Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

A. DEFINISI
1. Remaja
Menurut Borring E.G (dalam Hurlock, 2000) mengatakan bahwa
masa remaja merupakan suatu periode atau masa tumbuhnya seseorang
dalam masa transisi dari anak – anak ke masa dewasa yang meliputi semua
perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa remaja.
Sedangkan menurut Papalia dan Olds (2001) masa remaja adalah masa
transisi perkembangan antara masa kanak – kanak dan masa dewasa yang
pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
akhir belasan tahun atau awal puluhan tahun. Menurut Adams & Gullota
(dalam Aaro, 1997) masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun.
Sedangkan Hurlock (2001) membagi masa remaja menjadi masa remaja
awal (13 – 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 – 18 tahun). Masa remaja
awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir
individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa
dewasa.
2. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan
social yang utuh, tidak hanya terbebas dari penyakit dalam segala hal yang
berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksinya (Konferensi
International Kependudukan dan Pembangunan, 2000). Pendidikan
kesehatan reproduksi remaja merupakan program penjabaran dari misi
BKKBN untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
sejak dini demi menciptakan keluarga yang berkualitas. Adanya
pendidikan kesehatan reproduksi remaja bertujuan agar remaja memiliki
pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku kehidupan yang sehat dan
bertanggung jawab melalui promosi, advokasi, komunikasi informasi
edukasi, konseling, pelayanan, dan dukungan kegiatan yang bersifat positif
(Iskandar, 2008; Kusmiran, 2011).
B. RUANG LINGKUP KESEHATAN REPRODUKSI
Menurut Program Kerja WHO ke IX (1996-2001) pada Mei 1994,
masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan keluarga meliputi :
1. Praktik tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti :
mutilasi genital, diskriminasi nilai anak).
2. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak
masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan
remaja, kekerasan / pelecehan seksual dan tindakan seksual tidak aman).
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi
tidak aman.
4. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama
kehamilan, persalinan, dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi
anemia, bayi berat lahir rendah.
5. Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), yang berkaitan dengan Penyakit
Menular Seksual (PMS).
6. Kemandulan yang berkaitan dengan ISR / PMS.
7. Sindrom pre dan post menopause (andropause), dan peningkatan resiko
kanker organ reproduksi.
8. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah usia
lanjut lainnya
Masa remaja sebagai titik awal proses reproduksi menunjukkan
persiapan strategi intervensi perlu dimulai jauh sebelum masa usia subur.
Nilai anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga dan masyarakat,
dan bagaimana perlakuan yang mereka terima merupakan faktor penting
yang turut menentukan kesehatan reproduksi mereka dimasa mendatang.
Dixon menjelaskan bahwa kondisi seksual dikatakan sehat apabila
seseorang berada dalam beberapa kondisi. Pertama, terbebas dan
terlindung dari kemungkinan tertularnya penyakit yang disebabkan oleh
hubungan seksual. Kedua, terlindung dari praktik-praktik berbahaya dan
kekerasan seksual. Ketiga, dapat mengontrol akses seksual orang lain
terhadapnya. Keempat, dapat memperoleh kenikmatan atau kepuasan
seksual. Kelima, dapat memperoleh informasi tentang seksualitas.
Sedangkan, individu dikatakan bebas dari gangguan reproduksi
apabila yang bersangkutan:
a. Aman dari kemungkinan kehamilan yang tidak dikehendaki
b. Terlindung dari praktek reproduksi yang berbahaya
c. Bebas memilih alat kontrasepsi yang cocok baginya
d. Memiliki akses terhadap informasi tentang alat kontrasepsi dan reproduksi
e. Memiliki akses terhadap perawatan kehamilan dan pelayanan persalinan
yang aman
f. Memiliki akses terhadap pengobatan kemandulan (infirtility).

C. KLASIFIKASI
Hal yang berhubungan dengan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yaitu
pubertas yang mempunyai arti awal masa remaja. Pada masa pubertas terjadi
perubahan badaniah yang menandai adanya kemampuan untuk melanjutkan
keturunan (reproduksi). Ada uang menyebut pubertas sebagai saat
pematangan seksual. Perubahan ini disertai perubahanmental dan akan
mempengaruhi perilakumu. Perubahan yang terjadi pada setiap orang itu
berbeda-beda, karena setiap orang memiliki perbedaan saat kematangan
sekseual. Biasanya perempan mengalami pubertas lebih awal pada usia 11-12
tahun, sedangkan laki-laki pada usia 13-15 tahun. Di Indonesia, batasan
remaja mendekati batasan PBB tentang pemuda kurun usia 14-24 tahun
yang dikemukakan dalam Sensus Penduduk 2010. Menurut sensus ini, jumlah
remaja Indonesia adalah 147.338.075 jiwa atau 18,5% dari seluruh penduduk
Indonesia. Pedoman umum masyarakat Indonesia untuk menentukan batasan
usia remaja yaitu 11 – 24 tahun dan belum menikah.
Adapun J.J. Rosseau membagi perkembangan jiwa manusia menurut
perkembangan perasaannya, yang membaginya menjadi 4 tahap yaitu:
1. Umur 0-4 atau 5 tahun: masa kanak- kanan (infancy).
2. Umur 5 –12 tahun: masa bandel (savage stage).
3. Umur 12 –15 tahun: bangkitnya akal (rasio), nalar (reason) dan kesadaran
diri (self consciousness).
4. Umur 15-20 tahun: masa kesempurnaan remaja (adolescence proper) dan
merupakan puncak perkembangan emosi.

D. PERKEMBANGAN FISIK PADA REMAJA


1. Perubahan Eksternal
Perubahan yang terjadi dan dapat dilihat pada fisik luar anak.
Perubahan tersebut ialah :
a. Tinggi Badan : Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi matang
pada usia antara tujuh belas dan delapan belas tahun, rata-rata anak
laki-laki kira-kira setahun setelahnya.
b. Berat Badan: Perubahan berat badan mengikuti jadual yang sama
dengan perubahan tinggi badan, perubahan berat badan terjadi
akibat penyebaran lemak pada bagian-bagian tubuh yang hanya
mengandung sedikit lemak atau bahkan tidak mengandung lemak.
c. Proporsi Tubuh : Berbagai anggota tubuh lambat laun, mencapai
perbandingan yang tubuh yang baik. Misalnya badan melebar dan
memanjang sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu
pandang.
d. Organ Seks: Baik laki-laki maupun perempuan organ seks
mengalami ukuran matang pada akhir masa remaja, tetapi
fungsinya belum matang sampai beberapa tahun kemudian.
e. Ciri – ciri Seks Sekunder: Ciri – ciri seks sekunder yang utama,
perkembangannya matang pada masa akhir masa remaja. Ciri
sekunder tersebut antara lain ditandai dengan tumbunya kumis dan
jakun pada laki-laki sedangkan pada wanita ditanda dengan
membesarnya payudara.
2. Perubahan Internal
Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan tidak
tampak dari luar. Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi
kepribadian remaja. Perubahan tersebut adalah :
a) Sistem Pencernaan: Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi
terlampau berbentuk pipa, usus bertambah panjang dan bertambah
besar, otot-oto di perut dan dinding-dinding usus menjadi lebih
tebal dan kuat, hati bertambah berat dan kerongkongan bertambah
panjang.
b) Sistem Peredaran Darah : Jantung tumbuh pesat selama masa
remaja, pada usia tujuh belas atau delapan belas, beratnya dua
belas kali berat pada waktu lahir. Panjang dan tebal dinding
pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan
bilamana jantung sudah matang.
c) Sistem Pernafasan: Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir
matang pada usia tujuh belas tahun ; anak laki-laki mencapat
tingkat kematangan baru beberapa tahun kemudian.
d) Sistem Endokrin: Kegiatan gonad yang meningkat pada masa
puber menyebabkan ketidak seimbangan sementara dari seluruh
system endokrin pada masa awal puber. Kelenjar-kelenjar seks
berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai
ukuran yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa
dewasa
e) Jaringan Tubuh: Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada
usia delapan belas tahun. Jaringan selain tulang, khususnya bagi
perkembangan otot, terus berkembang sampai tulang mencapai
ukuran yang matang.
3. Perubahan kejiwaan
Proses perubahan kejiwaan berlangsung lambat yang meliputi:
a) Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi :
1) sensitif ( mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa )
2) Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang
berpengaruh, sehingga misalnya mudah berkelahi.
b) Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi:
1) Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik
2) Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul prilaku ingin
mencoba-coba. Prilaku ini jika didorong oleh rangsangan sesual
dapat membawa remaja masuk pada hubungan seks pranikah
dengan segala akibatnya, antara lain akibat kematangan organ
seks maka dapat terjadi kehamilan remaja putri diluar nikah,
upaya abortus dan penularan penyakit kelamin, termasuk
HIV/AIDS dan dapat mengakibatkan remaja mengalami
ketergantungan NAPZA ( Narkotik, psikotropik dan zat adiktif
lainnya, termasuk rokok dan alkohol )
4. Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan..
Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1990), antara lain :
a) Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-
perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak
langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
b) Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti
perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap
sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini
memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda
dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai
dengan dirinya.
c) Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada
emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang
mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan
akan kebebasan.
d) Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari
remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa
peranannya dalam masyarakat.
e) Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan.
Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku
yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua
menjadi takut.
f) Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung
memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu,
melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang
diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-
cita.
g) Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami
kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan
kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan
bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok,
minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat
dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini
akan memberikan citra yang mereka inginkan.
h) Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri
remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar
remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik
dan penuh tanggung jawab.

E. PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS PADA REMAJA


Kesadaran akan bentuk fisik yang bukan lagi anak-akan menjadikan
remaja sadar meninggalkan tingkah laku anak anaknya dan mengikuti norma
serta aturan yang berlaku. Menurut Havigrust aspek psikologis yang
menyertainya yaitu:
a) Menerima kenyataan (realitas) jasmani
b) Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebaya.
c) Menjalankan peran-peran sosial menurut jenis kelamin sesuaikan
dengan norma.
d) Mencapai kebebasan emosional (tidak tergantung) pada orang tua atau
orang dewasa lain.
e) Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep untuk
bermasyarakat.
f) Memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan atau jabatan.
g) Mencapai kebebasan ekonomi, merasa mampu hidup dengan nafkah
sendiri

F. POLA ASUH KELUARGA TERHADAP REMAJA


1. Pola Asuh
Pola asuh adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada remaja
yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini
dapat dirasakan oleh remaja dari segi negatif maupun positif. Pada
dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang
diterapkan pada remaja. Pengasuhan terhadap remaja berupa suatu proses
Interaksi antara orang tua dengan remaja. Interaksi tersebut mancakup
perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan. Pendampingan orang
tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik
remajanya.
2. Macam-macam pola asuh
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa macam pola asuh
orang tua terhadap anak remaja, yaitu:
Pola asuh otoriter, yaitu pola asuh dengan memaksakan kehendak
orang tua, dimana orang tua memegang kendali dalam segela hal dan
komunikasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak tanpa memperdulikan
pendapat anak. Dampak yang didapat adalah anak akan disiplin, patuh,
kurang mandiri, kurang inisiatif, pesimis, kadang juga dapat memberontak
dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan saat berada di luar
pengawasan orang tua. Anak dengan pola asuh seperti ini bagaikan robot
yang bisa bergerak atas kendali dari pemiliknya.
Pola asuh demokratis, yaitu terdapat komunikasi timbal balik antara
orang tua dan anak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab,
namun tetap dalam pengawasan orang tua. Orang tua berhak
menyampaikan pendapat begitu pula dengan anak. Anak dilatih untuk
mampu mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan, sehingga anak
akan mandiri, bertanggung jawab, inisiatif, percaya diri dan jujur. Namun
dampak negatifnya anak akan selalu menuntut agar segala sesuatu harus
atas pertimbangan bersama.
Pola asuh permisif, yaitu membebaskan anak secara mutlak dan
kendali terdapat pada anak. Dampak dari pola asuh ini adalah anak
cendrung semena-mena, kurang disiplin, selalu melanggar peraturan,
namun jika anak mampu bertanggung jawab maka dia akan mandiri,
mampu mewujudkan aktualisasinya dan kreatif.
3. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Remaja
Kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan manusia
bersifat primer dan fundamental. Perkembangan remaja pada umumnya
meliputi keadaan fisik, emosional sosial dan intelektual. Bila kesemuanya
berjalan secara harmonis maka dapat dikatakan bahwa remaja tersebut
dalam keadaan sehat jiwanya. Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama,
serta prinsip hidup yang diinternalisasikan melalui persinggungan dan
interaksi sosial remaja yang intensif dengan anggota keluarga akan lebih
mudah menancap kuat di alam kesadaran remaja yang kelak akan menjadi
sistem kontrol internal bagi perilaku mereka. Dalam konteks ini, orang tua
adalah pemegang kendali utama tanggung jawab atas proses pembentukan
karakter remaja. Kita tidak dapat menutup mata misalnya, bahwa saat ini
terjadi pergeseran nilai kesusilaan pada masyarakat mengenai terminologi
patut dan tidak patut. Di level itu, peran orang tua menjadi sangat penting
untuk memberikan pemahaman kepada remaja sebagai bekal utama
sebelum mereka terjun ke masyarakat melalui sekolahan dan media
interaksi sosial lainnya. Karena itu, teladan sikap orang tua sangat
dibutuhkan bagi perkembangan remaja-remaja mereka. Hal ini penting
karena pada fase perkembangan manusia, usia remaja adalah tahapan
untuk mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitar mereka. Dengan
sikap dan teladan yang baik ditambah dengan penguatan emotional bondin
antara remaja dengan orang tua, upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan
karakter yang baik pada remaja akan lebih mudah untuk dilakukan.
Selain itu, sikap keterbukaan antara remaja dan orang tua juga sangat
dibutuhkan untuk menghindari remaja dari pengaruh nilai-nilai negatif
yang ada di luar lingkungan keluarga. Pada dasarnya, tugas dasar
perkembangan seorang remaja adalah mengembangkan pemahaman yang
benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain, tugas utama
seorang remaja dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan
main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, remaja harus
belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-
hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke
samping (hukum gravitasi bumi). Selain itu, remaja juga harus belajar
memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada
hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk membentuk karakter remaja diperlukan
syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik.
Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar remaja yang
harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan
mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) berperan
dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada
remaja. Kelekatan ini membuat remaja merasa diperhatikan dan
menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan remaja akan lingkungan yang
stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter remaja
karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi.
Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada
perkembangan emosi remaja. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental
membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik
antara ibu dan remajanya.
Menurut pakar pendidikan remaja, seorang ibu yang sangat perhatian
(yang diukur dari seringnya ibu melihat mata remajanya, mengelus,
menggendong, dan berbicara kepada remajanya) terhadap remajanya yang
berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya
sehingga menjadi remaja yang gembira, antusias mengeksplorasi
lingkungannya, dan menjadikannya remaja yang kreatif.
Secara umum, Kekuasaan orangtua dominan, Remaja tidak diakui
sebagai pribadi, Kontrol terhadap tingkah laku remaja sangat ketat,
Orangtua menghukum remaja jika remaja tidak patuh. Pola asuh otoriter
cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan
emosi orangtua – remaja sehingga antara orang tua dan remaja seakan
memiliki dinding pembatas yang memisahkan orang tua dengan anak.
Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan
bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan
keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan
dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung
menghasilkan remaja yang bermasalah.
Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter
remaja. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong remaja
untuk membicarakan apa yang ia inginkan, Ada kerjasama antara orangtua
– remaja, Remaja diakui sebagai pribadi, Ada bimbingan dan pengarahan
dari orangtua, Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku. Pola asuh
permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada
remaja untuk berbuat. Dominasi pada remaja, Sikap longgar atau
kebebasan dari orangtua, Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari
orangtua, Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang. Pola asuh
permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap remaja untuk
berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter remaja.
Bagaimana pun remaja tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk
mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan
yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat remaja
bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan
karakter remaja. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih
mendukung perkembangan remaja terutama dalam kemandirian dan
tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena
remaja tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan
orangtua yang permisif mengakibatkan remaja kurang mampu dalam
menyesuaikan diri di luar rumah.
Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), remaja yang dididik dengan
cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya
dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian
yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, remaja yang dididik secara
otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan
agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu,
remaja yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah
laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.

G. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI


1. Hamil yang Tidak Dikehendaki (Unwanted Pregnancy)
Kehamilan yang tidak dikehendaki (Unwanted pregnancy) merupakan
salah satu akibat dari kurangnya pengetahuan remaja mengenai perilaku
seksual remaja. Faktor lain penyebab semakin banyaknya terjadi kasus
kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) yaitu anggapan-
anggapan remaja yang keliru seperti kehamilan tidak akan terjadi apabila
melakukan hubungan seks baru pertama kali, atau pada hubungan seks
yang jarang dilakukan, atau hubungan seks dilakukan oleh perempuan
masih muda usianya, atau bila hubungan seks dilakukan sebelum atau
sesudah menstruasi, atau hubungan seks dilakukan dengan menggunakan
teknik coitus interuptus (senggama terputus) (Notoadmodjo, 2007).
Kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) membawa
remaja pada dua pilihan yaitu melanjutkan kehamilan kemudian
melahirkan dalam usia remaja (early childbearing) atau menggugurkan
kandungan merupakan pilihan yang harus remaja itu jalani. Banyak remaja
putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted
pregnancy) terus melanjutkan kehamilannya. Menurut Affandi (1995) cit
Notoatmodjo (2007) konsekuensi dari keputusan untuk melanjutkan
kehamilan adalah melahirkan anak yang dikandungnya dalam usia yang
relatif muda. Hamil dan melahirkan dalam usia remaja merupakan salah
satu faktor resiko kehamilan yang tidak jarang membawa kematian ibu.
Kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun
lebih besar 3-4 kali dari kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia
20-35 tahun. Dari sudut kesehatan obstetri, hamil pada usia remaja dapat
mengakibatkan resiko komplikasi pada ibu dan bayi antara lain yaitu
terjadi perdarahan pada trimester pertama dan ketiga, anemia, preeklamsia,
eklamsia, abortus, partus prematurus, kematian perinatal, berat bayi lahir
rendah (BBLR) dan tindakan operatif obstetri (Sugiharta, 2004) cit
(Soetjiningsih, 2004).
2. Aborsi
Aborsi (pengguguran) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau
pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang
disengaja (abortus provokatus). Abortus provocatus yaitu kehamilan yang
diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran.
Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhenti karena faktor-faktor
alamiah (abortus spontaneus) (Hawari, 2006). Data yang tersedia dari
1.000.000 aborsi sekitar 60,0% dilakukan oleh wanita yang tidak menikah,
termasuk para remaja. Sekitar 70,0- 80,0% merupakan aborsi yang tidak
aman (unsafe abortion). Aborsi tidak aman (unsafe abortion) merupakan
salah satu faktor menyebabkan kematian ibu.
Menurut Hawari (2006), aborsi yang disengaja (abortus provocatus) ada
dua macam yaitu pertama, abortus provocatus medicalis yakni penghentian
kehamilan (terminasi) yang disengaja karena alasan medik. Praktek ini
dapat dipertimbangkan, dapat dipertanggungjawabkan dan dibenarkan oleh
hukum. Kedua, abortus provocatus criminalis, yaitu penghentian
kehamilan (terminasi) atau pengguguran yang melanggar kode etik
kedokteran, melanggar hukum agama, haram menurut syariat Islam dan
melanggar Undang-Undang (kriminal).
3. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Menurut Notoatmodjo (2007), penyakit menular seksual merupakan
suatu penyakit yang mengganggu kesehatan reproduksi yang muncul
akibat dari prilaku seksual yang tidak aman. Penyakit Menular Seksual
(PMS) merupakan penyakit anak muda atau remaja, karena remaja atau
anak muda adalah kelompok terbanyak yang menderita penyakit menular
seksual (PMS) dibandingkan kelompok umur yang lain.
PMS adalah golongan penyakit yang terbesar jumlahnya (Duarsa, 2004)
cit (Soetjiningsih, 2004) Remaja sering kali melakukan hubungan seks
yang tidak aman, adanya kebiasaan bergani-ganti pasangan dan melakukan
anal seks menyebabkan remaja semakin rentan untuk tertular Penyakit
Menular Seksual (PMS), seperti Sifilis, Gonore, Herpes, Klamidia. Cara
melakukan hubungan kelamin pada remaja tidak hanya sebatas pada
genital-genital saja bisa juga orogenital menyebabkan penyakit kelamin
tidak saja terbatas pada daerah genital, tetapi juga pada daerah-daerah
ekstra genital (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi
meningkatnya resiko penularan penyakit menular seksual (PMS) pada
remaja adalah faktor biologi, faktor psikologis dan perkembangan kognitif,
perilaku seksual, faktor legal dan etika dan pelayanan kesehatan khusus
remaja.
4. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome)
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu sindrom
atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan
tubuh yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi virus
“HIV” (Tuti Parwati, 1996) cit (Notoatmodjo, 2007). HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus RNA tunggal yang
menyebabkan AIDS (Limantara, dkk, 2004) cit (Soetjiningsih, 2004).
Menurut Limantara (2004) cit Soetjiningsih (2004) faktor yang beresiko
menyebabkan HIV pada remaja adalah perubahan fisiologis, aktifitas
sosial, infeksi menular seksual, prilaku penggunaan obat terlarang dan
anak jalanan dan remaja yang lari dari rumah. Perubahan fisiologis yang
dapat menjadi resiko penyebab infeksi dan perjalanan alamiah HIV
meliputi perbedaan perkembangan sistem imun yang berhubungan dengan
jumlah limfosit dan makrofag pada stadium pubertas yang berbeda dan
perubahan pada sistem reproduksi. Aktifitas seksual tanpa proteksi
merupakan resiko perilaku yang paling banyak pada remaja. Hubungan
seksual dengan banyak pasangan juga meningkatkan resiko kontak dengan
virus HIV. Ada tiga tipe hubungan seksual yang berhubungan dengan
transmisi HIV yaitu vaginal, oral, dan anal.

H. KEBIJAKAN DAN SOLUSI MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI


REMAJA
Adapun kebijakan dan solusi tentang masalah kesehatan reproduksi
remaja, yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan yang telah dikeluarkan
baik berdasarkan kesepakatan Internasional maupun oleh Pemerintah
Nasional terkait Kesehatan Reproduksi Remaja.
2. Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk
merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber
daya yang ada. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara
umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat
diwujudkan sampai tahun 2015.
3. Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan
(ICPD) tahun 1994 mengartikan pendekatan untuk memperoleh hak-hak
akan kesehatan reproduksi remaja secara luas. Hasil-hasil ICPD secara
khusus menunjukkan perlunya para orang tua dan orang dewasa lainnya
untuk, sesuai dengan kapasitasnya, melakukan bimbingan mengenai hal ini
kepada remaja untuk mengetahui hak-hak mereka terhadap informasi dan
pelayanan KRR.
4. Konvensi Internasional lain yang memuat tentang kesehatan reproduksi
serta diadopsi oleh banyak negara di dunia di antaranya adalah Tujuan
Pembangunan Milenium /Milenium Development Goals. MDGs ini
memuat pada tujuan ketiga (goal 3) adalah kesepakatan untuk mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan termasuk upaya tentang
peningkatan kesehatan reproduksi. Pada tujuan keenam (goal 6) diuraikan
bahwa salah satu kesepakatan indikator keberhasilan pembangunan suatu
negara dengan mengukur tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang
HIV pada wanita berusia 15 – 24 tahun. Selain itu jenis kontrasepsi yang
dipakai wanita menikah pada usia 15 – 49 tahun juga merupakan salah
satu indikatornya.
5. UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan tentang
Kesehatan Reproduksi pada Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal
77. Pada pasal 71 ayat 3 mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi
dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh
informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang
benar dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 72). Oleh sebab itu
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana
pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau
masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal 73). Setiap pelayanan
kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman
dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya
reproduksi perempuan (pasal 74). Setiap orang dilarang melakukan aborsi
kecuali yang memenuhi syarat tertentu (pasal 75 dan 76). Pemerintah
wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak
bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal
77)
6. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini BKKBN melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 menyatakan bahwa salah satu arah
RPJM adalah meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja.
Adapun solusi dan strategi yang ditawarkan dan kedepannya bisa
diterapkan untuk permasalahan kesehatan reproduksi remaja adalah sebagai
berikut:
1. Menciptakan kebijakan yang melibatkan remaja baik sebagai partisipan
aktif maupun pasif. Tahap awal penentuan kebijakan dalam
penanggulangan kesehatan reproduksi remaja adalah mengerti dunia
remaja itu sendiri. Pemerintah seharusnya mengadakan survei dan
penelitian tentang kondisi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia.
Penelitian sebaiknya dilakukan menyeluruh di semua wilayah Indonesia
dan tidak boleh hanya memilih beberapa daerah sebagai cluster sampling.
Setiap daerah memiliki pola hidup dan kebudayaan yang berbeda serta
tingkat perkembangan yang berbeda sehingga secara tidak langsung
pengaruh globalisasi dan arus informasi terhadap kesehatan reproduksi
berbeda pula. Sebagai contoh kota Jakarta mungkin masih lebih baik
dibandingkan kota Malang karena informasi yang diterima berbeda.
2. Menyusun suatu Undang-undang dan peraturan pemerintah yang
didalamnya membahas kesehatan reproduksi. Isi kebijakan sebaiknya
tidak hanya hukuman atau denda bagi pelanggar kesehatan reproduksi
tetapi akan lebih baik bila didalamnya ditekankan pada strategi promotif
dan preventif terhadap masalah kesehatan reproduksi yang ada.
3. Pelayanan-pelayanan kesehatan bagi remaja sebaiknya tidak hanya
mengenai aspek medis kesehatan reproduksi, tetapi hendaknya juga
menyangkut hubungan personal dan menyangkut nilai-nilai moral
melalui Pendidik sebaya (Peer Educator).
4. Menggalang kerja sama dengan semua stakeholder baik pemerintah,
swasta, LSM, organisasi profesi serta organisasi kemasyarakatan
berdasarkan prinsip kemitraan dalam penyelenggaraan program dan
pembinaan remaja.
5. Sebaiknya pemerintah tidak fokus pada pemberian pendidikan seks saja
namun lebih kepada pemberian pendidikan kesehatan reproduksi.
Pendidikan seks merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi
sehingga lingkup pendidikan kesehatan reproduksi lebih luas. Pendidikan
kesehatan reproduksi mencakup seluruh proses yang berkaitan dengan
sistem reproduksi dan aspek-aspek yang mempengaruhinya, mulai dari
aspek tumbuh kembang hingga hak-hak reproduksi. Sedangkan
pendidikan seks lebih difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan seks.
6. Melakukan kampanye Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Film
Film/Video Komunitas. Strategi ini kedepannya perlu ditingkatkan
mengingat hasil yang didapatkan cukup efektif karena remaja cenderung
akan lebih merespon dan tertarik untuk belajar tentang kesehatan
reproduksi nya melalui media film dan video.
7. Pemberian pengetahuan dasar kesehatan reproduksi kepada remaja agar
mereka mempunyai kesehatan reproduksi yang baik. Pengetahuan yang
diberikan antara lain terkait:
a. Tumbuh kembang remaja: perubahan fisik/psikis pada remaja, masa
subur, anemi dan kesehatan reproduksi
b. Kehamilan dan melahirkan: usia ideal untuk hamil, bahaya hamil pada
usia muda, berbagai aspek kehamilan tak diinginkan (KTD) dan
abortus
c. Pendidikan seks bagi remaja: pengertian seks, perilaku seksual, akibat
pendidikan seks dan keragaman seks
d. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS
e. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
f. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi
g. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual
h. Kemampuan berkomunikasi: memperkuat kepercayaan diri dan
bagaimana bersifat asertif
i. Hak-hak reproduksi dan jender.
 Memperbaiki komunikasi antar orangtua dan anak. Empowering
keluarga untuk meningkatkan ketahanan non fisik menghadapi arus
globalisasi dengan cara memperkuat sistem agama, nilai dan norma
di dalam keluarga merupakan alternatif utama. Keluarga bertugas
mempertebal iman remaja dan pemuda dengan meningkatkan
pemahaman nilai-nilai agama, norma, budi pekerti dan sopan
santun
 Dari pihak pemerintah juga diharapkan adanya kegiatan
berwawasan nasional misalnya memperketat sensor arus informasi
dan budaya asing, menunjang pembentukan sarana bagi
pengembangan remaja dan lain-lain.

I. PENANGAN DAN PENCEGAHAN


Penanganan yang dilakukan untuk mencegah masalah kesehatan
reproduksi remaja adalah melalui beberapa pendekatan yaitu :
1. Institusi keluarga disini diharapkan orang tua harus mampu
menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan sekaligus
memberikan bimbingan sikap dan prilaku kepada remaja.
2. Peer group diharapkan mampu tumbuh menjadi peer educator yang
diharapkan dapat membahas dan menangani permasalahan kesehatan
reproduksi remaja.
3. Institusi sekolah dan tempat kerja merupakan jalur yang sangat potensial
untuk melatih peer group ini, karena institusi sekolah dan tempat kerja ini
sangat mempengaruhi kehidupan dan pergaulan remaja.

J. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Remaja
 Identitas
b) Keluarga

2. Diagnosa
3. Intervensi

Anda mungkin juga menyukai