BAGI FASILITATOR
DENGAN SASARAN ORANG TUA DAN REMAJA
DISUSUN OLEH
YUSI RIKSA YUSTIANA
TEMPAT
Program di laksanakan di sekolah ataupun di tempat umum yang dimiliki oleh
masyarakat di sekitar sekolah
TEKNIK
Curah fikir, konsultasi, bimbingan dan konseling, penyuluhan, pelatihan,
penyebaran informasi melalui media komunikasi, pengadaan aktivitas atau
kegiatan pengembangan bakat dan minat serta apresiasi.
PELAKSANA
1. TIM SATGAS SEKOLAH : siswa, guru, pimpinan sekolah, orang tua, staf
tata usaha, alumni
2. TIM SATGAS SEKOLAH DAN MASYARAKAT : Tim satgas sekolah,
tokoh agama, tokoh masyarakat, pimpinan masyarakat, aparat keamanan,
departemen atau dinas pemerintah terkait, warga masyarakat,
pengusaha, LSM, lembaga atau institusi formal maupun non formal yang
ada di masyarakat yang peduli terhadap program pencegahan dan
penanngulangan nafza.
EVALUASI
1. Evaluasi proses, yaitu monitoring dan evaluasi terhadap keterlibatan dan
partisipasi pada kegiatan / program
2. Evaluasi hasil adalah dampak pelaksanaan program terhadap ketahanan
sekolah, ketahanan lingkungan serta ketahanan individu terhadap
intervensi nafza.
ADMINISTRASI
1. Pemasangan papan sekolah bebas nafza
2. penyiapan dan mengisian berbagai format monitoring dan evaluasi
program
3. pelaporan pelaksanaan program pada warga sekolah dan warg msyarakat
di lingkungan sekolah secara berkala.
B. MATERI
SEKOLAH BEBAS NAFZA
Penggunaan Nafza atau narkotika dan zat aditif pada saat ini meningkat
sangat tinggi. Pengguna nafza melebar dan meluas pada berbagai tingkatan
usia maupun strata masyarakat. Pengedaran nafza tidak hanya terbatas pada
kalangan dan tempat tertentu, tetapi sudah menjadi transaksi bebas.
Bahaya yang ditimbulkan oleh nafza terhadap pengguna sangat besar,
karena tidak hanya merusak secara fisik tetapi juga merusak individu secara
mental. Kerusakan yang ditimbulkan secara individual orang perorang
pemakai dan pengedar pada suatu saat akan menjadi perusak bangsa dan
hilangnya satu generasi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi sebagai agen
penerus dan penjaga sistem nilai serta pembaharu masyarakat sudah
selayaknya memiliki visi dan misi yang jelas dan tegas terhadap berbagai
intervensi berkenaan dengan nafza. Visi dan misi dijabarkan dalam program
yang tersusun secara sistematis dengan melibatkan semua unsur di dalam
sistem sekolah serta mengembangkan jaringan kemitraan dengan
masyarakat di lingkungan sekitar sekolah.
Dasar hukum penanganan masalah nafza adalah UU no 22 tahun 1977
tentang nafza dan psikotropika serta kepres No. 116 tentang badan
koordinasi narkotika Nasional. Secara empirik menurut catatan kanwil
Depsos tercatat korban nafza di Jawa Barat 2942(per juni 1999). Bahaya
nafza bagaikan gubung es diprediksi apabila ditemukan 1 orang berarti
terdapat 10 korban maka jumlah korban narkotika adalah 10 kali lipat.
Pengguna narkotika sebagian besar (90 %) adalah remaja , 68 % diantaranya
berpendidikan SD sampai dengan SMU sekitar usia 13-15 tahun.
Tujuan umum program adalah mengembangkan ketahanan diri secara
individual, ketahanan sekolah serta ketahanan masyarakat terhadap berbagai
intervensi nafza. Program dapat berupa pencegahan dan penanggulangan
nafza maupun pengembangan berbagai aktivitas bersifat edukatif yang
meningkatkan ketahanan individu, sekolah maupun masyarakat terhadap
intervensi nafza.
Tujuan khusus yang dicanangkan sekolah terbagai dalam tujuan yang
bersifat preventif antara lain : deteksi dini siswa pengguna nafza,
mengembangkan jaringan anti nafza, atau pusat pengembangan potensi
siswa; bersifat kuratif antara lain : penyembuhan korban nafza, Bantuan
konsultasi nafza, investigasi korban nafza; serta bersifat developmental
antara lain mendidik siswa pasca penyembuhan, penyuluhan bahaya nafza
oleh mantan pemakai. Tujuan khusus yang ditetapkan harus memperhatikan
kemampuan sekolah sendiri melaksanakannya. Dalam kapasitas sebagai
lembaga pendidikan formal, secara fungsional program sekolah bebas nafza
lebih berorientasi prefentif dalam arti melalukan berbagai upaya agar
intervensi nafza terhadap generasi muda tidak berkembang. Tujuan yang
bersifat kuratif dan development memerlukan tambahan kemampuan dan
keterampilan personil di dalamnya tentang penanngulangan nafza.
Sekolah dapat menspesifikasi diri dalam lingkup program sesuai dengan
kemampun serta misi dan visi yang diemban oleh sekolah, antara lain :
1. pengembangan bakat, minat dan kemampuan generasi muda. Sekolah
menyediakan berbagai aktivitas yang dapat dipilih dan diikuti siswa untuk
menyalurkan bakat dan kemampuan. Generasi muda yang terlibat dalam
aktivitas yang positif dipredikasi tidak akan memiliki peluang untuk
berminat terhadap nafza. Secara psikologis individu yang memiliki rasa
aman, nyaman serta berada pada kondisi yang menyenangkan akan
memiliki kepercayaan diri dan ketahan mental. Kegiatan bersifat
ektrakurikuler tetapi berada tanggung jawab dan jadwal yang ditetapkan
sekolah, sehingga monitoring dan evaluasi kegiatan mudah dilaksanakan.
Jenis kegiatan dapat dalam dimensi organisasi kepemimpinan dan disiplin
seperti Pramuka, Paskibra, PMR, Polisi Sekolah; Olah raga seperti
sepakbola, Bola Voli, Basket, Atletik, catur, panjat tebing, senam serta
permainan bola besar maupun bola kecil lainnya; Ilmiah dan bidang studi
seperti Kelompok ilmiah remaja, klub bahasa, klub sosial, orbit; Beladiri
antara lain karate, PD, Tajimalela, Satria nusantara; Keterampilan seperti
antara lain : pertanian, keputrian, elektro; Pencinta alam; dan lain
sebagainya. Pemanfaatan waktu luang dengan kegiatan yang positif dan
bermanfaat serta memilih lingkup pergaulan dalam koridor kelompok atau
organisasi formal maupun informal yang memiliki tujuan pengembangan
potensi diri dalam dimensi sosial merupakan kunci menghindari
keterlibatan penyalaggunaan nafza pada remaja dan generasi muda.
2. peningkatan pemahaman dan pelaksanaan ibadah keagamaan, moral dan
etika. Penyelenggaraan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan
kompetensi regius yang dimiliki siswa perlu dilakukan. Siswa yang
memiliki kompetensi religius akan dapat mengelola diri dan memiliki
pertahanan diri terhadap intervensi berbagai tindak atau perilaku yang
tidak baik termasuk penyalah gunaan nafza. Selalu mengingat Tuhan
Yang Maha Esa serta melaksanakan ritual ibadah keagamaan dengan
kesadaran akan kebutuhan ibadah tersebut bagi ketenangan diri
merupakan benteng yang kuat bagi diri menahan keterlibatan maupun
kembali terlibat pada nafza. Remaja dengan landasan religius yang tinggi
memiliki peluang yang lebih kecil untuk terlibatan penyalahgunaan nafza.
Hanya 21% remaja yang memiliki pemahaman agama atau melaksanakan
ibadah yang kembali mengkonsumsi nafza.
3. Latihan keterampilan psikologis, merupakan latihan atau pengajaran yang
bertujuan agar individu mampu merespon secara kompeten dan tepat
berbagai situasi dan permasalahan dalam mencapai suatu tujuan. Latihan
keterampilan psikologis merupakan perencanaan mengajar perilaku dan
keinginan khusus yang dibutuhkan secara individual dan sistematis untuk
fungsi yang tidak efektif dan cara yang statis, periode waktu yang
berlebihan, hubungan antar pribadi yang negatif.
Tuntutan situasional yang melebihi keterampilan individu merupakan
indikator adanya permasalahan psikologis. Ketidak mampuan merupakan
produk ketidak sesuaian antara tampilan kemampuan dengan tuntutan
tugas. Individu dengan permasalahan psikologis memiliki peluang yang
lebih tinggi untuk terlibat penyalah gunaan nafza, karena efek yang
ditimbulkan nafza memberikan rasa aman dan kepercayaan diri secara
sementara. Walaupun sebenarnya atau pada kenyataannya rasa aman
dan kepercayaan diri tersebut hanyalah hayalan semata atau dengan kata
lain merupakan upaya diri untuk menghindari permasalahan.
Latihan keterampilan psikologis dilakukan berdasarkan kebutuhan
keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa untuk memenuhi tuntutan tugas,
antara lain latihan keterampilan pskologis yang berkenaan dengan bidang
akademis misalnya latihan mendengarkan dengan aktif, latihan membuat
catatan atau latihan kemampuan logika hitungan. Latihan dapat juga
berhubungan dengan kemampuan mengelola emosi seperti relaksasi,
mengelola marah, mengelola stress. Latihan yang berhubungand engan
peningkatan kemampuan verbal antara lain letihan mengemukakan ide,
menjalin relasi atau berkomunikasi.
Individu yang memiliki kemampuan psikologis atau ketahan mental untuk
menghadapi tututan dan beradaptasi dengan konsekuensi pilihan yang
dibuat diharapkan mampu hidup sehat secara psikologis. Penciptaan
suasa psikologis yang aman, nyaman dan sehat penting bagi kesehatan
mental.
4. Mengembangkan budaya bebas rokok di sekolah. Orang yang merokok
80 % lebih mudah beralih atau mengkonsumsi nafza, karena orang yang
merokok memiliki kecenderungan untuk menikmati atau ketergantungan
terhadap zat nikotin. Membuat siapapun di lingkungan sekolah maupun di
sekitar lingkungan sekolah tidak merokok merupakan langkah awal yang
dapat dilakukan agar sekolah bebas dari nafza. Individu harus belajar
tidak merokok bukan hanya memperoleh informasi tentang bahaya rokok.
5. Pengembangan berbagai bentuk penyuluhan, penyuluhan dapat dilakukan
oleh personil yang ada disekolah atau melibatkan nara sumber dari luar
sekolah. Di dalam lingkup sekolah personil adalah pimpinan sekolah,
pembina osis, guru, teman sebaya. Penyuluh teman sebaya dalam
konteks karakteristik remaja merupakan mediator yang paling efektif,
karena tidak merasa digurui atau merasa sama. Penyuluh teman sebaya
dilatih untuk memiliki kemampuan mendengarkan, memprovokasi anti
nafza dan mendorong mengakualisasikan potensi. Pimpinan sekolah,
pembina osis dan guru harus tampil sebagai model atau tokoh yang dapat
diidolakan/ menjadi panutan. Nara sumber dari pihak luar dapat
dimanfaatkan untuk lingkup penyuluhan yang bersifat umum, nara sumber
yang dapat dimanfaatkan antara lain dokter, polisi, ulama, ahli/ praktisi
hukum. Penyuluhan juga dapat dilakukan melalui media tidak langsung
seperti leaflet, poster, tulisan Koran/ madding sekolah, stiker. Tulisan-
tulisan memuat bahaya narkotika, Remaja yang berkaya, anti narkotika.
6. jalinan hubungan kerjasama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan bersama
sekolah dengan warga masyarakat di lingkungan sekitar sekolah.
Hubungan yang harmonis antara warga sekolah dengan warga di
lingkungan sekitar sekolah memberikan rasa aman bagi anak. Jalinan
kerjasama dapat dimulai dengan penggunaan bersama fasilitas sekolah
maupun fasilitas di lingkungan sekitar, seperti penggunaan lapangan
untuk olah raga atau tempat ibadah. Bentuk kerjasama lain dapat dalam
bentuk laporan siswa sekolah yang berada di luar sekolah pada saat jam
pelajaran berlangsung.
7. kegiatan atau aturan peningkatan keamanan dan ketahanan sekolah dari
intervensi nafza, upaya deteksi atau pelaksanaan tes keterlibatan nafza
serta upaya-upaya investigasi intervensi nafza di sekitar lingkungan
sekolah. Peningkatan keamanan dapat dilakukan dengan membentuk tim
keamanan sekolah, penetapan dan penegakan disiplin sekolah,
penyelenggaraan tes kesehatan deteksi dini nafza atau memprasyaratkan
surat keterangan bebas nafza. Upaya invenstigas harus dilakukan
bersama dengan polisi agar tidak terjdi kesalah pahaman atau
penyalahan prosudr investigasi.
Isi program, menggambarkan aktivitas yang akan dilakukan oleh sekolah.
Program dapat dilaksanakan dalam bentuk pendekatan preventif, kuratif dan
developmental edukatif. Aktivitas yang akan dilaksanakan merupakan
perwujudan secara spesifik lingkup program yang ditetapkan.
Contoh Program :
1. Sosialisasi program sekolah bebeas nafza
2. Bidang penyuluhan
a. pengertian nafza
b. bahaya nafza bagi kesehatan
c. nafza dalam tilikan agama
d. memanfatkan waktu luang
e. remaja kreatif dan produktif
3. Bidang pengembangan bakat dan minat
a. lomba poster bahaya nafza
b. pilihan ektra kurikuler
4. Ketahanan sekolah
a. razia sekolah
b. upacara dengan inspektur upacara polisi
5. Kerjasama/ kemitraan
a. referal kasus siswa terdektekdi pengguna nafza
b. pemberdayaan orang tua pencegahan bahya nafza di lingkungan
keluarga
Agar aktivitas yang dilakukan dirasakan sebagai miliki dan tanggung
jawab semua warga sekolah maupun warga di lingkungan sekitar sekolah
maka sosialisasi dan diseminasi program sekolah bebas nafza terhadap
warga sekolah maupuan warga masyarakat merupakan hal yang penting.
Aktivitas dapat dilakukan secara formal maupun informal. Langkah kedua
adalah menciptakan keterlibatan semua pihak pada setiap aktivitas program.
Pemasangan spanduk ataupun wawaran dalam berbagaibentuk tidak ada
artinya jika individu tidak merasa terlibat atau merupakan bagian dari
program. Menciptakan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan
tanggung jawab bersama dalam usaha pencegahan keterlibatan
penyalagggunaan nafza.
Rujukan
Dedi Hafid, 1998, Analisa kecenderungan adiksi pada remaja, tesis, Bandung
: PPS IKIP Bandung
O’Donohue & Krasner, 1995, Handbook pf psychological skill training, Boston
: Allyn and Bacon
Syamsu Yusuf, Anne, Yusi, 2000, Bimbingan Keluarga, Materi pelatihan
bimbingan konseling, Bandung : PusdikKimBangWil – Jurusan PPB FIP
UPI