Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

Dr. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH, FINASIM


Divisi Ginjal dan Hipertensi
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Anemia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai pada Penyakit Ginjal
Kronik (PGK). Anemia merupakan komplikasi yang penting karena merupakan
prediktor kejadian kardiovaskuler dan kematian pada PGK. Pada PGK umumnya
anemia mulai timbul pada stadium 3 dan hampir selalu ditemukan pada stadium 5,
namun pada beberapa pasien anemia telah timbul lebih awal dimana penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) masih relatif ringan.l

Penyebab utama anemia pada PGK adalah defisiensi relatif hormon


eritropoietin, namun banyak faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal yaitu
yaitu penurunan usia eritrosit karena toksisitas uremik, kehilangan darah melalui saluran
cerna, defisiensi besi, defisiensi folat, hiperparatiroid berat, inflamasi dan infeksi.

Prinsip penatalaksanaan awal anemia pada PGK adalah mengidentifikasi faktor-


faktor yang memperberat anemia tersebut dan melakukan koreksi secara spesifik dan
terapi erythropoietin stimulating agent (ESA).2,3,4 Sebelum ditemukannya ESA, hanya
transfusi darah yang dianggap aman dalam terapi anemia pada PGK. Penemuan ESA
telah mengubah penanganan anemia dalam 20 tahun terakhir, dan menghilangkan
anemia sebagai penyebab utama morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup pasien
PGK.

Peran Anemia Pada PGK

Anemia merupakan penyulit yang sangat penting pada PGK. Anemia merupakan
salah satu faktor risiko yang memperburuk perjalanan PGK. Anemia juga merupakan
komorbiditas gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Berbagai penelitian melaporkan makin rendah hemoglobin ( Hb) makin tinggi
mortalitas, sehingga anemia disebut juga multiplier factor pada mortalitas5,6

Mengingat pentingnya peran anemia pada perjalanan PGK maka penangan anemia
sejak dini sangat penting dalam memperlambat progresivitas PGK serta menurunkan
morbiditas dan mortalitas.

Diagnosis dan Evaluasi

Anemia renal merupakan anemia pada PGK yang terutama disebabkan oleh
penurunana kapasitas produksi eritropoetin. Disebut anemia jika kadar hemoglobin (Hb)
<14 g/dl (laki-laki) atau < 12 g/dl (perempuan). Pada pasien PGK yang belum
mengalami anemia, skrining anemia dianjurkan minimal 1 tahun sekali. Pada kondisi
tertentu skrining dilakukan lebih sering misalnya diabetes, kelainan jantung, riwayat
penurunana Hb sebelumnya.6

KDIGO (Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease 2012)
merekomendasikan pada pasien anemia yang tidak dalam terapi Erythropoietin
stimulating agent (ESA), pemeriksaan Hb dilakukan bila ada indikasi klinik atau
minimal setiap 3 bulan pada pasien dengan PGK 3-5-non dialisis (PGK 3-5-ND) dan
minimal setiap bulan pada PGK stadium 5 yang menjalani hemodialisis (PGK 5-HD).2

Jika didapatkan anemia maka dilanjutkan dengan pemeriksaan CBC, hapusan


darah tepi, hitung retikulosit, uji darah samar feses, pemeriksaan kadar besi serum
(serum iron/SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin (ST), dan feritin
serum. Saturasi transferin dapat dihitung dari serum iron dibagi TIBC dikalikan 100
%.2,6,7

Profil zat besi menunjukkan adanya kemungkinan anemia oleh kekurangan zat besi
yang dapat diatasi segera setelah pemberian terapi. Dari pemeriksaan morfologi darah
tepi dapat juga dicurigai adanya kemungkinan anemia disebabkan oleh defisiensi vit
B12 atau asam folat.2

Terapi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

Pada prinsipnya sebelum memulai terapi ESA. terlebih dahulu dikaji


kemungkinan faktor lain yang memperberat keadaan anemia. Anemia pada PGK
menunjukkan morfologi eritrositnormositik normokrom.2,6,8 Penatalaksanaan anemia
pada PGK selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.

Terapi Besi pada PGK

Pada evaluasi anemia memberi kemungkinan diagnosis anemia defisiensi besi


dapat diterapi dini dan tepat. Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status
besi. Status besi dikatakan cukup sebagai syarat memulai terapi ESA bila saturasi
transferin (satT)> 20 % dan feritin serum > 100 ug/L (pasien pre-dialisis) dan > 200
ug/L (pasien dialisis). Bila ditemukan defisiensi besi maka defisiensi besi haruslah
dikoreksi terlebih dahulu.9

KDIGO 2012 merekomendasikan pada pasien anemia yang belum mendapat


terapi besi maupun terapi ESA, disarankan untuk diberikan terapi besi (trial therapy),
secara IV pada pasien HD dan oral pada PGK-ND dan PGK-PD selama 1-3 bulan, bila
satT < 30% dan feritin < 500ng/mL. Terapi besi percobaan tersebut juga disarankan
pada pasien yang sudah mendapat ESA namun belum mendapat terapi besi.

Rute suplementasi besi pada pasien PGK-ND tergantung dari derajat beratnya
defisiensi besi, ketersediaan akses vaskuler, respons terhadap terapi besi oral
sebelumnya, efek samping terapi besi oral, kepatuhan pasien dan biaya. Terapi besi oral
diindikasikan pada pasien PGK non-D dan PGK-PD dengan defisiensi besi. Jika setelah
3 bulan ST tidak dapat dipertahankan ≥20% dan/atau FS ≥ 100 ng/ml, maka dianjurkan
untuk pemberian besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada
pasien PGK-HD.6

Hb < 10 g/dl

Status besi

 ST > 50% Anemia Defisiensi Besi Absolut


 ST ≥ 20% dan FS > 500 ng/dl
 ST < 20% dan FS > 800 ng/ml Tunda ESA
Terapi Besi Fase Koreksi

Cukup Anemia Defisiensi Besi Fungsional

Terapi ESA fase koreksi


Epoetin α atau Epoetin β : 2000-5000 IU, 2x seminggu
atau 80-120 IU/kg BB/minggu
C.E.R.A : 0,6 µg/kgBB atau 50-75 µg setiap 2 minggu

Target Respon
Hb ↑ 0,5-1,5 g/dl dalam 4 minggu

Belum tercapai Melebihi target

Tercapai Dosis ↑ 25% tiap


4 minggu Hb 12-13 g/dl atau Hb > 13 g/dl
Hb↑ > 1,5 g/dl
dalam 4 minggu
Belum tercapai
Pertahankan dosis ESA
sampai target Hb tercapai (Hb
10-12 g/dl) Dosis ↓ 25% STOP ESA
Cari penyebab
respon ESA tidak
adekuat Evaluasi 1 bulan
Tercapai

Dosis ESA fase pemeliharaan


Epoetin α dan β : 2000-5000 IU/minggu
C.E.R.A : sama dengan kebutuhan dosis fase koreksi dalam 1 bulan diberikan setiap 4 minggu

* Keterangan :
Kotak hitam = terapi besi tidak diberikan
Kotak Abu-abu = diberikan terapi besi koreksi, ESA ditunda sementara
Kotak putih = ESA diberikan bersamaan dengan terapi besi fase pemeliharaan

Gambar 1. Penatalaksanaan Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik7

Pada pasien yang dalam terapi ESA disarankan untuk mengevaluasi status besi
setiap 3 bulan, atau lebih serimg pada pasien dengan risiko kebutuhan besi yang tinggi
seperti, pada pasien yang baru mendapat terapi ESA, atau ada perdarahan. Hindari
pemberian terapi besi pada keadaan infeksi sistemik.2 Rute pemberian zat besi sebagai
persiapan terapi ESA pada pasien HD direkomendasikan untuk diberikan intravena.2,6
Terapi besi ada dalam 2 fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Terapi
besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi anemia defisiensi absolut, sampai status besi
cukup yaitu ST ≥20% dan FS mencapai ≥200 ng/ml (PGK-HD). Dosis uji coba (test
dose) dilakukan sebelum mulai terapi besi intravena pertama kali untuk mengetahui
adanya hipersensivitas terhadap besi. Dosis terapi besi fase koreksi 100 mg 2X per
minggu, saat HD, dengan perkiraan dosis total 1000 mg (10× pemberian). Pemeriksaan
status besi ulang dilakukan satu minggu setelah dosis penuh selesai diberikan. 2,6

Terapi besi fase pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan


besi untuk eritropoiesis selama pemberian terapi ESA dengan target terapi ST: 20-50%,
FS:100-500 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD) 200-500 ng/ml (PGK-HD).6 Status besi
diperiksa setiap 1-3 bulan dan dosis terapi besi disesuaikan dengan kadar ST dan FS.
Bila ST >50%, tunda terapi besi, terapi ESA tetap dilanjutkan ST 20-50%.2,6 KDIGO
2012 tidak merekomendasikan pemberian besi secara rutin bila satT >30% dan feritin
serum >500 ug/L, kecuali bila manfaat pemberian obat tersebut lebih banyak dibanding
kemungkinan risiko yang terjadi.2

Terapi Erythropoietin Stimulating Agent (ESA).

Terapi ESA dimulai setelah identifikasi faktor lain yang memperberat anemia dan
lakukan koreksi terlebih dahulu. Selain ltu pastikan bahwa status besi cukup untuk
memulai terapi ESA. Dalam pemberian ESA hendaknya dipertimbangkan antara potensi
manfaat pemberian ESA untuk mengurangi kebutuhan transfusi dan memperbaiki gejala
anemia dengan potensi risiko seperti stroke, trombosis akses vaskuler dan hipertensi.2

Indikasi terapi ESA bila Hb < 10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan.2 Terapi ESA juga harus memenuhi syarat yaitu tidak ada defisiensi besi
absolute dan tidak ada infeksi yang berat. Kontra indikasi ESA adalah bila hipersensitif
terhadap ESA. Perlu juga diperhatikan pada terapi ESA adalah tekanan darah yang
tinggi serta hiperkoagulasi.6 Keputusan untuk memulai terapi ESA hendaknya melihat
kebutuhan pasien secara individu, ada kemungkinan pasien tertentu sudah
membutuhkan ESA dan lebih mendapatkan manfaat bila dimulai pada tingkat Hb > 10
g/dL.2

Beberapa preparat ESA yang ada di Indonesia saat ini antara lain Eritropoietin alfa,
Eritropietin beta, dan CERA (continuous erythropoiesis receptor activator) suatu ESA
dengan masa paruh yang panjang.

Dosis untuk Eritropoietin 80-120 U/Kg/minggu subkutan (SK) atau 120-l80


U/Kg/minggu intravena (IV). Pemberian SK lebih dianjurkan karena masa paruh lebih
panjang dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil.9 KDIGO 2012 menganjurkan dosis ESA
alfa atau beta dimulai dengan 20-50 IU/KgBB 3x/minggu. Frekuensi pemberian
3x/minggu karena disesuaikan dengan frekuensi HD di luar negeri yang berlangsung 3
kali seminggu. Dosis CERA dimulai 0,6 ug/KgBB SK atau IV setiap 2 minggu pada
fase koreksi dilanjutkan setiap satu bulan pada fase pemeliharaan,7 atau bila memulai
dengan frekuensi satu kali sebulan dapat dimulai dengan l,2 ug/KgBB.2

Target kenaikan Hb 1-1.5 g/dL perbulan (PERNEFRI), sementara KDIGO 2012


merekomendasikan 1-2 g/dL/ bulan pada koreksi anemia fase inisiasi/awal, dengan
menghindari kenaikan Hb yang cepat > 2g/dL. Target Hb yang dianjurkan pada
umumnya 11,5 g/dL (KDIGO 2012),2 menurut panduan Manajemen Anemia
PERNEFRI 2010 target Hb 10-12g/dL.7 Selama fase koreksi untuk mencapai target Hb
disarankan memeriksa respons kenaikan Hb minimal setiap bulan, dan setelah itu pada
fase pemeliharaan pemeriksaan Hb dilakukan tetap setiap bulan pada PGK-D, dan
minimal setiap 3 bulan pada PGK-ND.2

Selama terapi ESA dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi dengan dosis
pemeliharaan sesuai kebutuhan. pada umumnya 50-100 mg setiap dua minggu.
Kemudian pemeriksaan status besi untuk monitoring diulang secara rutin setiap tiga
bulan. 1,6

Transfusi Darah

Tindakan transfusi darah sedapat mungkin dihindari pada pasien PGK, karena
banyak komplikasi yang bisa timbul baik saat transfusi maupun setelahnya. Penyulit
yang sering terjadi adalah: kelebihan cairan di sirkulasi, transmisi penyakit infeksi,
reaksi transfusi, kelebihan zat besi.Transfusi dipertimbangkan jika manfaatnya lebih
besar daripada risiko yang ditimbulkannya misalnya pada pasien yang terapi ESA nya
tidak efektif, keadaan mengancam jiwa karena perdarahan aktif, perioperatif yang
memerlukan koreksi cepat. Transfusi sebaiknya diberikan secara bertahap untuk
mencegah kelebihan cairan disirkulasi.

Ringkasan

Anemia merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) yang penting


karena memberikan kontribusi yang bermakna terhadap gejala dan komplikasi
kardiovaskuler. Patogenensis anemia pada PGK bersifat multifaktorial. Faktor utama
yang berperan adalah defisiensi relatif hormon eritropoietin. Penatalaksanaan anemia
pada PGK meliputi pemeriksaan berkala kadar HB, penilaian status besi, pemberian
preparat besi dan terapi ESA. Tindakan transfusi darah sedapat mungkin dihindari
dalam tata laksana anemia pada PGK.

Daftar Pustaka

1. Besarab A, Yee J. Treatment of Anemia in Patients with End-Stage renal disease.


In: Henrich WL (ed). Principles and Practice of Dialysis. Philadelphia: Lippinkott
William and Wilkins 2009;499-523

2. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.Kidney


Int Suppl 2012: 283-308.

3. Erslev AJ, Wilson J, Caro J. Erythropoietin titers in anemic ninuremic patients. J


lab Clin Med 1987:109:429-433

4. Fishbane S. Upper limit of serum ferritin: misinterpretation of the 2006 KDOQI


anemia guidelines. Semin dial 2008;21:217-220.
5. Bellizzi V. Low Protein Diet or Nutritional Therapy in Chronic Kidney Disease?.
Blood Purif 2013;36:41-46.

6. Mandayam S, Mitch WE. Diteray protein restriction benefits patients with chronic
kidney disease. Nephrology. 2006;11:53-57.

7. Konsensus Manajemen Anemia pada Gagal Ginjal kronik. Perhimpunan Nefrologi


lndonesia, Jakarta 2010.

8. Gameata L, Mircesu G. Nutritional intervention in uremia-myth or reality? J Ren


Nutr. 2009;20:S31-S34.

9. KDOQI (2007) KDOQI Clinical Practice Guideline and Clinical Practice


Recommendationsfor anemia in chronic kidney disease: update of hemoglobin
target. Am J Kidney Dis 2007; 50: 471-530

Anda mungkin juga menyukai