Oleh :
Ayang Prima Lestari
1102012035
Pembimbing :
Dr. Yenny Sp. KK, M.Kes
RSUD ARJAWINANGUN
JANUARI 2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1898, dermatitis kontak pertama kali dipahami memiliki lebih
dari satu mekanisme, dan saat ini secara general dibagi menjadi dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak iritan berbeda dengan
dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis kontak iritan merupakan suatu respon
biologis pada kulit berdasarkan variasi dari stimulasi eksternal atau bahan pajanan
yang menginduksi terjadinya inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi
spesifik.2
2
Pencegahan bahan-bahan iritasi kulit adalah strategi terapi yang utama pada
dermatitis kontak iritan.5
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis
kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan
cukup banyak, namun sulit untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara
lain oleh banyak penderita yang tidak datang berobat dengan kelainan ringan.6
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic
menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun 2004
untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang
merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua penyakit okupational. Juga
berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk
penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-95% dari
penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya
adalah dermatitis kontak iritan.1,7
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak
di Sweden melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun
sebelumnya. Orang yang bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja
bersentuhan dengan bahan kimia keras yang memiliki potensial merusak kulit dan
mereka yang diterima untuk mengerjakan pekerjaan basah secara rutin memiliki
faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan sebagai
pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.8
4
2.3 Etiologi
a. Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi
potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial
iritan bentuk senyawa mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang
dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi,
ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari
pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak
dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ; (3) Faktor
lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti
tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu
dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih
rentan pada bahn iritan.1
b. Faktor Endogen
1) Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan, dan
kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein semuanya
dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman
respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu, predisposisi genetik
terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan.1 Pada
penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi
kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan
sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.10
2) Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara
jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan
5
oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki.
Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang
ditetapkan berdasarkan penelitian.1,9,10
3) Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-
bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan
bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan
meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit
sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan)
meningkat pada orang muda.1 Reaksi terhadap beberapa bahan iritan
berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon inflamasi dan
TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi perkutaneus.10
4) Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema
sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema
sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah
sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap
bahan iritan daripada kulit putih.1
5) Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.1,10
6) Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya
ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan lambatnya proses
penyembuhan.1 Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya,
menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.11
6
2.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan dengan
dermatitis kontak iritan, yaitu:1,6
Gambar 1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan iritan fisik dan kimia memicu
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal
bahaya tersebut. (c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi. Sitokin
utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi,
banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi.
Hasilnya dapat dilihat secara klinis pada DKI. Dikutip dari kepustakaan [12] 7
Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang
dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut ditandai oleh pelepasan
mediator radang, khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang
mendapat rangsangan kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi
sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin seperti
Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada dermatitis
kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga
tiga kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam
dermatitis iritan, yang menyebabkan peningkatan ekspresi Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan intracelluler adhesin molecul-I
pada keratinosit.1
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan
gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal
yang mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.6 Berdasarkan
penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi
menjadi sepuluh macam, yaitu:
8
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla. Luas
kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas.1,7 Pada beberapa
individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-
satunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan.
Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel dan bahan pajanan
bahan yang dapat membakar kulit dapat menyebabkan nekrosis.1,6 Secara
klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh segera setelah pajanan,
dengan asumsi tidak ada pajanan ulang – hal ini dikenal sebagai “decrescendo
phenomenon”. Pada beberapa kasus tidak biasa, dermatitis kontak iritan dapat
timbul beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap.2
Bentuk DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla
besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa yang
sering timbul pada dermatitis kontak.9
9
muncul keesokan harinya berupa eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel
atau bahkan nekrosis.6
Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen Dikutip dari
kepustakaan [7]
10
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di
dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan
dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan
kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.1,6,7
11
7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan.
Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya
menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.1,2,6
12
dapat dilihat pada pasien dermatitis atopy maupun pasien dermatitis
seboroik.1,2
2.6 Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena
munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab
13
terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas,
sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Selain anamnesis, juga perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI.6
A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung
pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang
dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:13
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut.
DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti
benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana
reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan.
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada
DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang
dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak
nyaman akibat pruritus yang terjadi.
B. Pemeriksaan Fisis
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai
berikut: 13-14
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk
vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
14
yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis
kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek
berbagai iritans.14
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan
kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi
yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil
negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat
terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam,
hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut,
dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya
didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis sebagai
DKI,1,7 Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis, dengan
dermatitis kontak yang rekuren.13
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi
sekunder bakteri.13
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada
infeksi jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung tempat
dan morfologi dari lesi.13
4. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic
atau riwayat atopi.13
2.8.Diagnosa Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.18 Pada patch
15
tes, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan
sensitifitasnya berkisar antara 70 – 80%.16
2. Dermatitis Atopi
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi
pada keluarga penderita.6 Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita
dengan suspek DKI dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan
diagnosis dermatitis atopi.
3. Tinea Pedis
Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
jamur dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas
tegas, terdiri atas macam-macam effloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih
aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Pada
tinea pedis, khususnya bentuk mocassin foot, pada seluruh kaki terlihat kulit
menebal, dan bersisik serta eritema yang ringan terutama di tempat yang
terdapat lesi.19
2.10.Penatalaksanaan
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
16
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih
kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang
lama dari corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum
korneum.17 Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan
pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di
tappering 10mg.7
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi
sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba yang
telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang penting dalam evolusi,
persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari.
Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan antibiotik oral untuk
mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan.
Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga
digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang
disebabkan oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak
mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara
klinis antihistamin biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa gejala
simptomatis.5
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk
menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan
dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin dapat
menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan.5 Garam
strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada hewan, dan
setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi sensasi iritasi
yang dihubungkan dengan DKI.5
5. Kationik Surfaktan
Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan
gejala dalam penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.5
6. Emolien
17
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat
berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat
meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit
lebih baik.5
7. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat
seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak boleh
digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya. Oleh karena itu,
pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin lebih berguna. Obat
yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan azadtrioprim.5
8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan,
khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi
photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet B, dimana
penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan fotosensitizer (soralen
oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar Grentz juga
dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin
disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.5
2.11.Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak
dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis
yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6
18
BAB III
LAPORAN KASUS
19
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal
Riwayat Asma pada keluarga disangkal
Riwayat Alergi pada keluarga diakui, ayah pasien alergi terhadap udang.
e. Riwayat hygiene
1. Pasien mandi 3 kali sehari dengan air ledeng dan memakai sabun
batang.
2. Pasien ganti pakaian 2 kali dalam sehari setiap setelah habis mandi.
3. Pasien sering menggunakan sendal selop yang menutupi sebagian
punggung kaki baik di rumah maupun keluar rumah. Sendal selop
jarang dicuci.
4. Pasien jarang mencuci kaki jika setelah pergi keluar rumah.
5. Penggunaan handuk secara bersamaan dengan anggota keluarga
lainnya disangkal.
20
Regio plantar pedis bilateral terdapat makula eritem berukuran plakat, bentuk tidak
teratur, batas tidak tegas, disertai skuama halus.
21
Pemeriksaan IgG peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong
adanya diathetis atopic atau riwayat atopi.
Pemeriksaan kulit atau usapan mukokutan dengan larutan KOH 10%
ditemukan sel ragi (+), blastospora (+), hifa semu (+)
1.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Loratadine 1 x 10 mg
Metilprednisolon 3 x 16 mg
Vitamin C 1 x 1
Betamethason Cream + Mikonazoel Cream dioles 2 x 1
Non Medikamentosa
Hindari faktor pencetus
Jangan biarkan kaki lembab, sepatu atau alas kaki dicuci, dibersihkan
Jangan menggaruk lesi
Konsumsi obat dan pemakaian salep teratur
1.8 Prognosis
• Quo ad vitam : ad bonam
• Quo ad functionam : ad bonam
• Quo ad sanactionam : dubia
1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri
terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks.
Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong
kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi
bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet)
dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis
(lichen simplex chronicus)
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw –
Hill; 2008.p.396-401.
2. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8
3. Buxton, Paul K. ABC Of Dermatology 4th ed. London: BMJ Books; 2003.p.19-
21
4. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit.
British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
5. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar
H, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.
7. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis
Of Clinical Dermatology 5th ed. New York: McGraw – Hill; 2005.
8. Gould Dinah. Occupational Irritan Dermatitis in Healthcare Workers –
Meeting the Challenge of Prevention.[Online] 2003 [cited 2011 January 9]:[5
screens]. Available from : URL:http://ssl-international.com
9. Grand SS. Allergic Contact Dermatitis Versus Irritant Contact
Dermatitis.[Online].2008. [cited 2011 January 9]:[30 screens]. Available from:
URL:http://wsiat.on.ca/english/mlo/allergic.htm
10. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 7th ed.
Australia: Blackwell Publishing. 2004.chapter 19.
11. Schnuch A and Berit CC, editors. Genetics And Individual Predispotitions in
Contact Dermatitis. In: Johansen JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact
Dermatitis 5th ed. New York: Springer. 2011.p.28-30
23
12. Rustenmeyer T, Ingrid MW, B.Mary E, Sue G, Rik JS, editors. In: Johansen
JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact Dermatitis 5th ed. New York:
Springer.2011.p.43-8.
13. Hogan D J. Contact Dermatitis, Irritant. [Online] 2009 [cited 2011 January
8]:[4 screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape/
article/1049352-overview.htm
14. Anonim. Contact Dermatitis. [Online] 2009 [cited 2011 January 9]:[1 screen].
Available from: URL: http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article
/000869..htm
15. Ale SI and Howard IM, editors. Irritant Contact Dermatitis Versus Allergic
Contact Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.11-6
16. Bourke J, Coulson I, and English J. Guidelines For The Managemen Of Contact
Dermatitis: An Update. London: British Journal of Dermatology; 2008.p.946-
54
17. Loffer H and Isaak E, editors. Primary Prevention Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.401-6
18. Ngan Vanessa. Irritant Contact Dermatitis. [Online] 2010 [cited 2011 January
9]:[1 screen]. Available from: URL: http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-
irritant.htm
19. Budimulja, Unandar. Dermatofitosis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p.92-3.
20. Anonim. What Is Causing Skin Rashes. [online] 2009 [cited 2011 January 18]:
[1 screen]. Available from: URL: http://bhealthy4life.com/?p=1.htm
21. Desar IME, A Phase I Dose Escalation Study To Evaluate Safety And
Tolerability Of Sorafenib Combined With Sirolimus In Patient With Advance
Solid Cancer. [online] 2010 [cited 2011 January 18]:[3 screens]. Available
from: URL: http://nature.com/bjc/journal/v103/n11/fig_tab/6605777f2.html
24