operasi meliputi fraktur paha atau ekstremitas bawah, isobarik atau
hipobarik anestesi dapat berguna karena pasien tidak perlu bertumpu pada
bagian yang mengalami patah (Butterworth et al, 2013).

e. Penggunaan Bupivacaine untuk anestesi spinal

Bupivacaine adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki


masa kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi
lokal lainnya, bupivacaine akan menyebabkan blokade yang bersifat
reversibel pada perambatan impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara
mencegah pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel, ke dalam sel.

Penggunaan bupivacaine untuk anestesi spinal pada ketinggian


Thorakal X-XII, adalah 2-3 jam, dan memberikan relaksasi otot derajat
sedang (moderate). Efek blokade motorik pada otot perut menjadian obat
ini sesuai untuk digunakan pada operasi-operasi perut yang berlangsung
sekitar 45 - 60 menit. Lama blokade motorik ini tidak melebih durasi
analgesiknya. Adapun indikasi penggunaan bupivacaine adalah :

 Anestesi Intrathekal (sub-arachnoid, spinal) unutk pembedahan


 Pembedahan di daerah perut selama 45 - 60 menit (termasuk operasi
Caesar)
 Pembedahan dibidang urologi dan naggota gerak bawah selama 2- 3 jam
Dengan kontraindikasi sebagai berikut :

 Hipersensitif terhadap anestesi lokal jenis amida


 Penyakit akut dan aktif pada sistem saraf, seperti meningitis,
poliomyelitis, perdarahan intrakranial, dan demyelinating, peningkatan
tekanan intrakranial, adanya tumuor otak atau di daerah spinal
 Stenosis spinal dan penyakit aktif (spondilitis) atau trauma (fraktur) baru
pada tulang belakang.
 TBC tulang belakang
 Infeksi pada daerah penyuntikan
 Septikemia
 Anemia pernisiosa dengan degeerasi kombinasi sub-akut pada
medulaspinalis
 Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan
secara berkesinambungan
 Hipertensi tidak terkontrol
 Syok kardiogenik atau hipovolemi
 Obstetric paracervical block
 Anestesi Intravena (Bier's Block) dan semua pemberian secara
intravena.

Dosis yang digunakan pada anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20
mg. Penyebaran anestesi tergantung pada beberapa faktor, termasuk di
dalamnya volume larutan dan posisi pasien selama dan setelah penyuntikan
ke rongga sub-arachnoid. Bupivacaine dapat diberikan pada penderita anak-
anak. Hanya perlu dipahami bahwa volume cairan serebrospinal pada bayi
dan neonatus relatif lebih tinggi dibanding orang dewasa, sehingga
membutuhkan dosis/kg yang relatif lebih besar untuk menghasilkan block
pada level yang sama. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak
adalah sebagai berikut:

 0,4 - 0,5 mg/kgBB, untuk bayi dengan BB > 5 kg


 0,3 - 0,4 mg/kgBB, untuk anak-anak dengan BB 5 - 15 kg
 0,25 - 0,3 mg/kgBB, untuk anak-anak > 15 kg

Pada umumnya, hampir semua efek samping yang terjadi pada anestesi
spinal, berhubungan dengan efek blokade pada saraf itu sendiri, bukan
karena efek obatnya, antara lain: hipotensi, bradikardi, sakit kepala setelah
punksi dural. Total blok spinal yang akan menyebabkan terjadinya depresi
kardiovaskuler, yang disebabkan blok pada sistem saraf simpatetis yang
luas, dengan akibat hipotensi, bradikardi, bahkan henti jantung; dan depresi
pernapasan yang disebabkan blokade otot-otot pernapasan, termasuk otot
diafragma.

Cedera neurologis, meskipun sangat jarang, seperti parastesi, anestesi,


kelemahan motorik, hilangnya kontrol sphincter meskipun bersifat
reversibel, tetapi dilaporkan juga adanya gangguan yang bersifat permanen.
Reaksi alergi, meskipun jarang, yang berupa dermatitis alergikan,
bronchospasme dan anafilaksis. Toksisitas sistemik akut, seperti mengantuk
(drowsiness), gelisah, excitement, gugup, pandangan kabur, mual, muntah,
kekakuan otot, sampai kejang hingga hilangnya kesadaran dan henti
jantung. Hal ini biasanya akibat terjadinya penyuntikan ke intravaskuler
secara tidak sengaja, yang ditandai rasa tebal di lidah, light headedness,
dizziness, dan tremor yang diikuti dengan kejang dan gangguan
kardiovaskuler.

f. Teknik anastesi
Blokade neuraxial harus dilakukan hanya bila keseluruhan fasilitias
dan obat untuk keperluan intubasi, resusitasi, dan anestesi umum segera
tersedia. Anestesi regional harus difasilitasi oleh premedikasi pasien yang
adekuat. Suplementasi oksigen dengan face mask atau nasal kanul mungkin
diperlukan untuk mencegah hipoksemia ketika sedasi diberikan
(Butterworth et al, 2013).
Prosesus spinosus pada umumnya dapat diraba dan membantu untuk
menentukan garis tengah. Ultrasound dapat dilakukan ketika tanda tidak
dapat diraba. Proses spinosus servikal dan lumbal hampir horizontal,
sedangkan yang ada di thorax tulang belakang miring ke arah caudal dan
bisa tumpang tindih secara signifikan. Karena itu, untuk blokade epidural di
level lumbal atau cervical jarum diarahkan sedikit cephalad, sedangkan
untuk blokade thorakal kemiringan jarum lebih cephalad lagi untuk dapat
masuk ke ruang epidural. Pada area cervical, prosesus spinosus yang teraba
pertama adalah C2, tapi yang paling menonjol adalah C7. Dengan tangan
diletakan disamping, prosesus spinosus T7 biasanya setinggi sudut inferior
skapula. Garis yang ditarik antara titik tertinggi Tuffer’s line (iliac crest)
biasanya melintasi ruang L4-L5. Garis yang menghubungkan posterior
anterior iliaka akan melintasi S2 (Butterworth et al, 2013).

Gambar 3. Tanda untuk Mengidentifikasi Level


Tulang Belakang (Butterworth et al, 2013).

Posisi pasien dalam pemberian anestesi regional dapat dilakukan


dengan tiga cara: posisi duduk, lateral dekubitus, dan posisi Buie
(Jackknife). Garis tengah anatomi biasanya lebih mudah ditemukan bila
pasien dalam posisi duduk dibandingkan pasien dengan posisi dekubitus
lateral. Fleksi tulang belakang memaksimalkan area target antara prosesus
spinosus dan membuat medula spinalis lebih mendekati lapisan kulit. Posisi
lateral dekubitus dilakukan dengan cara pasien berbaring miring dengan
lutut ditekuk ke arah abdomen atau dada (seperti posisi fetus). Posisi Buie
biasanya digunakan pada prosedur anorektal yang menggunakan anestesi
isobarik atau hipobarik. Kerugian posisi Buie adalah CSF tidak akan
mengalir bebas ke jarum suntik sehingga harus dilakukan aspirasi CSF
untuk memastikan bahwa posisi injeksi tepat (Butterworth et al, 2013).

Gambar 4. Posisi duduk (kiri) dan posisi lateral decubitus (kanan)


(Butterworth et al, 2013)

Sebelum diinjeksikan, pastikan untuk mempalpasi tulang belakang.


Selain itu, posisi tubuh pasien diperiksa untuk memastikan bahwa bidang
belakang tegak lurus dengan lantai. Selanjutnya, prosedur injeksi dilakukan
pada garis tengah. Perlu diingat bahwa prosesus spinosus lebih caudal dari
asal mereka sehingga jarum harus diarahkan lebih keatas (lebih cephalad).
Jaringan subkutan memberikan sedikit resisten terhadap jarum. Semakin
jarum masuk, jarum akan masuk ke supraspinosus dan ligamen interspinal,
terasa ada peningkatan resisten jaringan. Untuk anestesi epidural,
kehilangan resistensi secara tiba-tiba menunjukan bahwa jarum telah
melewati ligamen flavum dan masuk ke ruang epidural. Untuk anestesi
spinal, jarum dimasukan melalui ruang epidural ke ruang subarachnoid,
ditandai dengan mengalirnya secara bebas CSF ke dalam jarum
(Butterworth et al, 2013).
BAB III
KESIMPULAN

1. Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibrimioma, fibroid ataupun


leiomyoma, merupakann neoplasma jinak yang berasal dari otot rahim dan
jaringan ikat di rahim.
2. Kista ovarium adalah suatu kantong berisi cairan seperti balon berisi air
yang terdapat di ovarium
3. TAH-BSO atau Total Abdominal Hysterectomy with Bilateral Salpingo-
Oophorectomy adalah operasi untuk mengangkat rahim dan leher rahim.
Salpingo-ooforrktomi bilateral adalah pembedahan untuk mengangkat
ovarium dan saluran tuba.
4. Pasien Ny. NS usia 49 tahun dengan mioma uteri dan kista ovarium
bilateraldilakukan tindakan TAH BSO pada tanggal 23 April 2019 dengan
Teknik Regional Anestesi.
5. Sebelum pembedahan dilakukan, perlu dilakukan persiaapan preanestes
meliputi, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penentuan
prognosis operasi serta penentuan terapi cairan yang akan digunakan.
6. Prosedur TAH BSO pada Ny. NS, teknik anestesi yang lebih dipilih pada
umumnya adalah anestesi spinal karena memberikan rasa nyaman dan efek
dari anestesia spinal yang mengakibatkan hipotensi melalui blokade saraf
simpatis yang berfungsi mengatur tonus otot pembuluh darah.
7. Anestesi spinal dapat diberikan dengan posisi duduk, lateral decubitus, atau
Buie.
DAFTAR PUSTAKA

American College Obstetricians and Gynecologysts (ACOG), 2018,”Uterine


Fibroids”. https://www.acog.org/-/media/For-Patients/faq074.pdf

American College Obstetricians and Gynecologysts (ACOG), 2018,”Ovarian


Cyst”.

https://www.acog.org/Patients/FAQs/Ovarian-Cysts?IsMobileSet=false#how
Baker PA, Depuydt A, Thompson JMD. 2009. ‘Thyromental Distance
Measurement – Fingers Don’t Rules’. Anaesthesia.

Benson, 2009, Buku Saku Obstetri dan Gynekologi. Jakarta:EGC.

Butterworth, JF, Mackey DC, Wasnick JD (Editor). 2013. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology Fifth Edition. New York: McGraw Hill Education

Cruz, J, D, 2013, Total Abdominal Hysterectomy. The Surgical Tecnologist.


http://www.ast.org/pdf/358.pdf

Downing JW & Baysinger CL. 2008. ‘Lost in Translation: The Mallampati Score’.
Anesthesiology.

Ginting, M, 2010, Klasifikasi Kista Ovarium, Semarang: Unimus.

Hadibroto, 2009, Mioma Uteri. Departemen Obstetri dan Ginekologi. Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Llewellyn, J, D, 2001, Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Hipokrates, Jakarta.

Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anastesiadan
Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta 2010.

Parker WH. 2007. Etiology, Syptomatology and Diagnosis of Uterin Myomas

Prawirohardjo, Sarwono, 2011, Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Snell. R. S, 2006, Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Edisi 6. EGC:


Jakarta.
Soenarjo & Jatmiko HD, 2010, Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi (IDSAI)

Soenarjo & Jatmiko HD, 2010, Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi (IDSAI)

Sutoto J. S. M., 2005, Tumor Jinak pada Alat-alat Genitaldalam Buku Ilmu
Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai