Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat kita dapat diamati bahwa perempuan lebih
dilibatkan sebagai konsumen pembangunan dan tidak dilibatkan dalam proses
pembangunan itu sendiri akibatnya perempuan hanya pasif menghadapi proses
pembangunan tersebut. Pada kebudayaan kita terutama masyarakat tradisional sering
menempatkan perempuan sebagai makhluk sekunder karena fungsi reproduksi yang di
sangga seluruhnya oleh perempuan sehingga berkurangnya kesempatan untuk berperan
aktif dalam kegiatan publik. Dalam seluruh kegiatan publik lebih di dominasi oleh
kaum laki-laki sedangkan perempuan sering di identikkan dengan kegiatan domestik
saja seperti mengurus rumah,mengurus anak dll sehingga potensi-potensi yang di miliki
hanya terbuang sia-sia.
Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah,
halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah,
berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk
yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.
Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena
mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam
konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di
Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi
mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting
pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan
adminsitrasi lokal pendidikan.
Ketika kita membicarakan tentang kepemimpinan seorang perempuan mau tak
mau kita tidak dapat terlepas dari sub-bab tentang gender. Gender merupakan
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang di kostruksi secara sosial yakni
perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan di ciptakan oleh manusia melalui
proses sosial dan kultural yang panjang. perubahan ciri dan sifat-sifat tersebut dapat
terjadi dari tempat ke tempat lain dan sering pula gender pada suatu masyarakat di
dasarkan pada konstruksisosial, kultural ataupun agama.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan?

1
2. Bagaimanakahkepemimpinan perempuan?
3. Seperti apa tipe-tipe kepemimpinan?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepemimpinan.
2. Mengetahui bagaimana kepemimpinan perempuan.
3. Mengetahui tipe-tipe kepemimpinan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kepemimpinan
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social,
sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi
kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002). Ada banyak pengertian yang dikemukakan
oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut
menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan
yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang
didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk
dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh
kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya sebagai
akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas
tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela
(compliance induction theorist) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan
atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk
kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan
kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan
mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau
keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai
tujuan organisasi atau kelompok.

3
2. Tipe Kepemimpinan
Ada empat tipe kepemimpinan yang dapat digunakan untuk berbagai organisasi:
a. Directive
Adalah salah satu tipe kepemimpinan tertua dan seringkali disebut juga dengan
pendekatan otoriter. Dalam tipe ini, pemimpin akan menyuruh seseorang untuk
melakukan sesuatu dan mengharapkan mereka untuk segera melakukannya.
b. Participative
Dalam tipe ini, pemimpin mencari input dari pihak lain dan mengajak orang-orang
yang relevan dengan pembahasan untuk pengambilan keputusan.
c. Laissez-faire
Mendorong inisiatif dari banyak pihak agar bersama-sama memikirkan bagaimana
proses pengerjaan sampai menghasilkan outcome.
d. Adaptive
Gaya kepemimpinan yang mengalir dan menyesuaikan gaya sesuai dengan keadaan
lingkungan dan individu yang berpartisipasi.

2.2. Hubungan gender dalam kepemimpinan


Pengertian gender diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Dari perbedaan ini, munculah karakteristik seorang pemimpin yang dipengaruhi oleh
gender, misalnya pemimpin laki-laki dan pemimpin perempuan memiliki sifat
kepemimpinan yang berbeda yang dipengaruhi oleh perbedaan gender tersebut.
Menurut Dean dan Popp seorang pemimpin harus memiliki jiwa untuk
mempengaruhi yang merupakan hasil yang diperolah dari adanya quality
communications dan jiwa motivator yang memerlukan kemampuan memahami prilaku
individu dan komponen pembentuknya seperti persepsi, sikap, dan kepribadian
(Nurrohim,2009).
Menurut Egly dan Johnson gender seorang pemimpin dibedakan dari sifat
pemimpin itu sendiri. Dilihat dari sudut pandang gender, pemimpin laki-laki
menggambarkan sosok individu yang kuat, tegas dan berani, sedangkan pemimpin
perempuan menggambarkan sosok yang memperlihatkan sifat yang hangat dalam
hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain daripada mendominasi
(Herachwati,2012).

4
Menurut Yeney (2012) berdasarkan teori agensi, perbedaan gender pada
pemimpin akan mempengaruhi gaya kepemimpinannya. Seorang pemimpin wanita
memiliki cara penyampaian yang unik dimana mereka selalu menyediakan dan
menyalurkan informasi penting di dalam perusahaan secara fluktuatif, sedangkan
pemimpin laki-laki lebih mengutamakan unsur kronologis dalam konsistensi data,
sehingga dalam penyampaian pesan laki-laki lebih menuju pada fakta dan langsung ke
inti informasinya.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gender dari seorang pemimpin
laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Biasanya pemimpin laki-laki lebih
bersikap tegas dan lebih berfokus terhadap tugas, sedangkan pemimpin perempuan
memiliki sikap yang bersahabat, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.
Gender berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan, pengaruh gender tersebut
dapat berupa perbedaan di dalam sistem alokasi sumber daya baik dalam pemberian
tugas ataupun pengambilan keputusan. Menurut Yeney (2012) pengaruh gender
terhadap pemimpin bersifat positif di mana gender tersebut dapat meningkatkan
penyediaan informasi yang akurat dan informasi yang telah disediakan tersebut dikelola
sesuai dengan fungsi dan tujuan perusahaan.

2.3. Gaya Kepemimpinan ( Leadership Style )


Gaya kepemmpinan setiap pemimpin tentu berbeda, tergantung dari masing-
masing pemimpinnya. Seorang pemimpin laki-laki biasanya cenderung tegas,
sedangkan seorang pemimpin perempuan biasanya lebih afiliasi. Beberapa peneliti
telah menulis definisi mengenai gaya kepemimpinan, diantaranya gaya kepemimpinan
merupakan cara yang digunakan pemimpin untuk mempengaruhi orang lain, gaya
kepemimpinan merupakan perwujudan dari tingkah laku seorang pemimpin, dan gaya
kepemimpinan merupakan cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang
diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang (Ali,2013 ;
Kristianti,2012 ; Rachmawati,2010). Namun dalam penelitian ini gaya kepemimpinan
menurut Ali (2013) yang penulis gunakan. Gaya kepemimpinan merupakan pola
prilaku para pemimpin yang dilakukan pemimpin selama melaksanakan suatu pekerjaan
dengan dan melalui orang lain. Penulis mengambil pengertian dari salah satu para ahli
ini karena menurut penulis gaya kepemimpinan merupakan sebuah prilaku dari seorang
pemimpin dalam melaksanakan suatu pekerjaan guna mempengaruhi orang lain. Dari

5
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang
dipergunakan seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahan nya.
Salah satu perbedaan utama yang dibuat dalam pembahasan ini adalah gaya
kepemimpinan antara democratic (employee-oriented) dan autocratic (task-oriented
supervisor)(Afolabi,2008). Kepemimpinan autocratic di pandang sebagai gaya yang
berdasarkan atas kekuatan posisi, pemberian wewenang yang berpusat pada seorang
pemimpin itu sendiri, dan tanggung jawab biasanya ditanggung oleh pemimpin.
Sementara itu, gaya kepemimpinan democratic dikaitkan dengan kekuatan personal,
wewenang seorang pemimpin tidak mutlak, pemimpin dapat membuat kebijaksanaan
dan dibuat bersama bawahan, dan keikutsertaan para bawahan dalam proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.

2.4. Hubungan gender dengan gaya kepemimpinan


Gender dibedakan berdasarkan karakter feminim dan maskulin. Salah satu ciri
karakter feminin adalah menjalin hubungan yang baik dengan bawahan sehingga
apabila seseorang memiliki karakter feminin maka dia lebih cenderung memiliki gaya
kepemimpinan democratic karena kepemimpinan yang democratic berfokus pada
pendekatan terhadap karyawan untuk menanamkan kesadaran pada karyawan akan
budaya organisasi, membangun visi dan misi, serta tujuan yang ingin dicapai oleh
organisasi agar karyawan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Karakter feminim
mendukung proses kepemimpinan democratic yaitu dengan pemimpin mampu
membangun hubungan dengan karyawan, maka pemimpin akan lebih mudah menjalin
komunikasi dengan bawahan dan apa yang ingin pemimpin sampaikan terkait dengan
visi, misi, dan tujuan organisasi dapat dikomunikasikan dengan baik. Sebaliknya,
seseorang yang mempunyai karakter maskulin, di mana salah satu ciri dari maskulin
yaitu berorientasi pada tugas dan cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang
autocratic, di mana kepemimpinan autocratic lebih mengarah pada penyelesaian tugas
yang diinginkan atau mengarah pada memberikan hubungan timbal balik terhadap
karyawan ( Tanzil Lu, 2013)
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dua karakteristik seseorang
yang berbeda dapat mempengaruhi gaya kepemimpinannya. Perempuan yang lebih
memiliki sisi feminim cenderung menggunakan gaya kepemimpinan democratic yang
mampu menjalin hubungan yang baik sedangkan laki-laki yang memiliki sisi maskulin

6
cenderung menggunakan gaya kepemimpinan autocratic dimana lebih mementingkan
penyelesain terhadap tugas.

2.5. Kepemimpinan Perempuan


Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah,
halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah,
berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk
yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki.
Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena
mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam
konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di
Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi
mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting
pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan
adminsitrasi lokal pendidikan.
Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender yang intinya
berusaha menuntut adanya persamaan hak perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi pergeseran dalam mempersepsi
tentang sosok perempuan. Mereka tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah yang
selalu berada pada garis belakang, namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai
pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru
dikuasai oleh kaum laki-laki.
Anda mungkin pernah menyaksikan acara Fear Factor, sebuah acara reality show
di televisi (pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia)
yang menyuguhkan tantangan yang sangat ekstrem kepada para pesertanya untuk
berkompetisi memperebutkan sejumlah uang, Para peserta kadang-kadang terdiri dari
gabungan laki-laki dan perempuan. Mereka berkompetisi melalui beberapa tantangan
ekstrem untuk menguji ketahanan fisik dan psikisnya, seperti makan kecoa, berkubang
dengan kotoran dan bangkai, dan berbagai jenis tantangan ekstrem lainnya (tentunya
penyelenggara sudah memperhitungkan secara cermat standar keamanannya). Dari
beberapa episode tayangan, ternyata tidak sedikit yang menjadi pemenangnya justru
dari kalangan perempuan. Artinya, mithos yang selama ini perempuan dianggap
sebagai makhluk lemah, dengan menyaksikan tayangan acara televisi tersebut kita bisa
melihat bahwa sebenarnya kaum perempuan pun bisa menunjukkan dirinya sebagai
7
makhluk yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum laki-laki. Secara
esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh
berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh perempuan yang berhasil
menjadi pemimpin, Margareth Tatcher di Inggris yang dijuluki sebagai “Si Wanita
Besi”, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan
tokoh-tokoh perempuan lainnya.
Dalam konteks pendidikan, fenomena kepemimpinan perempuan memang telah
menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih jauh. Studi yang dilakukan Coleman
(2000) menunjukkan kepala-kepala sekolah dan para manajer senior perempuan lainnya
di Inggris dan Wales mengindikasikan mereka cenderung berperilaku model
kepemimpinan transformatif dan partisipatif. Studi lainnya tentang kepala-kepala guru
dan dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia,
Selandia Baru dan Kanada menunjukkan bahwa para manajer perempuan tampil
bekerja secara kooperatif dan memberdayakan koleganya serta memfungsikan team
work secara efektif (Blackmore, 1989; Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Hasil
lain dari studi yang dilakukan Jirasinghe dan Lyons, (1996) mendeskripsikan tentang
kepribadian pemimpin perempuan sebagai sosok yang lebih supel, demokratis,
perhatian, artistik, bersikap baik, cermat dan teliti, berperasaan dan berhati-hati. Selain
itu, mereka cenderung menjadi sosok pekerja tim, lengkap dan sempurna. Mereka juga
mengidentifikasi diri dan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih rasional,
relaks, keras hati, aktif dan kompetitif.
Dalam hal-hal tertentu terdapat perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan
dalam manajemen dan kepemimpinan, sebagaimana disampaikan oleh Shakeshaft
(1989) berdasarkan hasil peninjauan ulang penelitian di Amerika Serikat, bahwa:
 Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan
bawahan, guru dan murid.
 Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan
dengan koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan.
 Mereka lebih informal.
 Mereka peduli terhadap perbedaan-perbedaan individual murid.
 Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan
daripada seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap
komunitas

8
 Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan dari
pada laki-laki. Oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam dunia yang
terpendam dan gelisah.
 Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervisi dan
sementara laki dari adminsitrasi.
 Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki,
yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh juga
berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
 Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen partisipatoris, dan
menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik.
Kendati demikian, sangat disayangkan dari berbagai penelitian tentang
kesuksesan kepemimpinan perempuan dalam organisasi, khususnya organisasi
pendidikan, tampaknya jarang sekali yang mengungkap tentang korelasi kesuksesan
perempuan dalam memimpin organisasi dengan kehidupan keluarganya. Apakah
mereka dapat sukses juga dalam memerankan dirinya sebagai seorang ibu atau seorang
istri? Apakah para suami merasa bahagia dan tidak merasa kecil hati dengan
kesuksesan istrinya? Apakah putera-puterinya tidak menjadi terlantar?

2.6. Profesionalisme dan Kompetensi Perempuan sebagai Pemimpin


Bila seorang wanita ingin menjadi pemimpin yang sukses, sebaiknya ia
berkonsentrasi untuk mengakui sisi kompetensi-kompetensi unggul tersebut. Paling
tidak, ia harus memiliki pengetahuan yang memadai, mampu memperlihatkan keahlian
yang timbul dari pengalamannya, serta memiliki talenta yang mendukung
pencapaiannya.
Identifikasi talenta. Jika wanita tersebut memiliki talenta maximizer, strategic,
communication, developer, dan achiever maka ia dapat meyakini diri termasuk wanita
yang mempunyai potensi untuk berhasil sebagai pemimpin.
Usahakan untuk mengetahui profil kompetensi manajerial di dalam perusahaan
yang berkaitan dengan kompetensi keinginan berprestasi, katalisator perubahan,
fleksibilitas, mengembangkan orang lain dan komunikasi.
Identifikasi tuntutan di setiap perilaku dan menjadikannya sasaran pengembangan
dalam waktu tertentu. Tiga kompetensi dalam waktu 6 bulan merupakan sasaran yang
luar biasa.

9
Perjuangkan setiap kesempatan untuk mempraktikkan kompetensi tersebut baik
dalam lingkup pekerjaan sendiri maupun di luar itu seperti kepanitiaan dan kerja sosial.
Jangan lupa untuk meminta umpan balik dari orang lain yang terlibat dalam penugasan
itu
Untuk suatu zaman di mana rasionalitas dan profesionalisme individu semakin di
hargai , perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak lagi relevan kecuali kalau
berimplikasi pada profesi ,contohnya adalah dalam cabang-cabang olahraga di mana
perempuan tidak seimbang di hadapkan dengan laki-laki. akhirnya perbedaan
berdasarkan profesionalisme ini akan mampu membawa dampak positif bagi
masyarakat pada umumnya , karena mendorong orang untuk memperbaiki kemampuan
mereka (Fauzi Ridjal, 1993: 56).
Profesionalisme di dalam pemberdayaan perempuan merupakan hal yang sangat
di butuhkan contoh pendidikan yang di berikan pada perempuan di harapkan dapat
memberikan kekuatan yang dapat mengubah perimbangan hubungan yang tidak adil
antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan di hormati bukan karena
keperempuananya saja tetapi juga karena kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.
Nahiyah Jaidi Faras (1995: 80) dalm bukunya yang berjudul kepemimpinan
wanita pemimpin dalam oragnisasi wanita di sebutkan bahwa keberhasilan dan
kegagalan wanita pemimpin dalam meniti karir tidak semata-mata di pengaruhi oleh
faktor budaya. Banyak faktor yang biasanya bersumber pada dirinya sendiri misal
faktor motivasi , ini sering menjadi modal utama kenerhasilan wanita pemimpi. Namun
memiliki motivasi yang tinggi tanpa memiliki kemampuan manajerial sepertoi
merencanakan, mengorganisir, mengkoordonor mensikronkan, mengambil keputusan
sulit bagi wanita pemimpin untuk berhasil dalam kepemimpinannya. Wanita pemimpin
yang di kuasai selalu oleh motif berprestasi dalam melaksanakan tugasnya akan
berusaha meraih keberhasilan dalambersaing dengan beberapa standar keunggulan.
Standar keunggulan tugas wanita pemimpin adalah berusaha memperoleh balikan
terhadap pelaksanaan tugasnya demi perbaikan di masa mendatang.
Kedua yaitu faktor pendidikan, factor ini sangat berpengaruh terhadap perilaku
seseorang pemimpin dalam kepemimpinanya. Pendidikan seseorang tidak hanya
berpengaruh pada kemampuan dalam berpikir tetapi juga berpengaruh dalam
berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin mudah ia mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam konsep.

10
saat ini tinggi rendahnya pendidikan seseorang seringkali di gunakan sebagi indikator
kualitas tenaga kerja Effendi (Nahiyah Jaidi Faras: 1995 ).
Ketiga yaitu konsep pengalaman dalam berorganisasi merupakan variabel
independen yang cukup berpengaruh juga dalam kepemimpinan wanita pemimpin.
Seseorang wanita pemimpin di tuntut tidak hanya berpendidikan tinggi atau
pengetahuan yang luas tetapi juga ketrampilan dalam mengaktualisasikan pengetahuan
tersebut dalamperilaku. Untuk itu wanita pemimpin juga di harapkan memiliki
pengalaman berorganisasi. Pengalaman merupakan pelajaran untuk melakukan
perubahan ke arah kematangan tingkah laku, pertambahan pengertian dan pengayaan
informasi Surakhmad (Nahiyah Jaidi Faras: 1995).

2.7. Gerakan Perempuan


Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh
hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memperbincangkan
tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya, pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia
adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta
peradaban yang menghargai martabat manusia.
Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu
diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Sayangnya selama ini demokrasi
hanya “berwajah” laki-laki. Seakan hanya laki-lakilah sebagai pelaku demokrasi itu.
Perempuan seringkali dilupakan. Padahal gerakan perempuan merupakan bagian dari
demokrasi itu sendiri.
Gerakan perempuan (Riant Nugroho : 2008) hakekatnya adalah gerakan
transformasi dan bukanlah gerakan untuk balas dendam kepada kaum lelaki . Dengan
demikian dapat di katakan gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses
gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia ( laki-laki dan perempuan
) agar lebih baik dan baru. Hubungan ini meliputi hubungan ekonomi, politik, kultural,
ideologi , lingkungan dan termasuk di dalamnya hubungan antara laki-laki dan
perempuan.

11
2.8. Gaya Kepemimpinan Laki-Laki Dan Wanita
Sering kita melihat pemimpin perusahaan atau organisasi yang bergender
perempuan, bahkan posisi middle management pun telah banyak diisi oleh kaum
wanita. Seorang peneliti dari amerika, pernah melakukan penelitian mengenai gaya
kepemimpinan lelaki dan wanita, penelitian itu dilakukan untuk mengkaji keberhasilan
dan pencapaian antara pria dan wanita, serta kedua-dua gender tersebut layak untuk
memimpin. Keberhasilan dan pencapaiannya yang hampir setara terlihat tetapi yang
mebedakannya adalah dari sudut cara atau prosesnya.
Menurut Schermerhorn (1999), pemimpin wanita selalu lebih cenderung untuk
bertingkah laku secara demokratik dan mengambil bagian dimana mereka lebih
menghormati dan prihatin terhadap pekerjanya/bawahannya dan berbagi ‘kekuasaan’
serta perasaan dengan orang lain. Gaya kepemimpinan ini dikenal sebagai
kepemimpinan interatif yang menekankan aspek keseluruhan dan hubungan baik
melalui komunikasi dan persepsi yang sama.
Secara perbandingan, pemimpin lelaki lebih cenderung ke arah kepemimpinan
“tendency“. Dengan cara ini mereka lebih terarah untuk tetap terjaga dan berkelakuan
secara “asertif“. Jika keadaan ini terjadi, maka mereka lebih banyak mengunakan
otoritas dari segi tradisional dengan kecenderungan memberi arahan dan nasehat yang
lebih banyak.
Kajian yang dijalankan oleh Sharpe (2000) mendapati bahwa wanita selalu lebih
mementingkan hubungan interpersonal, komunikasi, motivasi pekerja, berorientasi
tugas, dan bersikap lebih demokratis dibandingkan dengan lelaki yang lebih
mementingkan aspek perancangan strategik dan analisa.
Penelitian tersebut juga mendapati bahwa wanita mendapat nilai lebih tinggi dari
segi penilaian kerja dibandingkan lelaki.
Secara umum, gaya kepemimpinan lelaki dan wanita adalah sama tetapi
situasinya yang akan mungkin berbeda. Penelitian dilakukan di amerika serikat,
mendapati bahwa pemimpin lelaki lebih berkesan didalam organisasi ketentaraan,
sementara wanita dalam organisasi pendidikan dan sosial.

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kompleknya permasalahan yang di hadapi perempuan saat ini membutuhkan
strategi mendasar yang mampu mengubah pandangan masyarakat terhadap mereka.
gerakan pemberdayaan perempuan adalah salah satunya denagn pemberdayaan
perempuan di harapkan mampu meningkatkan kualitas perempuan itu sendiri sehingga
perempuan tidak lagi di anggap sebagai makhluk skunder setelah laki-laki. Salah
satunya yaitu wanita menjadi seorang pemimpin dalam memimpin wanita memerlukan
kompetensi dan profesionalisme yang tinggi di samping itu dia juga harus mempunyai
kecapakan untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

3.2. Saran
 Meningkatkan kemampuan perempuan untuk melibatkan diri dalam pembangunan.
misal : Ikut dalam sebuah organisasi.
 Meningkatkan kemampuan perempuan sebagai pemimpin agar dapat terlibat dalam
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan

13
DAFTAR PUSTAKA

Faras, Nahiyah Jaidi, kepemimpinan wanita pemimpin dalam oragnisasi wanita, 1995: 80.
Adler ( john L. Collard) leadership and gender, 2001:343.
Nugroho Riant, gender dan strategi pengarus-utamanya di indonesia. 2008 : 29.
Nahiyah J. F, Lies Endarwati, Musaroh. 2012. Self Evaluation Kepemimpinan
Transformational Aktivis Perempuan Politik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan
Penelitian. Fakultas Ekonomi UNY
Shihab, Quraisy. Perempuan. 2009. Lentera Hati: Jakarta
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. 2001. Paramadina:
Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai