Anda di halaman 1dari 3

MAKNA SUKSES

Apa sih deskripsi atau skala sukses itu menurut Anda? “Dia orang sukses, aku ingin seperti dia”.
Kenapa ‘dia’? Apakah karena dia seorang pengusaha yang cabang waralabanya sudah ratusan
outlet, punya mobil sport, rumah mewah dan popularitas? Atau karena perusahaan digitalnya
barusan dibeli ratusan miliar?

Jika itu standarisasi sukses menurut Anda, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana
dengan seorang buruh bangunan yang penghasilannya rendah. Apakah dia tak bisa disebut
sukses?”.

Bisa jadi dibalik kisah sukses si pengusaha waralaba tersebut, banyak ‘tumbal mitra’ yang dirugikan,
banyak janji-janji yang diingkari. Mungkin Anda tak tahu, dibalik kepemilikan mobil dan rumah
mewah, dia harus ‘menyikut’ rekan bisnisnya, atau putus silaturahim dengan saudara demi
mengejar ambisi kata sukses.

Bisa jadi si buruh bangunan saat ia pulang rumah dengan pakaian berkeringat, bau tak sedap,
kemudian sembari membawa tahu petis, ia disambut anak-anaknya bak ‘pahlawan’. Apakah dia tak
bisa disebut sukses?.

Sukses manakah antara si pengusaha dengan si buruh bangunan? Anggaplah si pengusaha sudah
kaya, dermawan, sholeh lagi. Sisi mana yang membuat Anda menilai kesuksesan dia? Kaya atau
kesholehannya?

Bagaimana dengan...
Guru miskin di pedesaan yang mengajar sepenuh hati, sukseskah mereka?
Kyai pesantren yang hidupnya pas-pasan, namun santrinya ribuan. Tak bisa disebut sukses?
Ibumu yang hanya ibu rumah tangga. Gak sukses juga?
Karyawan yang loyal berjuang bersama Anda. Hanya sebagai tumbal kesuksesan Anda kah?

Mungkin kita tak menyadari, bahwa standarisasi ‘sukses’ di benak kita selama ini dilandaskan atas
materi semata. Hampir semua seminar motivasi, pelatihan bisnis, menggiring ‘makna sukses’ itu
dengan pencapaian materi, seperti rumah mewah, mobil mahal, penghasilan miliaran perbulan dan
bentuk materi lainnya.

Sukses Dinilai Orang

materialisme/ma·te·ri·al·is·me/ /matérialisme/ n: pandangan hidup yang men-cari dasar segala


sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan
mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. (KBBI)

Di jaman media sosial lebih terasa bahayanya faham materialisme. Jika jaman dahulu namanya
gengsi itu linier terhadap geografis (perjumpaan fisik), sekarang bisa eksponensial, karena ‘faktor
share’ di dunia maya. Dahulu hanya tetangga dan orang terdekat yang kita temui secara fisik yang
bisa dipameri, sedangkan sekarang para ‘audiens 5 inch’ seolah menjadi juri kesuksesan kita. Jika
fondasi nilai tak kuat, maka kesuksesan seseorang disetir oleh penilaian orang lain. “Apa kata
orang, kalau lihat aku seperti ini..?”

Demi penilaian orang lain, membeli barang-barang ‘bergengsi’, bukan ‘berfungsi’. Materialisme
tak sadar menambah kerakusan dan menggerogoti rasa syukur kita. Materialisme bukan milik si
kaya, buruh pun ‘memaksakan diri’ membeli gadget mahal, demi terlihat ‘keren’. Tunggakan hutang
semakin besar, demi memuaskan audiens 5 inch.

Penyebar Virus Materialisme

Dari mana datangnya penyakit materialistis? Siap-siap meradang saat membacanya. Sebagian
besar motivator dan jaringan MLM yang menggunakan ‘kebendaan’ sebagai simbol sukses
adalah ‘salah dua’ penyebar virus materialisme yang tokcer; rumah mewah, mobil sport, jalan-jalan
keluar negeri, kapal pesiar, kapal keruk (#ehh). Selain mereka, termasuk juga artis, influencer,
selebgram, youtuber yang memamerkan gaya hidup hedon dan gemerlap. “Bagaimana pemilik
stasiun TV yang menyiarkan tayangan infotainment?”. Wah, kalo itu mah dedengkotnya iblis;
ngerusak masyarakat secara masal dan singkat. Semoga kita tak termasuk demikian..

“Jika pencapaian MATERI menjadi tolak ukur KESUKSESAN,


maka KESERAKAHAN menjadi mesinnya,
MANIPULASI adalah bahan bakarnya
dan KAPITALIS adalah sistemnya.”

“Aku gak ‘merasa’ menipu koq”. Periksa kembali ‘nurani’ kita, bisa jadi sudah terbungkam membisu
oleh ‘pembenaran’ yang sering dilakukan. “Pokoknya bagaimana aku harus ‘terlihat’ sukses..!”, tak
peduli korban-korban di sekitar kita.

“Aku emang bohong ‘kecil’, tapi aku tak berniat merugikan mereka. Toh, ini kan STRATEGI
PEMASARAN”. Itulah awal dari pergeseran nilai. Maling besar juga dimulai dari maling kecil. Para
koruptor juga awalnya bukan ‘peminta’, tapi ‘penerima jatah’ dari atasan. Hingga perlahan materi
memanjakan mereka. Nikmatnya…

Bedakan Kendaraan versus Tujuan

Makna sukses seperti kompas hidup kita. Jika salah memahami makna sukses, maka kita akan
salah arah. Jika salah memilih role model bagi kita dan anak-anak kita, maka siap-siap tersesat dan
mengorbankan orang lain. Nabi Muhammad SAW lebih ‘memilih miskin’, meski Gunung Uhud pun
ditawarkan diubah menjadi emas untuknya, jika Ia mau. Nabi Isa AS yang diberikan mukjizat
menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, tidak juga ‘memilih jalan kaya’. Bahkan
Siddhartha Gautama melengserkan dirinya sebagai putra mahkota dan hidup sangat ala kadar.
Kenapa umat mereka memilih kaya raya?

“Tapi kalau kita bisa kaya raya, kan bisa bantu banyak orang?”. Biasanya orang yang berkata
begitu, akan terlena jika ia kaya dan akan oportunis (+manipulatif) dalam proses menuju kaya,
karena tak bisa membedakan mana tujuan dan mana kendaraan.
Jika bermanfaat bagi banyak orang adalah tujuan kita, tak perlu menunggu kaya. Target utamanya
bukanlah omset/profit, tapi “Berapa banyak orang miskin yang bisa kuentaskan?”, dengan ijin
Allah tentunya.

Jika tujuannya adalah mengentaskan kemiskinan, maka jalan yang kita tempuh tak boleh yang
berlawanan dengan tujuan tersebut. Alias menjaga keberkahan dalam setiap prosesnya.

Misalnya kita dihadapkan oleh suatu pilihan dalam menjalankan bisnis:


A. Membeli mesin; produksi lebih banyak, profit lebih besar.
B. Menggunakan tenaga manusia; banyak drama, lebih lambat, profit lebih kecil.
Mana yang akan kita pilih? Ya tergantung tujuan utama yang tersembunyi di hati kecil kita.

Jika memang tujuan kita menjadi jembatan rejeki bagi orang lain, maka drama karyawan adalah
proses yang harus kita jalani sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Andai dikarenakan menjadi
jembatan, kemudian Allah memberikan kelimpahan pada kita, itu adalah bonus, bukan tujuan
utama.

Kilauan materi sering membuat kita makin ambisius dan membahayakan orang-orang di sekitar kita.
Setelah satu persatu impian kita terpenuhi, tak hadir juga rasa syukur itu. Yang ada semakin ‘rakus’
ingin mendapatkan lebih dan lebih lagi. Selain nafsu pemenuhan pribadi, juga nafsu untuk ‘dinilai
orang lain’. Hingga di suatu titik, kita tersadar, bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang semu.
Semoga tersadarkan, sebelum terjadi..

Kebangkrutan, seringkali adalah kejadian yang ‘bagus’, karena berusaha mereset ‘penghambaan’
kita terhadap manusia. Awalnya mungkin protes kepada Allah, namun jika direnungkan secara
mendalam, kebangkrutan adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Mungkin kita belum
sepenuhnya kembali ke jalan yang benar, yang penting kita terus berjalan ke ‘arah yang benar’..

“Jangan biarkan orang lain membentuk 'MAKNA SUKSESMU'.


Karena dirimu sendiri yang tahu 'Makna Sukses SEJATIMU'.
Orang SUKSES adalah orang yang MERDEKA dari penilaian orang lain.”

“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Apakah kita mengimani
hadits tersebut atau hanya sekadar menjadi slogan nasehat bagi orang lain, bukan bagi kita sendiri?

Jika standar sukses berubah, maka kesuksesan itu bisa kita pungut di sekitar kita saat ini, bukan
nanti..! Seperti kata Om Bob, “Sukses bagiku, bisa makan sepiring nasi hari ini”.

Jadi… Apa makna sukses Anda?

Anda mungkin juga menyukai