Anda di halaman 1dari 16

Ny M, 30 tahun, karyawan swasta dengan keluhan sesak napas dan mengeluhkan ujung-ujung

tangan dan kakinya dingin sejak 6 jam yang lalu.


- Sejak 2 hari yang lalu, pasien mengeluh demam dan batuk. Hari kedua demam pasien
berobat ke dokter dan mendapat obat kotrimoksazol tablet, parasetamol tablet, dan sirup
obat batuk. Dua belas jam setelah makan obat tersebut muncul bengkak pada mata, bibir,
lalu timbul bentol disertai gatal pada kedua lengan, tungkai, hingga seluruh badan dan
mual.
- Dua bulan yang lalu pasien pernah makan obat yang sama karena keluhan diare tetapi
tidak ada gejala seperti saat ini setelah makan obat.
- Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu menderita eksim. Riwayat asma pada
pasien disangkal.
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis; tekanan darah 90/60 mmHg; frekuensi nadi 120x/menit; regular, isi
dan tegangan kurang, frekuensi napas 32x/menit , suhu 37,20 C, palpebra superior edema, labia
oris superior dan inferior edematous.
Thoraks : Jantung: frekuensi denyut jantung: 120x/menit, murmur (-), gallop (-)
Paru : wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : kulit: gambaran urtikaria
Pemeriksaan penunjang:
Hb 12,2 gr/dL, leukosit 8.400/mm3, hitung jenis 2/6/4/62/20/6 , ureum 18 mg/dL, kreatinin 0,46
mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.

Analisis Masalah
1. Bagaimana mekanisme sesak napas?
Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun
makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan
basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu
terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain
histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu
sintesis SRS-A (Slow reacting substance of Anaphylaxis) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos
bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. Efek biologis histamin
terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan
respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada
jaringan menentukan efek akhirnya.

2. Adakah interaksi antar obat? Jika ada, jelaskan!


Untuk cotrimoxazole dan paracetamol tidak ditemukan adanya interaksi antar obat. Reaksi
obat dapat terjadi akibat adanya alergi terhadap obat, baik pada antibiotic maupun
paracetamol.
3. Mengapa gejala timbul 12 jam setelah konsumsi obat?
Pada reaksi hipersensitivitas tipe 1, terdapat fase sensitisasi, aktivasi, dan efektor. Pada fase
aktivasi, terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Fase aktivasi merupakan
waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/ basofil
melepas isinya yang berupa granul yang menimbulkan reaksi.
4. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal hasil pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan Kasus Nilai Normal Interpretasi
Keadaan umum:
- Sensorium Compos Mentis Compos mentis Normal
Vital sign:
- HR 120 x/menit 60-100 Takikardia
- RR 32 x/menit 16-20 Takipnea
- TD 90/60 mm/Hg 120/80 mmHg Hipotensi
- Temp 37,2˚C 36,5-37,5 ˚C Normal
Kepala
- Palpebra Edema (superior) (-) Abnormal
- Labia oris Edematous (super- (-) Abnormal
ior & inferior)
Heart and lung
- Frekuensi 120 x/menit 60 – 100 Takikardia
denyut jantung
- Murmur (-) (-) Normal
- Gallop (-) (-) Normal
Abdomen Batas normal Normal Normal
Ekstremitas:
- Kulit Gambaran urtikaria (-) Abnormal
Mekanisme abnormal:
a. Takikardia
Salah satu efek histamine adalah takikardia (H1).
b. Takipnea
Reaksi kompensasi akibat bronkokontriksi yang disebabkan oleh histamine.
c. Hipotensi
Salah satu efek histamine adalah hipotensi (H1 dan H2).
d. Edema palpebral dan labia oris
Edema terjadi akibat histamin yang memberikan efek peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyebabkan edema. Edema sering terjadi pada palpebral dan labia oris
karena pada lokasi tersebut jaringan subkutisnya renggang sehingga tekanan dari
jaringannya juga rendah sehingga mudah terjadi edema.
Gambaran bengkak pada palpebral dan labia oris juga dapat merupakan gambaran
angioedema. Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan
subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak berbatas
tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung saraf perifer,
dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka (periorbita dan perioral).
e. Urtikaria
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit
berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh
darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan
merangsang ujung saraf perifer kulit sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol
merah yang gatal.
5. DD
Kadangkala sulit untuk membedakan anafilaksis dengan asma, pingsan akibat
kekurangan oksigen (sinkop), dan serangan panik. Penderita asma biasanya tidak
menunjukkan gejala gatal atau gejala saluran cerna. Ketika seseorang pingsan, kulitnya pucat
dan tidak beruam. Seseorang yang mengalami serangan panik mungkin kulitnya kemerahan
tapi tidak berbentol merah dan gatal. Kondisi lain yang juga menunjukkan gejala serupa
adalah keracunan makanan yang berasal dari ikan busuk (scombroidosis) dan infeksi akibat
parasit tertentu (anisakiasis).
6. Diagnosis
a. Terjadinya gejala penyakit segera (beberapa menit sampai jam), yang melibatkan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria yang merata, pruritus,atau kemerahan, edema
bibir-lidah-uvula), paling sedikit satu dari gejala berikut :
1) Gangguan pernapasan (sesak, mengi, bronkospasme, stridor, penurunan arus
puncak ekspirasi (APE), hipoksemia.
2) Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ (hipotonia
atau kolaps, pingsan, inkontinens)
b. Dua atau lebih dari petanda berikut ini yang terjadi segera setelah terpapar serupa
alergen pada penderita (beberapa menit sampai jam):
1) Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria yang merata, pruritus-kemerahan,
edema pada bibir-lidah-uvula)
2) Gangguan pernapasan (sesak, mengi, bronkospasme, stidor, penurunan APE,
hipoksemia)
3) Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan (hipotonia-kolaps,
pingsan, inkontinens)
4) Gejala gastrointestinal yang menetap (kram perut, sakit, muntah)
c. Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar alergen (beberapa menit sampai jam)
1) Bayi dan anak : tekanan darah sistolik rendah (tgt umur), atau penurunan lebih
dari 30% tekanan darah sistolik.
2) Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau penurunan lebih dari
30% nilai basal.
2. Etiologi
LI
3. Patofisiolgi
LI
4. Komplikasi
a. Syok anafilaktik, dapat menyebabkan henti nafas atau sumbatan saluran nafas
b. Serangan jantung, cardiac arrest, aritmia
c. Kematian
5. SKDI: 4A (tatalaksana, followup sampai tuntas)

REAKSI ANAFILAKSIS

Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang
bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi,
pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut
sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal.
Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap
suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien kontak
dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan vasoaktif lainnya dilepaskan dari
basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis,
tetapi reaksi ini dimediasi langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi
antibodi IgE.
Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering dijumpai pada pemberian obat
seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi (tubokurare, alkuronium, atrakurium).
Manifestasi klinik biasanya ringan, terdiri dari urtikaria (kemerahan dan pembengkakan kulit),
biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang-kadang hipotensi ringan.
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi alergi tidak terkecuali
bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang terlibat dalam menyebabkan reaksi
anafilaktik antara lain tiopenton, suksametonium, obat pelumpuh otot non depolarisasi, anestetik
lokal golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran, kanji dan glatin) serta lateks.
Mekanisme imunopatologik
Beberapa penulis menggolongkan istilah anafilaksis hanya untuk kejadian yang Ig-E
dependent dan istilah anafilaktoid untuk reaksi yang Ig-E independent yang keduanya memiliki
gambaran klinik yang sulit dibedakan. Coombs dan Gell pertama menglasifikasikan 4 tipereaksi
hipersensitivitas (imunopatologik): I. immediate (Ig-E dependent); II. Cytotoxic (Ig-G, Ig-M
dependent); III. Immune complexes (Ig-G, Ig-M complex dependent); IV. Delayed (T-
lymphocyte dependent).
Bukan hanya reaksi Ig-E dependent yang dapat menyebabkan anafilaksis tapi juga
cytotoxic (seperti reaksi transfusi darah) dan immune complex (seperti injeksi complex
gammaglobulin IM/IV). Sell mengusulkan system klasifikasi alternative berdasarkan 7
mekanisme immunopatologik dengan kedua fungsi proteksi dan destruksinya:
1. Inaktivasi immune-mediated-reaksi aktivasi dari biological aktif molekul;
2. Antibody-mediated cytotoxic atau reaksi cytolitik;
3. Reaksi immunecomplex;
4. Reaksi alergi;
5. T-lymphocyte-mediated cytotoxicity;
6. Delayed hypersensitivity;
7. Reaksi granulomatous.
Reaksi ke 4 pada klasifikasi ini menggabungkan kedua reaksi anafilaksis dan anafilaktoid,
tapi beberapa mekanisme immunopatologik ini dapat secara aktif menyebabkan reaksi anafilaksis
pada individu tertentu. Sebagai contoh, aggregate anafilaksis melibatkan formasi kompleks
immune dan transfusi related anafilaksis memiliki pengaruh dari cytotoxic, keduanya melibatkan
Ig-E dan dapat menyebabkan anafilaksis.
Patogenesis
Berbagai manifestasi klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi
anafilaktik pada umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang
timbul segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan (sesudah
beberapa jam).
1. Fase Sensitisasi
Fase ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, di mana ia akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya,
mekanismenya dapat melalui reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis). Pada
pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti makrofag,
sel dendritik, sel langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan
bersama beberapa sitokin ke sel T-Helper melalui MHC kelas II. Sel T-Helper kemudian
aktif dan mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan
peralihan menjadi sel plasma yg kemudian menghasilkan antibodi termasuk IgE lalu
melekat pada permukaan basofil, mastosit dan sel B sendiri.
2. Fase Aktivasi
Fase ini adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-
antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Fase ini adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian
juga dengan Leukotrien.
Grade Dermal Abdominal Respiratory Cardiovascular

I Pruritus
Flush
Urticaria
Angiodema
II Pruritus Nausea Rhinorrhoea Tachycardia (> 20 bpm)
Flush Cramping Hoarseness Blood pressure change
Urticaria Dyspnoea (> 20 mmHg systolic)
Angiodema Arrhytmia
(not
mandatory)
III Pruritus Vomiting Laryngeal Shock
Flush Defecation oedema
Urticaria Diarroea Bronchospasm
Angiodema Cyanosis
(not
mandatory)
IV Pruritus Vomiting Respiratory Cardiac arrest
Flush Defecation arrest
Urticaria Diarrhoea
Angiodema
(not
mandatory)
Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen
tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun
makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen
tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada
paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen
antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang
terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A (Slow reacting
substance of Anaphylaxis) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang
menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15
menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot
polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi
reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2
pada jaringan menentukan efek akhirnya.
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat
menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada
tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi
mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat
yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena
dapat merangsang terlepasnya mediator.
Patofisisologi dan mediator-mediator kimia dari anafilaksis
Mediator biokimia dan substansi kemotaktik terlepas ke sistemik selama proses
degranulasi dari sel mast dan basofil. Termasuk terbentuknya substansi granule-associated, seperti
histamine, tryptase, chymase, dan heparin; histamine realizing factor, dan cytokines lainnya. Dan
pembentukan lipid-derived mediator baru, seperti PGD2, leukotrine (LTB4), plateletactivating
factor, dan cysteinyl leukotrines LTC4, LTD4, dan LTE4. Eosinophils dapat berperan sebagai
proinflamasi (contoh: pelepasan cytotoxic granule-associated protein) dan anti-inflamatori
(contoh: metabolism dari mediatorvasoactive).
Histamine mengaktifkan reseptor H1 dan H2. Pruritus, rhinorrhea, takikardi, dan
bronkhospasm adalah efek dari pengaktifan reseptor H1, kedua reseptor H1 dan H2 memediasi
terjadinya sakit kepala, flushing, dan hipotensi. Level serum histamin berhubungan dengan
tingkat keparahan dan persistensi dari manifestasi kardiopulmona, tapi tidak berhubungan dengan
terjadinya utrikaria, tanda dan gejala gastrointestinal lebih berhubungan dengan level histamin
dari pada level tryptase.
Reseptor H3 berperan pada model canine dari anafilaksis. Reseptor presinaptik inhibitori
ini memodulasi pelepasan norepinefrin endogen dari serabut simpatetik yang menginervasi
system kardiovaskular. Studi pada hewan coba dengan pretreatment H3 reseptor antagonis
theoperemide maleate menunjukan frekwensi nadi yang lebih tinggi dan fungsi sitolis ventrikel
kiri yang lebih besar dibandingkan dengan grup non treatment atau grup dengan terapi lain yang
melibatkan blok reseptor H1 dan H2, cyclooxygenase dan LT pathway. Implikasi potensial untuk
subjek manusia dan anafilaksis belum diteliti.
Tryptase adalah satu-satunya protein yang terkonsentrasi selektif pada granules sekretori
dari sel mast manusia. Level tryptase plasma berhubungan dengan tingkat keparahan klinik dari
anafilaksis. Karena beta-tryptase tersimpan dalam granule sekretori sel mast, pelepasannya lebih
spesifik untuk aktifasi dari pada alfa-tryptase, yang ternyata merupakan sekresi konstitutif.
Histamine berikatan dengan reseptor H1 selama masa anafilaksis, menstimulasi sel
endothelial untuk merubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide (NO), autocoid vasodilator
yang potent. NO mengaktifkan guanilate cyclase, menyebabkan vasodilatasi dan produksi dari
cyclase guanosine manaphosphate. Secara fisiologis, NO memodulasi tonus vaskuler dan tekanan
darah regional. Peningkatan produksi NO menurunkan venous return, yang disebabkan oleh
vasodilatasi yang terjadi pada saat anafilaksis. Tetapi pada studi dengan binatang invivo dengan
NO inhibitor menyebabkan depresi miokard yang difasilitasi oleh pelepasan histamine, produksi
LT, dan vasokonstriksi koroner. NO inhibitor selama masa anafilaksis juga menyebabkan spasme
bronkhus, menunjukkan bahwa NO dapat menurunkan tanda dan gejala dari anafilaksis tapi
memperberat vasodilatasinya.
Metabolit dari asam arachidonic meliputi produk dari lipoxygenase dan cyclooxygenase
pathway. Sebagai contoh, LTB4 adalah agent kemotaktik dan secara teoritis mungkin memiliki
kontribusi pada fase akhir dari anafilaksis dan reaksi proteksi. Ada inflamatori pathway lain yang
mungkin penting dalam prolongasi dan amplifikasi dari anafilaksis. Pada episode berat dari
anafilaksis, terjadi hubungan aktivasi dari komplemen, jalur koagulasi, kontak kallikrein-kinin
system. Penurunan dari C3 dan C4 dan generasi dari C3a telah dilaporkan pada anafilaksis. Bukti
dari jalur koagulasi meliputi penurunan dari factor V dan factor VIII dan fibrinogen. Penurunan
tinggi berat molekul kininogen dan pembentukan kallikrein-C1 dan factor XIIa-C1 inhibitor
kompleks mengindikasi aktivasi kontak system. Aktivasi dari kallikrein tidak hanya manghasilkan
formasi dari bradikinin tetapi juga aktivasi dari factor XII. factor XII sendiri dapat menyebabkan
clotting dan clotlysis melalui formasi plasmin. Plasmin itu sendiri dapat mengaktivasi
komplemen, sebaliknya beberapa mediator yang lain mungkin memiliki efek yang baik yang
membatasi reaksi anafilaksis. Contohnya: chymase dapat mengaktivkan angiotensin II, yang
dapat memodulasi hipotensi. Heparin menghambat clotting, kallikrein dan plasmin. Juga
merangsang formasi complement dan memodulasi aktifasi tryptase.

Agen yang dapat menyebabkan anafilaksis


Gambaran Klinik Anafilaksis
Gambaran yang paling sering adalah berasal dari kardiovaskuler. Tidak semua gejala terjadi pada
setiap pasien – satu gejala mungkin lebih mencolok dibandingkan gejala yang lain. Reaksi
berkisar dari yang ringan sampai yang mengancam hidup.
a. Kardiovaskuler: Hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. Takikardi, aritmia, EKG mungkin
memperlihatkan perubahan iskemik. Henti jantung.
b. Sistem Pernapasan: Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat menyebabkan stridor atau
obstruksi saluran napas. Bronkospasme – pada yang berat.
c. Gastrointestinal: Terdapat nyeri abdomen, diare atau muntah.
d. Hematologi: Koagulopati.
e. Kulit: Kemerahan, eritema, urtikaria.
Signs & symptoms
Cutaneous 90%
Urticaria & angiodema 85-90%
Flushing 45-55%
Pruritus without rash 2-5%
Respiratory 40-60%
Dyspnea, wheeze 45-50%
Upper airway angioedema 50-60%
Rhinitis 15-20%
Dizziness, syncope, hypotension 30-35%
Abdominal
Nausea, vomiting, diarrhea, cramping pain 25-30%
Miscellaneous
Headache 5-8%
Substernal pain 4-6%
Seizure 1-2%

Jantung sebagai syok organ pada anafilaksis


Mediator kimia pada anafilaksis ternyata berefek langsung pada miokardium. Reseptor
H1 memediasi vasikonstriksi pada arteri koroner dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sementara reseptor H2 meningkatkan kontraktilitas atrium dan ventrikel, frekwensi atrium, dan
vasodilatasi arteri koroner. Interaksi dari stimulasi reseptor H1 dan H2 menghasilkan penurunan
tekanan diastolis dan penurunan tekanan nadi.
Secara klinis anafilaksis dihubungkan dengan iskemik miokardium dan defek konduksi
atrial dan ventricular aritmia dan abnormalitas gelombang T. perubahan-perubahan tersebut
berhubungan dengan efek langsung dari mediator terhadap miokardium atau eksaserbasi dari
preeksisting insufisiensi miokardium karena stress hemodinamik dari anafilaksis masih belum
jelas. Raper dan Fisher menjelaskan 2 subjek yang sebelumnya sehat mengalami depresi
miokardium selama anafilaksis. Echocardiografi, nuclear imaging, dan pengukuran hemodinamik
mengkonfirmasi adanya disfungsi miokardium. Terapi anafilaksis deberikan dengan tambahan
intraaortik ballon counterpulsation untuk mensuport hemodinamik. Ballon counterpulsation
diperlukan selama lebih dari 72 jam karena depresi miokard persisten, malaupun tanda-tanda
klinis anafilaksis lainnya sudah berkurang. Kedua subjek sembuh, tanpa adanya disfungsi
miokard.
Peningkatan permeabilitas vaskuler selama anafilaksis dapat menyebabkan perpindahan
50% dari cairan intravascular ke ekstravaskular dalam waktu 10 menit. Pergeseran dalam effective
blood volume tersebut mengaktifkan system rennin-angiotensin-aldosteron dan menyebabkan
pelepasan katekolamin kompensatori, dimana keduanya dapat memberikan efek klinis yang
bervariasi. Beberapa subjek mangalami peningkatan resistensi vaskuler peripheral yang abnormal
(vasokonstriksi maksimal), sementara lainya mengalami penurunan resistensi vascular sistemik,
walaupun terjadi peningkatan level katekolamin. Sel mast terakumulasi di koronari plaques dan
menyebabkan thrombosis artri koroner, karena antibody yang berikatan dengan reseptor sel mast
dapat mentriger degranulasi, beberapa peneliti menunjukkan bahwa reaksi alergi berpotensi
menyebabkan disrupsi plaque. Pelepasan histamine oleh sel mast juga menyebabkan disrupsi
plaque dengan jalan meningkatkan arterial stress hemodinamik, menginduksi vasospasm, atau
keduanya.
Tatalaksana
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat
emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini
diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat
organ tubuh menetap.
Pada komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan awal yang dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.3
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Setelah dilakukan tindakan awal, dilanjutkan dengan penanganan untuk syok anafilaktik,
yaitu sebagai:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang etrbuka dan
bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda- tanda pre
syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar dengan kaki
ditinggikan 30-45 agar darah lebih banyak mengalir ke organ- organ vital. Bebaskan jalan
nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena edema
laring atau angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas ventilasi.
Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus, apneu atau henti jantung
mendadak.
b. Epinefrin

Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan
mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam
sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan setiap 15 menit sesuai berat
gejalanya. Bila penderita mengalami presyok atau syok dapat dengan dosis 0,01 mg/kgbb
secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15 menit sampi tekanan darah sistolik mencapai
90-100 mmHg. Cara lain adalah dengan memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam
fisiologis secara intravena, dilakukan bila perfusi otot jelek karena syok dan pemberiannya
dengan monitoring EKG. Pada penderita tanpa kelainan jantung, adrenalin dapat diberikan
dalam larutan 1:100.000 yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan
diberikan sebanyak 10 ml secara intravena pelan-pelan dalam 5- 10 menit. Adrenalin harus
diberikan secara hati-hati pada penderita yang mendapat anestesi volatil untuk menghindari
terjadinya aritmia ventrikuler.
c. Pemberian cairan infus intravena

Pemberian cairan infus dilakukan bila tekanan sistolik belum mencapai 50 mmHg.
Karena cairan koloid dapat menyebabkan alergi, sebaiknya tidak digunakan pada kasus syok
anafilaktik. Hartmann solution atau salin 0,9% adalah cairan yang tepat untuk resusitasi awal.
Karena cukup banyak cairan yang dibutuhkan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial
sangat membantu.
d. Obat-obat vasopresor

Bila pemberian adrenalin dan cairan infus yang dirasakan cukup adekwat tetapi
tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat diberikan
vasopresor. Dopamin dapat diberikan secara infus dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam dan
dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk mempertahankan tekanan darah
yang membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi yang tetap membandel.
e. Kortikosteroid

Berperan sebagai penghambat mitosis sel prekursor IgE dan juga menghambat
pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid
digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin dan
mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan adalah 7-10
mg/kg i.v prednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan deksametason 40-
50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan dosis 100-200 mg dalam interval 24
jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap.
Dosis hidrokortison diberikan sesuai dengan usia yaitu:
> 12 tahun dan dewasa : 200 mg IM atau IV perlahan
> 6 – 12 tahun
: 100 mg IM atau IV perlahan
> 6 bulan – 6 tahun : 50 mg IM atau IV perlahan

< 6 bulan 
: 25 mg IM atau IV perlahan.
f. Antihistamin

Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target.
Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema
angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1mg/kg tiap 4-6
jam.
Dosis klorpenamin tergantung dengan usia, yaitu:
> 12 tahun dan dewasa : 10 mg IM atau IV perlahan
> 6 – 12 tahun

: 5 mg IM atau IV perlahan
> 6 bulan – 6 tahun 
: 2,5 mg IM atau IV perlahan
< 6 bulan 
: 250 μg/kgbb IM atau IV perlahan. 3
g. Resusitasi Jantung Paru

RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan.
Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya. Bilamana penderita
akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka sebaiknya penderita
dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok
anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih
buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat
yang menguasai penanganan kasus gawat darurat.
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor
paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini
sebaiknya penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif.

Anda mungkin juga menyukai