Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Iltifat

Al-Hâsyimi mendefinisikan al-Iltifât sebagai berikut “Iltifât adalah


perpindahan dari semua dhamîr; mutakallim, mukhâthab atau ghâib kepada
dhamîr lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan
alam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai
seruan, agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk
lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan,
sedangkan sebagian iltifât memiliki kelembutan, pemiliknya adalah rasa
bahasa yang sehat”.1
Al-Zamakhsyari mengemukakan definisi iltifât sebagai berikut
“Sesungguhnya iltifât menyalahi realita dalam mengungkapkan sesuatu
dengan jalan menyimpang dari salah satu jalan yang tiga kepada yang
lainnya”.2
Sedangkan Abd al-Qadir Husen dalam bukunya Fann al-Balâghah
menjelaskan definisi iltifât sebagai berikut “Iltifât adalah perpindahan gaya
bahasa dari bentuk mutakallim atau mukhâthab atau ghâib kepada bentuk yang
lainnya, dengan catatan bahwa dhamîr yang dipindahi itu dalam masalah yang
sama kembali kepada dhamîr yang dipindahkan, dengan artian bahwa dhamîr
kedua itu dalam masalah yang sama kembali kepada dhamîr pertama”3
Jadi Uslub iltifât adalah suatu gaya bahasa dengan menggunakan
perpindahan dari satu dhamîr (pronomina) kepada dhamîr lain di antara dhamîr-
dhamîr yang tiga; mutakallim (persona I), mukhâthab (persona II), dan ghâib
(persona III), dengan catatan bahwa dhamîr baru itu kembali kepada dhamîr
yang sudah ada dalam materi yang sama. Melihat eksistensinya, uslub iltifât

1
Al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, (Indonesia :
Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah), 1960. Hal. 239.
2
Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid 1
(Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt). hal. Hal 62.
3
Husen, Abdul Qadir, Fann al-Balaghah, (Beirut : ‘Alam al-Kutub), 1984, Hal. 280.
bukanlah hal baru dalam sastra Arab, bahkan menurut Ibn al-Atsîr merupakan
syaja’ah al-‘Arabiyyah (keberanian bahasa Arab). Dengan keberanian itu
bahasa Arab menjadi maju, seperti sang pemberani yang dapat menunggangi
sesuatu yang orang lain tidak mampu menungganginya, dan mendatangkan
sesuatu yang orang lain tidak mampu mendatangkannya.

B. Contoh Al-Iltifat
Al-iltifat sering digunakan dalam keseharian seperti dalam perkataan
seorang Ibu yang sedang menasehati anaknya “Nak, aku ini ibumu. Begitukah
sikap kamu terhadap orang tua’. Ungkapan di atas menggunakan uslub iltifât,
karena terdiri dari dua kalimat bersambung, dalam kedua kalimat itu ada dua
pronomina yang berbeda (aku, persona I dalam kalimat pertama dan orang tua,
persona III dalam kalimat kedua), dan pronomina pada kalimat kedua
hakikatnya adalah pronomina pada kalimat pertama.
Menurut Syauqi Dhaif (1972 : 37), penelitian sastra menggunakan dua
metode, yaitu induktif dan deduktif. Penelitian yang berjudul ’Uslub Iltifât
dalam Alquran’ menggunakan kedua metode tersebut; metode deduktif
digunakan dalam pengumpulan dan pengelompokan data iltifât al-dhamîr dalam
Alquran yang sudah ada teorinya, sedangkan metode induktif digunakan dalam
pengumpulan dan pengelompokan data penggunaan uslub iltifât ‘adad al-
dhamîr untuk diformulasikan menjadi sebuah konsep.
Mamat Zaenuddin dalam penelitiannya menemukan bahwa Alquran telah
menggunakan uslub iltifât dalam 3 macam model, Berikut adalah contoh-
contoh dari masing-masing model pembagian iltifat
1. Iltifat al-Dhamir4
a. Iltifât dari mutakallim (persona I) kepada mukhâthab (persona II),
seperti:

ْ ُ ‫ىَو ِإلَ ْي ِهَت‬


ََ‫َر َجعُون‬ َ َ‫َََلَأ َ ْعبُد َُالَّذِىَف‬
َ ِ‫ط َرن‬ َٓ ‫ى‬
َ ‫َو َماَ ِل‬

4
Mamat Zaenuddin, Keindahan Uslub Iltifat, hlm 4

1
“Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku
dan yang hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (QS. YaSin
36: Ayat 22)
b. Iltifât dari mutakallim (persona I) kepada ghâib (persona III),
seperti:

َ ‫َمثْ ِل ِه‬
ُ ‫ۦَوا ْد‬
َ‫عوا‬ ِ ‫ٍَم ْن‬
ِ ‫ورة‬ ُ ِ‫ع ْب ِدنَاَفَأْتُواَب‬
َ ‫س‬ َ َ‫ع ٰلى‬
َ َ‫َم َّماَن ََّز ْلنَا‬
ِ ‫ب‬ َ ِ‫َوإِ ْنَ ُك ْنت ُ ْمَف‬
ٍ ‫ىَر ْي‬
ََّ ‫ُون‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫ش َهدَآ َء ُك ْم‬
ِ ‫َم ْنَد‬ ُ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah …”. (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 23)
c. Iltifât dari mukhâthab (persona II) kepada ghâib (persona III),
seperti:
َ‫سو ُل‬ َّ ‫َوا ْست َ ْغفَ َرَلَ ُه ُم‬
ُ ‫َالر‬ َ ُ‫ذَظلَ ُم ٓواَأ َ ْنف‬
َّ ‫س ُه ْمَ َجا ٓ ُءوكَََفَا ْست َ َْغفَ ُر‬
َ َ‫واَّللا‬ َّ ‫َولَ ْوَأَنَّ ُه ْمَ ِإ‬
“… Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, …” (QS. An-Nisa' 4:
Ayat 64)
d. Iltifât dari ghâib (persona III) kepada mukhâthab (persona II),
seperti:
ُ ‫ َِإيَّاكَََنَ ْعبُد ََُوإِيَّاكَ َنَ ْست َ ِع‬- ‫ِين‬
َ‫ين‬ َِ ‫ مٰ ِل ِكَيَ ْو ِمَالد‬- ‫يم‬
َِ ‫َالر ِح‬
َّ ‫الرحْ مٰ ِن‬ ْ ‫ب‬
َّ - ََ‫َالعٰ لَ ِمين‬ ِ ‫َر‬ َّ ِ ‫ْال َح ْمد‬
َ ِ‫َُّلِل‬
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah …”
e. Iltifât dari ghâib (persona III) kepada mutakallim (persona I),
seperti:
ََ‫ش َك ْرت ُ ْم َََل َ ِزيدَنَّ ُك ْم‬ َ َ‫َو ِإ ْذَت َأَذَّن‬
َ َ‫َربُّ ُك ْمَلَئِ ْن‬
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu mema’lumkan:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu …” (QS. Ibrahim 14: Ayat 7)

2
2. Iltifat Adad al-Dhamir5
a. Iltifât dari mutakallim mufrad kepada mutakallim ma’al ghair:
َ‫نَدُو ِن ٓىَأ َ ْو ِل َيا ٓ َءََۚ ِإنَّآَأ َ ْعت َ ْدنَاَ َج َهنَّ َم‬ ِ ‫ِبَالَّذِينَ َ َكفَ ُر ٓواَأ َ ْنَيَت َّ ِخذُواَ ِعبَاد‬
َْ ‫ِىَم‬ َ ‫أَفَ َحس‬
َ‫ِل ْل ٰك ِف ِرينَ َنُ ُز ًَل‬
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka
(dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain
Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam
tempat tinggal bagi orang-orang kafir”. (QS. Al-Kahf 18: Ayat 102)
b. Iltifât dari mutakallim ma’al ghair kepada mutakallim mufrad
ِ ‫واَم ْن َهاَ َج ِميعًاََۖفَإ ِ َّماَ َيأْتِ َينَّ ُك ْم‬
‫ََمنِىَ ُهدًى‬ ِ ‫ط‬ ُ ‫قُ ْلنَاَا ْه ِب‬
“Kami berfirman: Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian
jika datang petunjuk-Ku kepadamu, …” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat
38)
c. Iltifât dari mukhâthab mufrad kepada mukhâthab mutsannâ:
َّ ‫َو‬
ََ‫ّللاَُيَ ْس َم ُُع‬ َ ِ‫ىَّللا‬ ََ ‫َّللاَُقَ ْولََالَّتِىَتُجٰ ِدلُكَ َفِىَزَ ْو ِج َه‬
َّ َ‫اَوت َ ْْشت َ ِك ٓىَ ِإل‬ َ َْ‫قَد‬
َّ ‫س ِم َُع‬
ٓ ‫او َر ُك َمَا‬
ُ ‫ت َ َح‬
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan
mengadukan (hâlnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua, …” (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 1)
d. ltifât dari mukhâthab mufrad kepada mukhâthab jamak:

َ‫سا ٓ َء‬ ِ ‫طلَّ ْقت ُ ُم‬


َ ‫َالن‬ ُّ ‫ٰ ٓيأَيُّ َهاَالنَّ ِب‬
َ َ‫ىَ ِإذَا‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu …” (QS. At-
Talaq 65: Ayat 1)
e. Iltifât dari mukhâthab mutsannâ kepada mukhâthab mufrad:
ْ َ‫اَمن‬
َ‫َال َجنَّ ِةَفَت َ ْْش ٰق ٓى‬ ِ ‫فَ ََلَي ُْخ ِر َجنَّ ُك َم‬

5
Ibid, hlm 5

3
“… maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu
berdua dari syurga, yang menyebabkan kamu jadi celaka”. (QS. Ta-
Ha 20: Ayat 117)
f. Iltifât dari mukhâthab mutsannâ kepada mukhâthab jamak :
َْ ‫فَا ْذ َهبَاَبِئ َا ٰيتِنَآََۖإِنَّاَ َمعَ ُك ْمَ ُّم‬
ََ‫ست َِمعُون‬
“maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami
(mu’jizatmu’jizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan
(apa-apa yang mereka katakan)”. (QS. Asy-Syu'ara' 26: Ayat 15)
g. Iltifât dari mukhâthab jamak kepada mukhâthab mufrad

َ ‫اَر َميْتَ َ ِإ ْذ‬


ََ‫َر َميْت‬ َّ ‫َو ٰل ِك َّن‬
َ َ‫َّللاََقَتَلَ ُه ْم‬
َ ‫َۚو َم‬ َ ‫فَلَ ْمَت َ ْقتُلُو ُه ْم‬
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar …” (QS. Al-Anfal 8: Ayat
17)
h. Iltifât dari ghâib mufrad kepada ghâib mutsannâ;
َّ ‫َاف‬
ََ‫َّللا‬ ُ ‫َم ْنكَ َ ِإ ِن ٓىَأَخ‬
ِ ‫ى ٌء‬ ِ ْ ‫ْشي ْٰط ِنَ ِإ ْذَقَالََ ِل‬
ٓ ‫ْل ْنسٰ ِنَا ْكفُ ْرَفَلَ َّماَ َكفَ َرَقَالََ ِإ ِنىَ َب ِر‬ َّ ‫َك َمث َ ِلَال‬
ْ َّ‫َرب‬
ََ‫َالعٰ َل ِمين‬
‫َخ ِلدَي ِْنَ ِفي َها‬ ِ َّ‫َع ِقبَت َ ُه َمآََأَنَّ ُه َماَ ِفىَالن‬
ٰ ‫ار‬ ٰ َ‫فَ َكان‬
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan)
syaitan ketika dia berkata kepada manusia: Kafirlah kamu, maka
tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: Sesungguhnya aku
berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada
Allah, Tuhan semesta alam. Maka adalah kesudahan keduanya
bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka” (QS. Al-
Hasyr 59: Ayat 16-17)
i. Iltifât dari ghâib mufrad kepada ghâib jamak:
ََ‫َاَل َ َّو ِلين‬
ْ ‫ير‬ َ َ‫إِذَاَتُتْ ٰلى‬
ُ ‫علَ ْي ِهَ َء ٰايتُنَاَقَالََأَسٰ ِط‬
ََ‫ع ٰلىَقُلُوبِ ِه َْمَ َّماَ َكانُواَيَ ْك ِسبُون‬
َ َََ‫لَېَ َران‬ َ َّ ‫َك‬
َْ َ‫َلََۖب‬
“yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: Itu
adalah dongengan orang-orang yang dahulu. Sekali-kali tidak

4
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka”. (QS. Al-Muthaffifiin 83: Ayat 13-14)
j. Iltifât dari ghâib mutsannâ kepada ghâib jamak:
َ‫بَ ْال َع ِظ ِيم‬
َِ ‫َونَ َّجي ْٰن ُه َماَ َوقَ ْو َم ُه َماَ ِمنَََ ْالك َْر‬
‫ص ْر ٰن ُه َْم‬
َ َ‫َون‬
“Dan Kami selamatkan keduanya dan kaumnya dari bencana yang
besar. Dan Kami tolong mereka …” (QS. As-Saffat 37: Ayat 115-
116)
k. Iltifât dari ghâib jamak kepada ghâib mufrad:
َ‫ور‬ ِ ْ َ‫ن‬
ٌ ُ‫اْلَْنسٰ نَََ َكف‬ َْ ‫س ِيئ ََةٌَ ِب َماَقَدَّ َم‬
ََّ ِ ‫تَأَ ْيدِي ِه َْمَفَإ‬ ِ ُ ‫نَت‬
َ َ‫ص ْب ُه َْم‬ َْ ‫َو ِإ‬
“… Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena
sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni’mat)”. (QS. Asy-
Syura 42: Ayat 48)
l. Iltifât dari ghâib jamak kepada ghâib mutsannâ:
ْ َ ‫ِإنَّ َماَ ْال ُمؤْ ِمنُونَََ ِإ ْخ َو َة ٌَفَأ‬
َ‫ص ِل ُحواَبَيْنَََأَخ ََو ْي ُك ْم‬
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu …” (QS. Al-Hujurat 49:
Ayat 10)
3. Iltifat anwa’ al jumlah6
a. Iltifât dari jumlah fi’liyyah kepada jumlah ismiyyah
‫ْش ٰي ِطينَََ َك َف ُروا‬ ََّ ‫سلَيْمٰ نََُ َو ٰل ِك‬
َّ ‫نَال‬ ُ َ‫َو َماَ َكفَ ََر‬
“… (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahâl Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya syaitan-syaitan itulah itulah yang kafir (mengerjakan sihir)
…” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 102)
b. Iltifât dari jumlah ismiyyah kepada jumlah fi’liyyah:
ْ ‫ب‬
ََ‫َالعٰ لَ ِمين‬ ِ ‫َر‬ َّ ِ ‫ ْال َح ْمد‬- ‫يم‬
َ ِ‫َُّلِل‬ َِ ‫َالر ِح‬
َّ ‫الرحْ مٰ ِن‬ َِ ‫ مٰ ِل ِكَيَ ْو ِمَالد‬- ُ ‫إَِيَّاكَََنَ ْعبُ َد‬
َّ - ‫ِين‬
Iki gk iso ngurutno

6
Ibid, hlm 7

5
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada
Engkau-lah kami menyembah …”
c. ltifât dari kalimat berita kepada kalimat melarang:
ْ َ‫َمن‬
ََ‫َال ُم ْمت َِرين‬ ِ ‫َربِكَ ََۖفَ ََلَت َ ُكون ََّن‬ ِ ‫ْال َح ُّق‬
َّ ‫َم ْن‬
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (QS. Al-Baqarah 2: Ayat
147)
d. Iltifât dari kalimat berita kepada kalimat perintah:
ْ ُ‫ۚ َو ِل ُك ٍلَ ِوجْ َهةٌَ ُه َوَ ُم َو ِلي َهاََۖفَا ْست َ ِبق‬
ِ ‫واَال َخي ْٰر‬
َ‫ت‬
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan…” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 148)
e. Iltifât dari kalimat perintah kepada kalimat berita:
ََ‫ص ِب ِرين‬ َّ ‫ص ٰلوةََِۚإِ َّن‬
ّٰ ‫َّللاََ َم َُعَال‬ َّ ‫َوال‬ َّ ‫ٰ ٓيأَيُّ َهاَالَّذِينَ َ َءا َمنُواَا ْست َ ِعينُواَبِال‬
َ ‫صب ِْر‬
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan shâlat, sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 153)
f. Iltifât dari kalimat melarang kepada kalimat berita:
َ‫َّللاَِأ َ ْم ٰوتٌ ََۚبَ ْلَأَحْ يَا ٓ ٌء‬ َ َ‫َو ََلَتَقُولُواَ ِل َم ْنَيُ ْقتَلَُفِى‬
َّ ‫سبِي ِل‬
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang
gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu (mati); bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 154)
g. Iltifât dari kalimat bertanya kepada kalimat berita:
ْ ‫أَيَ ْبتَغُونَ َ ِع ْندَ ُه ُمَ ْال ِع َّزة ََفَإ ِ َّن‬
َّ ِ ‫َال ِع َّزة‬
‫ََّلِلَِ َج ِميعًا‬
“… Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka
sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. (QS. An-Nisa' 4:
Ayat 139)

6
Untuk lebih jelasnya, kami mengambil masing-masing satu contoh dari
ketiga model iltifat:
1. Qs yasin ayat 22 terdapat Iltifat dhamir perpindahan dari dhamir
mutakalim ke dhamir mukhathab
ََ‫ىَوإِلَ ْي ِهَت ُ ْر َجعُون‬ َ َ‫ََلَأ َ ْعبُدَُالَّذِىَف‬
َ ِ‫ط َرن‬ َٓ ‫ى‬َ ‫َو َماَ ِل‬
“Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku
dan yang hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (QS. Ya-Sin
36: Ayat 22)
Menurut kaca mata Ma’âni, iltifât dari mutakallim kepada
mukhâthab pada ayat di atas menggambarkan bahwa pembicaraan
berpindah dari menasihati dirinya kepada menasihati kaumnya secara
lembut, dan memberi tahukan bahwa ia bermaksud kepada dirinya
sendiri, lalu berpindah kepada mereka untuk menakut-nakuti dan
mengajak mereka kepada Allah, karena pada saat itu mereka sedang
mengingkari untuk beribadah kepada Allah. Ia berbicara dengan
mereka sesuai dengan keadaan mereka, ia berargumentasi kepada
mereka bahwa betapa jeleknya apabila tidak mau beribadah kepada

َ ‫وإِلَ ْي ِهَت ُ ْر‬.


Sang Pencipta, sehingga ia mengancam mereka dengan ََ‫جعُون‬ َ
2. Qs thaha ayat 117 iltifat adad al dhamir perpindahan dari dhamir
mukhathab tatsniyah ke dhamir mukhatab mufrad (tunggal)
ْ َ‫اَمن‬
َ‫َال َجنَّ ِةَفَت َ ْْش ٰق ٓى‬ ِ ‫فَ ََلَي ُْخ ِر َجنَّ ُك َم‬
“… maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua
dari syurga, yang menyebabkan kamu jadi celaka”.
Iltifât dari mukhâthab mutsanna kepada mukhâthab mufrad pada
ayat di atas yang tidak ada bandingannya dalam kalâm sastrawan Arab,
bertujuan untuk mengajari mukhâthab (persona II) yaitu Nabi Adam as
akan tanggung jawab seorang suami sebagai kepala keluarga. Adapun
tanggung jawab kepala keluarga yang utama terdapat pada surah al-
Tahrim, (Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka…). Betapa beratnya tanggung jawab ini,

7
namun betapa mulianya, sehingga Nabi Muhammad saw. secara khusus
suka mendoakan orang yang menikah dengan ungkapan: (Semoga
Allah memberkati hak anda dan memberkati kewajiban anda dan
mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan). Ungkapan doa Nabi di
atas juga menggunakan uslub iltifât, yaitu iltifât dari mukhâthab mufrad
kepada mukhâthab mutsanna.
Perpindahan dari mukhâthab tatsniyah َ‫فََََل‬ ‫ي‬ ‫ِخر‬ ‫نََُك ج‬
‫( ما‬maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua)
kepada mukhâthab mufrad َ‫ت ف‬ ‫( شَقى‬yang menyebabkan engkau
jadi celaka) yang tidak ada bandingannya dalam kalâm sastrawan Arab,
mengandung makna semantis mengajari mukhâthab yaitu Nabi Adam
as akan tanggung jawab seorang suami sebagai kepala keluarga.
Tujuan iltifât pada ayat di atas menunjukkan fenomena keindahan
sastra iltifât dalam Ma’âni, yaitu bahwa iltifât pada ayat di atas, benar-
benar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi (muthâbaqah li
muqtadhâ al-hal).
Mengajari mukhâthab yaitu Nabi Adam as akan tanggung jawab
seorang suami sebagai kepala keluarga dengan menggunakan uslub
iltifât dari mukhâthab mutsanna kepada mukhâthab mufrad merupakan
salah satu ragam ungkapan untuk suatu makna yang dapat menghiasi
perkataan itu. Dengan demikian, menurut kaca mata Bayân iltifât dari
mukhâthab mutsanna kepada mukhâthab mufrad pada ayat di atas
menunjukkan fenomena keindahan Bayâni.
Iltifât dari mukhâthab mutsanna kepada mukhâthab mufrad pada
ayat di atas melahirkan keindahan bunyi mulai dari untaian huruf,
susunan kata dan kalimat. Dengan ungkapan َ‫ت ف‬ ‫ شَقى‬, maka
terpeliharalah keindahan persamaan bunyi ujung ayat antara ayat yang
sebelumnya َ‫ بى أ‬dan yang sesudahnya . ‫ت‬ ‫رى ع‬
3. Qs al-Baqarah ayat 102 iltifat anwa al jumlah perpindahan dari jumlah
fi’liyah ke jumlah ismiyah
َّ ‫َو ٰل ِك َّنَال‬
‫ْش ٰيطِينَ َ َكفَ ُروا‬ َ ‫سلَيْمٰ ُن‬
ُ َ‫َو َماَ َكفَ َر‬

8
“… (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-
syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir) …”
Menurut kaca mata Ma’âni, iltifât dari jumlah fi’liyah kepada
jumlah ismiyah pada ayat di atas bertujuan untuk menyatakan bahwa
Sulaiman tidak pernah melakukan sihir, karena perbuatan sihir
merupakan perbuatan orang-orang kafir, sedangkan kekufuran itu
datangnya dari syaitan, sehingga ditetapkanlah bahwa hanya syaitan-
syaitan itulah yang kafir.
Tujuan iltifât pada ayat di atas menunjukkan fenomena keindahan
sastra iltifât dalam Ma’âni, yaitu bahwa iltifât pada ayat di atas, benar-
benar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi (muthâbaqah li
muqtadhâ al-hâl).
Pernyataan bahwa Sulaiman tidak pernah melakukan sihir, karena
perbuatan sihir merupakan perbuatan orang-orang kafir, sedangkan
kekufuran itu datangnya dari syaitan, sehingga ditetapkanlah bahwa
hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir dengan menggunakan uslub
iltifât dari jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyah merupakan salah satu
ragam ungkapan untuk suatu makna yang dapat menghiasi perkataan
itu. Dengan demikian, iltifât dari jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyah
pada ayat di atas menunjukkan fenomena keindahan sastra iltifât
menurut kaca mata Bayân.
Iltifât dari jumlah fi’liyah (kalimat verbal) kepada jumlah ismiyah
(kalimat nominal) seperti pada ayat di atas, menurut kaca mata Badî’
melahirkan keindahan bunyi mulai dari untaian huruf, susunan kata dan
kalimat. Dengan iltifât dari jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyah
seperti pada ayat di atas, maka terpeliharalah keindahan irama pada ayat
itu.

C. Pengertian Al-Ihtibak
Ihtibak merupakan salah satu jenis Ijaz Hadzfu (membuang) dalam
redaksi al-qur’an. Membuang disini maksudnya adalah membuang kata.
Menurut as-Suyuthi, badi’ ihtibak adalah yang paling lembut dan paling indah.
Dan sangat sedikit pakar ilmu balaghah yang mencurahkan perhatian kepada
ihtibak.
Asal penamaan ihtibak adalah dari kata al-habku, yang artinya kuat,
kokoh dan kencang. Biasanya dipergunakan berhubungan dengan kegiatan
menenun, berarti memperbaik tenunan. Dalam konteks ini, diumpamakan kata-

9
kata yang dibuang adalah lubang. Apabila para pakar balaghah menemukan
lubang ini, lalu menempatakan kata yang dibuang dalam lubangnya, maka
susunan redaksinya akan menjadi lengkap dan rahasia balaghah-nya dapat
tampak, sebagaimana tenunan kain yang menjadi rapi karena lubangnya
tertutup.
Dalam syarh badi’iyah, al-Andalusiy mendefinisikan ihtibak, sebagai
kaidah membuang satu kata pada kalimat pertama yang telah disebutkan lawan
katanya pada kalimat kedua (bagian kalimat sesudahnya), atau membuangnya
dari kalimat kedua, yang kalimat tersebut telah disebutkan lawan katanya pada
kalimat pertama (bagian kalimat sebelumnya).menetapkan padanannya pada
lafadz kedua, namun tidak berlaku sebaliknya. Jadi Ihtibak adalah menghapus
lafadz awal dengan mene tapkan padanan lafadz kedua kepada lafadz pertama7

D. Contoh Al-Ihtibak
Dalam al-Qur’an, ihtibak sangat banyak, hal ini tidak mengherankan karena
keumuman redaksi al-Qur’an yang ringkas namun luas maknanya. Contohnya:
1. Surah al-‘Alaq ayat 4-5

َ‫سانَ َ َماَلَ ْمَيَ ْعلَ ْم‬


َ ‫َاْل ْن‬ َ –َ‫علَّ َمَبِ ْالقَلَ ِم‬
ِ ْ ‫علَّ َم‬ َ َ‫الَّذِي‬
Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
pada ayat ke-4 disebutkan bagaimana Allah SWT mengajar manusia
dengan sarana qalam (pena) yaitu terhadap hal-hal yang telah diketahui oleh
manusia, dan pada ayat selanjutnya, Allah SWT mengajarkan manusia,
dengan tanpa pena, terhadap hal-hal yang belum pernah diketahui
sebelumnya.
2. Surah Ali Imran ayat 14

ََ‫َو ْالََبنِين‬
َ ‫اء‬
ِ ‫س‬
َ ِ‫َِمنَ َالن‬
ِ ‫ْش َه َوات‬ ِ َّ‫ُز ِينَ َ ِللن‬
َّ ‫اسَحُبُّ َال‬
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu wanita-wanita dan anak-anak lelaki

7
As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulumil Quran 542

10
Meski tidak disebutkan secara langsung dalam redaksinya, kecintaan
kepada lelaki (bagi wanita) dan anak-anak perempuan; ayat ini tidak berarti
tidak dicintakan kepada manusia, yaitu kecintaan kepada lelaki dan anak-
anak perempuan.
3. Surah Al-Baqarah ayat 171

‫وَمثلَالذينَكفرواَكمثلَالذيَينعقَبماََلَيسمُعَاَلَدعاءَوَنداء‬
Artinya: dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang kafir adalah
seperti penggembala yang meneriaki (binatang) yang tidak mendengar
selain panggilan dan teriakan.
Taqdir-nya: perumpamaan para Nabi dan orang-orang kafir adalah
sebagaimana orang yang berteriak dan diteriaki. Yang berteriak adalah para
nabi sedangkan yang diteriaki adalah orang-orang kafir. Kata anbiya’ pada
kalimat pertama dibuang dengan dalil yang meneriaki. Sedangkan pada
pernyataan kedua, dibuang kata yang diteriaki, dengan dalil orang-orang
yang kafir.
Jadi ada kata alladzina amanu yang berpasangan dengan yan’iqu, dan
alladzinakafaru yang berpasangan dengan yan’iqu bihi.
4. Surah An-Naml ayat 12

‫وأدخلَيدكَفيَجيبكَتخرجَبيضاء‬
Penjelasan ayat diatas adalah “kamu masukkan tangan kamu yang
asalnya tidak putih, dan keluarkanlah tangan kamu, maka kamu akan
mengeluarkannya dalam keadaan putih”. Jadi pada pernyataan pertama
kata-kata tidak putih (ghairu baydha’a) dibuang, dan pada pernyataan
kedua, kata-kata keluarkanlah tanganmu juga dibuang. Maka ada dua kata-
kata yang saling berlawanan yang ada dalam dua pernyataan, yakni (1)
masukkanlah dan keluarkanlah (Udkhul dan akhrij), (2) tidak putih dan
putih (ghairu baydha’ danbaydha).
Jadi pada ihtibak, terdapat dua pernyataan, yang masing-masing
mengandung dua hal yang bertentangan. Lalu pada masing-masing
penyataan itu dibuang salah satunya karena pada pernyataan yang lain sudah

11
terdapat lawan kata darinya. Misal pada contoh diatas, ghaira baydha pada
pernyataan pertama dibuang karena sudah ada kata baydha pada pernyataan
kedua. Ini karena pernyataan ini saling berlawanan (antonim). Sedangkan
pada pernyataan kedua, kata akhrij dibuang, karena sudah ada kata udkhul
pada penyataan kedua. yang mana kedua kata ini juga berlawanan.

12

Anda mungkin juga menyukai