Anda di halaman 1dari 7

AGROFORESTRI SENGON DENGAN RUMPUT ODOT SEBAGAI

OPTIMALISASI LAHAN BERBASIS KEMANDIRIAN PAKAN UNTUK


TERNAK

Ditulis oleh : Azwan Subing Kelana dan Tri Mulyono


Agroteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Pekalongan

I. PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk di dunia membawa konsekuensi pada


peningkatan kebutuhan pangan dan juga kebutuhan akan pakan bagi ternak
sebagai salah satu sumber pangan. Sementara itu lahan pertanian yang dapat
digunakan untuk pembudidayaan tanaman pangan semakin menurun, baik kualitas
maupun kuantitasnya. Berbagai aktivitas pembangunan fisik, seperti pembanguan
permukiman, industri, sarana transportasi dan sebagainya telah banyak
mengurangi luas lahan pertanian. Sedangkan menurunnya kualitas lahan pertanian
disebabkan oleh pengelolaan lahan yang tidak berwawasan lingkungan serta
meningkatnya pengaruh negatif dari berbagai bahan pencemar (ReVelle and
ReVelle, 1992).

Sistem pertanian berkelanjutan merupakan salah satu alternatif untuk


memecahkan masalah instabilitas ketersediaan pangan maupun degradasi
lingkungan. Melalui sistem pertanian berkelanjutan pembudidayaan tanaman
dilakukan dengan menyertakan upaya untuk: mempertahankan dan meningkatkan
hasil panen dalam jangka panjang, menurunkan tingkat kerusakan lahan,
mempertahankan proses-proses seperti yang terjadi pada ekosistem alami serta
mempertahankan keanekaragaman hayati, termasuk keanekaragaman tanaman
yang dibudidayakan (Sugito, 1997; Lal & Ragland, 1993). Wanatani atau
agroforestri merupakan salah satu sistem pembudidayaan tanaman yang dapat
dikategorikan dalam sistem pertanian berkelanjutan. Dalam sistem ini selalu
diusahakan dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama, dimana salah satu
jenisnya adalah tanaman perenial berkayu atau tanaman kehutanan. Dengan
demikian dari sistem pengelolaan lahan ini akan didapatkan dua atau lebih hasil
panen dalam satu periode pengusahaan lahan (Marsono, 1999; Young, 1997; Nair,
1993). Di samping selalu memperhatikan prinsip-prinsip produktivitas, sistem
wanatani juga menekankan aspek sustainabilitas dan adaptabilitas.

Sistem wanatani dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok


berdasarkan: struktur sistem (komponen penyusun), fungsi sistem, zona ekologi
dan skala sosio-ekonomi. Berdasarkan komponen utama yang dikelola di dalam
sistem wanatani, maka dikenal sistem agrisilvikultur, silvopastoral dan
agrosilvopastoral.

II. ISI
1) Sengon

Sengon (P. falcataria) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang
akhir-akhir ini ditanam secara meluas di Indonesia dalam program penghijauan
yang dikenal dengan program sengonisasi (Poerwowidodo, 1991). Kelebihan
tanaman sengon dibanding jenis lain adalah kegunaannya yang luas,
pertumbuhannya cepat serta mudah pengelolaannya. Tujuan utama penanaman
sengon adalah sebagai penghasil kayu bangunan, di samping itu juga untuk
perbaikan atau rehabilitasi lahan-lahan kritis, sebagai tanaman peneduh dan
penghasil pakan ternak (Atmosuseno, 1998; Prajadinata dan Masano, 1994).

Sengon termasuk anggota tanaman Leguminosae yang mampu


bersimbiosis dengan Rhizobium dan Mycorhiza sehingga mempunyai peran
positif bagi kesuburan tanah. Di samping itu, dengan tajuknya yang berbentuk
kubah, helaian daun kecil-kecil dan digugurkan sepanjang tahun maka tanaman
sengon memberikan kesempatan bagi pertumbuhan tanaman di bawah
tegakannya, karena masih cukupnya intensitas cahaya matahari yang menembus
tajuk serta besarnya suplai baha organik yang dapat berfungsi sebagai pupuk
alami.

Penelitian Sudomo dan Widiyanto (2014), menjelaskan bahwa produksi


kacang tanah pada perlakuan pemberian serasah pangkasan sengon (1146,8kg/ha)
atau lebih besar 7,8% dibandingkan kontrol/tanpa pemberian serasah sengon
(1063,6 kg/ha). Hal ini disebabkan jatuhan serasah hanya merupakan siklus hara
(perpindahan nutrisi) sehingga peningkatan kesuburan tanah oleh serasah tegakan
memerlukan proses panjang sampai tegakan mencapai ukuran besar dan
pertumbuhan yang mulai melambat dengan siklus tertutup.

Legume seperti sengon sebagai pupuk hijau langsung dibenamkan ke


dalam tanah, cepat terdekomposisi, hara segera tersedia bagi tanaman, bermanfaat
besar mempertahankan dan meningkatkan kemampuan tanah (Firmansyah, 2011).
Dengan demikian sengon sangat ideal terintegrasikan dalam sistem agroforestri
(Uddin, et al. 2009), memiliki potensi besar dalam mempertahankan produktivitas
lahan (Mutua, et al. 2014). Potensi sumbangan hara akan semakin besar dan
segera tersedia bila dilakukan pemangkasan. Bahan pangkasan berupa daun dan
ranting dapat digunakan sebagai mulsa, pada awal berperan memperlemah
hempasan airhujan, mencegah peningkatan suhu tanah, dan meningkatkan
penyimpanan air (Mutua, et al 2014).

2) Rumput Odot
Sebagai perternak, menyediakan pakan yang secara continue merupakan
suatu keharusan. Salah satu solusi hijauan pakan ternak yang dapat
dikembangkan yaitu rumput gajah jenis cvmott (Pennisetum purerium) cvmott,
atau lebih umum dikenal dengan sebutan Rumput Odot. Jenis rumput ini belum
banyak diketahui masyarakat kita, padahal mempunyai potensi yang sangat tinggi
rumput odot sebagai pakan ternak seperti sapi, kambing, domba dll. Rumput odot
sebagai pakan ternak jenis ini berbeda dari rumput Gajah (king grass) yang
umumnya ditanam dan dibudidayakan oleh para peternak sekarang ini. Rumput
gajah atau king grass umum tingginya sekitar 4,5 m, sedangkan rumput odot
hanya dapat mencapai 1 meter, rumput odot ini sangat mirip dengan pandan yang
daunnya rapat-rapat. Dengan keadaan seperti ini, rumput odot sangat efisien
dalam hal pemakaian lahan untuk penanaman. Untuk lahan 1 meter persegi
rumput gajah biasa hanya menghasilkan sekitar 29,5 kg/ha/tahun, maka rumput
odot bisa mencapai sekitar 36 kg/tahun. Hampir semua bagian rumput odot bisa
dimakan oleh sapi, sedangkan rumput gajah biasa hanya sekitar 60-70 % saja
(Purwawangsa & Bramanda, 2014).
Berdasarkan hasil uji analisis lab, kandungan nutrisi, rumput odot juga
memiliki persentase protein yang tinggi, yaitu dalam kisaran 17-19% dan Total
Digestable Nutrient mencapai 64,31% dari bahan kering ditambah lagi persentase
lignin hanya 2,5% dari bahan kering. Hal ini menunjukkan potensi Rumput Odot
sebagai hijauan pakan ternak mampu mencukupi kebutuhan nutrisi ternak. Karena
itu rumput odot sangat baik sebagai pakan ternak untuk pemeliharaan jangka
panjang (lebih dari 6 bulan) baik dengan hanya menggunakan pakan hijauan saja
ataupun untuk penggemukan yang dipadukan dengan pakan konsentrat.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa peneliti IPB, dan uji coba tanam yang
dilakukan Qiara Intsitute yang dikelola para dosen serta alumni IPB, produksi
rumput Odot bisa mencapai lebih dari 60 ton per ha. Panen pertama pada usia 3-4
bulan, selanjutnya dapat dipanen setiap 50-60 hari. Rumput odot dapat disimpan
sampai 3 hari tanpa perlakuan khusus, dan masih bisa disantap sapi dengan lahap.
(Purwawangsa & Bramanda, 2014)
Budidaya rumput odot, seperti halnya rumput pada umumnya, relatif
sangat mudah. Bisa tumbuh disembarang tempat. Oleh karena itu, budidayakan
dalam skala luas hendaknya tidak dilakukan di lahan produktif yang selama ini
digunakan untuk budidaya tanaman pangan. Banyak lahan tidur atau lahan yang
belum digarap dan hanya ditumbuhi oleh semak belukar bisa digunakan untuk
mengembangkan rumput odot ini. Pengembangan Rumput Odot juga bisa
dilakukan melalui sistem tumpang sari dengan pohon kehutanan seperti sengon
(Paraserianthes falcataria). Penelitian di demplot milik Yayasan Qiara Institute di
Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa produksi Rumput Odot
tetap optimal walaupun di tanam di bawah tegakan Sengon dengan jarak tanam
minimal 4x4 meter. Teknik tumpang sari ini tidak membutuhkan lahan tambahan,
dan dapat meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan kalkulasi antara
produktivitas rumput odot, masa panen dan jumlah pakan ternak yang dibutuhkan,
untuk menjamin pasokan kontinyu bagi 100 ekor sapi bakalan diperlukan
penanaman rumput odot seluas 4-5 ha. Cukup berat memang jika lahan tersebut
harus disediakan sendiri oleh peternak. Untuk mengatasi hal tersebut, para
peternak dapat bermitra dengan para pemilik atau penggarap lahan. Para petani
pemilik lahan berperan sebagai penyedia lahan dan pemelihara rumput, sedangkan
peternak sebagai pembeli rumput dan penyedia modal (Purwawangsa &
Bramanda, 2014).
III. PENUTUP
Sengon sebagai tanaman legume mampu mempertahankan dan
melestarikan kesuburan tanah dengan bersimbiosis dengan bakteri rhizobium dan
mikoriza serta mampu menyediakan bahan organik bagi tanah yang mampu
meningkatkan kesuburan dan daya ikat tanah terhadap air. Disisi lain rumput odot
selain sebagai pakan hijauan ternak yang mempunyai nilai gizi yang tinggi juga
mampu mencegah erosi dan leaching karena perakarannya mampu mengikat
tanah dan rimbunan daunnya menjadi penutup tanah yang baik sebagai pelindung
dari erosi air hujan.

Pengembangan penanaman agroforestri sengon dengan rumput odot,


diharapkan bisa mendukung program kemandirian usaha bagi para petani dan
peternak melalui usaha kolektif pemanfaatan lahan untuk produksi kayu
ketersediaan pakan yg lebih murah dan bermutu, selain itu akan menekan biaya
pemeliharaan ternak akan menumbuhkan gairah petani dan peternak untuk lebih
mengoptimalkan fungsi lahan sebagai sumber usaha pendapatan yang menjanjikan
dan berkelanjutan.

Hasil yang positif dari sistem penanaman agroforestri antara sengon


dengan rumput odot ini tentunya membawa harapan yang segera muncul,
diantaranya berupa peningkatan produktivitas lahan tidak dipakai, terbukan
lapangan kerja di daerah pedesaan dan peningkatan pendapatan bagi para petani
maupun peternak, serta secara tidak langsung mampu meningkatkan produktivitas
penggemukan ternak dalam upaya mewujudkan ktersedian pangan lokal secara
mandiri dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Atmosoeseno, BS. 1998. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta:


Penerbit Swadaya
Firmansyah, M.A. 2011. Peraturan Tentang Pupuk, Klasifikasi Pupuk Alternatif
Dan Peranan Pupuk Organik Dalam Peningkatan Produksi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Lal, R and J Ragland. 1993. Agricultural Sustainability in The Tropics. In:
Technologies for Sustainable Agriculture in The Tropics. (Eds. Ragland, J
and R Lal). Madison: ASA Special Publication no. 56.
Marsono, D. 1999. Konsep, Penerapan dan Prospek Agroforestry. J. Konservasi
Kehutanan 1(1): 1-12.
Mutua J., J. Muriuki, P. Gachie, M. Bourne, and J. Capis. 2014. Conservation
Agriculture With Trees: Principles and Practice. World Agroforestry
Centre (ICRAF).
Nair, PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. London: Kluwer Academic
Publishers.
Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah Dalam Pembangunan Hutan Tanaman.
Jakarta: Rajawali Press.
Prajadinata, S dan Masano. 1994. Teknik Penanaman Sengon (Albizia falcataria
L. Fosberg). Bogor: Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.
Purwawangsa, Handian dan Bramada W.P. 2014. Pemanfaatan Lahan Tidur untuk
Penggemukan Sapi. Bogor: Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan
Vol. 1 No. 2, Agustus 2014: 92-96 ISSN : 2355-6226
ReVelle, P and C ReVelle. 1992. Global Biodiversity Strategy. New York: WRI-
IUSN-UNEP.
Sudomo, A., dan A. Widiyanto. 2014. Pengaruh Pemberian Pangkasan Sengon
Terhadap Pertumbuhan Sengon dan Produksi Kacang Tanah dalam Sistem
Agroforestry. Jurnal Penelitian Agroforestry (BPTA). 2: 1-18.
Uddin, M.B., S.A. Mukul, M.A. Khan, M.A. Hossain. 2009. Seedling response of
threeagroforestry tree species to phosphorous fertilizer application in
Bangladesh: growth and nodulation capabilities. Journal of Forestry
Research 20(1): 45−48. DOI 10.1007/s11676-009-0007-1
Young, A. 1997. Agroforestry for Soil Management. New York: CAB
International.

Anda mungkin juga menyukai